Michael justru menyeringai tipis.
"Kau yakin ingin mengusirku? Apa jawabanmu jika Jessica bertanya ke mana Papanya?" balas Michael sambil mengangkat dagunya sedikit angkuh. Membuat Moon kembali mengepalkan kedua tangannya erat-erat. Menahan amarah yang membuncah di relung hatinya saat ini. Selain mengesalkan, pria di hadapannya ini ternyata tidak punya rasa malu juga. "Aku sangat yakin, kau adalah pria yang sangat berbahaya, keberadaanmu di sini memberikan dampak buruk pada putriku! Tidak usah kau pikirkan jawaban apa yang akan aku berikan pada putriku nanti! Cepat, angkat kakimu dari rumahku sekarang!" lontar Moon. Untuk kesekian kalinya, reaksi Michael membuat Moon semakin meradang. Kini, lelaki bermata hijau itu malah mengeluarkan tawa rendah. Sebuah tawa yang terdengar seperti sebuah penghinaan di telinga Moon. "Apa kau tuli?! Pergi sekarang!" Saat tak ada pergerakkan, Moon akhirnya terpaksa mendekat, hendak menyeret Michael. "Pergi kau dari sini!" Dengan susah payah Moon menarik tangan Michael. Sebab tubuh Michael lebih tinggi dan besar darinya. Michael lantas beranjak. Namun, tak ada tanda-tanda lelaki itu berniat menggerakkan kaki. Michael justru menyeringai tipis, melihat Moon tengah kesusahan menyeretnya keluar. "Kenapa kau diam? Cepat, pergilah dari sini!" Moon menahan kesal kala Michael tak kunjung bergerak. Terlebih, ekspresi Michael saat ini membuat urat-urat di wajahnya semakin menegang. Michael hendak menyahut. Akan tetapi, kedatangan Jessica mengurungkan niatnya. "Mama!" Di depan pintu kamar, Jessica berdiri sambil memegang sebuah piring dengan pupil mata melebar sempurna. Moon dan Michael reflek menggerakkan kepala ke pintu kamar. Moon berdecak kesal tatkala Jessica ada di kamar sekarang dan dapat dipastikan rencananya gagal. "Apa yang Mama lakukan? Bukankah tadi Jessica sudah bilang jangan usir Papa," kata Jessica cepat-cepat menghampiri Moon dan Michael. Tak lupa dia menaruh piring di tempat tidur terlebih dahulu sejenak. Moon melepaskan tangan Michael kemudian merendahkan tubuhnya di depan Jessica. "Bukan begitu Jessica, dia bukan Papamu, kita tidak tahu asal usulnya Nak. Mama tidak mau kalian terluka oleh pria asing ini, kita tidak tahu apakah dia benar-benar hilang ingatan atau tidak, bisa saja dia berpura-pura hilang ingatan," terang Moon lalu memegang kedua pundak Jessica. Mendengar hal itu, mata mungil Jessica perlahan berkaca-kaca. Membayangkan Michael akan pergi membuat dadanya terasa mulai sesak sekarang. "Ma, tapi Papa membantu kami tadi saat di pasar saat Bibi Erna membuli kami. Jessica yakin kok Papa orang baik dan dia benar-benar hilang ingatan, jadi jangan usir Papa ya, biarkan Papa tinggal di sini, Jessica mohon Ma ...." Tanpa permisi cairan bening kembali membasahi pipi Jessica. Melihat Jessica menangis, Moon membeku di tempat. Dadanya terasa ikut sesak juga. Sedari dulu, Moon tak pernah melihat Jessica bersikap seperti ini. Kekurangan kasih sayang dari seorang ayah membuat Jessica menginginkan pria asing yang asal usulnya tidak jelas ini menjadi ayahnya. Moon sangat takut bila Michael memiliki niat jahat padanya dan anak-anaknya. Sebab, selama ini ada seseorang yang sangat dia benci selalu memantau gerak-geriknya. "Tapi Nak, Mama ...." Moon tak jadi menyelesaikan kalimatnya kala Jessica menatap sendu ke arahnya dengan air mata semakin mengalir deras. Tak hanya itu, Jessica pun mulai tampak sesenggukkan. Napasnya pun kini tak beraturan, dadanya tampak kembang kempis, sepertinya tengah menahan tangisnya agar tak pecah. Moon terenyuh dan sekarang tak mampu berkata-kata lagi. Jessica membuat dia serba salah. Michael yang melihat Jessica, hatinya pun ikut tersentuh. Sorot matanya yang semula tajam berubah tampak sedih pula. Lelaki itu tiba-tiba berjongkok di samping Moon. Moon sedikit kaget dengan pergerakkan Michael. Tak lupa melayangkan tatapan tajam sejenak pada sosok di sampingnya. Namun, melihat ekspresi Michael membuat kening Moon berkerut samar sekarang. "Aku bukanlah orang jahat dan aku tidak berpura-pura hilang ingatan, aku minta maaf jika tadi merendahkanmu, untuk saat ini izinkan aku menetap di rumahmu,"kata Michael. Mendengar perkatannya, mata Moon melebar sedikit. Karena pria asing ini tak memiliki rasa malu sama sekali. Akan tetapi, saat melihat sorot mata Michael memancarkan rasa iba. Moon diambang dilema sekarang. Moon tak langsung menjawab, tengah berperang dengan batinnya. Michael lantas cepat-cepat mengalihkan pandangan pada Jessica. "Jessica, jangan menangis lagi ya, Papa tidak akan pergi dari sini,"katanya lalu mengusap air mata Jessica menggunakan jari telunjuk. "Iya, Jessica akan berhenti nangis, Pa." Dengan jari-jari mungilnya Jessica ikut mengusap kedua pipinya. Dia pun kembali mengalihkan perhatian pada Moon. "Izinkan Papa tinggal di sini ya Ma, Jessica janji akan jadi anak yang baik." Moon tak segera membalas, masih berperang dengan batin sambil melirik Michael dan Jessica secara bergantian, hingga pada akhirnya Moon membuka suara. "Baiklah, tapi Jessica jangan menganggu Paman ini—" "Papa, Ma! Papa!" sela Jessica, berusaha meralat panggilan Moon. Karena mamanya tak memanggil pria di hadapannya dengan sebutan "papa". Kendati demikian, dia merasa sangat bahagia karena sang mama mengiyakan permintaannya sekarang. Moon melempar senyum kikuk. "Iya, maksudnya Papa. Sekarang, Jessica keluar sebentar ya, Mama mau bicara sama Papamu." Moon tersenyum sedikit getir kala mengucapkan kata papa barusan. "Oke, tapi jangan usir Papa ya, Jessica tunggu di luar kamar, awas saja Mama usir Papa lagi." Dalam sekejap tangis Jessica sudah mereda. Sorot matanya pun tampak berbinar-binar sekarang. Hal itu membuat Moon mengulum senyum karena Jessica tak lagi sedih seperti tadi dan sikapnya sudah kembali ke setelan awal. "Iya, tunggulah di luar kalau Jessica tidak percaya." Jessica mengangguk cepat lalu berlari kecil, keluar dari kamar. Selepas kepergian Jessica, Moon dan Michael serempak berdiri. "Aku harap perkataanmu dapat dipercaya, tapi aku mohon setelah ingatanmu pulih, pergilah dari sini," kata Moon, membuka pembicaraan. Michael membuang napas pelan sejenak. "Iya, kau tenang saja, aku akan langsung pergi jika aku ingatanku sudah kembali." Moon enggan menanggapi, justru melenggoskan muka dan melangkah cepat menuju pintu kamar. "Aku akan pergi berkerja bersama anak-anakku, jika ada orang yang datang, jangan dibukakan pintu, tetap saja di dalam," kata Moon tanpa menatap ke sang lawan bicara. "Dan jangan hancurkan rumahku." Sesampainya di daun pintu, Moon membalikkan badan dan menoleh ke arah Michael. Michael mengangguk lalu pelan-pelan menjatuhkan diri di tepi kasur. "Ma, Jessica hari ini nggak ikut Mama ya, Jessica mau di rumah temanin Papa." Jessica tiba-tiba berdiri di samping Moon. Moon tersentak. Selama ini jika dia berkerja. Dia pasti membawa si kembar ke tempat kerja dan bila kegiatannya di kedai ramai, pada sore hari Moon akan mengajak Jessica dan Jason pulang ke rumah lalu dia kembali lagi berkerja. Mendengar putrinya tidak mau ikut. Tentu saja Moon tidak tenang, apa lagi meninggalkan Jessica bersama pria tak di kenalnya di rumah. "Tapi Jessica, Mama—" "Ish, pokoknya Jessica mau di sini sama Papa!" Jessica mencebikkan bibir sejenak kemudian dengan cepat menghampiri Michael. Michael tanpa sadar mengulum senyum melihat Jessica mulai naik ke atas ranjang sekarang. Dari kejauhan, Moon menarik napas panjang sejenak, tengah berusaha mencari cara agar Jessica mau ikut. "Mama tenang saja, aku akan memantau pria ini, jika dia macam-macam aku akan menelepon Mama nanti. Sekarang, mama pergi saja berkerja nanti Mama dimarahi bos Mama,"kata Jason seketika, masuk ke kamar bak seorang malaikat yang tengah berusaha membantu Moon. Moon mengulum senyum, putranya ini memang dapat diandalkan. "Baiklah, baik-baik di rumah ya, ambillah ponsel Mama, jika terjadi sesuatu telepon saja ke nomor kedai," kata Moon sambil mengeluarkan ponsel usang miliknya dari saku sweater. Jason mengangguk pelan dan mengambil ponsel dari tangan Moon. Setelah pamit undur diri, Moon pun keluar dari rumah. Namun, baru saja menapakkan kakinya di luar. Moon terperanjat kala seseorang mendorong tubuhnya tiba-tiba, hingga tangan dan kaki Moon mulai mengeluarkan darah sekarang. "Argh!" pekik Moon, menahan perih. "Dasar wanita jalang! Masih punya muka kau hah?!" teriak sosok itu menggelegar.Moon meringis sejenak lalu mendongakkan kepalanya dengan cepat. Melihat Erna berdiri di hadapannya sambil berkacak pinggang sekarang. Muka wanita bertubuh gemuk itu terlihat merah padam. Moon mengerutkan dahi sedikit, tampak keheranan karena Erna datang dalam keadaan marah besar sekarang. Entah apa penyebab wanita itu meradang. "Apa maksud Madam?" Secara perlahan Moon bangkit berdiri sambil menahan perih karena kulitnya tergores oleh batu-batu kecil yang tergeletak di pekarangan rumahnya barusan. Erna mendengus kasar. Pupil matanya pun semakin melebar. "Kau masih bertanya?! Gara-gara anakmu itu tadi lemonku tidak laku terjual, aku yakin sekali kau memberi perintah pada anak-anakmu untuk melempar sesuatu ke daganganku dan membuat daganganku jadi bau!" murka Erna hingga para tetangga yang kebetulan lewat di depan rumah, mulai penasaran, alhasil mereka pun menyambangi rumah Moon dengan cepat. Sesampainya di pekarangan, mereka tampak berbisik-bisik satu sama lain sambil menata
"Cukup! Aku bukan wanita jalang, Madam!" seru Moon, kini napasnya terdengar memburu sebab sikap Erna sungguh keterlaluan. "Atas dasar apa Madam mengatai aku jalang?" sambung Moon kembali. Mengabaikan rasa sakit yang menjalar pada kaki dan tangannya sekarang. Moon begitu heran, apa alasan Erna membencinya hingga selama bertahun-tahun wanita tersebut selalu membuat ulah dengannya. Padahal selama ini Moon tidak pernah membuat masalah dengan Erna. "Kenyataannya kau memang wanita jalang! Semua orang tahu kau wanita jalang! Lihatlah pria di sampingmu itu, dia pasti salah satu pria yang sudah mencicipi tubuh kurusmu itu!" Erna melirik ke arah Michael sekilas sambil melototkan mata. Mendengar omelan Erna, Michael hanya diam saja. Meskipun begitu, dalam ketenangannya membuat Erna sedikit terganggu. Karena pandangan Michael tertuju pada wanita bertubuh gemuk tersebut sejak tadi. Sorot mata Michael tampak datar. Namun, terasa sangat tajam di penglihatan Erna."Aha aku baru saja ingat pria in
"Michael, jangan macam-macam kau!" Sekali lagi Moon berteriak. Bagaimana tidak, Michael membaringkannya di ranjang sambil menoleh ke bagian dadanya sekilas sekarang. Tak hanya itu, pria tersebut melempar senyum penuh arti, yang membuat bagi siapa pun yang melihat akan salah paham. Sebuah senyuman yang tak bisa dijabarkan Moon sama sekali saat ini. Michael tak menjawab, malah memajukan wajahnya ke wajah Moon. Moon makin panik, jantungnya berdetak sangat kencang tatkala hembusan napas Michael mengenai wajah tirusnya sekarang. Tangan kurusnya lantas bergetar pelan tengah berusaha mendorong dada Michael. "Kau m—au apa?" tanya Moon gugup, buru-buru menutup mata kemudian dengan cepat menggerakkan kepalanya ke samping. Moon dilanda panik dan ketakutan. Siapa pria ini? Datang ke dalam kehidupannya bak malaikat dan iblis secara bersamaan.Tak dapat dipungkiri, pria dewasa di atasnya sekarang, memiliki pesona yang tak bisa diabaikan. Wajah tampan Michael sangat berkharisma dan menawan. T
Mata Jason tampak berkaca-kaca. Air mata pun perlahan mulai mengalir dari pelupuknya seketika. Dorongan tersebut membuat kedua kaki mungilnya tergores dan mengeluarkan darah sedikit. Tidak hanya itu, pipinya pun terlihat merah akibat tamparan sosok tersebut. Secepat kilat Jason menegadahkan kepala, melihat seseorang yang dicari ternyata berada di luar, Rita, sang pemilik kedai. "Madam Rita, apa salahku?" tanya Jason, suaranya terdengar bergetar. Luka di kakinya terasa amat perih hingga membuat air mata mengalir dengan sangat deras sekarang. Meskipun, mempunyai sikap yang terlihat kuat di luar, Jason tak dapat menahan rasa sakit yang menjalar kedua kakinya sekarang. Terlebih, dia baru pertama kali mendapat perlakukan kasar dari Rita. Selama ini, Jason hanya dapat melihat dari kejauhan perlakuan Rita terhadap mamanya. Rita kerap kali membentak Moon, termasuk karyawan lainnya. Bukan hanya itu, wanita berambut panjang ikal itu suka sekali berbuat sesuka hatinya. Jika ditanya apa kesa
Jason dilanda ketakutan tanpa sadar menutup matanya. Namun, keningnya berkerut kuat sekarang kala malah mendengar teriakan Rita. "Argh!" Mata Rita melebar sempurna, dari samping seorang pria melayangkan pukulan ke wajahnya seketika. Rita pun terhuyung-huyung ke belakang. Secepat kilat dia menoleh ke arah si pelaku sambil memegang pipinya yang terasa amat sakit sekarang hingga darah pun mulai mengalir dari sudut bibirnya. Rita menyipitkan matanya sejenak, melihat sosok asing yang tak pernah dia lihat sebelumnya di Juana Diaz, yang ternyata Michael. Michael berdiri dengan rahangnya mengetat kuat dan tangan terkepal erat. Para pengunjung kedai yang melihat kejadian tersebut tampak terkesiap. "Siapa kau!?" tanya Rita, matanya kontan melotot tajam. Michael enggan menyahut, melirik Jason yang saat ini mulai membuka mata. Kobaran di matanya mendadak redup. Melihat Michael ada di hadapannya, Jason langsung tersenyum sumringah. "Paman!" "Kau tidak apa-apa?" tanya Michael lalu menga
Mendengar permintaan tersebut, tubuh lelaki berambut blonde mulai bergetar."Tu—an ...." Sebelah alis mata pria bermata hijau itu lantas terangkat sedikit. "Kenapa? Bukannya katamu dia sudah mati jadi ya tinggal kau penggal saja kepalanya, gampang, 'kan?" Pria itu tak menyahut, malah menundukkan kepala. Saat ini, matanya bergerak ke sana kemari dan keringat dingin pun mulai mengalir dari keningnya. "Kenapa kau diam? Kau tidak berbohong denganku kan kalau adikku sudah mati," imbuh pria bermata hijau itu kembali, seringai tajam terukir pelan di bibir tipisnya sekarang. Setelah berkata demikian, suasana di ruangan mendadak mencekam. Secepat kilat pria berambut blonde itu mengangkat dagu lalu menggelengkan kepalanya cepat-cepat."Tentu saja tidak, Tuan. Aku tidak mungkin membohongi Anda. Tuan Michael benar-benar sudah mati. Aku bisa saja menyanggupi permintaan Tuan tapi perjalanan ke sana menempuh waktu lumayan lama, aku yakin sekali tubuh Tuan Michael sudah membusuk sekarang," balasn
Begitu mendengar teriakan. Michael spontan menjatuhkan barang belanjaan dan berlari kencang menuju kamar Moon. Sesampainya di ambang pintu kamar, Michael mengerutkan dahi. Melihat Moon masih terpejam sambil meminta tolong berulang kali. Sepertinya wanita tersebut tengah mengigau. "Akhirnya Papa dan Abang datang!" Jessica yang berdiri di dekat ranjang sejak tadi. Senyumnya langsung mengembang saat melihat kedatangan Michael dan Jason."Apa yang terjadi?" Michael perlahan menurunkan Jason kemudian melangkah cepat menuju ranjang. Jason pun mengikuti pergerakkan Michael dari belakang. "Mama mimpi buruk lagi Pa," kata Jessica, senyuman gadis kecil itu segera menghilang berganti dengan raut wajah sedih.Jessica sesekali melirik Moon, yang saat ini tak berkicau-kicau lagi seperti tadi. Wanita berambut panjang itu sudah sedikit tenang. "Lagi?" Kerutan di kening Michael bertambah dua kali lipat.Jessica mengangguk lemah. "Iya, benar Paman. Jika sedang sakit Mama pasti akan mengigau dan m
Tak ada sahutan, lelaki berperawakan tinggi itu malah tersenyum jahil. Saat ini, Michael berdiri di dekat ranjang tanpa menggunakan baju dan hanya memakai celana jeans saja. Keringat yang mengalir di otot-otot perutnya membuat Moon semakin ketar-ketir sekarang."Cepat jawab! Apa yang kau lakukan padaku?!" teriak Moon kembali dengan napas memburu dan mata melotot keluar, sehingga Jessica dan Jason yang sedang makan di dapur berlari cepat menuju kamar.Sesampainya di kamar, Jessica dan Jason mengerutkan dahi lalu melirik Michael dan Moon secara bergantian. Mereka menerka-nerka apa yang terjadi di antara kedua orang dewasa tersebut. Michael menyeringai. "Menurutmu apa yang aku lakukan?" Membuat mata Moon semakin melebar. Wajah wanita bertubuh kurus itu berubah pias. Dia mengira lelaki asing ini telah menyetubuhinya. Padahal tidak sama sekali. Semalam, Michael memang sempat ingin menggauli Moon. Namun, baru saja selesai membuka seluruh pakaian Moon. Tiba-tiba seorang wanita muncul di b
"Tidak mungkin ...." Mata Clara langsung terbelalak, dadanya terasa diremas oleh benda tak kasat mata sekarang. Dengan mata mulai berkaca-kaca Clara lantas bangkit berdiri. "Kau berbohong kan?!' teriak Clara. Pria yang sangat dia cintai tidak mungkin pergi begitu cepat. Clara tak mau hal itu sampai terjadi dan berharap apa yang dikatakan Maximus barusan hanyalah lelucon belaka. Maximus menggeleng cepat. Sorot matanya tampak sangat sendu, seolah-olah menangisi kepergian Michael. Namun, di dalam hatinya lelaki itu merasa senang atas kematian Michael. "Tidak Clara, untuk apa aku berbohong, kau tahu sendiri aku tidak suka bercanda." "Tidak mungkin! Michael!" Detik itu pula Clara seketika ambruk di tempat. "Clara!" Emi yang baru saja tiba di ruangan, langsung menjerit histeris saat melihat menantunya jatuh pingsan. Secepat kilat Emi menghampiri Clara seraya melirik Maximus. "Apa yang kau lakukan pada Clara?!" tanya Emi setengah berteriak. Sorot matanya memancarkan kemarahan.
Dalam hitungan detik, Maximus tiba-tiba melesatkan timah panas ke arah Julian. Namun, beruntung sekali Julian berhasil menghindar dan hanya mengenai kakinya saja.Julian menahan perih, kemudian dengan cepat melirik Maximus. Rahangnya masih mengetat, menahan amarah kala Maximus tidak menepati janjinya dan telah membunuh Sienna. "Cih, jangan salahkan aku, adik dan keponakanmu meninggal semua itu karena kau sendiri yang telah lalai menjalankan tugas!" Di ujung sana, Maximus menyeringai tajam sambil memasukkan kembali senjata pendek ke saku celana. Julian mendengus kesal hendak melayangkan pukulan di wajah Maximus sekarang juga, tapi kakinya terasa amat sakit. Julian tak mampu berdiri. Darah pun mulai mengalir dari kulit Julian dan membuat lantai marmer putih tersebut berwarna merah. Julian hanya bisa merintih kesakitan dengan posisi badan memangku Sienna. "Seharusnya kau berterima kasih padaku karena aku tidak membunuhmu," kata Maximus kembali. Nada suaranya terdengar sangat angkuh.
Maximus tak menjawab atau pun menatap Julian, melainkan beranjak dari kursi tanpa mengalihkan pandangan dari kantong yang diyakini berisi kepala Michael. Sangat cepat langkah kakinya hingga Julian dapat mendengar bunyi sepatu menggema di ruangan besar tersebut. "Tuan, sudah berjanji untuk melepaskan adikku kan, jika aku sudah berhasil membawa kepala Tuan Michael? Di mana mereka sekarang? Aku ingin bertemu dengan mereka," kata Julian lagi, sangat tak sabaran. Sebab sedari malam, perasaan tak nyaman menghantuinya. Bagaimana tidak, beberapa hari yang lalu, dia bermimpi bertemu dengan Sienna dan Ciara. Dalam mimpinya, adik dan keponakannya menangis tersedu sedan dengan pakaian bersimbah darah. Mereka tak mengajaknya berbicara, atau pun menatapnya, tertunduk dalam sambil mengeluarkan tangisan. Hal itu tentu saja menganggu pikiran Julian. Maximus tak kunjung juga bersuara. Lelaki bermata hijau itu justru berjongkok di depan kantong kemudian membuka cepat kantong tersebut. Begitu benda te
Moon tak segera menjawab, bibirnya terkatup rapat dengan kening berkerut samar. Michael ingin mengajaknya ke suatu tempat, sangat amat jauh dan tak terpikirkan Moon sebelumnya. Apakah Michael berasal dari Rusia? Pikir Moon sesaat. "Moon, kau dengar aku, 'kan?" tanya Michael kembali, tatkala Moon tak bersuara sedari tadi. "Untuk apa kau membawaku ke sana? Apa ingatanmu sudah pulih?" Tentu saja Moon akan bertanya, apa alasan Michael membawanya, terlebih pagi-pagi sekali pria bermata hijau sudah menemuinya. Tarikan napas berat, lantas keluar dari indera penciuman Michael. "Ikut saja Moon, di sini kalian tidak aman. Ingatanku belum pulih sepenuhnya, tapi aku sudah mulai mengingat meski samar-samar, ternyata benar aku mempunyai istri dan seorang anak."Begitu mendengar jawaban Michael, dada Moon bak ditikam sebilah pedang. Moon sudah tahu bila lelaki di hadapannya ini sudah memberitahuinya jika sudah berkeluarga. Namun, jauh di lubuk hatinya Michael belum menikah dan hanya menebak-neba
Mendengar hal itu, Michael mematung di tempat dengan pupil mata melebar. Bayangan dia dibunuh Julian dalam perjalanan bisnis langsung berputar-putar di benaknya seketika. Kendati demikian, memori-memorinya bersama Clara dan Kenny belum sepenuhnya kembali, hanya sepenggal saja. Michael belum bisa mengingat semua anggota keluarganya. Selain Julian, Clara dan Kenny. Hening menerpa, kesunyian malam membuat Michael dan Julian berdiri berhadapan dengan ekspresi yang berbeda. Julian tampak ketakutan dan sedari tadi meneguk ludahnya berkali-kali. Sementara Michael tampak syok. "Lalu kenapa kau ke sini?!" Wajah Michael mendadak merah padam. Dia dekati Julian dengan cepat sambil melototkan mata, menahan amarah karena Julian menembaknya tiba-tiba pada malam kejadian. Julian langsung membeku. Lidahnya mendadak kelu. Dia sulit berkata-kata lagi sekarang, aura Michael kini telah kembali. Aura mematikan yang dimiliki Michael selama ini. "Cepat jawab?!" Michael telah habis kesabaran. Dia ta
Julian tak kunjung menggerakkan pisau. Dia baru saja berhalusinasi membunuh Michael. Saat ini, tangan Julian menggantung di udara. Dia tilik seksama wajah Michael yang tengah tertidur pulas. Julian nampak sangat bimbang. Kemarin, ada kesenangan yang tertanam di dadanya kala mengetahui Michael belum meninggal. Selama ini Michael adalah orang yang paling berjasa di hidupnya. Saat menuruti permintaan Maximus, Julian merasa sangat bersalah. "Maafkan aku Tuan," gumam Julian pelan. Julian tak sanggup membunuh Michael. Detik itu pula cairan bening membasahi pipinya hingga air matanya mengenai pipi Michael. Julian memandangi Michael, yang saat ini tengah mengerutkan dahi kala merasa ada air yang menetes di pipinya. Michael melengguh sejenak lalu perlahan-lahan membuka mata. Matanya langsung melebar saat melihat Julian memegang pisau saat ini. "Lian!" Michael spontan duduk sambil menyambar pisau dari tangan Julian lalu melempar benda tajam tersebut ke sudut ruangan. "Apa yang kau lak
Mendengar hal itu pupil mata Lionel semakin melebar. "Apa kau sudah gila?! Membalas pesan atau mengangkat panggilan kita saja dia tidak mau! Apa lagi kalau kita pergi ke sana, mungkin saja kita akan di usirnya!" bentak Lionel seketika. Sudah berbulan-bulan pria yang membeli Moon sulit sekali untuk dihubungi. Bahkan nomor yang dituju tidak aktif dan pesannya pun tidak terkirim. Lionel makin frustrasi sebab para rentenir dan pegawai bank acap kali datang ke rumahnya akhir-akhir ini. "Lalu bagaimana kau membayar hutang-hutang kau itu hah?!" teriak Liana dengan mata melotot keluar. Dia tak terima dibentak suaminya barusan. "Hutang-hutangku katamu?! Hei, apa kau amnesia hutang itu berasal dari kau yang boros! Kau suka membeli tas-tas dan pakaian-pakaian aneh! Jangan hanya salahkan aku saja! Semua itu hutang kita! Seharusnya kau bisa lebih berhemat sekarang!" balas Lionel, napasnya terdengar mulai memburu. Menahan amarah yang sudah sampai ke ubun-ubun sekarang. Lelaki itu tak terima den
Julian spontan membuka mata tatkala mendengar Michael memanggil namanya tiba-tiba. Namun, baru saja membuka mata sebuah pukulan mendarat di mukanya. Mata Julian langsung melebar, melihat ada seorang pria memakai topeng dan setelan jas berwarna hitam, di hadapannya sekarang. Sementara pria lainnya tengah mencekik Michael dan Michael melawan balik. Julian tak diam, ikut menyerang pria yang wajahnya tak terlihat itu. Suara pukulan terdengar di ruangan tersebut. Keempat pria dewasa itu saling menyerang satu sama lain. Perkelahian nampak seimbang. Kedua pra yang memakai topeng tenaganya sama kuat dengan Michael dan Julian.Julian mulai bertanya-tanya, siapa kedua pria ini? Apakah suruhan Maximus? Bagaimana Maximus bisa tahu keberadaan Michael. Sementara dia tidak memberitahu Maximus. Entahlah, rasanya aneh bila suruhan Maximus? Tapi, mengingat ada Nathan kemarin di Juana Diaz. Julian tampak panik. Dia menebak bila Maximus kesabarannya sudah habis lalu menyuruh orang membunuh Michael dan
Moon terperangah ketika baru saja disiram air comberan oleh seseorang. Perlahan, aroma tak sedap menjalar di seluruh tubuh Moon.Dengan cepat Moon mengangkat kepala. Melihat para tetangga berkumpul di pekarangan rumahnya sambil melayangkan tatapan penuh hina padanya sekarang. Entah siapa yang menyiramnya barusan, tapi dapat dipastikan sang pelaku berada di barisan paling depan. "Apa kalian sudah gila? Apa yang kalian lakukan?!" tanya Moon dengan napas mulai memburu. Sebab para tetangga mulai membuat masalah lagi dengannya. Padahal akhir-akhir ini mereka tak pernah membulinya dan anak-anaknya. Moon menebak, semua itu berkat Michael. Namun, mengapa hari ini para tetangganya mulai berani dan menunjukkan taringnya kembali. "Kau masih bertanya?! Tentu saja kami membuat jejak di tubuhmu kalau kau itu perempuan kotor! Dan memang pantas disiram dengan air comberan itu!" Di antara kumpulan para tetangga, Erna tiba-tiba melangkah maju sambil mengangkat dagu dengan sangat angkuh. Secepat kil