Mata Jihan yang indah itu terlihat begitu dalam dan terang seperti langit berbintang, tetapi juga tampak berkecamuk.Wina memperhatikan mata Jihan dengan saksama. Dia mencoba mencari tahu apa yang tersembunyi di baliknya, tetapi gagal. Rasanya bintang-bintang dalam sorot tatapan Jihan terlalu jauh darinya.Hati Wina terasa pedih dan sakit.Justru perubahan suasana hati itu yang membuat Wina kurang bisa menahan perasaan.Itu sebabnya dia selalu merasa sakit setiap kali menghadapi sesuatu yang membuatnya sedih.Namun, Wina sepertinya bisa berpikir dengan lebih rasional dibandingkan sebelumnya setelah tercebur ke dalam laut.Contohnya saja saat ini. Wina berusaha menahan rasa sakit dalam hatinya, dia menatap Jihan dengan tetap tenang."Kalau kamu memang bisa keluar masuk Medan Hitam dengan bebas, kenapa kamu nggak pulang? Kenapa nggak menghubungiku?"Nada bicara Wina sangat tenang tanpa kesan menginterogasi, tetapi dia tetap meminta jawaban.Jihan yang sedari tadi menurunkan pandangannya
"Apa kamu nggak leluasa bicara karena tempat ini diawasi?"Wina pun langsung berdiri hendak menemui James untuk meminta kakeknya mematikan sistem pengawasan, tetapi Jihan menariknya."Wina, ruang kendali utama adalah wilayah pribadi James, nggak ada sistem pengawasan di sini."Ini adalah satu-satunya tempat di seluruh Arom yang tidak diawasi. James tidak mengizinkan siapa pun mengganggu privasinya.Wina menatap ke sekeliling ruang kendali utama. Semua dindingnya terbuat dari logam berat."Apa tempat ini kedap suara? Bisa saja 'kan dia menguping ...."Jihan pun tersenyum dengan penuh kasih sayang melihat sorot tatapan Wina yang waspada ...."Ruangan ini kedap suara banget kok. Lagian, mana mungkin dia ingin menguping di saat dia nggak tahu siapa aku?"Wina menduga James sudah mengetahui identitas Jihan dari Winata, itu sebabnya kakeknya itu membatasi kebebasan Jihan.Namun, Jihan bilang James tidak tahu. Jihan bahkan menggenggam tangan Wina erat-erat dan memberikan penjelasan yang masuk
Wina merasa kesulitan memahami isi hati Jihan, rasanya seperti ada kabut yang menutupi binar dalam pandangan Jihan.Namun, ucapan Jihan terasa begitu memilukan sampai-sampai Wina rasanya tidak bisa mendengar. Begitu memproses ucapan Jihan, mata Wina langsung berkaca-kaca."Kenapa? Apa karena Winata masih mengancammu ...."Wina menduga Jihan terpaksa mendorongnya menjauh seperti dulu karena Winata menggunakan nyawanya untuk mengancam Jihan. Namun, kali ini ternyata berbeda."Aku akan menangani Winata sebagai pemimpin Medan Hitam, jangan takut."Jihan mendadak merasa begitu malu setelah mendengar suara Wina yang sangat hangat dan lembut, tetapi juga dipenuhi tekad kuat untuk melindunginya."Wina, kali ini Winata nggak mengancamku. Aku ... yang ingin menceraikanmu."Wina sontak mematung, rasa sakit di hatinya membuat air mata yang sudah menggenangi pelupuk matanya pun bergulir turun."Kenapa ...."Tidak ada perubahan hati, tidak ada pembatasan kebebasan dan tidak ada ancaman. Kenapa Jihan
Wina termangu menatap Jihan, tetapi sepertinya mengerti apa yang Jihan maksud. Alih-alih menyalahkan Jihan, Wina mengetatkan cengkeramannya."Aku bisa saja menolak menjadi cucunya atau menggantikannya dan memilih berada di sisimu. Apa dengan begitu ... kita tetap harus bercerai?"Ketegasannya Wina sebenarnya sudah cukup untuk menghangatkan Jihan yang diselimuti keputusasaan. Itu sebabnya makin lama, ucapan Jihan makin terdengar kejam dan tajam menusuk."Kamu nggak bisa menyangkal ikatan darah semudah itu. Statusmu sebagai pemimpin Medan Hitam juga nggak mungkin dianulir begitu saja setelah James mengumumkannya. Sebentar lagi ....""Orang-orang di Medan Hitam akan mengetahui siapa kamu, begitu pula dengan Organisasi Shallon. Apa kamu pikir mereka akan melepaskanmu setelah tahu?"Ucapan Jihan itu entah kenapa membuat Wina menjadi makin tegang, rasanya seperti ada belenggu yang mengikatnya.Wina pun melepaskan tangan Jihan dengan lemah, sorot tatapannya perlahan terlihat hilang arah. Seol
"Wina."Saat Wina hendak pergi, Jihan tiba-tiba menghentikannya.Wina berbalik badan menatap Jihan, bertepatan dengan pandangan Jihan yang tertuju pada perut Wina."Apa ... aku boleh mengelus anak kita?"Jihan tidak hadir saat Wina tahu dia hamil dan belum pernah mengelus perut Wina. Apa Jihan sekarang boleh mengelus perut Wina?Wina mengikuti pandangan Jihan yang tertuju pada perutnya yang membesar, lalu mengangguk dengan lembut.Jihan pun mengulurkan tangannya menyentuh bagian bawah perut Wina. Begitu menyentuh perut Wina yang membundar, jantungnya sontak terasa seperti berhenti selama sepersekian detik.Saat melihat sorot tatapan Jihan yang melembut, Wina mendadak teringat akan Jefri yang memegang buku cerita anak sambil menceritakan isinya kepada anak di dalam perut Sara.Dia juga ingin anaknya diajak bicara oleh sang ayah agar Wina tidak merasa menyesal setelah bercerai, jadi dia bertanya pada Jihan."Kamu ... mau bicara dengan anak kita?"Jihan sontak tertegun, dia tidak tahu har
Setelah keluar, Wina berjalan melewati koridor sampai dia melewati ruang rapat dan mendengar teriakan marah dari dalam.Barulah setelah itu dia berhenti berjalan. Melalui celah pintu yang terbuka, dia melihat para anggota di ruang rapat itu sedang dimarahi oleh James."Kalau sampai hal ini terjadi lagi, nggak ada satu orang pun dari kelompok 2 di Area B boleh bertaruh di zona tengah! Aku mau lihat gimana caranya kalian bisa dapat uang, hah!"Setelah berseru dengan marah, James pun secara kebetulan menengadah menatap sosok Wina di luar pintu. Dia sontak berhenti membentak dan memelankan suaranya."Kalian keluar dulu."Setelah mereka keluar, James melambai ke arah Wina dengan lembut."Sini."Wina berpikir sebentar, lalu akhirnya masuk dan duduk sesuai isyarat dari James.Begitu Wina duduk, James membuka laci dan mengeluarkan sebotol buah plum asam. Dia meletakkannya di depan Wina."Sudah selesai mengobrolnya?"Saat Wina hendak menjawab, dia melihat James tiba-tiba menatap ke arah Jihan y
Wina seolah tidak mau menghadapi akhir riwayatnya, jadi dia tidak menyelesaikan ucapannya. Dia mundur selangkah dan berbalik badan berjalan pergi.Wanita hamil lain biasanya terlihat gemuk, tetapi Wina terlihat sangat kurus. Rasanya dia bisa jatuh jika tertiup angin sepoi-sepoi.Jihan menatap punggung Wina yang tampak begitu lemah dan kesepian. Dia kalah oleh rasa sakit dalam hatinya, jadi dia memanggil nama Wina."Wina."Mendengar suara Jihan yang gemetar, langkah Wina pun perlahan melambat. Namun, dia tidak menoleh ke belakang. Betapa dia berharap Jihan akan mengajaknya pergi bersama, tetapi ternyata Jihan tidak melakukannya."Aku akan kembali ke sini dengan Organisasi Shallon untuk menghabisi Medan Hitam. Kamu nggak boleh tetap di sini, berbahaya banget."Ucapan Jihan itu membuat hati Wina terasa seperti tenggelam. Wina balas mengangguk kecil dan kembali berjalan menuju pintu masuk vila di Area A tanpa menoleh ke belakang.Kali ini, Jihan tidak menghentikan Wina. Bukannya Jihan tida
James mengajak Wina ke ruang isolasi di zona tengah. Sebelum pria berbaju hitam membuka pintu, James menjelaskan kepada Wina."Waktu Kakek tahu kalau Haris-lah yang mendorongmu ke laut, Kakek mengurung mereka secara terpisah. Mereka juga tahu kalau Kakek adalah kakekmu.""Gunakan saja identitasmu sebagai cucu Kakek dan perlakukan mereka sesukamu. Jangan melunak terhadap mereka."Wina tidak menjawab. Saat pintu ruang isolasi terbuka, lampu di Medan Hitam tiba-tiba menyala.Winata sontak memejamkan matanya karena merasa silau, lalu perlahan membukanya kembali setelah bisa menyesuaikan diri dengan cahaya yang muncul.Begitu melihat wajah yang familier dan mirip muncul di hadapannya, rasanya Winata ingin bangkit berdiri dan mencabik-cabik wajah itu!Dia benci sekali dengan wajah itu. Jika bukan karena wajah yang mirip dengannya itu, mana mungkin Jihan tidak pernah luluh kepadanya!"Sayang banget kamu masih hidup! Kalau kamu sudah mati, aku pasti akan menyalakan kembang api untuk merayakann
Lama sekali Jodie hanya tertegun setelah menerima berita kematian Wina, tetapi akhirnya bergegas dan mengantar kepergian Wina ke tempat peristirahatan terakhirnya. Setelah semua orang meninggalkan pemakaman, Jodie mengelus batu nisan Wina dengan penuh rindu."Wina."Jodie perlahan berjongkok sambil bertopang pada batu nisan Wina dan menatap wajah Wina dalam foto dengan matanya yang sudah menua ...."Nggak disangka, ya?""Ternyata begitu aku jatuh cinta, rasa cintaku bisa bertahan selama ini," gumam Jodie sambil mengangkat alisnya. "Aku saja nggak tahu kalau aku ternyata tipe orang yang sepenyayang ini."Jodie menatap foto itu dan tersenyum. "Sampai-sampai ... aku merasa nggak ada satu wanita lain pun yang menarik perhatianku. Tuh Wina, aku nggak kalah dari Jihan, 'kan?"Namun, yang menjawab Jodie adalah bunyi kepak sayap burung yang terbang di pemakaman. Setelah semua binatang itu pergi, yang tersisa hanyalah keheningan. Sama heningnya seperti rasa cinta yang selama ini Jodie pendam da
Sebelum kehidupan Wina berakhir, yang terlintas di benaknya adalah rasa cinta yang Jihan sembunyikan selama lima tahun itu ....Saat membalikkan tubuhnya dan bangun, Wina bisa melihat tubuhnya dipeluk dengan erat oleh sepasang lengan yang kuat dan bertenaga. Jika itu bukan cinta, lantas apa ....Wina juga bisa melihat suasana makan di akhir pekan itu dengan jelas. Jihan yang duduk di depannya sesekali melirik Wina melalui ekor matanya. Jika itu bukan karena Jihan sudah lama menyukainya waktu, lantas apa ....Apalagi setelah Jihan selesai melakukannya. Dia akan menggendong dan membiarkan Wina berbaring tengkurap, lalu mengusap-usap punggung Wina untuk menidurkannya seperti anak kecil ....Rasa cinta Jihan terwujud dalam hal-hal kecil. Mungkin sekilas tidak terlihat jelas cinta macam apa itu dan hanya Jihan sendiri yang tahu betapa dia menyayangi dan mencintai Wina ....Mata Wina tidak bisa lagi terbuka, rasanya jiwanya tersedot keluar. Dia tidak punya tenaga lagi untuk bangkit, dia juga
Wina mengelus bagian belakang kepala Delwyn, ekspresinya terlihat sangat tenang seolah-olah dia sudah berdamai dengan kenyataan. "Kapan kamu akan menikah?"Tubuh Delwyn sontak menegang, air mata menggenangi pelupuk matanya. Dia pun perlahan menengadah dan melepaskan Wina. "Ibu ... aku ... aku belum bertemu dengan gadis yang kusuka."Wina bisa melihat pantulan dirinya dari bola mata Delwyn, jadi dia menyentuh wajah putranya. "Kamu lihat sendiri betapa menderitanya ibumu tetap bertahan hidup. Masa kamu nggak mau membiarkan Ibu menyusul ayahmu?"Sewaktu kecil Delwyn dikekang oleh orang tuanya, tetapi sekarang setelah besar, giliran dia yang mengekang orang tuanya. Karena hanya pengekangan ini saja yang bisa mencegah Delwyn menjadi yatim piatu. Jadi ... biarkan Delwyn menjadi egois untuk kali ini saja ....Delwyn meraih lengan Wina dan memohon, "Ibu, tolong tunggu sebentar lagi. Aku akan menemukan gadis yang kusuka dan menikahinya, oke?"Wina tidak tega menyakiti hati putranya, jadi dia me
Demi putranya, Wina sama sekali tidak mengikuti Jihan. Namun, rambut Wina mendadak beruban dalam satu malam dan wajahnya seolah menua sepuluh tahun. Kerutannya sontak tampak lebih kentara, tatapan matanya selalu terlihat kosong.Di depan makam Jihan, Wina meminta Jihan untuk menunggunya. Sekarang Wina sudah punya anak, jadi dia tidak bisa melakukan sesuatu dengan asal. Nanti setelah putra mereka menikah, barulah Wina akan pergi menyusul Jihan. Jika Jihan ternyata tidak menunggunya, Wina akan menarik kembali janjinya tentang kehidupan selanjutnya sehingga mereka tidak akan pernah bertemu lagi ....Wina tidak menghadiri pemakaman Jihan. Itu sebabnya dia akhirnya terbangun, lalu berjalan ke makam Jihan dengan tubuh yang terhuyung-huyung. Tidak ada yang tahu tentang apa yang Wina katakan kepada Jihan, selain Delwyn yang memapah ibunya untuk menemui ayahnya ....Malam itu, Wina tiba-tiba pingsan di salju dan segera dibawa ke rumah sakit untuk diberikan pertolongan pertama. Wina baru sadar s
Bulu mata Wina tampak bergetar. Dia mengangkat matanya yang terkesan kosong dan menatap ke kejauhan. "Nggak, aku nggak akan ke mana-mana. Kami akan tetap di sini sampai aku ikut mati beku. Nggak akan ada yang bisa memisahkan kami."Semua orang sontak merasa tercekat. Mereka semua bergegas membujuk Wina agar jangan melakukan hal bodoh, tetapi Wina tidak mengacuhkan semua omongan mereka. Dia hanya duduk diam di sana sambil memeluk Jihan, menunggu ajal menjemputnya.Delwyn akhirnya menggenggam tangan Wina dengan erat sehingga pandangan Wina beralih kepadanya. "Ibu, aku tahu betapa Ibu mencintai Ayah dan Ibu pasti sulit menerima kenyataan ini, tapi tolong jangan lakukan hal bodoh. Aku sudah kehilangan Ayah dan aku nggak bisa kalau harus kehilangan Ibu juga ...."Suara putranya membuat Wina akhirnya perlahan menatap Delwyn. Wina menyentuh wajah Delwyn yang tampak begitu mirip dengan Jihan, lalu tersenyum kecil dengan senang ...."Ibu sudah lama mempersiapkan diri untuk kematian ayahmu. Kare
Air mata Wina pun mendadak mengalir turun. Tidak ada tangisan yang memilukan hati, hanya keheningan dan bibir Wina yang terbuka. Wina ingin mengatakan sesuatu, tetapi sepertinya dia sudah mengatakan semua yang ingin dia katakan kepada Jihan. Pada akhirnya, Wina hanya menurunkan pandangannya menatap wajah Jihan yang sudah pucat itu ...."Bodoh. Mau seberapa banyak pun darahmu mengalir keluar, kamu tetap suamiku. Mana mungkin aku takut? Aku nggak takut. Kenapa kamu malah pergi ke tempat seperti ini sendirian?"Yang membuat Wina merasa begitu getir adalah karena dia tidak sempat berpamitan untuk terakhir kalinya. Namun, Jihan sama sekali tidak memikirkan rasa penyesalan Wina dan fokus ingin menyembunyikan kondisinya dari Wina ....Lantas, bagaimana jika ... Wina tidak mengenali tiruan Jihan? Apa itu berarti Wina tidak akan pernah menemukan tubuh Jihan? Apa itu berarti Jihan akan selamanya terkubur beku di bawah salju ....Jihan sudah mempersiapkan segala sesuatunya sebelum ajal menjemputn
Saat Delwyn meraih tangan Jihan dengan gemetar, Wina sontak menengadah seolah mendapatkan firasat. Dia melihat ke arah Delwyn sekilas, lalu bergegas merangkak menghampiri putranya dengan rambut acak-acakan seperti orang gila.Wina tetap tidak menangis. Dia bahkan menyentuh tangan yang kaku dan putih membeku itu dengan tatapan tegas, lalu menurunkan pandangannya yang bergetar dan menggali salju yang menutupi tubuh Jihan dengan tangannya yang sudah berdarah.Salju yang menumpuk di gunung lebih dalam, setiap lapisannya mengubur Jihan. Wina berusaha dengan sekuat tenaga untuk mengeluarkan suaminya dari dalam salju, lalu akhirnya melihat wajah Jihan yang berlumuran darah. Tidak ada rona kemerahan apa pun di wajah yang tampan itu, hanya ada noda darah dan salju yang menghiasi ....Delwyn menatap sosok ayahnya dengan tidak percaya. Dia pun jatuh terduduk, hatinya terasa remuk redam. Langit seolah mendadak runtuh dan hanya ada kegelapan tak berujung yang menyelimuti ...."Delwyn.""Tolong Ibu,
Wina yang sedang mencari ke mana-mana sontak berhenti melangkah, rasanya dia seperti mendengar ada yang memanggil namanya. Wina pun menoleh dengan tatapan kosong, tetapi terlihat jelas hanya ada dia di sini.Wina berdiri dalam diam, lalu memegangi dadanya yang berdetak dengan begitu kuat. Tiba-tiba, hatinya terasa tersayat seolah-olah dia akan kehilangan sesuatu. Saking sakitnya, Wina sampai membungkukkan tubuhnya. Akan tetapi, rasa sakit itu tidak kunjung hilang ....Firasatnya mengatakan bahwa sesuatu terjadi pada Jihan. Di saat Wina ingin kembali mencari Jihan, tiba-tiba sosok Jihan yang tampan muncul di hadapannya sambil membawa sebuket mawar."Sayang, kok kamu di sini? 'Kan sudah kubilang tunggu aku?"Begitu melihat Jihan tampak baik-baik saja, jantung Wina yang semula berdegap kencang mendadak menjadi tenang kembali.Wina langsung melempar payungnya dan melompat memeluk Jihan dengan gembira.Wina menghela napas lega saat merasakan hangat tubuh dan napas Jihan."Sayang, kamu tahu
Saat melihat Jihan berdiri sempoyongan dan mengerahkan sedikit tenaga untuk melambaikan tangannya, Jefri akhirnya tidak tahan lagi. Dia menggertakkan gigi dan berlari secepat mungkin ke dasar Gunung Kiron ...."Kak Jihan, aku panggil dokter dulu, terus menyuruh robot itu naik gunung dan baru setelah itu aku akan menjemputmu! Kakak berdiri saja di sana dan tunggu aku, ya! Aku akan segera kembali!"Jalan gunung di malam hari memang tidak dapat diprediksi, salju yang turun dari langit seolah menjadi sumber penerangan. Jefri merasa seperti sedang berjalan di siang hari. Namun, saking langkahnya terburu-buru, Jefri sampai beberapa kali jatuh tersungkur ke atas tanah dan dia bahkan tidak tahu berjalan ke arah mana ....Jihan memandangi punggung Jefri yang berangsur-angsur menghilang dari pandangannya, lalu memegangi dadanya. Dia bisa merasakan detak jantungnya yang perlahan melambat. Jihan berdiri diam sambil merasakan bagaimana nyawanya meregang ....Entah berapa lama waktu berlalu, yang je