Lilia sudah seperti ini, tetapi Reo masih menginginkannya?Lilia menatapnya tak percaya."Reo, aku ....""Lilia, apakah kamu nggak menginginkanku lagi?"Lilia pun balik bertanya dengan heran dan hati-hati,"Kamu ... takut aku nggak menginginkanmu?""Ya."Reo pun memeluk Lilia dengan penuh kasih sayang."Aku sudah mengetahui hubunganmu dengan Yuno sejak awal dan aku sudah siap secara mental untuk itu. Selama kamu nggak menyerah padaku, aku juga nggak akan menyerah padamu."Suara Reo yang lembut perlahan menghangatkan tubuh Lilia yang terasa dingin.Ternyata di dunia ini ada juga orang yang begitu mencintai Lilia ....Lilia mengulurkan tangannya untuk membalas pelukan Reo, tetapi Lilia merasa sangat kotor. Dia menarik tangannya kembali seolah menyentuh saja akan menodai Reo."Reo, aku nggak pantas untukmu lagi, jadi lepaskan saja aku."Lilia sudah kotor saat masih hidup.Saat mati nanti pun jiwanya tetap kotor.Lilia benar-benar sudah tidak punya harapan hidup lagi.Dia rela jatuh tengge
Reo yang didorong menjauh pun hanya diam dan menatap Lilia.Beberapa saat kemudian, Reo hendak memeluk Lilia lagi, tetapi wanita itu mengelak.Tangan Reo pun membeku di udara. Sorot tatapannya yang polos perlahan-lahan terlihat memerah."Kalau kamu?""Aku?"Lilia menunduk menatap jemarinya yang sudah diobati oleh Reo.Hidupnya seperti jemarinya ini. Dari luar terlihat bagus, tetapi dari dalam sebenarnya hancur lebur.Bisakah orang seperti Lilia tetap memiliki kebahagiaan di masa depan? Lilia merilekskan kernyitannya dan mentertawakan dirinya sendiri."Reo, ada orang-orang yang nggak pantas bahagia. Aku termasuk ke dalam tipe itu, jadi aku juga nggak tahu ke depannya bakal gimana."Satu-satunya hal yang Lilia tahu dengan jelas adalah bahwa dia tidak layak untuk Reo. Walaupun terasa sangat menyakitkan, berpisah adalah pilihan terbaik."Aku akan memberitahumu bagaimana tujuanmu di masa depan."Reo meraih tangan Lilia dan memegangnya erat-erat, lalu menatap mata Lilia yang menyorotkan rasa
Setelah selesai berberes, Reo menoleh menatap Lilia.Dia membuka bibirnya hendak mengatakan sesuatu, tetapi lidahnya terasa kelu.Reo akhirnya hanya berdiri diam selama beberapa menit, lalu berbalik dan meninggalkan kamar tidur ....Sara dan Sandy masih berjaga di luar. Ketika mereka melihat Reo keluar, mereka segera melangkah maju."Bagaimana kabar Lilia?"Reo menoleh ke arah kamar tidur."Suasana hatinya sudah stabil, tapi pikirannya masih terguncang."Setelah mengatakan itu, Reo mengalihkan pandangannya dan menatap Sara."Sara, tolong bantu aku menjaganya selama kurun waktu ini.""Tentu."Sara memang sudah berencana untuk tinggal dan menjaga Lilia."Kalau memungkinkan, tolong bawa Gisel ke sini ...."Lilia sangat menyukai anak-anak, jadi kehadiran seorang anak kecil di sisinya mungkin akan membantu memulihkan kondisi Lilia lebih cepat."Oke."Sara mengangguk, lalu Reo pergi.Setelah setengah bulan berlalu, Reo akhirnya menggugat Yuno ke pengadilan.Lilia yang ditemani oleh Sara dan
Di bandara, setelah pesawat pribadi berhenti, Jihan menunduk dan menatap wanita yang tertidur lelap di pelukannya."Nyonya, kita sudah sampai."Wina membuka matanya dan melirik samar-samar ke luar jendela pesawat. Matahari terbenam saat senja masih bersinar dengan cahaya keemasan yang sedikit menyilaukan.Jihan mengulurkan jari rampingnya untuk menutupi mata Wina, lalu menatap pria yang duduk di depan dengan dingin."Ngapain nggak turun-turun? Mau bersiap ikut aku pulang?"Pria yang berada di hadapan Jihan meletakkan konsol gamenya, lalu menoleh dan menatap Jihan dengan hati-hati."Biar kusetirin kalian pulang, Kak Jihan.""Nggak usah."Jihan menatap Jefri dengan dingin. Saking dinginnya, Daris yang duduk di sebelah sontak menggigil.Katanya perjalanan bulan madu Jihan dan Wina tidak begitu menyenangkan karena mereka seharusnya hanya berdua, tetapi tiba-tiba menjadi sekelompok orang.Pada pertengahan awal bulan, seorang pemuda bernama Jordan terus mengikuti mereka dan bahkan menyeret a
Jefri mengantar Jihan dan Wina ke vila Lilia.Ketika Sara dan yang lainnya keluar untuk menjemput sepasang sejoli itu, mereka bahkan tidak memperhatikan pengemudinya. Mereka hanya berlari menuju Wina yang keluar dari kursi belakang."Wina, kami kangen banget! Sudah sebulan lebih kita nggak ketemu!"Setelah Wina tersenyum, dia pun memeluk Sara, lalu memeluk Lilia."Aku juga kangen pada kalian.""Kalau aku? Kalau aku?"Gisel melompat entah dari mana dan memeluk kaki Wina, wajahnya yang gembul memasang ekspresi memelas ingin dipeluk."Bibi, coba gendong aku! Beratku nambah nggak?"Setelah tidak bertemu satu sama lain selama lebih dari sebulan, Sara dan Lilia sudah membesarkan Gisel menjadi sangat gemuk. Wina bahkan hampir tak bisa menggendong Gisel lagi."Gisel, namamu diganti saja jadi Bulan Bulat, yuk?""Kenapa?"Sara dan Lilia tertawa terbahak-bahak."Maksud bibimu itu kamu gemuk."Baru pada saat itulah Gisel menyadari maksud Wina yang mengatainya gemuk, jadi dia menyilangkan tangannya
Karena Jihan sudah memperlakukan Sandy dengan sangat hormat, Sara pun bersikap dengan kesan yang sama. Dia segera meminta tisu basah pada Daris dan menyerahkannya pada Jihan."Bersihkan tanganmu.""Pak Jihan fobia kuman?"Jihan yang hendak mengambil tisu basah itu pun menatap Sandy dengan dingin.Jihan hanya melihat Sandy sekilas, lalu membuang muka. Jihan mengambil tisu basah itu dari tangan Sara dan mengucapkan terima kasih, lalu membersihkan tangannya."Ya, sedikit. Maaf, Dokter Sandy."Setelah Jihan menyeka tangannya, dia menjawab dengan santai dan dengan ekspresi datar."Nggak masalah, aku paham kok."Setelah Sandy menjawab dengan sopan, dia pun membuat gestur mempersilakan kepada kedua sejoli itu."Silakan masuk, Pak Jihan, Nyonya Wina ...."Mungkin karena ini pertama kalinya mereka bertemu, jadi sikap Sandy yang sangat sopan justru membuat suasana terasa agak canggung.Wina tersenyum dan berkata bahwa semua orang adalah teman, jadi tidak perlu terlalu gugup sehingga membuat suas
"Dokter Sandy, kamu yakin mau minum denganku?"Jefri yang sedang bersandar di kursi makan pun mendongak sedikit menatap Sandy dengan kesan menghina.Setelah Sandy menuangkan anggur, dia meletakkan botolnya dan tersenyum dengan tulus."Kenapa? Tuan Muda Jefri nggak berani minum, ya?""Aku? Nggak berani?"Jefri mendengus dengan dingin. Dia sudah sering bergaul di tempat hiburan dan dikenal sebagai seorang peminum yang kuat. Sandy yakin mau menantangnya minum? Apa Sandy benar-benar tidak tahu malu?"Kalau berani, coba habiskan satu gelas itu."Kata-kata Sandy sungguh provokatif.Ekspresi Jefri langsung berubah dari tenang menjadi marah."Punya hak apa kamu menyuruh-nyuruhku minum?"Sandy pun tersenyum makin lebar melihat Jefri yang marah."Tuan Muda Jefri, aku 'kan cuma mengajakmu minum. Nggak usah marah-marah."Setelah mengatakan itu, Sandy pun melanjutkan."Kalau memang harus ada alasannya, anggap saja ini penyelesaian dari masalah waktu itu."Penyelesaian dari masalah waktu itu?Kata-k
Sara tidak punya keberanian untuk mengangkat kepalanya sebelum Jefri masuk. Tidak ada yang lebih memalukan daripada mantan pacarnya yang duduk di hadapannya dan pacarnya saat ini duduk di sebelahnya.Dia awalnya ingin fokus makan saja, lalu pergi, tetapi tidak disangka Sandy akan mengungkit masalah bertemu dengan orang tuanya di saat seperti ini. Sara merasa makin malu.Dia menatap makanan di atas piringnya selama beberapa detik, lalu menengadah menatap Sandy dan balik bertanya dengan tenang,"Keluargamu sudah tahu secepat ini?""Yah, kupikir sudah waktunya mereka bertemu denganmu, jadi aku memberi tahu mereka."Setelah Sandy selesai berbicara, dia melirik Sara dan melihat ekspresi wanita itu tidak terlalu bagus. Sandy mengira Sara tidak ingin pergi, jadi dia segera menambahkan,"Sara, nggak masalah kalau kamu nggak mau ketemu mereka. Aku bisa menolak usulan mereka."Orang tua Sandy sudah meminta untuk menemui Sara. Jika Sara tetap meminta Sandy menolak, nanti dia akan terkesan sombong