"Kedatanganku ke mari adalah untuk menjemputmu pergi ke West Country.”
Laura terdiam mendengar ucapan David–pria keturunan West Country yang mengaku sebagai adik angkat almarhum ayahnya.Gadis 21 tahun itu mencoba memproses semua informasi yang sedang terjadi.Baru saja, desanya terkena gempa dan tsunami yang menewaskan hampir seluruh warga, termasuk orang tuanya.Laura termasuk beruntung bisa selamat dari bencana itu karena sedang menempuh semester satu di perguruan tinggi di Sun City–setelah dua tahun mengumpulkan uang sebagai pegawai minimarket.Bila harus pergi kala tanah kuburan mereka masih basah, rasanya sungguh sulit meskipun sebenarnya Laura sudah tidak punya apa-apa lagi di sini.“Laura….” Seolah mengetahui kegelisahannya, seorang pria paruh baya yang merupakan sahabat baik ayahnya tiba-tiba berbicara, "Ikutlah dengan Mas Bule. Bapak yakin Ayahmu pasti bahagia bila kau bertemu dengan adik angkat yang selama ini dia rindukan. Takdir telah membawanya kembali di saat yang tepat.""Tapi, Pak—"Kini sang istri mendekati Laura, lalu memeluk gadis cantik itu dengan penuh kasih sayang. "Kami mengenal baik Nak David. Hubungannya dengan Ayahmu seperti saudara kandung. Jadi, kami sangat yakin, Ayah dan Ibumu pasti bahagia melihatmu menerima tawaran nak David. Raihlah cita-citamu nak. Kau gadis yang pintar dan baik, kembalilah lagi ke desa ini bila kau telah berhasil mewujudkan impianmu, buat Ayah dan Ibumu bangga nak," ucapnya.Mendengar kalimat tulus itu, Laura sontak menangis."Ya. Izinkan aku membalas budi baik Ayahmu yang dulu sudah merawatku dengan baik," ucap David kembali.Meski pria berumur 40 tahun itu sudah menjadi CEO di perusahaan nomor satu di New Capitol, tetapi ia masih ingat jasa sang kakak angkat.Setelah perceraian orang tuanya, David tinggal di desa itu. Sayangnya, sang ayah menyusul tak lama kemudian.Untung saja, kakek Laura dan ayahnya merawat David sampai ia dijemput sang ibu ketika berumur 13 tahun.Namun, David sulit menghubungi kakaknya karena komunikasinya dibatasi sang Ibu. Ia baru bisa mengambil cuti 4 hari yang lalu. Namun terlambat, bencana itu sudah merenggut nyawa kakak angkatnya.Cukup lama mereka hening menanti jawaban Laura, hingga akhirnya helaan napas gadis itu meraih atensi mereka kembali. “Baik, Om. Jika demikian, mohon bantuannya.”Setelah itu, butuh waktu sepuluh hari saja mengurus semua administrasi, hingga Laura kini menginjakkan kaki di kota New Capitol bersama David.Gadis cantik itu masih tak menyangka adik angkat ayahnya ini begitu baik.Tidak hanya “merawatnya”, David memberikan sumbangan fantastis untuk desanya. Dia bahkan mempekerjakan satu orang untuk merawat makam kakak angkatnya beserta sang istri.Tak lama, Mobil MPM berwarna putih keluaran terbaru tiba dan membawa keduanya menuju rumah mewah milik David."Ayo turun," ajak pria itu setelah tiba."Baik Om."Laura pun turun dan berjalan di belakang David.Tak banyak barang yang dibawanya karena omnya itu telah menyiapkan semua kebutuhan Laura.Hanya saja, gadis itu tak mampu menyembunyikan keterkejutan kala matanya menyapu setiap sudut di rumah mewah mewah itu."Ini rumah apa istana? Atau jangan-jangan Om David keturunan Raja?" Laura membatin."David!"Seorang wanita paruh baya yang berpenampilan glamor tiba-tiba datang dan menyapa pria tersebut. Ia tersenyum begitu lebar menyambut putranya.Hanya saja, ekspresinya berubah kala melihat Laura.“Ini…?” tanyanya gantung."Ma, ini Laura yang David ceritakan tempo hari.""Hmmmmm," balasnya dengan gumaman.Meski merasakan wanita itu begitu sinis padanya, tetapi Laura tetap mencoba menyalam ibu dari om angkatnya itu.Sayangnya, ia melalui Laura dan justru menatap David lama. "Sampai kapan dia di sini?"Wanita itu memang tidak menyukai rencana David membawa Laura ke West Country.Tapi, David tidak peduli dan tetap membawa anak dari kakak angkatnya tersebut."Bik," panggil David."Iya Tuan, ada yang bisa Bibik bantu?" tanya sang kepala pelayan dalam bahasa Indonesia.Di rumah mewah itu, memang ada tiga pelayan yang berasal dari Indonesia. Selebihnya, pelayan di rumah itu berasal dari New Capitol."Tolong antarkan Laura ke dalam kamarnya ya, Bik," ucapnya memberi perintah, “biarkan dia beristirahat dulu.”"Baik Tuan," jawab sang pelayan."Mari Nona, ikut Bibi," imbuhnya lagi.Laura pun dibawa masuk ke sebuah kamar mewah yang berada persis di sebelah tangga di lantai satu.Kebetulan, kamar itu biasanya digunakan tamu bila sang Mama ataupun David membawa teman untuk menginap di rumah mereka.Tadinya, David ingin mengajak Laura tidur di kamar yang ada di lantai dua. Hanya saja, demi menghindari keributan dengan sang mama, David pun mengalah.Drrt!Ponsel David berbunyi.Pria itu berbicara dengan wajah serius, sebelum berkata pada sang ibu. "Ma, David mau siap-siap ke kantor dulu ya.""Iya sayang," jawab sang mama.Hanya saja, seringai licik terbit di wajah wanita tua itu sambil menatap punggung sang anak yang semakin menjauh.*******"Bagun, gadis bodoooooooooh!"Laura yang baru saja terlelap akibat jet lag–tiba-tiba terbangun.Dia kaget melihat Mama dari David tampak murka."A–ada apa Tante?" tanya Laura berusaha tenang."Tante, katamu? Panggil aku Nyonya!" bentaknya.Wanita itu mendekati ranjang Laura, hingga ia refleks menghindar.Sayangnya, telapak tangan wanita itu lebih cepat menjepit rahang mungil Laura."Kau hanya akan diperlakukan baik bila ada David di rumah, tapi selebihnya kau hanya sampah! Dasar wanita kampung dan miskin! Berani sekali memperalat anakku!" teriaknya."Sekarang lakukan pekerjaan layaknya pelayan di rumah ini!" perintahnya lagi.Setelahnya, ia menghempaskan tubuh Laura sampai terjatuh di lantai."Ingat ya, jangan pernah mengatakan apapun pada David! Bila tidak, aku pastikan hidupmu seperti di neraka!" ancamnya lalu pergi meninggalkan Laura yang menahan tangis."Di mana anak miskin itu?" tanya Monica pada sang kepala pelayan.Semenjak David dinas ke luar kota, wanita itu benar-benar memperlakukan Laura sewenang-wenang.Bahkan, beberapa pelayan menaruh simpati pada gadis muda tersebut."Baru saja saya suruh istirahat Nyonya, sepertinya Nona Laura sedang tak enak badan. Biarlah saya yang melanjutkan tugas ini Nyonya," jawab bawahannya itu."Jangan panggil dia dengan sebutan Nona! Panggil namanya saja, dia tak pantas diperlakukan baik di rumah ini! Panggil dia sekarang, dan suruh bersihkan guciku!" perintahnya lagi."Baik Nyonya."Sang kepala pelayan pun langsung ke kamar yang ditempati oleh Laura. Dia mengetuk pintu sebanyak tiga kali, tapi tak ada jawaban dari Laura.Wanita paruh baya itu pun akhirnya membuka pintu kamar Laura dan mendapati gadis malang itu sedang terlelap. Hatinya sangat terenyuh kala melihat Laura yang masih menyesuaikan diri di West Country–harus dipaksa untuk langsung melakukan pekerjaan pelayan.Andai saja Tuan David me
"Wah, pacar baru nih!" goda seorang pria yang kini menahan pintu mobil David agar sang pemilik tidak menutupnya."Minggir, Joe!" usir David kesal dengan bahasa Inggris. Ia tahu benar kalau sahabatnya itu juga datang ke kampus karena mengantar kekasihnya juga yang kuliah di sana. Hanya saja, David tak yakin sahabatnya yang playboy itu bisa setia pada satu wanita.Alih-alih, menuruti ucapan David. Joe justru menatap ke arah Laura yang saat ini sedang tersenyum ramah menyapanya–mengira pria itu adalah teman David.Bukankah sesama teman terkadang suka menjahili satu sama lain?"Siapa namamu, Nona manis?" tanya Joe sembari mengulurkan tangan pada Laura."Laura," jawabnya sambil membalas uluran tangan pria itu.David langsung menghentikan jabatan tangan keduanya. “Enyahlah!”"Apaan sih? Belum juga kenalan," jawab Joe kesal, "Oh, iya. Namaku Joe, sahabat baik calon suamimu ini." Mendengar Joe mengiranya sebagai calon istri David, mata Laura seketika membulat penuh. “Hah?” ucapnya tanpa sad
Setelah menempuh perjalanan selama kurang lebih 9 jam, kini Laura dan David sudah tiba di Bandara Internasional yang ada di Victoire.Keduanya hanya membawa dua koper berukuran kecil–sesuai dengan perintah David.Dalam diam, Laura sedang mengucap syukur. Mengunjungi kota ini adalah impian terbesar Laura sejak dulu. Dia ingin sekali mengunjungi Victoire. Dulu, ketika dia masih berada di kampung, impian ini seakan tidak akan pernah terwujud."Kita langsung ke hotel dulu, ya. Sebaiknya, istirahat dulu sekarang. Jalan-jalannya, nanti saja," ajak David–menyadarkan Laura dari lamunannya.Gadis itu pun mengangguk.Tak lama, keduanya tiba di hotel. David segera melakukan check in–lalu menuju ke dalam kamar.Klik!Pintu kamar presidential suite terpampang jelas di hadapan Laura.Gadis itu seketika membeku ketika tersadar sesuatu."Ayo masuk, kenapa kamu diam di depan pintu?" tanya David."Apa kita akan tidur satu kamar Om?" tanya Laura menatap curiga. Biar bagaimanapun, dirinya sudah masuk
Hari berganti minggu.Minggu berganti bulan. Hubungan Laura dan David semakin baik. Pria itu memperlakukan Laura bak permaisurinya.Segala hal tentang Laura adalah prioritasnya. Laura pun sudah mengubah panggilannya menjadi sayang–bila mereka hanya berdua saja.Bahkan, mereka punya cincin yang sama yang sengaja ditaruh di dalam dompet masing-masing. David juga membeli kalung emas putih yang liontin itu bila disatukan akan membentuk tanda jantung dan di dalamnya terukir nama mereka berdua. Liontin itu pasangannya dan tidak bisa dipasangkan dengan liontin lain yang sejenis. Tepat pukul 22.00 waktu New Capitol, David tiba di kediamannya. Ia langsung mencari Laura. Pucuk dicinta ulam pun tiba. Laura ada di dapur sedang mengambil air minum."Sayaaaaaang," panggil David pelan sambil memeluk Laura dari belakang. Sontak Laura kaget dan menjauhkan tubuhnya dari David."Kalau ada yang lihat bagaimana?" tanya Laura berbisik."Mama pasti sudah di dalam kamar sayang, pelayan juga sudah isti
"Mama juga akan segera mengurus pernikahan kalian. Linda sudah terlalu lama menunggu untuk kamu nikahi David. Kalau bukan Linda yang menjadi kekasihmu, mungkin kamu sudah ditinggal pergi. Tapi, lihatlah dia masih setia."Lagi, kalimat itu terdengar. Kehamilan membuat Laura semakin sensitif. Hatinya begitu sakit seperti ada tangan tak kasat mata yang meremasnya dengan kencang saat mendengar kenyataan pahit bahwa David sudah memiliki kekasih. Tanpa bisa dicegah, air mata gadis itu luruh. Disandarkan tubuhnya di dinding agar kakinya tetap berpijak. "Tega sekali dia membodohiku begini," lirihnya pedih.Berusaha kuat, Laura berjalan menuju keluar rumah. "Nona, Anda kenapa menangis?" tanya pengawal David yang melihat Laura hendak keluar rumah.Laura menghapus jejak air mata yang membasahi wajahnya. "Tidak apa Pak, saya lupa mau mengerjakan tugas kelompok. Saya pergi dulu," pamitnya. Ia berjalan sambil meratapi nasibnya, sampai akhirnya dia melihat ada taman di seberang jalan, dan Laura
"Di mana Laura?" tanya David pada sang kepala pelayan, saat baru menginjakan kaki di rumahnya."Apa-apaan sih kamu, Sayang? Masih ada aku, kamu sudah menanyakan wanita lain," sungut Linda kesal. Mendengar perdebatan keduanya, Monica mendekati anak dan calon menantu pilihannya. "Jangan khawatir, Linda. Laura itu cuma anak dari kakak angkatnya David dulu. Mana mungkin dia menyukai wanita lain. Percaya deh sama tante, David hanya mencintaimu sayang," ucap Monica. Linda hanya mengangguk. Sebenarnya, ia berpura-pura tidak mengetahui soal Laura. Padahal, ide pertunangan dadakan ini terjadi karena Monica sudah menceritakan pada Linda kalau David ada hubungan dengan anak ingusan itu.Ck! Membayangkannya saja, ia sudah kesal.Hanya saja, David terus berlalu--meninggalkan Linda."David! Mau kemana kamu, Nak?" teriak Monica seketika."Mandi," jawabnya ketus.Melihat itu, Monica menghela napas panjang."David jadi dingin banget, Tante," adu Linda tiba-tiba begitu mereka duduk di ruang keluarga.
"Jangan bercanda Laura, itu tidak akan pernah terjadi!" ucap David menahan emosi."Om, kita hanya pantas sebagai kerabat bukan pasangan. Laura mohon mengertilah, Om," pinta Laura."Mengerti katamu? Apa Kamu lupa malam panas yang selalu kita lewati bersama huh?" tanya David.Pria itu mendekati Laura lalu mencengkram keras kedu bahu Laura. "Apa kamu menganggap kebersamaan kita hanyalah angin lalu, huh?" Laura hanya menunduk. Ia begitu sakit hati dengan apa yang terjadi saat ini dalam hidupnya. Kenapa Tuhan harus mempertemukannya dengan David kalau akhirnya akan seperti ini?Bahkan sekarang, sudah ada dua benih di dalam rahimnya. Tapi, benih ini tidak akan pernah terlahir ke dunia apabila Laura mengatakan mengenai kehamilannya pada David.Laura tak ingin menambah dosanya lebih dalam lagi. Lebih baik kehilangan David daripada kehilangan anak tak berdosa ini karena dia Monica tidak main-main. Terlebih, wanita itu sejak awal sudah membencinya. Mungkin, mereka tak bisa bersama meski saling
"Saya tidak akan pernah menggugurkan anak ini, Tuan. Kalau kalian terus nekat mengancam saya, maka saya pun terpaksa memberi tahu Om David tentang semua ini." Laura akhirnya mengancam balik. Sebenarnya, dia lelah hidup dalam tekanan seperti ini. Jujur, Laura ingin pergi dengan calon anak-anaknya. Tapi, ke mana? Dia tak punya uang dan tak tahu siapa-siapa di negeri orang."Lancang kamu ya mau mengancam kami?" bentak Edward tiba-tiba. "Satu setengah miliar itu bukan jumlah yang sedikit! Kamu bisa pulang dan membangun duniamu di negara asalmu. Kamu bisa hidup mewah asal menggugurkan bayi itu!" ucapnya sekali lagi.Laura menatap tajam Edward. "Anda benar. Tapi, bayi dalam kandungan saya lebih berharga dari itu semua." "Brengsek!" maki Edward dengan rasa kesal. Tahu bahwa ia tak bisa menekan Laura, kekasih Monica itu lantas bergegas pergi dari sana. Diam-diam, Laura bernapas lega. "Tenang saja, Nak. Meski tak ada yang mengiginkanmu, tapi Mama akan mempertahankanmu, Sayang," janji ga