Pernikahan itu terkesan begitu singkat, Dirra sendiri tidak mengingatnya dengan baik.Tiba-tiba dia dan Janggala sudah duduk di dalam mobil bersebelahan, si supir membawa mereka ke sebuah kantor agama. Keduanya mengikrarkan janji kemudian menandatangani surat pernikahan.Dirra diturunkan di rumah dan Janggala pergi begitu saja kembali ke kantor.Seperti tidak terjadi apapun. Namun, Nancy menyambutnya dengan penuh keriangan. Wanita tua itu memakaikan sebuah cincin bermahkota berlian di jari manis Dirra.“Selamat datang di keluarga Tantra.” Bisiknya sambil tersenyum lebar.Dua hari berlalu begitu saja, Dirra masih menempati rumah yang Nancy buatkan untuknya. Makan malam masih terjadi begitu saja, tidak ada perubahan.Dalenna berada dalam gendongan Dirra, keduanya tengah berjalan menuju rumah setelah makan malam.“Ibu, kenapa ayah gak pernah bicara sama Lenna?” Tiba-tiba si kecil melemparkan pertanyaan itu pada Dirra, membuat wanita itu menghentikan langkahnya dan menoleh pada Dalenna ya
Lavani masuk ke dalam mobil, memakai seat beltnya ketika Sivan mulai menyalakan mobilnya.“Sialan, kenapa pas banget dia sampai sih?” Gerutu Lavani sambil membuang muka ke arah lain seolah dia tidak melihat kedatangan Janggala dengan supir pribadinya.“Untung aku lebih dulu lihat dia, bisa gawat kalau tiba-tiba tadi kamu cium aku.” Sivan menjalankan mobilnya, memainkan stir untuk segera pergi dari basement parkiran.“Aku sudah bilang ketemunya di kantor cabang aja, terlalu riskan kalau di kantor utama begini. Bisa dibilang ini tuh daerah kekuasaannya dia!” Lavani masih mengoceh sambil melipat kedua tangannya, bibirnya maju ke depan sehingga membuat Sivan gemas.Pria itu terkekeh, “Kamu tuh marah-marah aja, kayaknya beberapa minggu terakhir mood kamu jelek banget.”Lavani menghela napas, kalau ditodong dengan fakta begitu dia jadi tidak bisa menjawab apa-apa. Dia sendiri tidak mengerti, semenjak kedata
Janggala masih berada di kantor mengurus banyak sekali berkas perjanjian mengenai proyek kantor cabang. Kepalanya sudah hampir mau meledak karena hal itu, namun dia belum bisa berhenti.Perjanjian dengan JANJI HANGGARA terus dia revisi, tidak ingin meninggalkan sedikit celah yang bisa merugikan TANTRA WIBAWA.“Aku terlalu banyak mengkonsumsi omongan mama..” Desahnya pelan sambil memijat kening.Tidak bisa dipungkiri, semakin Janggala menolak semakin pula rasa penasaran menggerogotinya. Dia ingin segera tahu namun juga masih mencoba meyakini bahwa apa yang ibunya pikirkan mengenai Lavani adalah sebuah kesalahan.Lavani hanyalah seorang wanita yang masih ingin mengejar karir, melihat bagaimana perusahaan keluarganya yang begitu besar kini mengalami kemolorotan Janggala yakin wanita itu memiliki kekhawatirannya sendiri.Sedangkan ibunya masih saja meributkan perihal cucu, padahal Janggala masih terhitung cukup muda.Ketika pikiranny
Janggala menjatuhkan tubuhnya ke kursi penumpang di dalam mobil, dia menghela napas panjang dan berat. Menutup kedua matanya, dia memijat keningnya.Pak Eri, supir pribadinya mengangkat kepala, mengecek Janggala dari kaca spion yang menggantung di dalam mobil.“Sudah selesai, tuan?” Tanyanya dengan suara yang berat namun lembut, pak Eri menutup buku yang tengah dia baca kemudian membetulkan letak kacamatanya.Mengamati sang majikan.“Pak, ibu sama anak itu dianter siapa ke taman kanak-kanak?”Pak Eri kini menoleh pada Janggala, menatapnya dengan penuh telisik. Pertanyaan itu baginya begitu menarik, keluar dari mulut Janggala.“Pak Irsyad yang mengantar, ada hal lucu selama pak Irsyad mengantar. Katanya, nona kecil sempat bertanya kenapa pak Irsyad tidak ikut masuk kedalam dan juga ketika kembali nona kecil membawa sebotol air minum untuknya, katanya takut haus.”Pak Eri baru saja mendengar cerita it
“Lo Dirra ‘kan?” Seorang bocah laki-laki berbadan tegap dengan tatapan mata yang tajam itu menatapnya. “Dirra Gauri?” Laki-laki itu mengulang lagi pertanyaannya.Dirra mengamatinya, bocah laki-laki itu memakai seragam sama dengannya. Seragam SMA DARA SEDAYU, melihat warna yang terpasang di lengan kanannya dia pastilah satu angkatan dengan Dirra.Sama-sama kelas tiga.Semilir angin memainkan rambut keduanya, bocah laki-laki dengan rambut hitam, style yang rapi. Hidungnya tinggi, bibirnya lebar dan terlihat rapi berwarna merah muda. Dirra tengah berada di bawah pohon dekat perpustakaan ketika bocah itu mendekatinya secara tiba-tiba.“Kamu siapa?” Kini Dirra balik bertanya, keningnya berkerut. Tidak merasa mengenal laki-laki itu selama bersekolah disini, atau mungkin karena dia tidak begitu tertarik dengan sekitar.Bocah laki-laki itu tidak langsung menjawab, dia terdiam sebentar sebelum akhirnya tertawa kencang. Dirra terkejut mendengarnya, tawa itu seperti tawa yang dipaksakan.“Lo gak
“Tidak, mama tidak akan pernah mengizinkan kamu untuk bersama Dirra!” Suara perempuan paruh baya itu terdengar lantang di udara, suaranya menggema di dalam ruang tamu luas dan megah.Dia duduk di sebuah sofa, matanya tajam, kerutannya mulai terlihat namun wajahnya tetap terlihat penuh wibawa, kecantikan itu tidak pudar dimakan waktu. Rahang yang tegas, sorot mata yang penuh dengan intimidasi.“Aku sudah ngelakuin apa yang mama mau selama dua bulan terakhir, setelah papa meninggal aku mau melanjutkan usaha dan bekerja menggantikan papa. Mama berjanji akan membiarkan aku melakukan apa yang aku mau!” Kini pria muda di depannya berteriak balik, wajahnya diliputi dengan kemarahan, ada getar dalam suaranya yang mendadakan dia tengah menahan semuanya.“Tapi bukan untuk bersama Dirra!”Napas pria itu keluar satu-satu, dia berusaha untuk mengaturnya karena jujur saja dia benar-benar diluar kendali sekarang. Dia bisa melakukan banyak hal termasuk menyakiti ibu kandungnya sendiri.Janggala sudah
Dirra masih menangis di kamarnya, meratapi nasibnya yang malang. Dia kini benar-benar tidak bisa menghubungi Janggala, kedua orangtuanya mengambil ponselnya dengan paksa.“Ibu benar-benar kecewa Dir, kenapa kamu tega ngelakuin ini ke keluarga kita?” Tanya ibunya di malam mereka baru kembali dari rumah Janggala, ketiganya berkumpul di ruang depan.Dirra menundukkan kepalanya dalam-dalam sambil menangis, tidak mampu menatap kedua orangtuanya.“Ayah sudah bilang padamu berkali-kali Dir, setidaknya kita harus punya sesuatu yang bisa dipegang sebagai seseorang yang tidak memiliki apa-apa. Ayah sudah sangat yakin kita akan diinjak-injak dan dihina seperti tadi oleh keluarga Tantra.” Ujar ayahnya dengan suara yang lembut sambil memijat dahi, terlihat raut wajah kecewa oleh Dirra.“Dirra benar-benar minta maaf yah, bu. Ini semua kesalahan Dirra..”Ibunya kemudian memeluknya dengan erat sambil menangis.“Kita pindah saja ya nak, Dirra sama ayah pergi ke kampung saja.. Biar ibu disini bekerja.
Dirra tahu dirinya sedang tertidur.Kondisi rumahnya seminggu terakhir penuh dengan ketegangan, terutama ibu dan ayahnya. Kedua orangtuanya sedang direpotkan mengurus kepindahan Dirra, mereka sebisa mungkin mengatur seolah-olah Dirra pergi untuk bekerja diluar kota.Mereka mempersiapkan banyak hal, dan mencicil sedikit demi sedikit barang Dirra yang bisa mereka bawa dan pindahkan menggunakan jasa ekspedisi.Mereka ingin melakukannya secara perlahan tanpa mengeluarkan rasa curiga.Ibunya juga sudah menggaungkan pada tetangga kalau Dirra sedang interview pekerjaan dan banyak lainnya, sehingga jika nantinya Dirra siap pergi untuk berpindah semua orang tidak menaruh curiga.Kedua orangtuanya melakukannya dengan sangat baik, mengenyampingkan apa yang diingikan oleh Dirra. Terlebih Dirra sendiri begitu repot merasakan mual dan muntah, dia juga harus tersiksa karena muntah yang harus dia atur supaya tidak terdengar kemanapun.Dia kelelahan.