Jefri dan Sisilia sontak terdiam dengan bingung.Sisilia sudah bersedia menghampiri Sara ke sini untuk meminta maaf secara langsung, jadi Sara tidak seharusnya terus-terusan bermain tarik ulur seperti ini, bukan?Akan tetapi, Sara bukan bermain tarik ulur. Dia memang benar-benar sudah tidak menginginkan Jefri lagi.Sara meraih tangan Sisilia dan meletakkan kartu hitam itu ke atas tangan Sisilia, lalu berbalik badan dan bergegas berjalan pergi.Akal sehat Jefri langsung berhenti bekerja. Dia segera mengejar Sara, lalu meraih dan memeluk wanita itu."Sara, kalau kamu merasa permintaan maaf ibuku kurang tulus, katakan saja padaku. Aku akan meminta ibuku untuk mengulangi permintaan maafnya. Tolong jangan katakan kamu nggak mau menikah denganku atau semacamnya."Sara kesulitan melepaskan diri dari dekapan Jefri yang erat. Akan tetapi, sekujur tubuh Sara juga jadi terasa sakit.Jefri sudah pernah memeluk Yolanda, Yeni, dan banyak wanita lainnya di luar sana. Dulu Sara memang tidak mempermasa
Sara mengangkat dagunya menatap Jefri yang terlihat kebingungan, lalu menyunggingkan seulas senyuman dingin."Anggap saja ini semua karena aku nggak begitu mencintaimu."Tidak begitu mencintainya ....Itu sebabnya Sara tidak ingin menikah dengannya.Jefri merasa sangat sakit hati karena ibunya tidak merestui hubungannya dengan Sara, tetapi ...."Aku tahu kamu sudah nggak terlalu mencintaiku. Tapi, selama aku bisa menempati sedikit bagian di hatimu, itu sudah cukup buatku."Sisilia sontak merasa kasihan dengan Jefri setelah menyaksikan sendiri bagaimana putranya memelas kepada Sara.Sisilia pikir Sara-lah yang terus mengusik Jefri, tetapi seperti kata Jihan, justru Jefri-lah yang tidak bisa membiarkan Sara sendiri.Sementara itu , Sara sama sekali tidak luluh dengan permintaan Jefri. Dia pun menatap Jefri yang berlutut memohon dengan wajah tanpa ekspresi."Tuan Muda Jefri, kamu sudah nggak punya tempat sedikit pun di hatiku."Jefri sama sekali tidak percaya."Kalau memang nggak ada, ken
Sementara itu, Sisilia dan Jefri kembali ke hotel. Sisilia terkejut sekali melihat kaki putranya yang berlumuran darah, dia segera memanggil dokter.Jefri sama sekali tidak merespons pengobatan yang dokter berikan. Dia hanya meringkuk sendirian dengan kesal di atas sofa sambil memejamkan matanya.Tentu saja Sisilia ikut merasa tertekan melihat betapa keputusasaan putranya. Dia duduk di samping Jefri dan berusaha menghibur putranya dengan lembut."Sudahlah, Jefri, kamu nggak usah berlarut-larut dalam kemarahanmu karena wanita seperti Nona Sara. Lepaskan saja dia kalau memang dia nggak mau menikah denganmu."Jefri tidak mau mendengarkan, jadi dia membalikkan tubuhnya ke samping dan menghadap ke sandaran sofa.Sisilia menatap punggung Jefri dan menghela napas dengan putus asa."Dia sudah bilang nggak mencintaimu, jadi kenapa kamu harus galau seperti ini?""Dia mencintaiku."Sisilia terkejut mendengar bantahan putranya dan memutar bola matanya dengan bosan."Kalau memang dia mencintaimu, d
Sara balas menatap Sisilia dengan wajah tanpa ekspresi."Aku juga nggak berniat membunuh putramu, jadi nggak usah apa-apa salahkan aku."Setelah menyahut seperti itu, Sara pun berbalik badan dan berjalan pergi. Akan tetapi, suara Sisilia yang tenang terdengar dari belakang."Nona Sara, apa putraku pernah menyakiti hatimu?"Sisilia jadi teringat ucapan Sara waktu itu kepada Jefri. "Kamu pasti sudah tahu jawabannya dalam lubuk hatimu, jadi buat apa juga kujawab? Bukankah menjaga harga diri itu sesuatu yang bagus?"Kalimat itu dengan jelas menyiratkan bahwa Jefri memang pernah melakukan sesuatu yang menyakiti hati Sara.Sisilia sebenarnya tidak yakin, itu sebabnya dia memutuskan untuk bertanya. Sara pun berhenti berjalan sejenak."Nyonya Sisilia, harusnya Nyonya pulang dan tanyakan hal itu langsung kepada putra Nyonya."Setelah menjawab seperti itu, Sara langsung berjalan pergi.Ivan sudah bisa turun dari kasur besok, jadi sekarang dia harus segera memilih kursi roda dengan fungsi terbaik
Apa jangan-jangan Sara menolak Jefri karena melihat Yolanda mengantar Jefri pulang?Begitu terpikirkan akan hal itu, Jefri segera memakai sepatunya dan langsung pergi ke rumah sakit. Dia bahkan tidak memikirkan kuku kakinya yang sakit.Sementara itu, Sara sedang mendorong kursi roda yang baru saja dia beli ke dalam lift. Jefri langsung mencengkeram pegangan kursi roda tersebut."Sara, malam itu aku terjatuh di depan hotel karena mabuk. Yolanda kebetulan melihatku dan mengantarku pulang."Napas Jefri sampai tersengal-sengal karena habis berlari. Dia menyelesaikan kalimatnya dalam satu tarikan napas, lalu mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan rekaman kamera pengawas kepada Sara."Sumpah, aku nggak ngapa-ngapain. Tolong jangan menolakku karena masalah itu."Sara refleks mengernyit menatap penampilan Jefri yang terlihat acak-acakkan. Pria itu bahkan tidak bercukur."Nggak ngapa-ngapain?"Jefri mengangguk dengan sungguh-sungguh."Ya, aku nggak ngapa-ngapain!"Sara pun menurunkan pandangann
Sementara itu, Yolanda sedang sibuk bermesraan dengan salah satu temannya. Begitu melihat Jefri meneleponnya, dia langsung mendorong orang yang menindihnya itu menjauh.Dia mengisyaratkan pria yang sedang telanjang itu untuk diam, lalu menekan tombol jawab."Jefri, kenapa kamu meneleponku selarut ini? Kamu kangen aku, ya?"Jefri berusaha menahan kekesalannya yang tersulut begitu mendengar suara manja Yolanda, dia balik bertanya sambil mengernyit."Apa kamu melakukan sesuatu padaku malam itu setelah mengantarku pulang?"Yolanda langsung tahu apa yang Jefri maksud, seulas senyuman dingin pun tersungging di bibirnya."Jefri, pertanyaanmu salah. Kamu harusnya bertanya apa kamu melakukan sesuatu padaku atau nggak."Ucapan Yolanda itu sontak membuat Jefri merasa takut, tetapi dia tetap tenang dan bertanya lagi dengan dingin."Kalau memang aku melakukan sesuatu padamu, kamu pasti akan menggunakan itu untuk memerasku dan bukannya pergi begitu saja."Karena tidak ada siapa pun di atas tempat ti
Jefri memegang ponselnya dengan agak gemetar. Meskipun begitu, dia tetap menolak percaya dia bisa-bisanya melakukan hal seperti itu.Jefri pun berpikir sejenak sambil mengernyit, lalu memutar ulang rekaman kamera pengawas. Setelah berulang kali memperhatikan rekaman, dia menyadari bahwa tingkat mabuk yang membuatnya kehilangan kesadaran berbeda dengan Sara waktu itu.Jefri terjatuh di depan pintu hotel dan itu dengan jelas membuktikan bahwa dia kehilangan kesadarannya dan tidak bisa mengendalikan tubuhnya. Apa mungkin Jefri yang dalam kondisi seperti itu masih punya tenaga untuk melakukannya dengan Yolanda?Selain itu, waktu kedatangan Yolanda dan Sara nyaris bersamaan. Sebuah kebetulan sekali seseorang yang benar-benar tidak sadar bisa merespons dalam perbedaan waktu sesingkat itu.Biasanya seorang pria mabuk yang melakukan hal seperti itu tidak akan memiliki sisa reaksi yang kentara. Berdasarkan sensasi yang dia rasakan saat terbangun keesokan paginya, Jefri juga tidak bisa menilai a
Begitu Jefri pergi, Sisilia bersandar di sofa di belakangnya sambil melipat tangannya di depan dada. Dia melipat kakinya yang jenjang dan putih mulus dengan malas, lalu menatap Yolanda dengan dingin dan tajam."Tampar dia tiga kali dulu!"Setelah menerima perintah tersebut, si pengawal pun segera mengangkat tangannya yang besar dan menampar wajah cantik Yolanda tiga kali berturut-turut.Yolanda pun mengibaskan rambutnya yang berantakan dan menutupi matanya setelah mendadak ditampar tiga kali, lalu menggertakkan gigi menatap Sisilia."Berani-beraninya kamu menamparku! Punya hak apa kamu, hah!""Kenapa juga aku nggak berhak menamparmu? Kamu sudah menjebak putraku!"Sisilia sudah melihat rekaman kamera pengawas itu dan tahu apa yang terjadi. Mana mungkin dia tidak menyadari bahwa Yolanda si perempuan jalang ini sengaja membuat drama seperti itu demi menyulut amarah Sara?"Aku nggak menjebaknya, dialah yang menyentuhku saat dia mabuk!""Patahkan tulang rusuk dan jari jemarinya!"Sisilia me
Lama sekali Jodie hanya tertegun setelah menerima berita kematian Wina, tetapi akhirnya bergegas dan mengantar kepergian Wina ke tempat peristirahatan terakhirnya. Setelah semua orang meninggalkan pemakaman, Jodie mengelus batu nisan Wina dengan penuh rindu."Wina."Jodie perlahan berjongkok sambil bertopang pada batu nisan Wina dan menatap wajah Wina dalam foto dengan matanya yang sudah menua ...."Nggak disangka, ya?""Ternyata begitu aku jatuh cinta, rasa cintaku bisa bertahan selama ini," gumam Jodie sambil mengangkat alisnya. "Aku saja nggak tahu kalau aku ternyata tipe orang yang sepenyayang ini."Jodie menatap foto itu dan tersenyum. "Sampai-sampai ... aku merasa nggak ada satu wanita lain pun yang menarik perhatianku. Tuh Wina, aku nggak kalah dari Jihan, 'kan?"Namun, yang menjawab Jodie adalah bunyi kepak sayap burung yang terbang di pemakaman. Setelah semua binatang itu pergi, yang tersisa hanyalah keheningan. Sama heningnya seperti rasa cinta yang selama ini Jodie pendam da
Sebelum kehidupan Wina berakhir, yang terlintas di benaknya adalah rasa cinta yang Jihan sembunyikan selama lima tahun itu ....Saat membalikkan tubuhnya dan bangun, Wina bisa melihat tubuhnya dipeluk dengan erat oleh sepasang lengan yang kuat dan bertenaga. Jika itu bukan cinta, lantas apa ....Wina juga bisa melihat suasana makan di akhir pekan itu dengan jelas. Jihan yang duduk di depannya sesekali melirik Wina melalui ekor matanya. Jika itu bukan karena Jihan sudah lama menyukainya waktu, lantas apa ....Apalagi setelah Jihan selesai melakukannya. Dia akan menggendong dan membiarkan Wina berbaring tengkurap, lalu mengusap-usap punggung Wina untuk menidurkannya seperti anak kecil ....Rasa cinta Jihan terwujud dalam hal-hal kecil. Mungkin sekilas tidak terlihat jelas cinta macam apa itu dan hanya Jihan sendiri yang tahu betapa dia menyayangi dan mencintai Wina ....Mata Wina tidak bisa lagi terbuka, rasanya jiwanya tersedot keluar. Dia tidak punya tenaga lagi untuk bangkit, dia juga
Wina mengelus bagian belakang kepala Delwyn, ekspresinya terlihat sangat tenang seolah-olah dia sudah berdamai dengan kenyataan. "Kapan kamu akan menikah?"Tubuh Delwyn sontak menegang, air mata menggenangi pelupuk matanya. Dia pun perlahan menengadah dan melepaskan Wina. "Ibu ... aku ... aku belum bertemu dengan gadis yang kusuka."Wina bisa melihat pantulan dirinya dari bola mata Delwyn, jadi dia menyentuh wajah putranya. "Kamu lihat sendiri betapa menderitanya ibumu tetap bertahan hidup. Masa kamu nggak mau membiarkan Ibu menyusul ayahmu?"Sewaktu kecil Delwyn dikekang oleh orang tuanya, tetapi sekarang setelah besar, giliran dia yang mengekang orang tuanya. Karena hanya pengekangan ini saja yang bisa mencegah Delwyn menjadi yatim piatu. Jadi ... biarkan Delwyn menjadi egois untuk kali ini saja ....Delwyn meraih lengan Wina dan memohon, "Ibu, tolong tunggu sebentar lagi. Aku akan menemukan gadis yang kusuka dan menikahinya, oke?"Wina tidak tega menyakiti hati putranya, jadi dia me
Demi putranya, Wina sama sekali tidak mengikuti Jihan. Namun, rambut Wina mendadak beruban dalam satu malam dan wajahnya seolah menua sepuluh tahun. Kerutannya sontak tampak lebih kentara, tatapan matanya selalu terlihat kosong.Di depan makam Jihan, Wina meminta Jihan untuk menunggunya. Sekarang Wina sudah punya anak, jadi dia tidak bisa melakukan sesuatu dengan asal. Nanti setelah putra mereka menikah, barulah Wina akan pergi menyusul Jihan. Jika Jihan ternyata tidak menunggunya, Wina akan menarik kembali janjinya tentang kehidupan selanjutnya sehingga mereka tidak akan pernah bertemu lagi ....Wina tidak menghadiri pemakaman Jihan. Itu sebabnya dia akhirnya terbangun, lalu berjalan ke makam Jihan dengan tubuh yang terhuyung-huyung. Tidak ada yang tahu tentang apa yang Wina katakan kepada Jihan, selain Delwyn yang memapah ibunya untuk menemui ayahnya ....Malam itu, Wina tiba-tiba pingsan di salju dan segera dibawa ke rumah sakit untuk diberikan pertolongan pertama. Wina baru sadar s
Bulu mata Wina tampak bergetar. Dia mengangkat matanya yang terkesan kosong dan menatap ke kejauhan. "Nggak, aku nggak akan ke mana-mana. Kami akan tetap di sini sampai aku ikut mati beku. Nggak akan ada yang bisa memisahkan kami."Semua orang sontak merasa tercekat. Mereka semua bergegas membujuk Wina agar jangan melakukan hal bodoh, tetapi Wina tidak mengacuhkan semua omongan mereka. Dia hanya duduk diam di sana sambil memeluk Jihan, menunggu ajal menjemputnya.Delwyn akhirnya menggenggam tangan Wina dengan erat sehingga pandangan Wina beralih kepadanya. "Ibu, aku tahu betapa Ibu mencintai Ayah dan Ibu pasti sulit menerima kenyataan ini, tapi tolong jangan lakukan hal bodoh. Aku sudah kehilangan Ayah dan aku nggak bisa kalau harus kehilangan Ibu juga ...."Suara putranya membuat Wina akhirnya perlahan menatap Delwyn. Wina menyentuh wajah Delwyn yang tampak begitu mirip dengan Jihan, lalu tersenyum kecil dengan senang ...."Ibu sudah lama mempersiapkan diri untuk kematian ayahmu. Kare
Air mata Wina pun mendadak mengalir turun. Tidak ada tangisan yang memilukan hati, hanya keheningan dan bibir Wina yang terbuka. Wina ingin mengatakan sesuatu, tetapi sepertinya dia sudah mengatakan semua yang ingin dia katakan kepada Jihan. Pada akhirnya, Wina hanya menurunkan pandangannya menatap wajah Jihan yang sudah pucat itu ...."Bodoh. Mau seberapa banyak pun darahmu mengalir keluar, kamu tetap suamiku. Mana mungkin aku takut? Aku nggak takut. Kenapa kamu malah pergi ke tempat seperti ini sendirian?"Yang membuat Wina merasa begitu getir adalah karena dia tidak sempat berpamitan untuk terakhir kalinya. Namun, Jihan sama sekali tidak memikirkan rasa penyesalan Wina dan fokus ingin menyembunyikan kondisinya dari Wina ....Lantas, bagaimana jika ... Wina tidak mengenali tiruan Jihan? Apa itu berarti Wina tidak akan pernah menemukan tubuh Jihan? Apa itu berarti Jihan akan selamanya terkubur beku di bawah salju ....Jihan sudah mempersiapkan segala sesuatunya sebelum ajal menjemputn
Saat Delwyn meraih tangan Jihan dengan gemetar, Wina sontak menengadah seolah mendapatkan firasat. Dia melihat ke arah Delwyn sekilas, lalu bergegas merangkak menghampiri putranya dengan rambut acak-acakan seperti orang gila.Wina tetap tidak menangis. Dia bahkan menyentuh tangan yang kaku dan putih membeku itu dengan tatapan tegas, lalu menurunkan pandangannya yang bergetar dan menggali salju yang menutupi tubuh Jihan dengan tangannya yang sudah berdarah.Salju yang menumpuk di gunung lebih dalam, setiap lapisannya mengubur Jihan. Wina berusaha dengan sekuat tenaga untuk mengeluarkan suaminya dari dalam salju, lalu akhirnya melihat wajah Jihan yang berlumuran darah. Tidak ada rona kemerahan apa pun di wajah yang tampan itu, hanya ada noda darah dan salju yang menghiasi ....Delwyn menatap sosok ayahnya dengan tidak percaya. Dia pun jatuh terduduk, hatinya terasa remuk redam. Langit seolah mendadak runtuh dan hanya ada kegelapan tak berujung yang menyelimuti ...."Delwyn.""Tolong Ibu,
Wina yang sedang mencari ke mana-mana sontak berhenti melangkah, rasanya dia seperti mendengar ada yang memanggil namanya. Wina pun menoleh dengan tatapan kosong, tetapi terlihat jelas hanya ada dia di sini.Wina berdiri dalam diam, lalu memegangi dadanya yang berdetak dengan begitu kuat. Tiba-tiba, hatinya terasa tersayat seolah-olah dia akan kehilangan sesuatu. Saking sakitnya, Wina sampai membungkukkan tubuhnya. Akan tetapi, rasa sakit itu tidak kunjung hilang ....Firasatnya mengatakan bahwa sesuatu terjadi pada Jihan. Di saat Wina ingin kembali mencari Jihan, tiba-tiba sosok Jihan yang tampan muncul di hadapannya sambil membawa sebuket mawar."Sayang, kok kamu di sini? 'Kan sudah kubilang tunggu aku?"Begitu melihat Jihan tampak baik-baik saja, jantung Wina yang semula berdegap kencang mendadak menjadi tenang kembali.Wina langsung melempar payungnya dan melompat memeluk Jihan dengan gembira.Wina menghela napas lega saat merasakan hangat tubuh dan napas Jihan."Sayang, kamu tahu
Saat melihat Jihan berdiri sempoyongan dan mengerahkan sedikit tenaga untuk melambaikan tangannya, Jefri akhirnya tidak tahan lagi. Dia menggertakkan gigi dan berlari secepat mungkin ke dasar Gunung Kiron ...."Kak Jihan, aku panggil dokter dulu, terus menyuruh robot itu naik gunung dan baru setelah itu aku akan menjemputmu! Kakak berdiri saja di sana dan tunggu aku, ya! Aku akan segera kembali!"Jalan gunung di malam hari memang tidak dapat diprediksi, salju yang turun dari langit seolah menjadi sumber penerangan. Jefri merasa seperti sedang berjalan di siang hari. Namun, saking langkahnya terburu-buru, Jefri sampai beberapa kali jatuh tersungkur ke atas tanah dan dia bahkan tidak tahu berjalan ke arah mana ....Jihan memandangi punggung Jefri yang berangsur-angsur menghilang dari pandangannya, lalu memegangi dadanya. Dia bisa merasakan detak jantungnya yang perlahan melambat. Jihan berdiri diam sambil merasakan bagaimana nyawanya meregang ....Entah berapa lama waktu berlalu, yang je