Sara berdiri di depan kamar rawat, dia tidak berani masuk.Bukan karena tidak berani menghadapi Wina, tetapi dia tidak bisa menghadapi kepergian Wina.Sara melipat tangannya dan bersandar ke dinding dan perlahan berjongkok. Seolah-olah seluruh dunia telah meninggalkannya, dia tampak sangat tidak berdaya.Ketika Lilia memimpin sekelompok dokter untuk melakukan pemeriksaan, dia melihat Sara. Kemudian, dia segera meminta dokter lain untuk melanjutkan pekerjaan mereka. Sementara dia melangkah maju untuk membantu Sara berdiri."Nona Sara, kamu baik-baik saja?"Sara tertegun dan menggelengkan kepalanya.Lilia menatap mata Sara yang bengkak karena menangis, lalu menarik napas dalam-dalam."Nona Sara, hidup dan mati sudah ditakdirkan. Nggak ada yang bisa mengubahnya. Yang bisa kamu lakukan sekarang adalah lebih sering menemaninya. Jangan sampai ada penyesalan di kemudian hari."Kata-kata itu menyadarkan Sara. Secercah cahaya kehidupan terlihat pada pupil matanya yang redup itu."Berapa lama ..
Sara menangis selama dua jam penuh, seolah-olah dia telah mengeringkan semua air matanya baru berhenti menangis.Wina mengangkat sudut bibirnya dan mentertawakannya, "Kak Sara di dalam ingatanku selalu kuat, nggak kusangka bisa jadi cengeng seperti ini."Sara tidak ada niat bercanda dengannya, dia hanya bertanya dengan ekspresi pahit di wajahnya, "Apakah Dokter Lilia tahu bahwa kamu nggak bisa melihat?"Wina menggelengkan kepalanya, "Nggak tahu."Setelah itu, Wina menambahkan, "Aku nggak ingin merepotkannya."Ketika mendengar ini, Sara merasa sangat sedih. Dia tahu Wina mungkin merasa hidupnya hanya tinggal beberapa hari lagi, jadi tidak peduli apakah bisa melihat atau tidak.Sara menatap mata Wina yang terlihat kusam, menekan keputusasaan yang hampir runtuh di dalam hatinya dan bertanya dengan suara serak, "Wina, kapan kamu mulai menderita gagal jantung?"Sara sudah pernah mencari tahu bahwa gagal jantung tidak mungkin akan langsung sampai ke tahap stadium terakhir.Oleh karena itu, S
Teringat dengan perkataan Wina untuk tidak menyalahkan Rian, Sara pun mengabaikannya dan pergi mengambil air.Rian berdiri di depan pintu, memandangi tubuh mungil dan lemah yang terbaring di ranjang itu. Perlahan-lahan seperti ada kabut yang memenuhi mata Rian.Setelah menenangkan tubuh yang terus gemetar, Rian mengepalkan tangannya dan menggerakkan kakinya yang terasa berat menuju ranjang Wina selangkah demi selangkah.Wina yang tidak bisa melihat, hanya bisa merasakan ada seseorang mendekat. Dia mengira Sara sudah kembali dan mengulurkan tangannya untuk memegang pakaian Sara."Sara ...."Sebelum terpegang, tangan Wina digenggam oleh telapak tangan yang besar.Wina merasakan tangan yang memegangnya dengan erat sedikit gemetar. Seakan pemilik tangan ini memiliki ribuan kata untuk diucapkan tetapi tidak tahu harus berkata apa, jadi dia hanya bisa memegang tangannya dengan erat.Wina menyadari bahwa itu adalah sepasang tangan pria. Seketika, wajah tampan Jihan muncul di benaknya, tetapi
Sekarang Rian mulai mengerti mengapa Wina sebelumnya memperlakukannya begitu kejam.Saat itu, Wina mengusirnya karena takut dia akan bersedih dan merasa bersalah setelah melihat kematian Wina.Ternyata Wina miliknya tidak pernah berubah. Menjelang akhir hidup pun Wina selalu memikirkannya.Sedangkan dirinya, malah berpikir Wina begitu kejam padanya karena sudah jatuh cinta pada Jihan.Rasa bersalah yang mendalam menyelimuti Rian sepenuhnya, membuatnya gemetar bahkan saat dia memegang tangan Wina.Wina merasakan ketidakberdayaan Rian, mengulurkan tangan untuk meremas telapak tangan Rian dan berkata, "Ivan, kamu kembali ke sana, ya?"Rian menyentuh wajah pucat Wina dan berkata dengan lembut, "Wina, apa pun yang kamu katakan kali ini, aku nggak akan pergi. Aku akan berada di sisimu selamanya, menemanimu selamanya ...."Kata selamanya terlalu berat untuk diterima Wina, tetapi dia tidak ingin menyakiti hati Rian.Wina menghirup oksigen dalam-dalam untuk menghilangkan rasa sesaknya, lalu ber
Dalam beberapa hari terakhir, Wina menghabiskan lebih banyak waktu untuk tidur daripada bangun.Bahkan ketika dia bangun, dia hanya bisa berbicara beberapa kata dan tertidur lagi.Rian terus menemaninya di samping, sama sekali tidak bergerak. Wajahnya sedikit pucat dan muncul kumis tipis. Dia tampak kelelahan.Sara membujuknya untuk istirahat, tetapi dia tidak mau. Sara tidak bisa memaksanya, jadi tidak memedulikannya lagi.Sara berpikir Wina mungkin ingin makan sesuatu setelah bangun, jadi pergi menyiapkannya dulu meski Wina mungkin tidak akan bisa makan.Setelah memberi tahu Rian bahwa dirinya pergi membeli bubur, Sara pun meninggalkan kamar rawat dan turun ke bawah.Tidak lama kemudian, Wina terbangun. Pembengkakan di tangan dan kakinya membuatnya tidak bisa bergerak.Wina bisa menebak kalau wajahnya mungkin bengkak juga dan pasti terlihat sangat jelek.Dia merasakan tangan Rian memegang tangannya begitu kuat hingga jantungnya berhenti sejenak.Dia menelan ludahnya dan berbicara den
Saat Wina mentertawakan dirinya sendiri, saluran pernapasannya tiba-tiba menegang. Dia terbatuk-batuk sampai mengeluarkan darah dan langsung memenuhi seluruh masker oksigennya."Wina!"Seketika, Rian terlihat pucat dan bergegas menekan bel untuk memanggil dokter. Dia berlutut dengan satu kaki, mengambil tisu, membuka masker oksigen itu dan menahan darah yang dibatukkan Wina.Ketika darah mengalir ke tisu dan menodai jari-jarinya, sekujur tubuh Rian gemetar.Dia mengulurkan tangan yang satu lagi, mencoba menyeka darah dari sudut mulutnya. Namun, semakin dia menyeka, semakin banyak darah yang keluar ....Darah mengalir di pipi Wina, menodai pakaian dan bantalnya.Warna merah pekat itu sangat menusuk mata dan jantung Rian, membuatnya tidak bisa berhenti gemetar.Ketika mendengar bel berbunyi, perawat segera memanggil dokter yang merawat Wina dan Dokter Lilia.Melihat Wina terbatuk-batuk seperti itu, Lilia segera memerintahkan dokter lain untuk mendorongnya ke ruang gawat darurat.Mereka y
Rian berpegangan pada dinding dan masuk ke ruang gawat darurat selangkah demi selangkah.Tubuh kurus itu tergeletak di meja operasi, tampak tak ada vitalitas.Kalau bukan karena matanya yang tertutup bulu mata panjang yang masih bergerak, Wina seperti sudah tidak bernyawa.Darah di wajah Wina telah dibersihkan, memperlihatkan wajah kecil pucat dan sakit-sakitan.Wina secantik biasanya, seperti bunga higanbana yang disinari cahaya yang begitu indah.Sangat disayangkan bahwa bunga higanbana bukan milik dunia manusia. Wina ditakdirkan untuk kembali ke tempatnya pada saat yang paling indah."Wina ...."Rian berlutut di depan meja operasi, membungkuk, merendahkan suaranya dan memanggil namanya dengan lembut di samping telinga Wina.Suara yang lembut itu mengembalikan kesadaran Wina yang akan menghilang.Wina perlahan membuka matanya yang lelah, dia ingin melihat Ivan untuk terakhir kalinya, tetapi dia tidak dapat melihat apa pun."I ... van ...."Dia kesulitan untuk menyebut namanya, kesada
Wina kali ini dapat melihat dengan jelas bahwa Jihan yang mengenakan jas hitam datang menghampirinya.Seperti pertama kali bertemu, Jihan berjalan ke arahnya selangkah demi selangkah dengan langkah yang mantap.Jihan mengulurkan tangan ke arahnya, menundukkan kepala dan berkata dengan lembut padanya, "Wina, aku di sini ...."Suaranya lembut ....Jihan tidak pernah berbicara selembut itu dengannya.Kesadaran Wina berangsur-angsur kembali. Ketika dia membuka matanya lagi, yang terlihat hanyalah kegelapan tak berujung.Ada yang bilang orang akan mengalami halusinasi sebelum meninggal. Barusan yang dilihat Wina hanyalah imajinasinya saja.Jauh di lubuk hatinya, Wina ingin sekali bertemu Jihan untuk terakhir kalinya. Sayangnya, Jihan tidak pernah muncul.Melihat Wina tetap melihat ke luar pintu meski Sara sudah datang, Rian sepertinya mengerti sesuatu.Setelah menghilangkan kekalutan di hatinya, Rian segera berkata kepada Lilia, "Cepat telepon Jihan! Minta dia datang untuk menemuinya yang t