Haris berjalan turun dari lantai dua dan menatap Jihan yang terkapar di atas lantai dengan gembira.Dia menendang-nendang Jihan yang sudah tidak sadarkan diri itu. "Wah, wah, nggak kusangka bakal melihatmu kayak gini ...."Dia mengisap cerutunya sambil menggigit sudut bibirnya dengan kesan menghina dan angkuh karena merasa berhasil mengalahkan Jihan.Haris pun menendang Jihan dengan keras lagi, lalu berkata dengan dingin kepada si pria dengan bekas luka itu, "Dia masih bernapas, tusuk dia sampai mampus!"Pria dengan bekas luka itu mengenal Jihan. Dia takut orang-orang dari Keluarga Lionel akan balas dendam kepadanya, jadi dia tidak berani menjalankan perintah Haris.Dia melirik Haris yang sedang merokok, lalu menelan ludahnya dengan gugup dan berkata dengan takut-takut, "Pak ... Pak Haris, saya nggak berani ...."Haris pun menarik keluar cerutu yang dia isap dan melepaskan kacamata hitamnya, sorot matanya terlihat dingin dan terkesan seperti sedang tersenyum tidak berperasaan.Haris me
Tidak lama kemudian, mobil itu berhenti di depan pintu masuk rumah sakit Lilia. Begitu melihat Jihan yang berlumuran darah masuk, si wakil ketua rumah sakit pun langsung menjadi ketakutan.Wakil ketua itu segera menenangkan diri, lalu menyuruh para karyawannya untuk segera membawa tubuh Jihan ke ruang penanganan darurat sambil bertanya kepada Zeno yang berjalan mengikuti, "Pasiennya terluka di mana saja?"Zeno mengepalkan tangannya dan menjawab dengan nada setenang mungkin, "Dua luka tusuk di punggung dan kepalanya juga dipukul dengan tongkat, tapi aku nggak tahu berapa kali dia kena pukul. Harus kalian sendiri yang memeriksanya!"Si wakil ketua rumah sakit pun langsung mengernyit. Dia menghampiri Jihan dan memeriksa kepala Jihan dengan tangan yang sudah mengenakan sarung tangan steril. "Kepalanya kena pukul dua kali dan ada satu lagi yang telak mengenai bagian belakang kepalanya. Ini cedera fatal!"Si wakil ketua rumah sakit pun teringat akan penyakit Jihan, jadi dia segera memerintah
Sewaktu Daris tiba di rumah sakit, operasi sudah berlangsung selama beberapa jam.Begitu melihat Daris datang, Zeno yang sedari tadi bersembunyi di balik kegelapan pun langsung menjelaskan apa yang terjadi. Setelah itu, Zeno bergegas kembali ke pondok kayu untuk mengurus Haris dan para preman yang menyakiti Jihan!Daris pun mengambil alih tempat Zeno, dia berjaga di depan pintu ruang operasi dengan cemas sambil menelepon Jefri.Sementara itu, Jefri masih berada nun jauh di Finola sana karena sedang sibuk mempersiapkan acara lamaran Jihan. Begitu menerima telepon dari Daris, karangan bunga yang dia pegang pun sontak terjatuh.Sara mengira Jefri sedang asal-asalan. Sara pun hendak mengomeli Jefri, tetapi dia menyadari betapa pucatnya wajah Jefri."Apa? Kenapa?"Sara meletakkan karangan bunganya, lalu menegakkan tubuh dan bertanya pada Jefri.Jefri meraih tangan Sara dan berkata dengan cemas, "Kak Jihan nggak bisa ke sini, dia terluka parah! Ayo kita pulang dulu!"Jantung Sara sontak berd
Begitu mendengar kata-kata "tumor otak", semua anggota Keluarga Lionel langsung teringat pada Ryder, cucu tertua Keluarga Lionel yang waktu itu juga meninggal akibat tumor otak.Ternyata bertahun-tahun setelah itu Jihan juga mengalami tumor yang sama.Kenapa Jihan malah memutuskan untuk menyembunyikan penyakitnya dan menolak menjalani operasi?Jika bukan karena insiden ini, Keluarga Lionel pasti tidak akan tahu apa-apa.Leona yang selama ini selalu bersikap dewasa dan tegas pun sontak menjadi geram."Bohong!""Maksud Dokter, Jihan sulit siuman karena tumor otaknya dan kepalanya kena pukul?" tanya Leona sambil mengangkat alisnya.Si wakil ketua rumah sakit pun menundukkan kepalanya dan menjawab dengan jujur, "Berdasarkan hasil dari pemeriksaan medis, pasien yang nggak siuman dalam kurun waktu 48 jam memiliki kemungkinan besar akan mati. Kecuali ada keajaiban terjadi. Sekalipun siuman, ada kemungkinan besar tumornya akan muncul lagi ...."Jantung Leona sontak terasa seperti berhenti berd
Jefri baru tiba di rumah sakit keesokan paginya. Leona pun menceritakan semua yang terjadi. Ekspresi Jefri langsung terlihat murka."Haris pikir dia siapa, hah! Berani-beraninya dia menyentuh Kak Jihan! Akan kuhabisi dia!"Setelah itu, Jefri pun berbalik badan hendak balas dendam kepada Haris, tetapi Leona segera menghentikannya."Kamu nggak usah ikut-ikut dan bikin masalah baru!"Sejak kecil, Jefri paling takut dengan Leona. Itu sebabnya bentakan Leona membuat amarahnya langsung mereda.Leona yang terlihat sangat anggun dan bermartabat pun menatap Jefri dengan tenang. "Jefri, untuk sementara waktu, kamu ambil alih jabatan Jihan sebagai presdir. Kamu-lah yang akan bertanggung jawab untuk mengelola Grup Lionel. Ingat, jangan sampai kamu mengatakan kondisi Jihan kepada siapa pun."Jefri sebenarnya ingin menolak, dia tidak berniat mengurus Grup Lionel dengan kondisi Jihan yang masih terbaring koma di ICU,.Tepat pada saat itu, Leona pun mengernyit sambil menatap Sara dari atas hingga ke b
Wina akhirnya tersadar. Begitu matanya terbuka, ternyata dia sudah berada di suatu tempat yang familier.Lampu gantung yang tampak megah dan mewah, desain interior ala Privon, jendela yang terbentang dari langit-langit, sederet rumah bergaya Britton, serta lautan yang tampak tak berujung ....Ini di ....Britton!Lebih tepatnya, vila milik Alvin dan Vera!Jantung Wina rasanya seolah berhenti selama sepersekian detik. Dia langsung mencoba bangkit dari atas kasur, tetapi rasa lelah dan letih membuatnya terbaring kembali.Wina memijat dahinya yang terasa sakit, lalu mengingat-ingat dengan saksama bagaimana dia bisa mendadak ada di Britton. Sayangnya, Wina sama sekali tidak ingat.Sementara itu, Alvin yang sedang duduk di ruang tamu pun mendengar pergerakan Wina dari dalam kamar. Dia bangkit berdiri dari atas sofa dan mengambil segelas air dari atas meja, lalu melangkah maju dan membuka pintu.Begitu melihat Alvin masuk, Wina sontak mengernyit. "Kamu habis memberiku obat, ya?"Rasa linglun
"Kamu nggak tahu, ya? Jihan menderita tumor otak ...."Darah pun menetes dari Alvin dan jatuh mengenai dahi Wina.Wina hanya tertegun menatap Alvin seperti sebuah boneka."Coba, apa menurutmu dia masih bisa bertahan dengan penyakitnya itu ditambah lagi dia terluka separah itu?"Suara Alvin terdengar begitu dingin, datar dan tidak berperasaan.Wina mencengkeram spreinya dengan makin erat, sekujur tubuhnya sontak menggigil."Aku nggak akan pernah percaya pada kata-katamu ...."Jihan bilang cuma sakit kepala biasa, kenapa sekarang malah dikatakan tumor? Alvin pasti sedang berbohong!"Oh, nggak percaya?"Alvin balas mencibir sambil mengangkat alisnya."Coba cari tahu dari mana asetmu sekarang berasal."Wina sontak menatap Alvin dengan kebingungan.Alvin tersenyum kecil sambil menatap Wina dengan dingin."Jihan memulihkan identitasmu dengan tujuan mentransfer asetnya ke atas namamu.""Dia sudah sampai membuat wasiat begitu dan membukakan jalan bagimu, tapi kamu masih nggak percaya?"Suara A
Alvin berdiri di depan pintu sambil menatap Wina dari kejauhan. Begitu melihat sorot tatapan Wina yang seolah kehilangan harapan hidup, ekspresi Alvin pun sontak menjadi lebih serius.Dia berjalan menghampiri Wina lagi, lalu mencengkeram wajah Wina dan menatap wanita itu dengan dingin, "Kamu berniat mati bersamanya?"Wina hanya balas memandang Alvin dengan air mata yang berlinang, tetapi dia tidak mengatakan apa-apa. Dia menjawab pertanyaan Alvin dalam hati.Seolah bisa membaca isi hati Wina, Alvin pun berkata dengan bengis, "Jangan berani-beraninya berpikir untuk mati bersamanya! Aku nggak akan pernah membiarkan kamu mati!""Kenapa?" tanya Wina dengan putus asa.Siapa Alvin sampai dia berhak menghalangi keputusan Wina?Alvin pun sedikit membungkuk dan mendekat ke arah Wina. "Pokoknya, kamu harus tetap hidup untuk menjaga jantung kakakmu!"Wina pun terkekeh dengan air mata yang terus mengalir turun.Alvin sontak terkejut sesaat dengan ekspresi Wina yang terlihat seperti orang gila. "Ke