Jihan tahu maksud Wina, tetapi dia merasa agak kesal karena Wina masih memedulikan cinta pertamanya.Jihan tidak pernah takut pada apa pun, kecuali seorang pria bernama Ivan. Saking ketakutannya, nama itu tidak akan pernah bisa hilang dari ingatan Jihan ....JIhan tidak bisa menggambarkan rasa takutnya. Yang jelas, dia takut suatu hari nanti semua kebahagiaan yang dia miliki sekarang akan menjadi milik Ivan.Sebenarnya, itu pemikiran yang konyol. Mungkin Jihan terlalu takut kehilangan karena dia menganggap masa kini sangat berharga.Namun, fakta bahwa Wina dapat dengan tenang meminta bantuannya menunjukkan bahwa dia telah melepaskan Ivan.Jika tidak, pasti mereka akan lebih berhati-hati membahas soal Ivan.Jihan dan Wina sama-sama bisa berkomunikasi dan mengungkapkan isi hati mereka dengan kepala dingin, mereka juga bekerja sama menuju masa depan.Semua hal ini membuat Jihan memutuskan untuk menahan amarahnya."Kenal beberapa ....""Kamu punya nomor mereka?"Jihan melirik Wina dan mena
Setelah menutup telepon, Sara mencari momen yang tepat untuk memberi tahu Ivan tentang dokter itu.Dia tidak menyebut Wina, tetapi mengatakan bahwa dia mengenal dokter spesialis dan sudah membuat janji temu dengan dokter itu.Ivan tersenyum dan mengangguk. "Terima kasih, Kak Sara ...."Sara merasa sedikit bersalah saat melihat senyuman tulus Ivan, dia jadi tidak berani menatap pria itu. "Sama-sama, aku cuma sekadar membantu."Ivan dan Sara tumbuh bersama, jadi tentu saja Ivan tahu bahwa Sara tidak pandai berbohong. Ivan langsung tahu Sara merasa bersalah.Setelah Sara dan Wina berbicara di telepon, tiba-tiba ada dokter yang mau mengobati kaki Ivan. Ivan yakin Wina meminta bantuan Jihan.Ivan tidak bisa menjelaskan perasaannya, tetapi ekspresinya tetap terlihat biasa saja. Dia hanya berkata kepada Sara, "Malam ini nginap di vilaku saja."Sara melirik Sandy. Sara takut Sandy tidak nyaman tinggal di rumah orang lain, jadi dia melambaikan tangannya dan menolak. "Nggak usah, besok kami kete
Artha bersandar pada pilar di pintu masuk hotel.Sambil merokok, dia menatap pemandangan Kota Ostia yang ramai.Setelah mengisap beberapa batang rokok, dia merasa bosan. Dia membuang puntung rokoknya, memasukkan satu tangan ke dalam saku dan kembali ke lantai atas.Ketika dia masuk, dia melihat Jefri duduk di area sofa sambil melamun memegang gelas anggur.Jefri sama sekali tidak menanggapi rayuan dan godaan dari para gadis di sekitarnya. Jefri terlihat seperti orang yang kehilangan jiwanya ....Setelah berdiri di depan pintu selama beberapa saat, Artha berjalan mendekat dan duduk di samping Jefri."Kenapa? Sudah nggak minat lagi dengan cewek? Jangan-jangan sekarang kamu impoten?"Jefri yang sedang duduk malas di sofa pun menatap temannya itu dengan dingin."Diam saja kalau bisanya cuma bicara sembarangan."Artha tertawa kecil, mengambil anggur dari pelayan dan menyesapnya."Apa sekarang kamu jadi nggak konsen gini karena Yolanda?"Artha tahu apa yang mengganggu pikiran Jefri, tetapi d
Artha mengangkat pergelangan tangannya lagi dan melihat arlojinya. "Kalau kamu nggak cepat-cepat, nanti keburu telat ...."Jefri memelototinya dan berkata, "Langsung katakan saja apa yang mau kamu katakan. Nggak usah berbelit-belit."Karena Jefri sudah kesal, Artha pun memberitahunya, "Dia lagi sekamar sama cowok lain di lantai 8."Tubuh Jefri langsung menjadi lebih kaku. Dia menatap Artha dengan tidak percaya. "Sara?""Ya," jawab Artha. "Waktu aku turun, aku melihatnya naik ke lantai 8 bersama seorang pria."Setelah mengatakan itu, dia melihat arlojinya lagi. "Hampir setengah jam telah berlalu, mungkin mereka sudah ngapa-ngapain ...."Jefri langsung berjalan meninggalkan ruang privat dengan cepat.Saking cepatnya, begitu Artha menengadah, sosok Jefri sudah tidak terlihat lagi.Artha langsung mencibir. Jefri bilang tidak peduli, tetapi dia juga yang berlari dengan sangat cepat saat mendengar Sara menginap bersama seorang pria lain.Ekspresi Artha pun tiba-tiba menjadi lebih kelam. Dia
"Hei, sudah sinting, ya!""Ya! Ngapain teriak-teriak begitu malam-malam begini!"Beberapa tamu hotel lainnya pun membuka pintu kamar masing-masing dengan marah dan mengomeli Jefri.Jefri bahkan tidak menoleh ke belakang, dia hanya mengangkat tangannya dan menjentikkan jarinya dan sekelompok pengawal keluar.Para pengawal mengeluarkan dompet mereka dan membagikan sejumlah uang tunai kepada masing-masing penghuni kamar. Para tamu yang mengomel itu pun masuk kembali dengan tenang.Semua pintu yang ditendangi Jefri terbuka karena penghuninya memarahi Jefri, tetapi ada dua kamar yang tetap tertutup ....Sara tidak mendengar seruan Jefri karena tertutup oleh bising pengering rambut.Sandy juga tidak mendengar apa pun karena sedang mengenakan earphone yang kedap suara dan fokus memantau operasi dari jarak jauh.Jefri melangkah maju dan menendang pintu dengan keras. Karena tidak ada respons apa-apa, dia berbalik dan berjalan ke ruangan lain.Kali ini, dia menendang pintu dengan kencang. Saking
Sara mengikuti arah jari Jefri. Dia menunduk menatap gaun tidurnya.Sewaktu masih menjadi kekasih Jefri, semua pakaian lama Sara dibuang dan Jefri akan mengirimkan Sara banyak pakaian mewah setiap dua minggu sekali.Lemari Sara pun penuh dengan pakaian, tas dan perhiasan bermerek yang dibelikan oleh Jefri.Karena barang-barang ini sangat berharga dan banyak, Sara yang terbiasa hidup hemat pun tidak tega membuangnya. Itu sebabnya dia terus mengenakannya.Sekarang jika dipikir-pikir lagi, sepertinya harusnya dia mengembalikan barang-barang pemberian mantannya, ya? Kenapa Sara tidak terpikirkan akan hal itu?Ekspresi Sara pun mendadak berubah."Nanti pas pulang, aku akan mengembalikan semua yang pernah kamu berikan kepadaku."Setelah itu, Sara bergegas hendak menutup pintu seolah-olah dia tidak ingin melihat Jefri lagi.Jefri menempelkan satu kakinya ke kusen pintu, lalu mendorong pintu terbuka dan berjalan masuk.Sara refleks mundur selangkah.Respons defensif itu membuat Jefri jadi mara
"Dokter Sandy, pasien tiba-tiba mengalami pendarahan perut ...."Tepat sebelum Sandy membuka pintu kamar mandi, suara dokter bedah pun terdengar dari earphone yang satu lagi.Sandy terpaksa duduk kembali dan mengenakan earphone yang dia lepas, lalu fokus menuntun lajunya operasi ....Jefri baru berhenti mencium Sara setelah wanita itu kesulitan bernapas.Tubuh Sara tampak gemetar menahan amarah.Sara ingin sekali menampar Jefri dengan kencang, tetapi dia tidak bisa bergerak.Jadi, Sara menggertakkan giginya dan memaki Jefri."Jefri, kamu tahu nggak sih aku ini sudah punya pacar! Kalau kamu memperlakukanku kayak gini, gimana aku harus menghadapinya!"Kata-kata "pacar" itu menyulut amarah Jefri lagi."Bukannya aku sudah menyuruhmu untuk putus darinya? Karena kamu nggak mau memutuskannya, bersiaplah tanggung akibatnya!"Sara sontak menatap Jefri dengan mata yang terbelalak kaget."Kayaknya otakmu nggak beres, ya!""Memang!"Jefri menunduk dan berkata sambil menggertakkan gigi, "Otakku mem
"Kamu mau ngapain?"Jefri menyeret Sara ke pintu kamar mandi dan mendorongnya ke pintu kamar mandi.Sara sangat panik sehingga dia segera menoleh ke belakang. Sosok Sandy dengan punggung menghadap mereka terpantul di kaca buram.Sandy, yang memakai headphone peredam bising, tidak melihatnya, tapi Sara takut dia akan mengetahuinya.Namun, Jefri sama sekali tidak peduli dengan kepanikan Sara. Dia memegang pergelangan tangan Sara dengan satu tangan dan meraih piamanya dengan tangan lainnya.Jefri sudah tahu bagian mana yang paling sensitif bagi Sara. Hanya dengan sentuhan ringannya, Sara bahkan tidak berani bergerak."Jefri, kamu ...."Sebelum kata-kata itu terucap, ada rasa dingin lagi di bibir merah yang menyergap.Bau tembakau dan alkohol menyerbu masuk dan bahkan udara di mulutnya pun hilang dalam sekejap.Pria itu seperti ingin menghukumnya, menciumnya dengan membabi buta dan memegang tangannya lebih keras lagi.Ini pertama kalinya Sara melihat Jefri seperti ini. Dia tampak gila, cer