Hujan baru berhenti turun keesokan paginya.Jihan menunduk menatap Wina yang berada dalam pelukannya selama beberapa saat, lalu perlahan melepaskan Wina.Jihan pikir Wina sedang tidur, jadi dia menyibakkan selimut dan mengambil pakaiannya, lalu berjalan keluar dengan tenang ....Wina yang sedang berbaring miring di atas tempat tidur pun membuka matanya dan menatap punggung Jihan yang tinggi dan tegap ....Wina bisa mendengar Jihan menyuruh Paman Rudi untuk menjaganya baik-baik, Jihan juga menyuruh Alta untuk melindunginya. Wina juga mendengar Jihan melarang Gisel curi-curi memakan makanan ringan, sekaligus mengingatkan Gisel untuk patuh kepada Wina ....Wina tahu Jihan sedang mengucapkan kata-kata terakhir. Namun, sekarang dia jauh lebih tenang dibandingkan saat dia sibuk menangis dan merajuk sepuluh hari yang lalu. Sepertinya, Wina sudah bisa menerima kenyataan bahwa Jihan akan pergi.Wina berbaring dalam diam selama beberapa saat, lalu mencari tumpuan dan memaksakan tubuhnya yang ter
Jefri segera mengikuti Jihan ke ruang kerja sambil mengernyit. Dia duduk berhadapan dengan Jihan di meja kerja, lalu Jihan membuka laci dan menyerahkan dua lembar amplop kepada Jefri."Kalau aku nggak kembali dalam sebulan, berikan surat ini kepada Wina."Amplop itu berwarna merah muda, di dalamnya ada surat yang Jihan tulis sendiri. Jefri tidak tahu apa isinya. Dia hanya mengulurkan tangannya mengambil amplop itu, lalu menengadah dan menatap Jihan dengan bingung."Kak Jihan mau ke mana?"Jihan meremas amplop putih yang dia pegang seolah sedang ragu, lama sekali dia tidak memberikan jawaban apa pun. Saat Jefri hendak bertanya lagi, Jihan tiba-tiba menyerahkan amplop itu kepada Jefri seolah-olah sudah memantapkan hati."Kalau aku nggak kembali dalam tiga bulan, berikan surat ini kepada Ivan."Tentu saja Jefri tahu hubungan antara Ivan dan Wina. Kenapa Jihan mendadak menyebut soal Jihan dan meninggalkan surat? Bahkan orang bodoh sekalipun tahu bahwa Jihan sedang meninggalkan Kata-kata te
Jihan berjalan menuruni tangga berbentuk spiral dan melihat Wina berdiri termangu di ruang makan. Dia segera berjalan mendekat dan mengambil panci sup itu dari tangan Wina. "Sayang, mulai sekarang biar para pelayan saja yang melakukan hal semacam ini. Kamu nggak usah menyajikan sendiri, nanti tanganmu bisa terbakar."Nada suara Jihan yang penuh kasih sayang dan lembut itu menyentuh hati Wina. Wina menahan rasa tidak rela yang tumbuh dalam hatinya, lalu mengiakan dengan patuh, "Oke ...."Jihan meletakkan panci sup, ekor matanya menyadari kehadiran Vian dan Valeria. Gerakan Jihan terhenti sesaat, lalu dia menggenggam tangan Wina sambil berkata, "Wina, aku harus pergi. Kamu ... baik-baik ya di rumah."Wina pikir dia sudah siap, tetapi begitu mendengar kata-kata Jihan, matanya tetap saja berkaca-kaca.Wina tidak ingin Jihan melihat air matanya, jadi dia segera menunjuk ke arah piring di atas meja dan memalingkan pandangannya. "Sayang, aku sengaja masak itu buatmu. Kamu makan dulu baru perg
Vian berjalan mengikuti Jihan. Namun, dia baru berjalan beberapa langkah sebelum mendadak berhenti dan menatap Valeria yang sedang duduk di dalam mobil."Kalau aku nggak kembali, kamu harus menikahi yang lain."Jantung Valeria sontak terasa berhenti berdetak selama sepersekian detik. Dia menatap punggung Vian yang berjalan pergi dengan kosong.Dia tidak pernah menyatakan perasaannya kepada Vian.Di sisi lain, Vian tidak pernah peka dalam urusan percintaan. Dia tidak tahu-menahu soal rasa cinta yang Valeria pendam untuknya.Namun, dari ucapan Vian barusan, sepertinya Vian tahu bahwa Valeria selama ini menyimpan rasa terhadapnya.Tatapan Valeria yang semula tampak acuh tak acuh pun menjadi berkaca-kaca ....'Kak, kalau kamu nggak kembali, aku nggak akan pernah menikah dengan siapa pun itu,' batin Valeria.Setelah Jihan pergi, Wina jadi tidak punya semangat untuk melakukan apa pun. Dia sering duduk meringkuk di atas sofa ruang kerja sambil melamun menatap ke luar jendela.Beberapa kali Sa
Pada malam terakhir tanggal 30, Wina berdiri di luar rumahnya yang berbentuk kastel sambil menatap jam tangannya. Saat jarum jam menunjukkan pukul 12 malam, mobil hitam yang Jihan tumpangi saat pergi sebulan lalu itu tetap belum terlihat di jalanan sekitar Bundaran Blue Bay ....Rasanya jantung Wina seperti berhenti berdetak selama sepersekian detik. Setelah menunggu dengan gelisah, akhirnya kakinya tidak tahan dan berjalan menuju ujung jalan yang gelap. Wina hendak melihat apakah ada mobil yang datang dari bawah gunung, tetapi Alta mengadangnya."Bahaya, Nyonya."Jihan menyuruh Alta untuk selalu melindungi Wina di mana pun dan kapanpun, Alta tidak boleh jauh-jauh dari Wina. Alta hanya menjaga jarak saat mereka berada di dalam rumah, selebihnya Alta pasti akan selalu ada di dekat Wina."Mana mungkin aku peduli soal bahaya atau apa pun itu kalau dia saja nggak kembali tepat waktu?"Wina mendorong tangan Alta menjauh dan tetap berlari menuruni gunung. Dia merasa selama dia berlari ke san
Dua patah kata itu langsung menenangkan hati Wina yang cemas, tetapi entah kenapa matanya jadi berkaca-kaca. Air matanya pun menetes ke atas kertas surat tanpa bisa Wina tahan."Apa dia baik-baik saja di sana?"Wina bertanya kepada orang asing yang mengantarkan surat itu sambil menangis.Air mata Wina membuat orang itu ragu sesaat, tetapi orang itu akhirnya mengangguk."Ya, dia baik-baik saja. Nyonya nggak perlu khawatir.""Kalau gitu, kapan dia akan kembali?""Masih belum tahu.""Kalau gitu, dia sebenarnya ada di mana? Di tempat seperti apa? Apa aku boleh menemuinya? Aku ...."Orang itu langsung menyela serentetan pertanyaan Wina."Nyonya Wina, aku harus permisi sekarang. Ada urusan mendesak yang harus kutangani dan aku nggak punya waktu untuk menjelaskan."Belum sempat Wina mengangguk, orang itu langsung berbalik badan dan masuk kembali ke dalam mobil.Wina pun berdiri diam di tempat dengan sorot tatapan kosong, tangannya meremas surat itu dengan erat. Dia menatap mobil yang melaju p
Wina tidak menyangka Zeno juga akan ikut bersama Jihan. Satu misi yang dilakukan oleh dua orang pemimpin, sekaligus dengan Zeno yang tidak terkalahkan. Itu sudah membuktikan betapa berbahayanya misi kali ini.Cessa tidak tahu, tetapi Wina tahu. Itu sebabnya Wina merasa lebih menderita daripada Cessa karena Wina harus menanggung penderitaan seperti itu sendirian tanpa bisa mengatakan apa-apa."Mungkin karena belakangan ini aku kurang tidur."Cessa tidak terlalu peduli dengan Wina, dia tidak ambil pusing dengan nada bersalah yang ada di balik ucapan Wina dan balas menghela napas."Aku juga."Cessa mulai mengeluh tentang Zeno."Ini semua karena Zeno terlalu baik. Waktu kutanya kenapa juga dia harus dinas dengan suamimu, dia bilang dia harus melakukan sesuatu yang penting. Entah apa hal penting yang dia maksud. Sudah dua bulan berlalu, tapi belum selesai juga. Aku juga belum bisa meneleponnya. Itu sebabnya aku jadi nggak bisa tidur dengan nyenyak karena aku mengkhawatirkannya."Wina yang j
Saat Paman Rudi membuka pintu dan masuk, Wina sedang duduk di ambang jendela menunggu kepulangan Jihan sambil memegang surat itu."Nyonya, Vian sudah kembali."Wina sontak tertegun, lalu sorot tatapannya yang kosong dan redup pun perlahan-lahan dipenuhi binar harapan.Dia langsung berlari melewati Paman Rudi tanpa terpikir untuk mengenakan sandalnya, lalu menuruni tangga spiral dan menuju ruang tamu.Begitu mendengar langkah kaki turun di belakangnya, Vian yang sedang duduk tegak di sofa pun perlahan menoleh ....Wajah Vian yang familier membuat air mata Wina sontak menetes.Karena Vian kembali dalam keadaan sehat walafiat, apa itu berarti Jihan juga kembali dengan selamat?Wina mempercepat langkahnya menghampiri Vian."Mana Jihan?"Vian menurunkan pandangannya agar sorot tatapannya yang sedih tidak terlihat, lalu menjawab dengan suara pelan, "Dia ... belum kembali."Jantung Wina seolah berhenti berdetak selama sepersekian detik, semua harapannya pupus seketika. "Terus, kapan dia akan