"Aku bisa jalan sendiri, tolong turunkan aku."Wina tidak terluka parah sampai perlu digendong.Wina meronta turun, tetapi Jihan merekatkan pelukannya, Wina pun tidak bisa berkutik.Jihan menggendongnya sampai keluar rumah sakit dan memasukkannya ke dalam mobil."Walston nggak aman, aku antar kamu pulang ya."Setelah Jihan memakaikan sabuk pengaman untuk Wina, dia memberi isyarat pada sopir untuk turun dari mobil.Sopir itu karyawan perusahaan cabang Walston. Dia tidak mengerti dan bingung dengan sikap Jihan.Sopir itu menatap Wina beberapa kali sampai akhirnya tersadar bahwa CEO-nya ingin berduaan saja dengan wanita itu. Barulah setelah itu si sopir turun.Jihan menatap sopir itu dengan dingin, lalu berkata, "Jangan datang lagi."Si sopir mematung di tempat. Maksudnya ... jangan datang ke sini lagi, atau jangan datang bekerja lagi?Dia menatap ke arah mobil yang sedang melaju pergi, menggaruk kepalanya dan berpikir lama. Akhirnya menemukan jawabannya ...."Sial, aku dipecat!"Jihan me
Saat melihat laci yang sudah kosong itu, Wina sontak merasa putus asa.Buku sketsa peninggalan kakaknya itu sudah lenyap.Wina menatap laci itu selama beberapa detik, lalu berbalik badan dan berjalan menghampiri Sam. Wina mulai menganalisis situasi dengan tenang."Pencuri biasanya cuma tertarik dengan uang, tapi mereka malah mencuri sketsa kita. Itu berarti mereka memang berniat mencuri sketsanya. Apa ada orang di industri ini yang mungkin menginginkan buku sketsa Vera?"Sam yang sedang mengirimkan foto kuas emasnya kepada polisi pun sontak terdiam mendengar pertanyaan Wina.Dia menatap Wina, lalu menjawab, "Ada banyak arsitek yang menginginkan buku sketsa Vera, tapi kalau sampai datang ke Walston untuk mencurinya ...."Seolah menyadari sesuatu, Sam pun langsung memberikan nama beberapa arsitek kepada pihak kepolisian dan meminta polisi untuk memeriksa orang-orang itu.Setelah mendapatkan petunjuk, para polisi itu pun berjalan pergi. Sam menghampiri Wina."Hotel ini sudah nggak aman la
Setelah akhirnya berhasil lepas dari gendongan Jihan, Wina pun mundur selangkah. Dia menempelkan tubuhnya di dinding lift dan menatap Jihan sambil bertanya, "Kamu mau membawaku ke mana?"Sikap Wina yang begitu waspada pun membuat sorot mata Jihan menjadi lebih serius. "Ke vilaku.""Kamu ngerti nggak sih maksudku waktu di rumah sakit?" tanya Wina dengan frustrasi.WIna tidak ingin mereka saling berhubungan lagi, tetapi sekarang Jihan malah meminta Wina untuk pergi ke vilanya?Jihan pun balas menatap Wina selama beberapa detik, lalu berkata, "Ngerti, tapi memangnya kamu bisa ke mana lagi dengan situasimu yang kayak gini?"Pertanyaan Jihan seolah menohok jantung Wina. Dia pun terdiam dengan sangat canggung, lalu akhirnya berkata, "Biar solusinya kupikirkan dengan temanku.""Apanya memikirkan solusi, dia saja nggak bisa melindungi dirinya sendiri," cibir Jihan.Wina hendak membela diri, tetapi dia tahu ucapan Jihan ada benarnya. Biarpun begitu ...."Aku ....""Wina, kamu nggak aman tinggal
Suara Jihan yang sengaja direndahkan terdengar agak memikat seolah-olah pria itu memang berniat menggoda Wina.Wina tetap berdiri diam, lalu menggelengkan kepalanya dengan pelan."Nggak ada hubungannya dengan dia."Wina sudah mengatakannya dengan jelas sewaktu di rumah sakit. Wina menolak Jihan karena merasa terlalu lelah mencintai Jihan.Selama ini, rasanya mereka selalu menempuh jalan yang berbeda. Sering sekali mereka saling mencurigai dan mengetes.Walaupun penyebabnya hanyalah kesalahpahaman, tidak dapat dipungkiri Wina memang merasa frustrasi dan putus asa.Dia masih ingat betapa menyiksanya dulu saat tidak bisa melepaskan Jihan, jadi Wina merasa terlalu takut untuk kembali jatuh cinta.Jihan berharap bisa melihat sorot cemburu dalam tatapan Wina, tetapi tidak menemukannya. Sepertinya, alasannya memang bukan karena Olivia.Jihan pun sedikit menjauhkan tubuhnya, sorot matanya yang dingin terlihat kecewa. "Kayaknya kamu memang sudah nggak peduli lagi denganku."Wina balas melirik J
Amarah Jihan yang semula sudah reda pun mendadak meledak lagi.Dia langsung mencengkeram tangan Wina dan menariknya masuk ke dalam mobil lagi, lalu menatap Wina dengan mata yang menyalang marah."Wina! Sudah kubilang 'kan jalanan Walston itu nggak aman! Kamu ini mendengarkanku nggak sih!""Eh, aku ...."Begitu Wina membuka mulut, Jihan langsung menyela, "Aku tahu kamu nggak mau ke vilaku, tapi apa kamu pernah memikirkan siapa lagi yang kamu kenal di Walston dan ke mana kamu bisa pergi?"Nada bicara Jihan yang kesal terdengar bercampur dengan frustrasi. "Kenapa sih sudah seperti ini saja kamu nggak mau menerima bantuanku? Kamu sebegitunya membenciku?"Jihan sudah berulang kali berusaha dengan keras dan menyatakan perasaannya, tetapi berulang kali pula Wina menolak. Kenapa di saat Wina membutuhkan bantuan dia tetap menolak bantuan Jihan?Apa jangan-jangan Wina tidak memedulikan rasa cinta Jihan dan memandang rendah dirinya karena sudah tidak mencintainya lagi?Wina balas menatap Jihan de
Wina sontak teringat dengan kesalahannya kemarin malam, wajahnya langsung menjadi merah padam.Jihan refleks menyentuh pipi Wina yang terasa panas."Nona Wina, kamu sudah bersalah pada Ivan sejak momen melanggar batasan denganku, jadi ngapain masih ngerasa malu?"Setelah itu, Jihan pun langsung menggendong Wina dan berjalan menuju kamar mandi tanpa repot-repot menunggu respons Wina.Jihan meletakkan Wina di dalam bak mandi, lalu berkata, "Kamu kelihatannya capek banget, tidurlah dengan nyenyak habis mandi."Jihan mengambil handuk mandi yang pelayannya serahkan, meletakkannya di rak kamar mandi, kemudian berbalik badan dan berjalan keluar.Wina menatap pintu kamar mandi yang ditutup, lalu menghela napas dengan ebrat.Ucapan Jihan ada benarnya. Dia memang sudah melakukan semua yang harus dilakukan. Sekalipun Wina tidak ingin berurusan apa-apa lagi dengan Jihan, kenyataannya tidak akan berubah.Memikirkan semua ini membuat suasana hati Wina jadi buruk, rasanya dia merasa sangat lelah.Win
Ucapan yang begitu memelas dan memohon itu membuat jantung Wina sontak berdetak dengan kencang.Dia sedikit menolehkan kepalanya untuk menatap Jihan yang sedang memeluknya dari belakang.Wajah Jihan terlihat tirus dan pucat, matanya tampak berkaca-kaca.Selama ini, Wina selalu melihat Jihan sebagai pribadi yang angkuh dan sombong.Namun, sekarang Jihan rela berulang kali menurunkan harga dirinya demi meluluhkan hati Wina.Situasi ini seperti bintang yang semula bertebaran di langit tiba-tiba jatuh dan menjadi debu.Masalahnya, bintang yang jatuh tetap saja merupakan sesuatu yang luar biasa. Mana mungkin Jihan berubah sampai sedrastis ini gara-gara Wina?Wina pun mengusap poni Jihan ....Tubuh Jihan sontak menegang.Dia menatap Wina di hadapannya yang tatapannya terlihat lembut.Jihan refleks memeluk Wina dengan sedikit lebih erat. "Wina, tolong jangan kejam-kejam terhadapku ...."Pelukan Jihan begitu erat sampai-sampai dada Wina terasa sesak. Wina sontak mengerang pelan, membuat Jihan
Wina sontak menarik kakinya kembali dengan takut sambil berkata dengan ekspresi yang terlihat ngeri, "Kamu nggak perlu sampai sebegininya."Yang penting Jihan tidak menyakitinya lagi. Wina merasa sangat risih dengan sikap Jihan yang seolah melayaninya seperti ini.Jihan pun menengadah menatap Wina dengan matanya yang terlihat dalam, lalu balas mengangguk. Meskipun begitu, Jihan tetap melepaskan sepatu Wina yang satu lagi tanpa mengindahkan ucapan Wina.Jihan meletakkan sepatu Wina ke atas lantai, lalu menggendong Wina sambil menyibakkan selimut, kemudian menyelimuti tubuh Wina.Setelah itu, Jihan mengelus pipi Wina sambil berkata, "Kamu tidur saja dulu. Nanti setelah bangun, akan kumasakkan yang enak buatmu.""Aku nggak mau kamu begini, bersikaplah sama seperti sebelumnya ..." sahut Wina sambil mengernyit sedikit.Sepertinya, Jihan salah mengartikan ucapan Wina. Dia tiba-tiba menggendong Wina bangun dari atas kasur.Sambil memeluk Wina yang terkejut, Jihan duduk di sofa. Jihan merangku