“Ma, tolong jangan bertindak semau mama!” Janggala merangsek masuk ke dalam ruang baca ibunya setelah dia sampai ke rumah utama, tanpa basa-basi dia langsung ke intinya.
Wajahnya begitu kusut.
Dalam perjalanan pulang dia mendapat pesan dari Lavani untuk tidak mencarinya terlebih dahulu, dia ingin pulang ke rumah keluarganya. Dia merasa muak dan sesak berada di rumah utama sekarang.
Ibunya tengah membaca beberapa berkas bersama Eveline ketika Janggala datang malam itu, dengan kacamata bertengger di hidung wanita paruh baya itu menatap Janggala.
“Tidak perlu protes seperti anak kemarin sore, diam dan turuti saja perintah mama.” Jawaban Nancy membuat Janggala semakin naik pitam.
“Jangan campuri urusan rumah tanggaku!” Suara Janggala meninggi, jarinya kini menunjuk sang ibu.
Nancy menatap anak laki-lakinya dengan tatapan penuh amarah, dia menutup segala berkas yang tengah dia baca sedangkan Eveline sudah melip
Perpisahan adalah hal yang paling tidak Elang sukai.Perpisahan pertamanya adalah ketika kakek yang dia sayangi meninggal karena serangan jantung, dia menyayangi sang kakek. Baginya, kakek adalah orang yang paling mengerti dirinya.Namun kematian merenggut kebersamaan mereka begitu saja.Perpisahan kedua adalah ketika dia harus kembali ke kampung halaman sang ibu dan meninggalkan Dirra. Ya, sejak kecil rasa tertarik itu sudah muncul. Namun dia masih belum mengerti artinya.Elang menyukai Dirra.Setelah mereka bertemu lagi meskipun Dirra dalam kondisi yang tidak begitu menyenangkan, dia tetap menyukainya. Perasaan itu tidak pernah berubah, namun kali ini dia harus merasakan perpisahan ketiga kalinya.Dia akan membiarkan Dirra pergi dari kehidupannya untuk memasuki kehidupan baru dengan orang yang dulu meninggalkannya. Bukan, lebih tepatnya orangtua si pria yang tidak menginginkannya.“Lang, yang itu tolong masukin ke dalam kardus
Rumah yang diberikan oleh TANTRA WIBAWA sebagai kompensasi dari apa yang terjadi pada keluarga GAURI berada tidak jauh dari kaki gunung, rumah itu adalah rumah salah satu warga desa yang dalam beberapa tahun terakhir ditinggalkan pemiliknya.Sebelumnya, seorang nenek tua tinggal disana. Namun anak-anaknya kemudian membawa nenek itu ke kediaman mereka karena orangtua itu sudah tidak mampu menjalani hari-harinya sendirian.Dua hari lalu mereka selesai pindah ke rumah baru itu, rumah yang tidak terlalu besar namun pastinya akan nyaman jika ditinggali.Sejak kemarin, Dalenna sudah merengek untuk tidak meninggalkan rumah ini. Dia menangis dan bilang tidak ingin bertemu dengan sang ayah, dia ingin bersama nenek saja. Hal itu membuat Dirra jadi ikut mempertanyakan alasannya mengiyakan keinginan Nancy.Apakah benar dia menginginkan hal itu karena untuk Dalenna atau hanya untuk dirinya sendiri?Malam ini adalah malam terakhir mereka berada disana, Dirra sud
Lavani menatap Janggala yang tengah membaca buku di ruang kerjanya yang berada di sudut ruang kamar, pria itu menatap buku lekat-lekat bahkan tidak bergeming ketika sang istri masuk.“Kamu benar-benar menerima keinginan mama untuk membawa masuk Dirra ke rumah ini?” Lavani menyilangkan kedua tangannya di dada, berdiri di depan Janggala.Sudah hampir seminggu semenjak mereka terakhir kali bertemu, wanita itu tidak pulang untuk jangka waktu yang lama. Janggala bertanya pada salah satu pegawai di rumah utama Hanggara, mereka bilang Lavani tidak ada di rumah utama sudah begitu lama.Ingin rasanya Janggala bertanya kemana dia pergi, namun supir pribadinya sendiri bahkan tidak ingin mengungkapkannya. Si supir hanya bilang kalau si majikan berada di sebuah hotel selama ini.Persetan.Janggala mulai sedikit demi sedikit merasa curiga pada Lavani. Jujur, dia tidak ingin termakan ucapan ibunya. Hanya saja, dia ingin menyelediki. Dia ingin
Dirra menatap rumah itu dari dalam mobil, rumah megah yang tidak pernah berubah dari awal dia dan Janggala berpacaran. Rumah yang semakin di lihat begitu mewah dan nampak seperti istana.Istana menyakitkan.Dia akan tinggal disana sekarang, merasakan neraka yang dipilihnya sendiri. Tidak ada banyak pilihan untuk menolak dan dia hanya menerimanya begitu saja.Tangan Dalenna menyentuh pahanya dengan lembut, Dirra menoleh dan mendapati si kecil itu tengah tertidur dengan nyenyak. Perpisahannya dengan Elang serta neneknya membuat Dalenna menangis sampai satu jam perjalanan.“Maafin ibu ya sayang..” Gumamnya pelan sambil mencium puncak kepala Dalenna.Mobil yang membawa Dirra sudah memasuki halaman rumah megah itu, dia bisa melihat Nancy sudah menunggu di depan wajahnya nampak berbinar.Hati Dirra mendadak gundah, karena ini kali pertama dia akan bertemu lagi dengan Janggala.“Bu….” Dalenna terbangun dari tid
Malam berlalu seperti tidak terjadi apapun, Dirra membuka matanya di pagi hari ketika matahari belum naik. Dia menoleh ke arah jendela tertutup gorden, bahkan belum ada tanda-tanda matahari keluar.Dia sudah terbiasa bangun sejak subuh hari semenjak tinggal di desa, biasanya membantu ibunya bersiap ke ladang.Dia menoleh dan mendapati Dalenna masih tertidur di sebelahnya, malam tadi anak itu dengan riang membicarakan mainan-mainan baru sampai tertidur. Dia masih asik dengan lingkungan baru.Dirra meraih ponselnya, mengecek beberapa pesan dari ibunya. Tidak ada pesan dari Elang, pria itu mungkin sebegitu patah hatinya. Dirra telah melukai hatinya.Dirra turun dari kasur, tidak lupa merapikan selimut, menutupi sebagian tubuh Dalenna agar tidak kedinginan. Dia menuju kamar mandi di dalam kamar dan membasuh wajah serta menyikat gigi.Dia akan membuat sarapan untuk si kecil Dalenna.Dirra masih asik di dapur ketika dia mendengar ketukan di pintu,
Nancy tergopoh-gopoh datang ke rumah kecil milik Dirra yang tidak begitu jauh dari rumah utama setelah dia mendengar tangisan kencang milik Dalenna, saat itu dia tengah berada di taman memantau tukang kebun menyiram bunga-bunga miliknya.Dia datang dan terkejut ketika melihat Lavani serta Janggala tengah berada di depan pintu rumah Dirra, Dalenna menangis dalam pelukan wanita itu. Wajah Dirra begitu pucat ketika Nancy tiba disana.“Kamu apa-apaan sih Gala! Kok berteriak di depan Lenna?!” Nancy menghardik sang putra, dia segera mengambil Dalenna ke dalam gendongannya, menatap tajam ke arah Janggala.“Mama tanya sendiri pada wanita ini, apa yang dia lakukan pada Lavani!”Nancy menoleh pada Dirra yang masih terdiam di tempat, tidak bergerak sedikitpun. Wajahnya begitu pucat dan tubuhnya bergetar.“Dir, apa yang terjadi? Kamu dan Lavani kenapa?”Dirra tersentak, dia mengangkat wajahnya dengan perlahan, menoleh ke arah Nancy. Semua kata pembelaan tercekat di tenggorokannya, dia tidak mampu
Sudah seminggu sejak kedatangan Dirra di rumah itu, setiap malam Nancy mengadakan makan malam yang wajib dihadiri oleh Lavani serta Janggala. Hari pertama kedua orang itu menolak keras makan satu meja dengan Dirra dan Dalenna.Mereka memprotes banyak hal, termasuk cara Nancy yang terkesan memaksa.Namun, peraturan Nancy mutlak. Hari kedua mereka pulang lebih awal, duduk di meja makan dan makan tanpa suara. Dentingan alat makan yang beradu dengan piring membuat Dirra gugup setengah mati, berbeda dengan Dalenna yang begitu senang karena bisa makan dengan banyak orang.“Bu! Ini tahu! Tahunya enak!” Katanya ketika menyendokkan sepotong tahu ke dalam mulutnya.“Lenna suka tahu ini? Besok mau makan lagi?” Nancy bertanya dengan senyum lebar di wajahnya, terlebih ketika Dalenna mengangguk mengiyakan wajahnya semakin berseri-seri.Para pekerja mulai membicarakan Dalenna, sikap bocah itu yang sopan dan menggemaskan membuat mereka jatuh cinta. Dalenna sering mendekati tukang kebun dan bertanya b
Pernikahan itu terkesan begitu singkat, Dirra sendiri tidak mengingatnya dengan baik.Tiba-tiba dia dan Janggala sudah duduk di dalam mobil bersebelahan, si supir membawa mereka ke sebuah kantor agama. Keduanya mengikrarkan janji kemudian menandatangani surat pernikahan.Dirra diturunkan di rumah dan Janggala pergi begitu saja kembali ke kantor.Seperti tidak terjadi apapun. Namun, Nancy menyambutnya dengan penuh keriangan. Wanita tua itu memakaikan sebuah cincin bermahkota berlian di jari manis Dirra.“Selamat datang di keluarga Tantra.” Bisiknya sambil tersenyum lebar.Dua hari berlalu begitu saja, Dirra masih menempati rumah yang Nancy buatkan untuknya. Makan malam masih terjadi begitu saja, tidak ada perubahan.Dalenna berada dalam gendongan Dirra, keduanya tengah berjalan menuju rumah setelah makan malam.“Ibu, kenapa ayah gak pernah bicara sama Lenna?” Tiba-tiba si kecil melemparkan pertanyaan itu pada Dirra, membuat wanita itu menghentikan langkahnya dan menoleh pada Dalenna ya
Dirra menatap dirinya sendiri di depan cermin, dia baru saja memoles bibirnya dengan sebuah lipbalm berwarna merah muda yang samar. Tidak ingin terlalu mencolok, dia memilih warna yang tidak begitu nampak dari kejauhan.Dia juga merapikan rambutnya yang dikuncir, berulang kali dia menatap dirinya sendiri di depan cermin sampai Dalenna datang menghampirinya dengan tangan yang dia lipat di dada dan wajah yang berkerut.“Ibu kesana kemari terus depan kaca, memang ada apa di depan kaca?” Tanya bocah itu penuh telisik, bibirnya maju ke depan dan matanya menatap Dirra seolah menghakimi.Dirra terlonjak mendengar pertanyaan itu, dia mengutuk dirinya sendiri. Siang ini Nancy mengirimkannya pesan, memberitahu kalau Janggala akan makan malam dan tidur di rumahnya, dia tidak bisa menemani makan malam karena ada urusan ke Beijing.Dia langsung memikirkan makanan apa yang akan dia masak untuk Janggala, dan karena itulah dia jadi terbawa suasana.Per
“Mungkin segitu aja yang bisa saya jelaskan untuk sekarang, selebihnya kalau ada masalah apapun bisa menghubungi sekretaris saya terlebih dahulu.” Janggala menutup rapat ketiganya hari ini, waktu sudah menunjukkan pukul tiga sore ketika akhirnya dia ditinggalkan sendirian di ruang rapat yang besar.Siska membuka pintu ruang rapat ketika Janggala tengah menutup kedua matanya dengan tubuh yang menempel pada kursi, wanita itu membawa sebungkus makanan dari restoran cepat saji di sekitar untuk makan siang Janggala yang tertunda.“Pak, makan dulu..” Katanya sambil membuka kotak berisi roti isi sayur dan daging. Ada kotak salad juga dan minuman energi yang dikemas dengan sangat rapi.Janggala menghela napas, sebenarnya dia sudah muak makan-makanan seperti ini. Dia sedang ingin makan-makanan Indonesia rumahan.“Kenapa kamu gak belikan saya nasi?”Siska menoleh dan terdiam sesaat, “Tapi bapak suka menolak kalau say
“Mencurigai?” Dalal —Ayah Lavani— menoleh pada Sivan yang tengah duduk di ruangannya dengan pandangan terkejut, wajah tuanya yang berkeriput itu mengerut dengan sempurna.Sivan tengah mengunjungi kediaman Lavani, semenjak dia dan keluarga Hanggara memiliki rencana untuk masuk dan mengambil alih keluarga Tantra, mereka tidak lagi bertemu di perusahaan JANJI HANGGARA.Terlalu riskan.Banyak faktor yang menyebabkan mereka beraktivitas diluar selain di kediaman pribadi keluarga Hanggara. Seperti biasanya, Sivan selalu datang setiap bulan selain untuk melaporkan progress rencana mereka juga membicarakan apa yang terjadi di keluarga inti maupun di kantor utama.Sivan baru saja memberitahu Dalal perihal kecurigaan Lavani mengenai Nancy yang tengah menyelidiki keduanya.“Saya rasa mama sudah mendapatkan berkas mengenai tragedi JANJI HANGGARA dan TANTRA WIBAWA beberapa tahun lalu kemudian memberitahukan hal itu pada Janggala, k
Lavani baru saja landing ketika dia menghidupkan ponselnya dan mendapat beberapa notifikasi pesan yang kebanyakan berasal dari pekerjaan. Ada beberapa telepon masuk dari klien serta Sivan dan satu nama membuat dia berhenti, Janggala?Selama pernikahan mereka yang sudah hampir lima tahun tidak pernah sekalipun pria itu meneleponnya ketika dia pergi untuk urusan ‘bisnis’ keluar negeri, ini kali pertamanya pria itu beberapa kali menelepon.Lavani mengerenyitkan dahinya sambil terus berjalan untuk mengambil koper, selesai dengan urusan koper dia menuju pintu keluar dan lagi-lagi dia dibuat terkejut.Pria tinggi itu melambaikan tangannya dengan senyum lebar di wajahnya, Janggala.“Gala?” Lavani berkata, mendekat ke arah Janggala sambil menyeret kopernya.“Kamu baca pesanku?” Tanyanya, mengambil alih koper Lavani.“Belum, baru saja aku lihat ada pemberitahuan kamu meneleponku..”
Janggala terjaga ketika telinganya mendengar suara-suara yang agak jauh, dia memicingkan matanya tatkala sinar matahari langsung menyorot wajahnya. Pantas saja dia merasa panas, seluruh tubuhnya kini bermandikan sinar matahari.Dia duduk di sofa, melepas jaketnya ketika dia menyadari kalau ini adalah rumah Dirra.Suara itu terdengar lagi, suara gelak tawa anak kecil. Tawanya begitu renyah.“Lenna bisa kok bu sendiri pasangnya..”“Gak boleh, ibu yang pasang. Walaupun jarumnya kecil, tetap bahaya..” Sahut Dirra.“Lenna ‘kan sudah besar!” Suara Dalenna kini terdengar dengan nada yang manja.“Oh, yang sudah besar tapi makan buah-buahannya gak pernah habis..”“Ibuuu!”Rengekan itu terdengar, percakapan ibu dan anak itu terjadi di ruang makan yang agak jauh ke dalam dekat dapur. Janggala mendengarnya dengan samar-samar, dia mengecek jam di dinding. Pukul delapan pagi.
Dirra terbangun pukul tengah malam, sudah terbiasa mengecek gula darah Dalenna. Dia membuka matanya pelan dan turun dari kasur, malam ini anak itu meminta tidur di kamarnya sendiri.Ya, Nancy membuatkan kamar untuk Dalenna di rumah ini yang tentu saja selama di desa Permadani tidak dimiliki oleh Dalenna. Bocah itu berjingkrak riang ketika pintu terbuka, tempat tidur dengan hiasan menggemaskan, warna tembok dengan tone lembut, pojok membaca serta meja belajar cukup besar, ditambah ada banyak boneka yang besar dan lembut.“Bu, Lenna mau bobok di kamar Lenna..” Katanya ketika baru saja selesai menyikat gigi di kamar mandi Dirra.“Memang gak takut?”Dalenna terdiam sebentar kemudian menoleh menatap Dirra lekat-lekat, “Boleh tidak ibu temani Lenna dulu?”Dirra terkekeh geli, mata bulat itu menatapnya penuh harap, bahasa yang Dalenna pilih selalu santun buah dari meniru orang-orang di sekitar
Janggala menjatuhkan tubuhnya ke kursi penumpang di dalam mobil, dia menghela napas panjang dan berat. Menutup kedua matanya, dia memijat keningnya.Pak Eri, supir pribadinya mengangkat kepala, mengecek Janggala dari kaca spion yang menggantung di dalam mobil.“Sudah selesai, tuan?” Tanyanya dengan suara yang berat namun lembut, pak Eri menutup buku yang tengah dia baca kemudian membetulkan letak kacamatanya.Mengamati sang majikan.“Pak, ibu sama anak itu dianter siapa ke taman kanak-kanak?”Pak Eri kini menoleh pada Janggala, menatapnya dengan penuh telisik. Pertanyaan itu baginya begitu menarik, keluar dari mulut Janggala.“Pak Irsyad yang mengantar, ada hal lucu selama pak Irsyad mengantar. Katanya, nona kecil sempat bertanya kenapa pak Irsyad tidak ikut masuk kedalam dan juga ketika kembali nona kecil membawa sebotol air minum untuknya, katanya takut haus.”Pak Eri baru saja mendengar cerita it
Janggala masih berada di kantor mengurus banyak sekali berkas perjanjian mengenai proyek kantor cabang. Kepalanya sudah hampir mau meledak karena hal itu, namun dia belum bisa berhenti.Perjanjian dengan JANJI HANGGARA terus dia revisi, tidak ingin meninggalkan sedikit celah yang bisa merugikan TANTRA WIBAWA.“Aku terlalu banyak mengkonsumsi omongan mama..” Desahnya pelan sambil memijat kening.Tidak bisa dipungkiri, semakin Janggala menolak semakin pula rasa penasaran menggerogotinya. Dia ingin segera tahu namun juga masih mencoba meyakini bahwa apa yang ibunya pikirkan mengenai Lavani adalah sebuah kesalahan.Lavani hanyalah seorang wanita yang masih ingin mengejar karir, melihat bagaimana perusahaan keluarganya yang begitu besar kini mengalami kemolorotan Janggala yakin wanita itu memiliki kekhawatirannya sendiri.Sedangkan ibunya masih saja meributkan perihal cucu, padahal Janggala masih terhitung cukup muda.Ketika pikiranny
Lavani masuk ke dalam mobil, memakai seat beltnya ketika Sivan mulai menyalakan mobilnya.“Sialan, kenapa pas banget dia sampai sih?” Gerutu Lavani sambil membuang muka ke arah lain seolah dia tidak melihat kedatangan Janggala dengan supir pribadinya.“Untung aku lebih dulu lihat dia, bisa gawat kalau tiba-tiba tadi kamu cium aku.” Sivan menjalankan mobilnya, memainkan stir untuk segera pergi dari basement parkiran.“Aku sudah bilang ketemunya di kantor cabang aja, terlalu riskan kalau di kantor utama begini. Bisa dibilang ini tuh daerah kekuasaannya dia!” Lavani masih mengoceh sambil melipat kedua tangannya, bibirnya maju ke depan sehingga membuat Sivan gemas.Pria itu terkekeh, “Kamu tuh marah-marah aja, kayaknya beberapa minggu terakhir mood kamu jelek banget.”Lavani menghela napas, kalau ditodong dengan fakta begitu dia jadi tidak bisa menjawab apa-apa. Dia sendiri tidak mengerti, semenjak kedata