Amarah Jihan yang semula sudah reda pun mendadak meledak lagi.Dia langsung mencengkeram tangan Wina dan menariknya masuk ke dalam mobil lagi, lalu menatap Wina dengan mata yang menyalang marah."Wina! Sudah kubilang 'kan jalanan Walston itu nggak aman! Kamu ini mendengarkanku nggak sih!""Eh, aku ...."Begitu Wina membuka mulut, Jihan langsung menyela, "Aku tahu kamu nggak mau ke vilaku, tapi apa kamu pernah memikirkan siapa lagi yang kamu kenal di Walston dan ke mana kamu bisa pergi?"Nada bicara Jihan yang kesal terdengar bercampur dengan frustrasi. "Kenapa sih sudah seperti ini saja kamu nggak mau menerima bantuanku? Kamu sebegitunya membenciku?"Jihan sudah berulang kali berusaha dengan keras dan menyatakan perasaannya, tetapi berulang kali pula Wina menolak. Kenapa di saat Wina membutuhkan bantuan dia tetap menolak bantuan Jihan?Apa jangan-jangan Wina tidak memedulikan rasa cinta Jihan dan memandang rendah dirinya karena sudah tidak mencintainya lagi?Wina balas menatap Jihan de
Wina sontak teringat dengan kesalahannya kemarin malam, wajahnya langsung menjadi merah padam.Jihan refleks menyentuh pipi Wina yang terasa panas."Nona Wina, kamu sudah bersalah pada Ivan sejak momen melanggar batasan denganku, jadi ngapain masih ngerasa malu?"Setelah itu, Jihan pun langsung menggendong Wina dan berjalan menuju kamar mandi tanpa repot-repot menunggu respons Wina.Jihan meletakkan Wina di dalam bak mandi, lalu berkata, "Kamu kelihatannya capek banget, tidurlah dengan nyenyak habis mandi."Jihan mengambil handuk mandi yang pelayannya serahkan, meletakkannya di rak kamar mandi, kemudian berbalik badan dan berjalan keluar.Wina menatap pintu kamar mandi yang ditutup, lalu menghela napas dengan ebrat.Ucapan Jihan ada benarnya. Dia memang sudah melakukan semua yang harus dilakukan. Sekalipun Wina tidak ingin berurusan apa-apa lagi dengan Jihan, kenyataannya tidak akan berubah.Memikirkan semua ini membuat suasana hati Wina jadi buruk, rasanya dia merasa sangat lelah.Win
Ucapan yang begitu memelas dan memohon itu membuat jantung Wina sontak berdetak dengan kencang.Dia sedikit menolehkan kepalanya untuk menatap Jihan yang sedang memeluknya dari belakang.Wajah Jihan terlihat tirus dan pucat, matanya tampak berkaca-kaca.Selama ini, Wina selalu melihat Jihan sebagai pribadi yang angkuh dan sombong.Namun, sekarang Jihan rela berulang kali menurunkan harga dirinya demi meluluhkan hati Wina.Situasi ini seperti bintang yang semula bertebaran di langit tiba-tiba jatuh dan menjadi debu.Masalahnya, bintang yang jatuh tetap saja merupakan sesuatu yang luar biasa. Mana mungkin Jihan berubah sampai sedrastis ini gara-gara Wina?Wina pun mengusap poni Jihan ....Tubuh Jihan sontak menegang.Dia menatap Wina di hadapannya yang tatapannya terlihat lembut.Jihan refleks memeluk Wina dengan sedikit lebih erat. "Wina, tolong jangan kejam-kejam terhadapku ...."Pelukan Jihan begitu erat sampai-sampai dada Wina terasa sesak. Wina sontak mengerang pelan, membuat Jihan
Wina sontak menarik kakinya kembali dengan takut sambil berkata dengan ekspresi yang terlihat ngeri, "Kamu nggak perlu sampai sebegininya."Yang penting Jihan tidak menyakitinya lagi. Wina merasa sangat risih dengan sikap Jihan yang seolah melayaninya seperti ini.Jihan pun menengadah menatap Wina dengan matanya yang terlihat dalam, lalu balas mengangguk. Meskipun begitu, Jihan tetap melepaskan sepatu Wina yang satu lagi tanpa mengindahkan ucapan Wina.Jihan meletakkan sepatu Wina ke atas lantai, lalu menggendong Wina sambil menyibakkan selimut, kemudian menyelimuti tubuh Wina.Setelah itu, Jihan mengelus pipi Wina sambil berkata, "Kamu tidur saja dulu. Nanti setelah bangun, akan kumasakkan yang enak buatmu.""Aku nggak mau kamu begini, bersikaplah sama seperti sebelumnya ..." sahut Wina sambil mengernyit sedikit.Sepertinya, Jihan salah mengartikan ucapan Wina. Dia tiba-tiba menggendong Wina bangun dari atas kasur.Sambil memeluk Wina yang terkejut, Jihan duduk di sofa. Jihan merangku
Baterai ponselnya sudah nyaris habis karena lebih dari tiga bulan tidak dinyalakan. Saat Jihan hendak mengisi ulang dayanya, tiba-tiba Zeno datang.Jihan meletakkan teleponnya di samping, lalu menatap Zeno yang datang sambil membawa banyak sekali barang-barang. "Bukannya tadi kusuruh melakukan sesuatu?"Zeno meletakkan beberapa tas besar berisi barang-barang ke atas meja, lalu berkata dengan bangga, "Iya, saya sudah selesai menjalankan perintah Tuan. Ini barang-barangnya, sudah saya bawa balik."Ekspresi Zeno seolah menantikan pujian dari Jihan, tetapi begitu melihat tumpukan benda itu, sorot tatapan Jihan mendadak berubah menjadi kelam."Siapa yang menyuruhmu untuk menemukannya secepat ini!"Zeno sontak menjadi kebingungan. Loh, mereka 'kan memang selalu bekerja dengan cepat dan tepat?Bukannya Jihan sudah tahu? Kenapa malah protes Zeno menyelesaikan misinya secepat ini?Jihan mendorong tumpukan barang di hadapannya itu dengan kesal. "Bawa pergi semua ini!"Ekspresi Zeno terlihat kage
Wina menarik napas dalam-dalam, wajahnya memerah menahan marah. Aduh, dia tidak seharusnya mengalah dan menyetujui usulan Jihan!Jihan tersenyum kecil memandang ekspresi marah Wina, sorot matanya juga terlihat geli.Jihan pun menunduk dan mencium Wina lagi, lalu akhirnya melepaskan wanita itu dan berkata, "Oke, aku nggak akan membuat masalah lagi. Ayo bangun dan makan."Mana mungkin Wina punya nafsu makan? Bukan hanya dia kurang tidur, tetapi juga kesal karena ciuman Jihan membangunkannya.Jihan juga tidak memaksa Wina yang bersikeras untuk tetap berbaring. Dia mengambil bubur itu, lalu duduk di sofa samping tempat tidur.Dia mengaduk-aduk bubur itu untuk mendinginkannya sebentar, lalu mengambil sesendok kecil dan menyodorkannya ke depan mulut Wina. "Aaaa ...."Wina hanya balas melirik Jihan, lalu memutar tubuhnya ke samping. Wina meletakkan tangannya di sisi wajahnya, lalu menatap taman di luar jendela sana sambil merajuk.Jihan pun menatap punggung Wina yang menghadapnya dengan rasa
Wina bersandar dalam pelukan Jihan. Dia memperhatikan sorot tatapan Jihan yang penuh cinta, lalu akhirnya mengangguk dengan patuh.Respons Wina yang seperti dulu ini membuat sorot tatapan Jihan menjadi makin berbinar.Dia menggendong Wina menuju ruang ganti, lalu mendudukkannya di atas sofa. Setelah itu, dia menekan tombol otomatis yang tidak terlihat pada dinding.Beberapa pintu lemari pakaian kelas atas pun segera terbuka, sederet gaun panjang yang terlihat mewah dan berkelas pun terpampang di hadapan Wina.Wina sontak terkejut. Model semua gaun itu sama seperti yang Wina biasanya kenakan. Ternyata Jihan ingat ..."Waktu kamu pulang denganku, aku langsung menyuruh pelayan untuk menyiapkan semua ini."Setelah menjelaskan seperti itu, Jihan pun memberikan sehelai gaun dengan model A-line dan potongan pinggang yang ramping kepada Wina. Jihan mengedikkan dagunya ke arah kamar pas, mengisyaratkan Wina untuk berganti pakaian.Wina mengambil gaun itu dengan ragu-ragu sambil menatap Jihan. D
Jihan membawa Wina ke lantai paling atas hotel.Di sana ada sebuah restoran Privon. Dengan duduk di sini, mereka jadi bisa menikmati panorama pemandangan malam kota.Sepertinya Jihan sudah memesan seluruh restoran, karena sekelompok pelayan yang mengenakan tuksedo dan dasi kupu-kupu hanya melayani mereka berdua saja.Si manajer restoran memakai jas dan terlihat sangat bersemangat. Dia menyambut Jihan dan Wina, lalu mengantarkan keduanya duduk di teras, setelah itu membungkuk hormat dan memberikan daftar menu.Jihan mengambil buku menu itu lalu meletakkannya di depan Wina. "Wina, mau makan apa?"Wina membuka buku menu dan tercekat saat mendapati semua menu tertulis dalam bahasa Privon.Wina yang tentu tidak paham bahasa Privon pun tersipu malu dan spontan menyampirkan beberapa helai rambutnya yang tergerai ke belakang telinganya.Jihan yang duduk di seberangnya tersadar dan langsung mengambil buku menu dari tangannya.Jihan kurang berpikir jauh. Tadi dia mempersilakan Wina untuk memilih