Sara tidak punya keberanian untuk mengangkat kepalanya sebelum Jefri masuk. Tidak ada yang lebih memalukan daripada mantan pacarnya yang duduk di hadapannya dan pacarnya saat ini duduk di sebelahnya.Dia awalnya ingin fokus makan saja, lalu pergi, tetapi tidak disangka Sandy akan mengungkit masalah bertemu dengan orang tuanya di saat seperti ini. Sara merasa makin malu.Dia menatap makanan di atas piringnya selama beberapa detik, lalu menengadah menatap Sandy dan balik bertanya dengan tenang,"Keluargamu sudah tahu secepat ini?""Yah, kupikir sudah waktunya mereka bertemu denganmu, jadi aku memberi tahu mereka."Setelah Sandy selesai berbicara, dia melirik Sara dan melihat ekspresi wanita itu tidak terlalu bagus. Sandy mengira Sara tidak ingin pergi, jadi dia segera menambahkan,"Sara, nggak masalah kalau kamu nggak mau ketemu mereka. Aku bisa menolak usulan mereka."Orang tua Sandy sudah meminta untuk menemui Sara. Jika Sara tetap meminta Sandy menolak, nanti dia akan terkesan sombong
Sandy curiga Jihan berniat membantu Jefri, tetapi Sandy juga tidak yakin.Dia tidak punya waktu untuk berpikir lebih dalam, jadi dia segera mengambil botol itu dan berjalan ke sisi Jihan.Setelah menuangkan anggur merah ke dalam gelas Jihan, Sandy mengisi ulang gelasnya lagi."Pak Jihan, sulangan ini untukmu."Tadi Sandy mengajak adik Jihan untuk minum dan sudah mengisi gelasnya sampai penuh. Itu merupakan sebuah pengecualian, jadi Sandy harus mematuhinya. Oleh karena itu, Sandy juga mengisi gelasnya sampai penuh untuk Jihan.Sandy langsung menenggak anggurnya sampai habis, sementara Jihan hanya menyesap anggurnya. Tindakan Jihan ini seperti menghargai Sandy sekaligus membuat pria itu merasa agak kikuk.Sandy yang sangat peka pun tidak mengatakan apa-apa. Dia hanya melirik gelas anggur Jihan, lalu memalingkan pandangannya dan tersenyum lembut pada Jihan."Silakan dinikmati anggurnya, Pak Jihan."Setelah minum, Sandy ingin pergi. Namun, mana mungkin Jihan akan melepaskannya?"Daris juga
Meskipun Reo sama sopannya dengan Sandy, dia tetap menghormati Jihan sebagai bosnya dan tidak bersikap merendahkan."Nggak usah."Jihan takut nada bicaranya yang dingin itu membuat Reo menjadi kikuk, jadi dia melanjutkan,"Perutku lagi nggak enak, jadi aku nggak bisa makan banyak-banyak.""Oh, gitu."Reo yang sangat baik hati itu pun langsung bangkit berdiri."Kalau gitu, aku akan memasakkanmu sup untuk menenangkan perutmu."Jihan ingin menghentikannya, tetapi Reo sudah terlanjur ke dapur.Wina yang baru saja kembali ke tempatnya pun bertanya pada Jihan sambil tersenyum,"Suami Lilia boleh juga, 'kan?"Wina belum tahu bahwa Lilia dan Reo gagal mengurus surat kawin mereka, jadi Wina mengira kedua orang itu sudah menjadi suami istri.Jihan sudah mengenal Reo sebelumnya dan tahu bahwa pria itu adalah seorang dokter yang sangat baik, jadi dia mengangguk."Boleh juga.""Bagaimana dengan Dokter Sandy?"Wina jarang mendengar Jihan memuji seseorang, jadi dia bertanya lagi.Jihan melirik Sandy
Sara tidak berani membuka pintu, dia hanya menurunkan kaca jendelanya sedikit dan menatap Jefri di luar sana melalui celah kecil."Kok kamu ada di sini?""Bukan urusanmu! Buka pintunya!""Nggak bakalan, kecuali kamu memberitahuku kamu ngapain ada di sini ...."Siapa tahu Jefri di sini untuk membalas dendam pada Sandy? Mana mungkin Sara membuka pintu begitu saja?Jefri menahan amarahnya dan membungkuk sedikit untuk menatap Sara melalui celah kaca mobil."Aku akan membantumu memapah tukang mabuk itu ke atas."Apalagi yang bisa Jefri lakukan?Dia tidak mungkin membunuh Sandy untuk melampiaskan amarahnya, dia juga tidak mungkin memukuli Sandy. Jadi, Jefri terpaksa mengikuti Sara seperti orang bodoh untuk menawarkan bantuannya!"Kamu ... mau memapah Sandy?"Sara tampak agak kaget karena tidak menyangka Jefri akan bersikap sebaik ini."Sara, memangnya kamu ini nggak ngerti bahasa manusia?"Melihat Jefri akan marah lagi, Sara akhirnya membuka pintu mobil setelah terdiam sejenak.Jefri pun ber
Jelas-jelas Sandy tidak suka Jefri menemui Sara, tetapi Sara malah meminta bantuan Jefri untuk memapah Sandy ke atas.Jika menilai dari sudut pandang Sandy, Sara merasa tindakannya ini memang keterlaluan. Dia segera mendorong Jefri menjauh."Aku selimuti dia dulu sebelum pergi, udara malam dingin banget."Jefri pun berjalan ke sof dan dengan santai menarik selimut sehingga sekujur tubuh Sandy tertutup selimut.Sara memelototi Jefri, lalu melangkah maju dan membetulkan posisi selimut di atas tubuh Sandy. Setelah itu, dia membuka dua buah jendela agar aliran udara di dalam apartemen Sandy tetap terjaga. Barulah setelah itu Sara pergi.Karena Sara ternyata tidak berniat tetap di sini, ekspresi Jefri pun baru menjadi lebih cerah.Mereka berdua berjalan depan belakang seperti orang asing. Bayangan mereka makin lama makin berjauhan.Jefri yang berjalan di depan akan melambat setiap kali berbelok. Dia menunggu Sara menyusulnya sebelum lanjut berjalan lagi.Setelah keluar dari kompleks apartem
Karena ekspresi Sara terlihat marah, Jefri pun memaksakan dirinya untuk tetap tenang. Meskipun begitu, dia menatap Sara dengan tajam.Sara terlalu malas untuk memedulikannya, jadi dia menginjak pedal gas dalam-dalam.Setelah mereka berdua terdiam selama beberapa saat, Jefri mengangkat kakinya dan menendang kursi Sara."Aku nggak akan pernah mengambil kembali barang-barang yang sudah kuberikan kepada wanita. Besok kamu ke rumahku saja dan ambil kembali barang-barang itu.""Kebetulan sekali."Sara memutar kemudi dan menjawab,"Aku juga nggak akan pernah mengambil kembali apa yang sudah kuberikan.""Sara, apa harus aku marah-marah dulu?"Sara berhenti bicara dan tidak menjawab, tetapi hatinya terasa berat."Jefri, aku mengembalikan barang-barang pemberianmu itu karena dulu saat bersamamu, aku nggak pernah punya niatan mau uangmu. Karena kita sudah putus, tentu saja aku harus mengembalikannya. Nggak usah mikir kejauhan. Lalu ...."Setelah jeda sejenak, Sara menarik napas dalam-dalam dan me
Setelah Sara pergi, Reo memberanikan diri memaksa Jihan minum semangkuk sup sebelum makan malam selesai.Karena Jefri dan Sandy sedang berkompetisi, Wina bahkan tidak memandang Lilia dengan saksama. Jadi, dia baru menyadari betapa pucatnya wajah Lilia."Lilia, kamu kenapa? Kamu sakit? Mukamu kok nggak enak dilihat banget?"Lilia yang sedang memegang tangan Gisel sambil mengantar mereka keluar pun berhenti sejenak dan menatap Wina, yang sedang menatapnya sambil mengernyit."Nggak apa-apa, kayaknya aku flu.""Bukan, itu karena ada paman aneh yang waktu itu membawa Bibi Lilia pergi ...."Wina langsung tahu siapa yang Gisel maksud, jadi dia segera meraih Lilia dan memeriksa tubuh sahabatnya itu dari atas ke bawah."Apa Yuno datang menemuimu? Apa dia mengganggumu atau menyakitimu?"Lilia tidak segera menjawab Wina, dia malah memelototi Gisel dan berpura-pura marah."Bukannya kamu sudah sepakat untuk nggak memberi tahu bibimu?"Gisel memeluk boneka buluknya sambil cemberut."Aku nggak suka k
Wina mengikuti pandangan Lilia ke arah perutnya."Obatnya sih sudah habis, tapi ...."Wina sedikit kecewa dan menghela napas."Aku mungkin nggak bisa hamil."Dia meminum begitu banyak obat, tetapi tetap tidak berefek. Wina takut dia tidak akan bisa punya anak."Wina ... mungkin kamu coba saja bayi tabung?"Wina berbalik dan menatap Jihan yang duduk di dalam mobil."Dia nggak setuju."Jihan tahu proses bayi tabung itu menyakitkan, melahirkan juga menyakitkan. Jihan takut Wina jadi menderita, jadi Jihan memutuskan agar mereka tidak usah punya anak.Setelah Lilia memahami pemikiran Jihan, dia pun tidak menyarankan bayi tabung lagi. "Kalau begitu, akan kucoba sesuaikan lagi resepnya. Nanti kamu coba lagi saja kalau sudah minum."Wina ingin menolak, tetapi Lilia mendorongnya ke dalam mobil tanpa ragu. "Aku akan membuatkan obatnya dan mengirimkannya kepadamu besok."Setelah Lilia selesai berbicara, dia menutup pintu mobil, mundur selangkah dan melambai ke Wina."Kirimi aku pesan kalau sudah