Dia tidak menjawab panggilan video Wina, hanya mengulurkan tangan untuk mematikan suaranya. Seisi ruangan hening dalam sekejap. Dunia terasa begitu sunyi. Hanya terdengar suara burung dan binatang yang beterbangan di luar jendela.Dia merasakan darah di tubuhnya mengalir keluar sedikit demi sedikit. Seolah bisa merasakan sakit yang dialami Yuno saat kematiannya. Bibir pucatnya perlahan tersenyum.Ternyata, menunggu darah mengering sangatlah menyakitkan ....Dia tidak meronta, tetapi merilekskan seluruh tubuhnya, bersandar pada jendela kaca. Matanya yang jernih perlahan bergerak menuju kejauhan, pada laut di luar jendela ....Dari posisi inilah Yuno melihat bahwa dia tidak menoleh ke belakang. Jadi, dia bahkan tidak menulis kata-kata terakhir. Karena Yuno berpikir dia tidak akan kembali. Tidak akan ada yang kembali mengambil tubuhnya.Mata jernih Lilia berangsur-angsur tertutup kabut air. Lilia mendapat sedikit rasa lega dari pandangannya yang mengabur. Sebelum dia berhenti perlahan, ke
Lilia berjanji pada Wina untuk selalu melakukan panggilan video setiap hari. Namun, 29 hari kemudian, panggilannya tidak dijawab sama sekali.Wina memegang ponsel dengan layarnya telah kembali menghitam. Kegelisahan di hatinya berangsur-angsur memuncak. Dia perlahan menyadari ada sesuatu yang tidak beres. Batas waktu satu bulan, sepertinya sesuatu yang ditentukan oleh Yuno ....Dia cepat-cepat meninggalkan ruang kerja dan berlari mencari Jihan. Tepat saat pria itu sedang menjawab sebuah panggilan, dengan ekspresi wajah serius yang belum pernah Wina lihat sebelumnya.Dia tidak berani pergi ke sana, karena takut mendengar kabar buruk. Dia hanya berhenti di tempat dan memandangi sosok tinggi dan tegap itu dengan tenang."Apa pun yang terjadi, jangan berhenti berusaha. Dia harus selamat."Setelah memberikan perintah itu, Jihan menutup telepon, lalu berbalik dan menatap Wina. Dahinya berkerut melihat kegugupan dan ketakutan di mata wanita itu."Apa terjadi sesuatu pada Lilia?"Wina menjejak
Beberapa orang bergegas langsung pergi ke Parama, melihat Lilia yang duduk di depan jendela kaca. Postur tubuh, sikap, dan ekspresinya persis sama dengan Yuno. Seakan ingin memberi tahu orang-orang, baik yang sudah hidup maupun yang sudah mati, bahwa dia masih cinta ....Ketika Daris melihat Lilia yang sudah tak bernyawa, dia menjatuhkan diri dan berlutut di depannya. Pria yang tidak pernah menunjukkan emosinya itu menangis.Daris merasa ini salahnya. Dia kurang peduli dan kurang melindungi Lilia. Dia telah gagal mengemban tugas sebagai kakak. Lilia mencapai titik ini juga karena salahnya. Karena dia telah menjadikan Lilia sebagai perisai dan membawa bencana untuknya. Itu semua karena dia.Daris menyalahkan dirinya sendiri. Dia mengangkat tangan dan menampar dirinya keras-keras. Dinda buru-buru menghentikannya, lalu perlahan berlutut, memeluk lengan Daris dan menangis tanpa suara bersamanya.Wina melepaskan tangan Jihan, berjalan menghampiri Lilia, menatap wajah yang telah kehabisan da
Wina tak kuasa menahan tangisnya saat membaca surat wasiat Lilia. Meskipun Lilia sendiri sudah sangat menderita, setiap kata dan kalimatnya menunjukkan rasa perhatian dan kasih sayangnya kepada kerabat dan sahabatnya.Wina berjanji kepada Lilia untuk menjadi bagian dari keluarganya. Dia berjanji untuk selalu menemaninya dan untuk memberikan kehangatan rumah. Segalanya belum terwujud, tetapi Lilia telah tiada ....Sejak pertama kali bertemu dengan Lilia, Lilia selalu membantu Wina. Entah saat Wina sakit, maupun saat Wina dalam bahaya, Lilia selalu menjadi yang terdepan untuk melindunginya. Lilia yang begitu baik, bagaimana mungkin dia pergi begitu saja ....Wina tak kuasa menerima kenyataan pahit ini. Berlutut di samping Lilia, dia kembali memeluk erat tubuh Lilia yang telah kaku. Seolah dengan memeluknya, Wina dapat menghidupkan Lilia yang telah tiada ....Wina memeluk Lilia dengan erat, tidak mengizinkan siapa pun mendekat. Seperti halnya Sara, Wina berusaha untuk menghangatkan tubuh
Tubuhnya yang kurus dan lemah gemetar tak terkendali, bagaikan baru saja dihantam badai. Rasa sakit menjalar dari dalam ke luar, menyebar ke seluruh tubuhnya. Bahkan ujung jarinya pun terasa seperti ditusuk jarum.Tubuhnya lemas, dia tidak bisa berjalan sama sekali. Dia hanya bisa menopang tubuhnya dengan telapak tangan di tanah dan merangkak menuju Lilia. Dia hampir tidak berani menyentuhnya, tetapi tak kuasa menahan diri untuk tidak mengangkat tangannya dan menyentuh wajahnya dengan lembut ....Rasa dingin yang menusuk itu, Reo yang berprofesi sebagai dokter, langsung tersadar. Lilia benar-benar telah pergi. Wanita yang selalu dia puja, telah tiada ....Wajah Reo memucat sedikit demi sedikit. Air matanya yang jatuh seperti butiran hujan yang menghantam jendela, terus mengalir tanpa henti ....Dia tidak ingin orang lain melihat kesedihannya. Dia hanya menundukkan kepalanya, diam-diam mengambil Lilia dari tangan Wina. Saat memeluknya erat, jari-jarinya perlahan mengencang, seolah memel
Saat Lilia dimasukkan ke dalam tungku pembakaran, Wina tak berani melihat. Dia memalingkan wajahnya dan memeluk Jihan erat-erat. Air matanya mengalir seperti air mancur yang tidak terbendung.Lilia, sahabat terbaik, akhirnya menjadi abu. Abu itu disimpan dalam kotak kecil. Entah dia kehilangan kebebasan atau justru mendapatkan kebebasan baru.Pada akhirnya, Lilia tidak akan pernah kembali ke dunia ini. Dia mengikuti orang yang dia cintai ke dunia lain, untuk membangun kebahagiaannya sendiri di sana.Pada kenyataannya, semua itu hanya khayalan indah manusia. Setelah kematian, tidak ada lagi yang tersisa. Jiwa yang disebut-sebut itu hanyalah harapan yang dibebankan oleh orang yang masih hidup.Yuno dan Lilia, pada akhirnya, saling tidak menyadari cinta mereka hingga akhir hayat. Baru di saat-saat terakhir, mereka menyadari betapa mereka saling mencintai.Menyesal?Menyesal.Namun, inilah kenyataan yang harus dihadapi.Setelah Lilia dikremasi, Reo sendiri yang menaburkan abunya. Dia memil
Mirlo baru saja keluar dari ruang kerjanya. Mendengar perkataan itu, wajahnya yang pucat pasi langsung berubah muram. Dia tidak menyangka setelah menyelesaikan masalah Yuno, dia harus kembali menghadapi Daris. Kehidupannya bagaikan petualangan yang penuh rintangan ....Mirlo menatap Daris dengan tatapan sedingin es, membuat Daris mendongak dengan perlahan. "Apa kamu yang bilang ke Lilia kalau Yuno sudah dikremasi dan abunya dilarung ke laut?"Mirlo menjawab tanpa ekspresi, "Kak Daris, aku cuma menemani Kak Lilia saat dia berziarah untuk Kak Yuno. Aku memberi tahu kebenarannya agar dia nggak berziarah ke makam yang salah. Apa yang salah dengan itu?"Daris mencabut pisau yang tertancap di sofa, lalu mengusap mata pisau dengan jarinya. "Ya, kamu memang nggak salah. Tapi, seandainya kamu nggak memberi tahu Lilia yang sebenarnya, dia nggak akan meninggal."Sulit untuk menebak maksud perkataannya. Mirlo yang pandai membaca situasi memilih untuk diam dan tidak membalas. Dia malah memperlihatk
Daris terbakar api balas dendam, sedangkan Wina terpuruk dalam duka setelah kehilangan sahabatnya. Dia tidak bisa tidur nyenyak selama sebulan ....Di setiap malam yang sunyi, wajah Lilia yang ceria selalu hadir dalam mimpinya. Wajah itu bisa serius, tersenyum, atau menangis. Itu sangat jelas tergambar, seolah terpatri dalam ingatannya ....Konon, setelah seseorang meninggal, jejak keberadaannya dan kenangan tentang wajahnya di dalam pikiran kita akan perlahan memudar sampai menjadi samar dan tak teringat lagi. Itulah awal dari proses penghapusan kenangan ....Tekad Wina untuk tidak melupakan Lilia membuatnya terobsesi dengan foto dan mimpi tentangnya. Hari demi hari, dia tenggelam dalam kesedihan dan akhirnya jatuh sakit karena depresi ....Hati Jihan hancur melihat Wina terbaring sakit. Dia menemaninya di samping tempat tidur. Keningnya berkerut dan matanya terpaku pada wajah pucat Wina."Sayang, kalau kesehatanmu memburuk, bagaimana aku bisa hidup tanpamu?"Saat waktunya tiba, dia h