5. KEKUATAN EKAWIRA

Pusaran angin itu, membawa tubuh Ekawira berserta Pedang Batu Selembur, sejauh mungkin dari para pendekar aliran hitam itu.

Perlahan-lahan, pusaran anginnya menghilang. Tubuh Ekawira pun terkapar di atas dedaunan kering, sedangkan Pedang Batu Selembur berada tidak jauh darinya.

Seketika itu juga, muncul seorang pria sepuh yang seluruh rambutnya telah memutih, langsung menghampiri Ekawira yang tidak sadarkan diri di sana.

Dia sedikit mengibas pakaiannya yang seperti jubah itu. Kemudian duduk berjongkok di samping kanan Ekawira. Dua ruas jarinya menyentuh tengkuk Ekawira.

"Pemuda ini memiliki fisik yang lemah, tetapi tenaga dalamnya sangat kuat," gumamnya sesaat setelah memeriksa kondisi Ekawira, yang tidak sadarkan diri itu.

"Seandainya bukan karena kekuatan besar ini, mungkin nyawanya sudah tiada setelah mendapat serangan dari Dewi Laba-laba Hitam dan Tengkorak Iblis." Kemudian ia mengangkat tangan kanannya dan berada tepat di atas tubuh Ekawira.

Pria sepuh itu, mengalirkan seluruh tenaga dalamnya pada telapak tangan, kemudian ia menggerakkannya perlahan-lahan, ke atas ke bawah. Dari telapak tangan itu, keluar cahaya kebiruan. Ia mengalirkan tenaga dalamnya ke tubuh Ekawira guna menyelamatkan nyawanya yang berada di ambang kematian.

Kondisi Ekawira sangat kritis. Pertarungan terakhir, membuat organ dalam pemuda itu, mengalami kerusakan. Pria sepuh yang tak diketahui namanya itu, telah memeriksa kondisi Ekawira secara keseluruhan.

Uhuk ...

Uhuk ...

Ekawira pun terbatuk beberapa kali, menandakan ia berhasil keluar dari masa kritisnya. Pria sepuh itu menghela napas lega setelahnya, sesaat melihat napas Ekawira yang mulai stabil. Namun, pemuda itu belum sadarkan diri.

Pria sepuh yang masih terlihat bugar itu, beranjak dari duduknya. Dia mengayunkan kakinya pelan, menuju Pedang Batu Selembur berada.

Pedang pusaka itu, tampak baik-baik saja. Hanya sedikit berdebu karena tertimbun dedaunan kering.

"Pusaka ini, sungguh luar biasa," gumamnya sesaat setelah menggenggam pedang tersebut. "Kakang Adiwilaga memang tidak tertandingi, soal membuat Pusaka sakti."

Ada rasa kagum dalam hatinya, ketika memperhatikan Pedang Batu Selembur secara keseluruhan. Mulai dari ukiran sisik naga di bagian tengah dan aliran tenaga yang sangat kuat di dalam pedang tersebut, membuatnya semakin mengagumi pusaka tersebut.

Pria sepuh itu, menggantung Pedang Batu Selembur di pinggir kirinya. Kemudian mengayunkan kakinya kembali, mendekati Ekawira yang masih belum sadarkan diri di sana.

"Aku akan membawamu, Nak. Kau akan menjadi pendekar tak tertandingi di masa depan. Kehadiranmu akan mengubah dunia persilatan ini."

Setelah berkata demikian, ia lantas mengangkat tubuh Ekawira. Hanya dalam hitungan detik saja, pria sepuh beserta Ekawira telah lenyap disapu angin.

***

SATU BULAN KEMUDIAN.

Seorang pemuda dua puluh lima tahun, bertubuh gagah, tinggi dan berwajah tampan, sedang duduk bersila di atas sebuah batu besar.

Kedua tangannya membentuk huruf O besar, dengan menempelkan jari telunjuk dan ibu jarinya. Kedua matanya terpejam erat. Ia terus mengatur napasnya. Berusaha mengimbangi kekuatan yang datang dari alam.

Entah sudah berapa lama, pemuda itu duduk di sana. Dia sangat bersemangat untuk mengendalikan tenaga dalamnya.

Sementara itu, pria sepuh yang seluruh rambutnya telah memutih, tengah syahdu memperhatikan pemuda tersebut dari kejauhan.

"Seperti yang Kakang Adiwilaga katakan. Pemuda itu akan menjadi pendekar tak tertandingi dan kehadirannya mampu mengubah dunia persilatan ini," gumamnya tanpa berkedip dan tidak sedikitpun mengalihkan pandangannya dari Ekawira yang sedang bersemedi di sana.

Lama kelamaan ia mulai merasa bosan, sebab memperhatikan saja tentu tidak ada tantangannya sama sekali.

Pria sepuh itu, melompat setinggi mungkin, kakinya mengayun cepat, berlari di udara, seolah-olah sedang berjalan di atas tanah.

Kehadirannya, tentu sudah dirasakan oleh Ekawira yang masih belum beranjak dari tempatnya.

Ketika jaraknya hanya beberapa jengkal saja, Ekawira membuka matanya cepat. Segera ia mengambil tindakan tanpa pikir panjang. Ekawira melompat ke udara, tepat sebelum pria sepuh itu melayangkan serangan tapak, yang dalam hitungan detik saja bisa mengenai dadanya.

Pria sepuh itu mendongak, mendapati Ekawira yang mampu menghindar dari serangannya.

Pria sepuh itu, menyunggingkan senyuman tipis. Sementara Ekawira tidak menunjukkan ekspresi sama sekali. Namun, ia menaruh kewaspadaan sangat tinggi terhadap lawannya.

"Instingmu kuat juga, Nak," gumam pria sepuh itu, memuji tingkat kewaspadaan Ekawira.

Tanpa basa-basi lagi, ia langsung menghadiahkan sebuah pukulan keras ke arah Ekawira. Namun, pemuda itu mampu menangkisnya dengan tangan kosong.

Dua pria yang berasal dari generasi berbeda itu, saling bertukar beberapa jurus. Ekawira yang sebelumnya tidak mahir dalam hal bela diri, kini mampu mengimbangi kekuatan seorang pendekar sakti mandraguna.

"Apa kau sudah selesai dengan semedimu?" tanya pria sepuh yang akrab dipanggil Astagina itu, di sela-sela pertarungan serius di udara.

"Iya, Guru. Apa kau ingin menjajal kemampuanku?" Ekawira balik bertanya sekaligus menantang Astagina untuk bertarung lebih serius lagi.

Astagina tidak menjawab. Namun, dia langsung mempercepat gerakannya guna memberi efek kejutan bagi Ekawira.

Yachhh!!!

Pukulan, tendangan, terus ditunjukkan keduanya. Dalam satu bulan terakhir, organ dalam Ekawira yang mengalami kerusakan, saat pertarungan terakhir kali melawan Dewi Laba-laba Hitam serta Tengkorak Iblis, telah pulih total.

Astagina terus memberikan ramuan herbal kepada Ekawira. Sehingga luka dalam pemuda itu berangsur membaik.

Sudah cukup lama keduanya bertarung dan bertukar jurus di udara. Astagina akhirnya menyerah juga. Dia turun lebih dulu, kemudian disusul Ekawira.

"Kau memang luar biasa. Dalam satu bulan, kau berhasil menguasai banyak jurus, yang kuajarkan." Astagina mengayunkan kakinya, mengikis jarak yang kini menjadi beberapa langkah.

"Semua ini berkat guru yang telah membimbingku." Ekawira memberikan hormatnya pada pria sepuh, tang telah menyelamatkan nyawanya dari kepungan pendekar aliran hitam.

Astagina menepuk bahu Ekawira, "kekuatan yang ada di dalam tubuhmu lah, yang membuatmu mudah menguasai semua jurus yang telah kuajarkan."

"Iya, Guru. Hal ini juga, yang ingin aku tanyakan padamu."

Astagina terdiam. Ya, bukan karena tidak mengerti, melainkan ia tahu apa yang Ekawira ingin tanyakan.

"Kita bicarakan ini di rumah saja."

Astagina mengayunkan kakinya terlebih dulu, baru setelah disusul Ekawira.

Pemuda itu tampak santai tanpa ada raut kelelahan. Padahal ia baru saja mengeluarkan banyak tenaga untuk mengimbangi tenaga dalam sang guru.

Keduanya berjalan beriringan, hingga akhirnya sampai di sebuah gubuk. Astagina duduk di atas pelataran yang terbuat dari kayu.

"Duduklah! Ada hal yang ingin kukatakan kepadamu." Astagina berkata tanpa berkedip. Nada bicaranya terdengar sangat serius.

Ekawira mengangguk paham. Ia lantas mengikuti perintah tersebut.

"Sesungguhnya, ada rahasia besar yang selama ini disembunyikan darimu." Nada suaranya semakin serius, seirama dengan tatapan matanya yang menjelaskan situasi sekarang.

"Apa itu, Guru?"

"Kau pasti tidak akan menyangka. Namun, ini sebuah keajaiban dan anugerah yang diberikan Sang Dewata Agung, kepada dirimu, Ekawira ..."

"Di dalam tubuhmu itu, tertanam kekuatan besar yang hanya muncul seratus tahun sekali. Kekuatan Batu Bintang Perak."

"Kekuatan Batu Bintang Perak? Kekuatan apa itu, Guru?"