Waktu seakan berjalan begitu lambat dalam perjalanan panjang itu. Mobil hitam Felix melaju melintasi jalan yang semakin asing bagi Mireya.Setiap kilometer yang mereka lewati semakin jauh dari kenyamanan yang ia kenal, dan di dalam mobil, rasa cemas yang sejak tadi menggantung di dadanya kini semakin menggerogoti pikirannya.Jalanan yang semula padat kini terasa sepi dan suram. Mobil itu terus meluncur ke arah yang tidak bisa ia duga.Mireya merasa sesuatu yang tidak beres dengan perjalanan ini—sesuatu yang berbau kesalahan dan kebohongan.Felix, di kursi pengemudi, tetap tenang. Wajahnya yang datar tak menunjukkan sedikit pun rasa cemas.Tangannya kokoh memegang kemudi, matanya fokus ke jalanan, seolah tak ada yang perlu dikhawatirkan.Mireya memperhatikan setiap gerak-geriknya, mencoba mencari tahu apakah ada sesuatu yang bisa memberitahunya apa yang sebenarnya sedang terjadi.Di luar, lampu jalanan mulai memudar, digantikan oleh kegelapan yang semakin pekat. Setiap detik, Mireya me
Mireya menatap pria yang duduk di kursi dengan pandangan bingung dan cemas. Pria itu memandangnya dengan tatapan dingin, seakan menilai setiap gerakan tubuhnya dengan penasaran.“Siapa kamu?” tanya Mireya, suaranya sedikit gemetar, seolah pertanyaan itu terpaksa keluar dari mulutnya.Pria itu tidak menjawab dengan segera. Hanya ada senyum tipis yang menghiasi bibirnya, senyum yang tidak bisa disamakan dengan kebaikan.Matanya menatap Mireya seperti sedang mengamati benda yang tak terlalu penting. “Kamu tidak bertanya kepada Felix tentang aku?” jawabnya dengan nada datar, tanpa ada keinginan untuk menjelaskan lebih lanjut.Mireya langsung menoleh ke arah Felix yang berdiri tidak jauh darinya. Matanya menyiratkan kebingungan yang sangat jelas, dan tubuhnya bergetar tidak hanya karena ketakutan, tetapi juga karena rasa kecewa yang mulai menyelusup di dalam dadanya."Kakak, siapa orang ini? Apa hubungannya denganku? Kenapa aku dibawa ke hadapan mereka?" suaranya tercekat, dan setiap kata
Mervyn sedang sibuk dengan pekerjaan di kantornya ketika teleponnya berdering, memecah keheningan ruangannya.Dengan cepat, ia mengangkat ponsel dan mendengarkan suara kecil yang terdengar cemas di ujung sana."Papi," suara Marcell terdengar agak terburu-buru. "Mami belum pulang dari perusahaan Paman Julian. Padahal Mami sudah pergi sejak tadi. Seharusnya sudah pulang, tapi sampai sekarang belum ada kabar."Hati Mervyn langsung terjerat rasa cemas tentang Mireya. Biasanya, Mireya akan kembali tepat waktu, atau setidaknya memberi kabar jika ada hal yang mendesak di luar sana.Mervyn menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya sebelum berkata, "Tenang, Sayang. Papi akan mencari Mami. Kamu tunggu di rumah, ya?""Baik, Papi!"Setelah menutup telepon, Mervyn tak bisa lagi duduk tenang. Tubuhnya terasa kaku, dan meskipun ia sudah terbiasa menghadapi situasi yang penuh tekanan, kali ini perasaan tak enak menguasainya.Tanpa membuang waktu, Mervyn segera membuka aplikasi pelacakan
“Kamu ... siapa?” Kelopak mata Mireya mengerjap lambat seirama dengan rasa sakit di kepala yang luar biasa. Sekujur tubuhnya begitu remuk bagaikan tergilas mobil bermuatan besar. Dalam kondisi setengah sadar, Mireya dikejutkan oleh keberadaan seseorang di atas tubuhnya. Dia ingin menolak kecupan lembut yang berjejak di leher dan bibir, tapi segalanya terjadi begitu cepat, hingga dia kehilangan peluang untuk mengumpulkan tenaga dan melawan. Mireya terjebak di antara kedua lengan kekar yang berotot. Tak ada yang bisa dia lakukan saat pria asing itu mulai menarik gaunnya dengan kasar dan meninggalkan robekan di beberapa bagian. Pria itu beraksi tanpa suara. Meski begitu, Mireya bisa mencium aroma alkohol yang cukup menyengat, menyatu dengan wangi parfum mahal yang menguar dari tubuhnya. Di bawah cahaya remang lampu hias, Mireya melihat dengan jelas sepasang mata elang yang menatapnya liar dan penuh hasrat. Saat menjelang pagi, wanita itu masih meringkuk di atas kasur dengan se
“Aku sedang sibuk. Tidak ada waktu mengobrol denganmu.” Alvin mengabaikan pertanyaan Mireya dan mengambil langkah mundur. “Tunggu!” Mireya mencengkeram lengan pria itu, menahan kepergiannya. “Kamu belum menjawab pertanyaanku,” ujarnya. Alvin mendengkus kesal. “Apa kamu tidak dengar? Aku sedang sibuk!” Tanpa terasa air bening berlinang dari pelupuk mata Mireya, membasahi pipinya. Hanya dengan melihat reaksi Alvin, Mireya dapat menemukan sendiri jawabannya. “Kalian benar-benar berpacaran, ya?” tanya Mireya sekali lagi. Dia masih tidak percaya jika Alvin memang benar menjalin hubungan dengan wanita lain. Hening. Baik Alvin maupun Shela sama-sama memilih bungkam. “Kenapa, Al? Apa kamu marah karena semalam aku tiba-tiba menghilang tanpa kabar?” Mireya mulai menebak-nebak. “Al, tolong dengarkan dulu penjelasanku, aku tidak—” Alvin menyela, “Sudahlah, Reya! Aku tidak ingin mendengar apa pun darimu. Mulai sekarang jangan hubungi aku lagi!” Mireya menggeleng cepat. “Kita masih b
Saat melihat wajah Mervyn, Mireya yakin seratus persen bahwa itu adalah laki-laki asing yang telah merenggut kesuciannya di sebuah hotel. Mervyn melangkah percaya diri diikuti beberapa pengawal di belakangnya. Mireya terpaku dan jantungnya berdebar kencang saat Mervyn tak sengaja meliriknya. Tatapan Mervyn begitu tajam dan menyimpan banyak rahasia, sehingga Mireya tak mampu menemukan makna di balik sorot matanya yang penuh misteri. Adegan saling pandang itu terjadi tidak lebih dari tiga detik. Mervyn mengalihkan tatapan ke depan dan mengabaikan Mireya seperti bukan sesuatu yang berarti. “Sepertinya dia tidak mengingatku.” Mireya bergumam pelan yang hanya dapat didengar oleh diri sendiri. Dia berpikir, mungkin akan jauh lebih baik jika Mervyn tidak mengenalinya. Bisa jadi Mervyn sudah memiliki pacar atau bahkan seorang istri. Mireya tentu akan terlibat masalah besar jika pasangan Mervyn tahu kalau pria itu pernah tidur dengannya. Di sisi lain, bercinta dengan orang asing ba
Mireya memegang gagang pintu dengan tangan gemetar. Sekujur tubuhnya seakan membeku saat mendengar pertanyaan Mervyn. “Saya belum bertemu lagi dengan Alvin, Pak,” ucap Rayyan, “Jadi, belum ada informasi apa pun yang saya dapatkan tentang wanita itu.” Alvin? Mireya bertanya-tanya, apakah Alvin yang sedang dibicarakan adalah mantan pacarnya? Jika iya, dia sungguh kehilangan kata-kata untuk mengekspresikan kemarahannya. Alvin terlalu jahat dan licik. Bahkan gelar ‘iblis’ pun masih terlalu halus jika disematkan pada pria itu. “Sudah kamu coba hubungi nomor teleponnya?” Suara Mervyn begitu dingin, tapi juga tegas. Rayyan mengangguk, “Sudah, Pak, tapi nomor teleponnya tidak aktif.” Mervyn menghela napas. “Cari tahu secepatnya.” “Baik, Pak!” Rayyan tidak punya pilihan untuk menolak, sehingga yang dia lakukan hanyalah mengangguk. Dalam keheningan, mata elang Mervyn tak sengaja melirik Mireya yang sejak tadi masih bergeming di dekat pintu. Apa wanita itu sedang menguping pemb
Mireya dan Bella menoleh ke sumber suara—yang mana seorang wanita tampak melangkah semakin dekat ke arah mereka. “Mama!” Ternyata itu adalah Irene, ibunya Bella yang baru saja pulang dari urusan bisnis di luar kota. Bella menyambut kedatangan ibunya dengan pelukan hangat. “Wah, ada siapa di sini?” Irene menatap Mireya dengan sorot mata yang memancarkan kehangatan. Mereka sudah saling kenal, tentu saja. Apalagi Mireya adalah sahabat terbaik Bella. Walaupun tidak sering, tetapi Mireya pernah beberapa kali bertemu Irene saat ada kesempatan main ke sini. Mireya mencium punggung tangan Irene dengan sopan, lalu basa-basi menanyakan kabar satu sama lain. Namun, saat hidungnya menyentuh kulit tangan Irene, Mireya mencium aroma wewangian yang membuat dirinya pusing dan mual. “Maaf, aku harus ke belakang.” Mireya pamit ke wastafel untuk menyudahi dorongan kuat dari dalam lambungnya. Pada akhirnya, Mireya hanya muntah angin karena tidak ada sisa makanan yang keluar dari mulutnya
Mervyn sedang sibuk dengan pekerjaan di kantornya ketika teleponnya berdering, memecah keheningan ruangannya.Dengan cepat, ia mengangkat ponsel dan mendengarkan suara kecil yang terdengar cemas di ujung sana."Papi," suara Marcell terdengar agak terburu-buru. "Mami belum pulang dari perusahaan Paman Julian. Padahal Mami sudah pergi sejak tadi. Seharusnya sudah pulang, tapi sampai sekarang belum ada kabar."Hati Mervyn langsung terjerat rasa cemas tentang Mireya. Biasanya, Mireya akan kembali tepat waktu, atau setidaknya memberi kabar jika ada hal yang mendesak di luar sana.Mervyn menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya sebelum berkata, "Tenang, Sayang. Papi akan mencari Mami. Kamu tunggu di rumah, ya?""Baik, Papi!"Setelah menutup telepon, Mervyn tak bisa lagi duduk tenang. Tubuhnya terasa kaku, dan meskipun ia sudah terbiasa menghadapi situasi yang penuh tekanan, kali ini perasaan tak enak menguasainya.Tanpa membuang waktu, Mervyn segera membuka aplikasi pelacakan
Mireya menatap pria yang duduk di kursi dengan pandangan bingung dan cemas. Pria itu memandangnya dengan tatapan dingin, seakan menilai setiap gerakan tubuhnya dengan penasaran.“Siapa kamu?” tanya Mireya, suaranya sedikit gemetar, seolah pertanyaan itu terpaksa keluar dari mulutnya.Pria itu tidak menjawab dengan segera. Hanya ada senyum tipis yang menghiasi bibirnya, senyum yang tidak bisa disamakan dengan kebaikan.Matanya menatap Mireya seperti sedang mengamati benda yang tak terlalu penting. “Kamu tidak bertanya kepada Felix tentang aku?” jawabnya dengan nada datar, tanpa ada keinginan untuk menjelaskan lebih lanjut.Mireya langsung menoleh ke arah Felix yang berdiri tidak jauh darinya. Matanya menyiratkan kebingungan yang sangat jelas, dan tubuhnya bergetar tidak hanya karena ketakutan, tetapi juga karena rasa kecewa yang mulai menyelusup di dalam dadanya."Kakak, siapa orang ini? Apa hubungannya denganku? Kenapa aku dibawa ke hadapan mereka?" suaranya tercekat, dan setiap kata
Waktu seakan berjalan begitu lambat dalam perjalanan panjang itu. Mobil hitam Felix melaju melintasi jalan yang semakin asing bagi Mireya.Setiap kilometer yang mereka lewati semakin jauh dari kenyamanan yang ia kenal, dan di dalam mobil, rasa cemas yang sejak tadi menggantung di dadanya kini semakin menggerogoti pikirannya.Jalanan yang semula padat kini terasa sepi dan suram. Mobil itu terus meluncur ke arah yang tidak bisa ia duga.Mireya merasa sesuatu yang tidak beres dengan perjalanan ini—sesuatu yang berbau kesalahan dan kebohongan.Felix, di kursi pengemudi, tetap tenang. Wajahnya yang datar tak menunjukkan sedikit pun rasa cemas.Tangannya kokoh memegang kemudi, matanya fokus ke jalanan, seolah tak ada yang perlu dikhawatirkan.Mireya memperhatikan setiap gerak-geriknya, mencoba mencari tahu apakah ada sesuatu yang bisa memberitahunya apa yang sebenarnya sedang terjadi.Di luar, lampu jalanan mulai memudar, digantikan oleh kegelapan yang semakin pekat. Setiap detik, Mireya me
Belasan menit telah berlalu sejak panggilan telepon Felix yang mengejutkan. Mireya berdiri di luar gedung, menatap ke arah jalan dengan kecemasan yang semakin mendalam.Langit senja mulai memudar, memberikan kesan suram pada suasana di sekitarnya.Setiap detik terasa berat di dada. Ayahnya, Henry, saat ini terbaring di rumah sakit dalam keadaan kritis, menurut kata Felix.Mireya merasa begitu cemas, bahkan lebih dari yang seharusnya. Sesuatu dalam diri Mireya tidak bisa menepis rasa takut yang terus merayap di pikirannya.Langkah kakinya terhenti sejenak saat sebuah mobil hitam melaju mendekat. Kaca mobil itu gelap, hanya menyisakan bayangan Felix yang tampak duduk di kursi pengemudi.Mobil berhenti tepat di depannya, dan suara mesin yang berhenti mengisi kesunyian yang menenangkan. Pintu mobil terbuka, dan Felix menyuruhnya masuk dengan suara datar."Masuklah," ujarnya, tanpa ekspresi, suara beratnya menggema di tengah ketegangan yang tercipta.Mireya hanya mengangguk, meskipun kegel
Langkah Mireya terdengar jelas di lorong yang sunyi saat ia meninggalkan gedung perusahaan Julian.Suara sepatu haknya yang menyentuh lantai seakan mengisi ruang kosong di sekitar dirinya, mengiringi langkah yang semakin jauh dari pintu kaca besar yang menghadap ke jalan.Udara luar yang sejuk menyambutnya, sedikit mengurangi rasa panas yang terasa di dada.Meskipun ia sudah membuat keputusan besar untuk meninggalkan perusahaan ini, perasaan tak menentu masih menggelayuti pikirannya.Keputusan itu berat, tetapi ia tahu itu adalah yang terbaik.Sekarang, langkahnya seakan mengarah ke sebuah titik baru dalam hidupnya, meskipun rasa sedih dan berat hati masih mengikutinya.Baru saja Mireya hampir melewati pintu lobi, ponselnya berbunyi. Suara deringnya yang nyaring memecah kesunyian yang mengelilinginya.Mireya menarik tas dari bahunya dan memasukkan tangan ke dalamnya, meraba-raba hingga jari-jarinya menyentuh ponsel.Ia mengeluarkannya dengan cepat, tetapi ketika melihat nama yang tert
"Iya, Julian?" suara Mireya terdengar sedikit lebih rendah dari biasanya. Ia berusaha untuk menjaga nada suaranya tetap tenang, meski entah mengapa ada rasa cemas yang tiba-tiba muncul begitu saja.Julian menarik napas panjang, memiringkan tubuhnya sedikit ke depan. Punggungnya yang tegak dan biasanya penuh percaya diri kini sedikit merosot, menunjukkan keraguan yang tidak biasa.Ia tidak segera berbicara, seolah kata-kata yang hendak keluar terhalang oleh sesuatu yang lebih besar dari sekadar pertanyaan biasa.“Apakah ... kita masih bisa berteman setelah ini?” Akhirnya, suara Julian keluar, gemetar sedikit, seperti ia sedang mencoba menyusun kata-kata yang tepat.Mireya terkejut. Pertanyaan itu datang begitu tiba-tiba dan begitu langsung.Mireya tidak pernah membayangkan bahwa Julian—teman dekatnya selama bertahun-tahun—akan mengajukan pertanyaan itu sekarang.Selama ini, mereka berbicara tentang banyak hal, saling mendukung dalam pekerjaan, bahkan berbagi cerita tentang kehidupan pr
Pagi itu, udara di kantor terasa lebih sepi dari biasanya, hanya ada suara detak jam dinding yang mengisi ruang, menciptakan kesan hening yang begitu berat.Mireya melangkah melewati lorong kantor, pikirannya terfokus pada satu tujuan yang sudah ia tentukan. Ia tidak pernah merasa seberat ini, namun ia tahu ini adalah langkah yang harus ia ambil. Surat pengunduran dirinya sudah ada di tangannya, rapi terlipat, siap diserahkan. Begitu sampai di depan pintu ruang Julian, Mireya berhenti sejenak, menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Takut dan ragu bercampur aduk, namun ia tahu ini adalah yang terbaik. Dengan hati yang sedikit berdebar, ia mengetuk pintu. "Masuk," suara Julian terdengar serak dari dalam. Mireya menarik napas lagi sebelum memutar gagang pintu dan melangkah masuk. Julian sedang duduk di belakang meja kerjanya, tubuhnya sedikit condong ke depan, tampak begitu tenggelam dalam pekerjaannya. Namun, ketika ia melihat Mireya masuk dan mendekat dengan langkah pa
Karin berdiri di depan Mireya, matanya tajam menilai, menyusuri setiap detail dari tubuh wanita muda di hadapannya. Dari penampilannya yang sedikit lebih kurus, dengan pakaian yang terasa sedikit longgar, Karin mulai merasa ada yang tidak beres. Ia memusatkan pandangannya pada perut Mireya, yang dulunya bulat dan membesar, kini tampak lebih rata. Memori tentang kehamilan Mireya masih segar dalam ingatannya, dan entah mengapa, ada rasa penasaran yang mendorongnya untuk bertanya. "Mana anakmu?" suara Karin datar, tapi penuh penekanan. Ia berusaha membaca ekspresi Mireya, tapi wajah wanita itu tetap tenang, seolah tidak ada yang salah. Mireya menundukkan kepala sedikit, seolah merenung sejenak sebelum akhirnya membuka mulut. "Ada," jawabnya, singkat. Tidak ada penjelasan lebih lanjut, hanya kata-kata yang disampaikan dengan nada yang cenderung datar, seperti menahan sesuatu yang lebih dalam. Entah itu kebingungan, atau sekadar kelelahan. Tentu saja, Karin tidak bisa mengabaikan
Karin menyebut Mireya sebagai tamu, dan dalam sekejap, Henry langsung menatapnya.Matanya menyipit, tajam, seolah setiap kata yang keluar dari bibir Karin menghantam langsung ke jantungnya.Henry merasa seperti ada beban berat yang menekan dadanya, meski tubuhnya sudah rapuh dan lemah. Sorot matanya itu jelas menunjukkan ketidaksetujuan yang tak bisa disembunyikan, dan bahkan tanpa kata-kata, segala perasaan yang terpendam selama ini meluap begitu saja.“Mireya bukan tamu, Karin. Dia anakku, anak kamu juga,” suara Henry terdengar begitu tegas, meskipun tubuhnya yang terbaring lemah di ranjang seolah menjadi pengingat betapa sedikit lagi kekuatan yang ia miliki. Tetapi, ada semangat yang membara dalam kalimat itu, seolah dia berusaha menunjukkan bahwa kata-kata kasar Karin tidak bisa mengubah kenyataan.Karin hanya mendengkus, suaranya penuh dengan penghinaan yang tak terucap. Ia menyilangkan tangannya di depan dada, sebuah sikap yang penuh dengan sikap defensif dan meremehkan.Wajahny