Hari mulai sore. Namun, Ekawira masih berada di tempatnya tanpa bergeser sedikitpun dari sana.
Astagina sesekali memantau perkembangan latihan yang dijalani Ekawira. Sesekali itu juga, ia mendapati beberapa hewan buas datang mendekati Ekawira, mencoba untuk mengganggu konsentrasi pemuda itu. Astagina tentu tidak berdiam diri. Semua hewan buas yang datang mendekat, dibuat lari terbirit-birit dengan aura kematian yang dimiliki pria sepuh itu. Pria sepuh itu, tidak terlalu menggunakan banyak tenaga untuk mengusir hewan-hewan buas, sebab ia tidak mau konsentrasi Ekawira jadi terganggu akibat pertarungan ringan tersebut. *** Tak terasa, sudah tiga hari berlalu. Ekawira masih duduk bersila di tempatnya. Dia tidak minum maupun makan. Tidak ada yang mampu menggoyahkan konsentrasinya kali ini. Ekawira telah bertekad untuk menaklukkan setiap tantangan dalam latihan bela dirinya. Kini fisiknya sedang ditempa, supaya kuat, ketika Kekuatan Batu Bintang Perak bereaksi. Astagina tersenyum lebar. Hatinya kian merasa bangga, ketika mendapati Ekawira mampu menjalani sesi latihan ini dengan sangat baik. Bahkan lebih baik, dari dirinya ketika masih muda dulu. "Tekadnya sangat kuat, Kakang. Ketika melihatnya berlatih seperti sekarang, mengingatkan diriku akan sosokmu, Kakang," celoteh Astagina pelan, berdiri di dekat pohon rindang yang jaraknya cukup jauh dari Ekawira. Hanya perlu empat hari, tiga malam lagi, maka sesi latihan ini akan selesai. Astagina yakin, bahwasanya Ekawira akan berhasil. "Dia akan menjadi sosok pendekar paling ditakuti. Semua orang akan mengenalnya sebagai pendekar tangguh. Aku yakin itu." Gumaman demi gumamam, terus ia lontarkan, sebagai bentuk kekagumannya terhadap Ekawira. Semasa ia muda dulu, semangatnya tidak sebesar yang ditunjukkan Ekawira sekarang. Pemuda itu, berhasil membangkitkan semangat mudanya lagi. Setelah memastikan Ekawira baik-baik saja, Astagina pun, segera menghilang dari balik pepohonan di sana. Ekawira benar-benar memfokuskan dirinya pada meditasi yang sedang dijalani sekarang. Hanya suara gemericik air terjun, serta hembusan angin saja, yang ia dengar serta rasakan. Pikirannya begitu tenang dan tubuhnya telah terbiasa dengan derasnya guyuran air terjun. *** Tujuh hari tujuh malam telah berlalu. Astagina pun berdiri tepat samping Ekawira. Kali ia bukan lagi sekedar mengawasi, tetapi untuk menyudahi latihan sang murid. "Kau telah berhasil menyelesaikan latihan pertama ini. Bukanlah matamu," kata Astagina, yang akhirnya menyadarkan Ekawira dari semedi panjangnya itu. Tujuh hari tujuh malam, memang bukan waktu yang lama, tapi bukan waktu yang sebentar juga. Terlebih lagi harus duduk dibawah guyuran air terjun, dengan kondisi bertelanjang dada. Orang awam, tentu sulit untuk menyelesaikannya dengan sempurna. Ekawira membuka matanya perlahan. Kemudian, menghela napas panjang. Hal yang pertama kali ia lihat, adalah aliran sungai yang mengalir kencang menuju aliran-aliran kecil di depan sana. "Bagaimana keadaanmu, setelah menyelesaikan latihan ini, Nak?" tanya Astagina, yang langsung mendapat respon dari Ekawira. Pemuda itu mengalihkan pandangannya, kini menatap pria sepuh yang sejak tujuh hari terakhir, telah mengawasinya dengan baik. "Guru. Diriku merasa lebih segar setelah menyelesaikan latihan ini." Ekawira berkata penuh semangat. Buru-buru di beranjak bangun dari posisi duduknya. "Aku juga merasa tubuh ini menjadi ringan. Seperti ingin terbang jauh," sambungnya penuh antusias. Tidak peduli pakaian bawah dan rambutnya basah kuyup. Ekawira sangat senang, lantaran niatnya untuk menyelesaikan latihan ini, ternyata berhasil tanpa kesulitan berarti. "Kau memang pendekar berbakat. Kedua orang tuamu, serta Kakang Adiwilaga, pasti tersenyum di sana melihat dirimu yang mengalami perkembangan pesat," ungkap Astagina, yang tidak kalah antuasiasnya dari Ekawira. Dia berulang kali menepuk-nepuk bahu pemuda itu. Sebagai bentuk rasa bangganya. "Setelah ini, apa yang harus kulakukan, Guru?" tanya Ekawira penuh semangat. Dia berpikir untuk tidak membuang waktu untuk hal-hal yang tidak berguna. Astagina mengulas senyuman tipis. *** Astagina pun mengajak Ekawira pulang terlebih dahulu. Dirinya bukanlah manusia kejam, yang tidak mengerti orang lain. Sesampainya di rumah, Ekawira langsung menyantap makanan yang telah Astagina hidangkan. Dikarenakan ia tahu, hari ini Ekawira akan menyelesaikan latihannya, maka pria sepuh itu sengaja memasak untuk mengisi perut sang murid kesayangan. Ekawira makan dengan lahap. Meskipun hanya makanan sederhana. Akan tetapi, rasanya sangat nikmat karena kondisi perut sudah lapar. "Guru tidak makan?" tanya Ekawira, dengan mulut yang terisi penuh makanan. "Kau saja yang makan. Diriku sudah makan tadi," jawab Astagina sambil berjalan santai menuju kendi berukuran sedang yang berada di sudut ruangan itu. Pria sepuh itu, mengambil sebuah gayung yang terbuat dari batok kelapa. Kemudian mengambil air dari dalam kendi tersebut. Selanjutnya ia menuangkannya ke dalam gelas yang terbuat dari tanah liat. Terdengar suara gumaman Ekawira ketika makan. Pemuda itu, kalau makan seperti bukan manusia saja. Semuanya dimasukkan ke dalam mulut, seolah-olah mulutnya itu karung beras yang muat banyak makanan. "Pelan-pelan," pesan Astagina, sambil memberikan gelas minum itu kepada muridnya. Ekawira mendongak dan mengangguk, diraihnya gelas tersebut dari tangan Astagina. Selanjutnya dia meneguk air itu hingga tersisa sebagian. Selain lapar, dia juga merasa haus. Siapa yang tidak merasa demikian, jika selama tujuh hari tujuh malam tidak makan dan minum. Astagina pun mengayunkan kakinya kembali. Kini tujuannya pada sebuah lemari penyimpanan berukuran kecil yang mulai keropos karena termakan usia itu. Astagina membuka salah satu pintu lemari itu. Ekawira menghentikan aktivitas makannya, melihat sang guru penuh penasaran. Astagina mengeluarkan sebuah buku kitab yang lembarannya masih terlihat bersih dan rapi. Pria sepuh itu, sedikit menepuk-nepuk bagian atas buku tersebut, sebab sedikit berdebu. "Apa itu, Guru?" Buru-buru Ekawira beranjak bangun dari sana, segera dia mencuci tangannya yang kotor akibat makan tadi. "Ini adalah kitab yang pusaka berisi jurus-jurus untuk menguasai Pedang Batu Selembur," terang Astagina penuh percaya diri. Dia mengikis jarak yang kini hanya beberapa langkah saja dari Ekawira. "Apa Paman Guru Adiwilaga yang telah menciptakan jurus ini?" selidik Ekawira lebih jauh. Astagina mengangguk pelan, "tepat sesaat Pedang Batu Selembur tercipta. Kakang Adiwilaga menuliskannya di dalam kitab ini. Namun, saat itu semua jurusnya belum lengkap." "Belum lengkap bagaimana, Guru?" "Iya. Sebelum Kakang Adiwilaga menyelesaikan jurus-jurusnya, para pendekar aliran hitam sudah lebih dulu menyerangnya. Seandainya hari itu, diriku tidak datang terlambat, kemungkinan besar Kakang Adiwilaga masih hidup di dunia ini," jawabannya terdengar lirih. Namun, tidak sepatutnya ia merasa demikian. Ekawira terus-terusan memperhatikan kitab tersebut. Seketika itu juga, rasa penasaran dalam dirinya mencuat. Ingin cepat-cepat mempelajari semua jurus yang ada di dalam kitab tersebut. Astagina memperhatikan muridnya itu penuh kebanggaan. "Ini, simpanlah sebaik mungkin! Jangan sampai kitab ini jatuh ke tangan orang lain. Terutama mereka yang sangat menginginkan Pedang Batu Selembur." "Baik, Guru. Aku akan menjaga kitab ini sebaik mungkin. Tidak akan kubiarkan orang lain menyentuhnya. Apa lagi mempelajarinya." Ekawira segera meraih kitab tersebut. Disentuhnya kitab itu perlahan dan penuh kehati-hatian. "Pedang Batu Selembur, adalah sebuah pusaka sakti mandraguna, yang mampu menghancurkan satu desa, hanya dengan satu kali ayunan pedang saja. Jadi, kau harus menjaga Pedang Batu Selembur dengan hati-hati. Jangan sampai pendekar aliran hitam, merebutnya. Apa lagi sampai memiliki Kitab pusakanya juga. Seandainya sampai terjadi, maka orang-orang tidak berdosa akan menjadi korbannya," pesan Astagina secara tegas dan langsung mendapat anggukan kepala dari Ekawira. "Iya, Guru. Aku akan mengingat dengan baik, pesan Guru." Ekawira membungkukkan badannya, sebagai bentuk hormatnya kepada Astagina.Hari berikutnya. Ekawira pun menjalani sesi latihan kedua, untuk mampu mengendalikan sepenuhnya kekuatan Batu Bulan Perak yang ada di dalam tubuhnya.'Batu Bintang Perak, adalah kekuatan penghancur sangat dahsyat. Kekuatan mengerikan itu tercipta dari sifat buruk manusia di muka bumi ini.' papar Astagina, yang kembali terbayang dalam benang Ekawira.Pendekar muda itu duduk bersila di atas batu besar, di bawah derasnya guyuran air terjun tanpa memakai baju, tapi masih mengenakan pakaian bawah. Ekawira harus memusatkan pikiran, menyatukan dirinya terhadap alam. Menyerap hawa murni dari sekitarnya. Dengan begitu, Kekuatan Batu Bintang Perak yang ada pada dirinya, dapat dikuasai. Meskipun Ekawira tahu, kekuatan besar itu tidak akan semudah itu untuk dikuasai.'Dalam kisahnya. Seorang Raja sakti mandraguna, bernama Raja Suwardana. Ia memimpin suatu negeri. Penghuni negeri itu, adalah bangsa jin dan dedemit. Pasukannya adalah kaum siluman yang haus akan darah manusia ...'Ekawira memejamk
Astagina tidak jadi pergi. Dirinya merasakan ada bahaya sedang mendekati area tersebut. Entah apa itu, sampai detik ini dirinya masih belum yakin sepenuhnya dengan tebakannya tersebut.Aura yang tiba-tiba muncul ini sangat mengusik ketenangannya. "Seharusnya, mereka tidak di tempat ini. Aku bisa merasakan aura itu. Dedemit air. Rawa Taraka."Kecemasan Astagina kian meningkat ketika telah hadir tiga sosok makhluk hijau. Seluruh tubuh mereka dipenuhi lumpur dan ganggang hijau. Tinggi mereka lebih dari dua meter, sehingga tampak seperti monster.Aroma busuk dari tubuh mereka sangat menyengat. Astagina hampir kehilangan kesadarannya, jikalau dirinya tidak menggunakan tenaga dalamnya untuk menekan aura mereka."Hei, kalian para Dedemit! Bagaimana bisa kalian berada di tempat ini, ah?!" Astagina meninggikan suaranya, sekaligus mengeluarkan tenaga dalamnya guna menekan aura bertarung dari ketiga mahluk, yang disebut Dedemit Air itu.KHAAAUUUUNGGG ...Mereka meraung sangat keras karena tekan
Astagina pun sudah berada di ambang batas kesabarannya. Dia tidak lagi menganggap lawan di depan matanya lemah. Dirinya juga tidak bisa berlama-lama menahan mereka karena akan berakibat fatal, untuk dirinya maupun Ekawira."Memang tidak ada cara lain lagi. Mereka harus dimusnahkan atau kehadiran mereka akan mengganggu pertapaan Ekawira di sana."Astagina menoleh ke belakang disertai helaan napas lega, lantara Ekawira masih terpaku di tempatnya. Menandakan, pertapaannya tidak terganggu."Kris Samber Nyawa!" serunya demikian sambil mengeluarkan sebuah benda pusaka yang terikat di pinggangnya.Kris Samber Nyawa, setidaknya Itulah yang diserukan pria sepuh itu. Mengangkat tinggi-tinggi benda pusakanya tersebut. Kris tersebut lantas mengeluarkan cahaya keemasan yang sangat menyilaukan mata. Dalam satu tarikan napas, Astagina sudah berada di tengah-tengah para Dedemit Air itu. Tangannya mengayun cepat, menghunuskan Kris tersebut ke salah satu Dedemit Air.DWAARRRR ..Hancur lebur hanya me
"Penguasa Gunung Arga menginginkan Kekuatan Batu Bintang Perak, yang tertanam dalam raga Ekawira," tutur Adiwilaga diiringi helaan napas panjang. Meski hanya sebatas Jiwa yang bergentayangan, tetapi ia masih memiliki perasaan kuat, layaknya manusia pada umumnya.Astagina membola. Mendengar pengakuan tersebut, dia hampir kehilangan ketenangannya. Namun, dia segera mengembalikan pikirannya yang mulai bercabang-cabang itu."Ta-pi, Kakang." Astagina terbata-bata, sulit untuk menyusun kata-katanya. "Maksudku ... bagaimana bisa Penguasa Gunung Arga, mengetahui tentang Kekuatan Batu Bintang Perak, sementara tidak ada satupun orang yang mengetahui, bahwasanya di dalam raga Ekawira, telah tertanam Kekuatan Batu Bintang Perak?"Adiwilaga menoleh kesamping, dipandanginya pria yang usianya tidak terpaut jauh darinya itu."Diriku memahami betul keresahanmu terhadap keselamatan Ekawira. Namun, kau harus mengetahui satu hal. Di balik pertapaan yang dilakukan Ekawira sekarang, telah memancarkan aura
"Ternyata kau, Siluman Harimau!" seru sosok pria sepuh yang sebelumnya berwujud bola cahaya putih itu.Manusia Harimau itu menyeringai penuh makna. "Rupanya kau yang menjadi pelindung pemuda ini?" balasnya penuh selidik. Memicingkan matanya guna memastikan dugaannya itu."Dia adalah muridku!" aku pria itu penuh keyakinan. Ucapannya yang sungguh-sungguh, menegaskan bahwasanya ia adalah Adiwilaga. Nyatanya memang demikian. Adiwilaga, tidak dapat membiarkan masalah datang menghampiri muridnya yang sedang fokus bersemedi di sana. "Hahaha. Jadi, ramalan itu memang benar adanya. Malam itu, Kekuatan Batu Bintang Perak, memilih putra dari Tri Sapati sebagai persemayamannya dan sekarang ia telah tumbuh dewasa. Kau pinter juga rupanya, menyembunyikan sosok paling dicari di dunia persilatan ini." Ia menyela dan berdengus kesal di waktu bersamaan.Adiwilaga menulikan pendengarannya. Memilih untuk tidak memedulikan celotehan dari pria yang dipenuhi bulu-bulu itu. Keselamatan muridnya yang terpen
"Ajian Daraka Cakra." Astagina lantas mengenali jurus tersebut dalam satu kali lihat. Pun dengan Adiwilaga yang lebih dulu melihat ajian tersebut.Ajian Daraka Cakra, yang terkenal dapat menyembuhkan segala macam penyakit dalam waktu singkat, selama masih terdapat tenaga dalam yang cukup untuk menggunakan ajian tersebut. Di dunia persilatan, Ajian Daraka Cakra, tidak bisa dimiliki sembarang orang. Hanya mereka yang menghuni Gunung Lawu, sajalah yang dapat menguasai Ajian tersebut.Adiwilaga dan Astagina saling berpandangan. Sebelum akhirnya kembali menatap Priyambada dengan penuh kewaspadaan. "Hahaha. Tentu kalian mengenali ajian ini bukan?" Priyambada tertawa penuh kemenangan. Melihat perubahan reaksi dari lawannya, lantas membuatnya seperti di atas angin. Bukan rahasia umum lagi, mereka yang dapat menguasai Ajian Daraka Cakra menjadi lawan yang tak terkalahkan di dunia persilatan ini. "Apa yang harus kita perbuat sekarang, Kakang?" bisik Astagina merasa ketar ketir, mendapati
Di bawah terik matahari yang membakar kulit. Kumpulan awan putih tipis membentuk barisan sejauh mata memandang, begitu indah dan mempesona. Sosok pria paruh baya yang seluruh rambutnya telah memutih itu, duduk bersila di atas sebuah batu besar. Kedua tangannya membentuk huruf O, dengan menempelkan jari telunjuk dan ibu jarinya.Kedua matanya terpejam erat. Dia memfokuskan pikirannya pada satu titik buta. Tak ada yang mampu mengalihkan konsentrasinya dalam beberapa jam terakhir.Tiba-tiba langit cerah, berubah gelap. Gumpalan awan putih, kini telah menghitam pekat. Angin yang berhembus pun sangat kencang, seolah badai besar akan datang. Pepohonan mulai menari-nari mengikuti hembusan angin yang datang dari segala penjuru, sili berganti. Kendati suasana telah berubah mencekam, pria paruh baya itu tetap fokus dan tidak sedikitpun bergerak dari posisinya. Detik demi detik berlalu, hingga berganti menit. Hembusan angin, kilat yang menyambar dan suara guntur saling menyahut, sama sekali ti
Adiwilaga membawa Ekawira sejauh mungkin dari tempat yang kini tak lagi memiliki ketenangan itu.Pria paruh baya itu, tahu bagaimana harus bertindak saat ini. Memang, untuk sekarang Ekawira tidak memiliki ilmu Kanuragan yang mumpuni dan tidak membahayakan bagi kalangan pendekar. Namun, di masa depan, kekuatan yang ada pada raga Ekawira akan mampu mengubah dunia persilatan. Setelah terbang cukup jauh, akhirnya dia berpijak di atas tanah, di dekat hutan belantara yang jarang sekali dimasuki oleh manusia karena terkenal akan hewan buas dan para siluman yang menjadi penghuni di sana. Adiwilaga membaringkan tubuh Ekawira di tanah. Selanjutnya dia mengalirkan tenaga dalamnya ke raga sang murid.Tak perlu waktu lama, Ekawira pun mulai membuka matanya. "Guru Adiwilaga," ucapnya untuk pertama kali. Kemudian langsung mengubah posisinya menjadi duduk bersila."Kau baik-baik saja?" tanya Adiwilaga tampak sangat cemas."Iya, Guru. Aku baik-baik saja. Hanya sedikit sakit di bagian dada saat ter
"Ajian Daraka Cakra." Astagina lantas mengenali jurus tersebut dalam satu kali lihat. Pun dengan Adiwilaga yang lebih dulu melihat ajian tersebut.Ajian Daraka Cakra, yang terkenal dapat menyembuhkan segala macam penyakit dalam waktu singkat, selama masih terdapat tenaga dalam yang cukup untuk menggunakan ajian tersebut. Di dunia persilatan, Ajian Daraka Cakra, tidak bisa dimiliki sembarang orang. Hanya mereka yang menghuni Gunung Lawu, sajalah yang dapat menguasai Ajian tersebut.Adiwilaga dan Astagina saling berpandangan. Sebelum akhirnya kembali menatap Priyambada dengan penuh kewaspadaan. "Hahaha. Tentu kalian mengenali ajian ini bukan?" Priyambada tertawa penuh kemenangan. Melihat perubahan reaksi dari lawannya, lantas membuatnya seperti di atas angin. Bukan rahasia umum lagi, mereka yang dapat menguasai Ajian Daraka Cakra menjadi lawan yang tak terkalahkan di dunia persilatan ini. "Apa yang harus kita perbuat sekarang, Kakang?" bisik Astagina merasa ketar ketir, mendapati
"Ternyata kau, Siluman Harimau!" seru sosok pria sepuh yang sebelumnya berwujud bola cahaya putih itu.Manusia Harimau itu menyeringai penuh makna. "Rupanya kau yang menjadi pelindung pemuda ini?" balasnya penuh selidik. Memicingkan matanya guna memastikan dugaannya itu."Dia adalah muridku!" aku pria itu penuh keyakinan. Ucapannya yang sungguh-sungguh, menegaskan bahwasanya ia adalah Adiwilaga. Nyatanya memang demikian. Adiwilaga, tidak dapat membiarkan masalah datang menghampiri muridnya yang sedang fokus bersemedi di sana. "Hahaha. Jadi, ramalan itu memang benar adanya. Malam itu, Kekuatan Batu Bintang Perak, memilih putra dari Tri Sapati sebagai persemayamannya dan sekarang ia telah tumbuh dewasa. Kau pinter juga rupanya, menyembunyikan sosok paling dicari di dunia persilatan ini." Ia menyela dan berdengus kesal di waktu bersamaan.Adiwilaga menulikan pendengarannya. Memilih untuk tidak memedulikan celotehan dari pria yang dipenuhi bulu-bulu itu. Keselamatan muridnya yang terpen
"Penguasa Gunung Arga menginginkan Kekuatan Batu Bintang Perak, yang tertanam dalam raga Ekawira," tutur Adiwilaga diiringi helaan napas panjang. Meski hanya sebatas Jiwa yang bergentayangan, tetapi ia masih memiliki perasaan kuat, layaknya manusia pada umumnya.Astagina membola. Mendengar pengakuan tersebut, dia hampir kehilangan ketenangannya. Namun, dia segera mengembalikan pikirannya yang mulai bercabang-cabang itu."Ta-pi, Kakang." Astagina terbata-bata, sulit untuk menyusun kata-katanya. "Maksudku ... bagaimana bisa Penguasa Gunung Arga, mengetahui tentang Kekuatan Batu Bintang Perak, sementara tidak ada satupun orang yang mengetahui, bahwasanya di dalam raga Ekawira, telah tertanam Kekuatan Batu Bintang Perak?"Adiwilaga menoleh kesamping, dipandanginya pria yang usianya tidak terpaut jauh darinya itu."Diriku memahami betul keresahanmu terhadap keselamatan Ekawira. Namun, kau harus mengetahui satu hal. Di balik pertapaan yang dilakukan Ekawira sekarang, telah memancarkan aura
Astagina pun sudah berada di ambang batas kesabarannya. Dia tidak lagi menganggap lawan di depan matanya lemah. Dirinya juga tidak bisa berlama-lama menahan mereka karena akan berakibat fatal, untuk dirinya maupun Ekawira."Memang tidak ada cara lain lagi. Mereka harus dimusnahkan atau kehadiran mereka akan mengganggu pertapaan Ekawira di sana."Astagina menoleh ke belakang disertai helaan napas lega, lantara Ekawira masih terpaku di tempatnya. Menandakan, pertapaannya tidak terganggu."Kris Samber Nyawa!" serunya demikian sambil mengeluarkan sebuah benda pusaka yang terikat di pinggangnya.Kris Samber Nyawa, setidaknya Itulah yang diserukan pria sepuh itu. Mengangkat tinggi-tinggi benda pusakanya tersebut. Kris tersebut lantas mengeluarkan cahaya keemasan yang sangat menyilaukan mata. Dalam satu tarikan napas, Astagina sudah berada di tengah-tengah para Dedemit Air itu. Tangannya mengayun cepat, menghunuskan Kris tersebut ke salah satu Dedemit Air.DWAARRRR ..Hancur lebur hanya me
Astagina tidak jadi pergi. Dirinya merasakan ada bahaya sedang mendekati area tersebut. Entah apa itu, sampai detik ini dirinya masih belum yakin sepenuhnya dengan tebakannya tersebut.Aura yang tiba-tiba muncul ini sangat mengusik ketenangannya. "Seharusnya, mereka tidak di tempat ini. Aku bisa merasakan aura itu. Dedemit air. Rawa Taraka."Kecemasan Astagina kian meningkat ketika telah hadir tiga sosok makhluk hijau. Seluruh tubuh mereka dipenuhi lumpur dan ganggang hijau. Tinggi mereka lebih dari dua meter, sehingga tampak seperti monster.Aroma busuk dari tubuh mereka sangat menyengat. Astagina hampir kehilangan kesadarannya, jikalau dirinya tidak menggunakan tenaga dalamnya untuk menekan aura mereka."Hei, kalian para Dedemit! Bagaimana bisa kalian berada di tempat ini, ah?!" Astagina meninggikan suaranya, sekaligus mengeluarkan tenaga dalamnya guna menekan aura bertarung dari ketiga mahluk, yang disebut Dedemit Air itu.KHAAAUUUUNGGG ...Mereka meraung sangat keras karena tekan
Hari berikutnya. Ekawira pun menjalani sesi latihan kedua, untuk mampu mengendalikan sepenuhnya kekuatan Batu Bulan Perak yang ada di dalam tubuhnya.'Batu Bintang Perak, adalah kekuatan penghancur sangat dahsyat. Kekuatan mengerikan itu tercipta dari sifat buruk manusia di muka bumi ini.' papar Astagina, yang kembali terbayang dalam benang Ekawira.Pendekar muda itu duduk bersila di atas batu besar, di bawah derasnya guyuran air terjun tanpa memakai baju, tapi masih mengenakan pakaian bawah. Ekawira harus memusatkan pikiran, menyatukan dirinya terhadap alam. Menyerap hawa murni dari sekitarnya. Dengan begitu, Kekuatan Batu Bintang Perak yang ada pada dirinya, dapat dikuasai. Meskipun Ekawira tahu, kekuatan besar itu tidak akan semudah itu untuk dikuasai.'Dalam kisahnya. Seorang Raja sakti mandraguna, bernama Raja Suwardana. Ia memimpin suatu negeri. Penghuni negeri itu, adalah bangsa jin dan dedemit. Pasukannya adalah kaum siluman yang haus akan darah manusia ...'Ekawira memejamk
Hari mulai sore. Namun, Ekawira masih berada di tempatnya tanpa bergeser sedikitpun dari sana. Astagina sesekali memantau perkembangan latihan yang dijalani Ekawira. Sesekali itu juga, ia mendapati beberapa hewan buas datang mendekati Ekawira, mencoba untuk mengganggu konsentrasi pemuda itu. Astagina tentu tidak berdiam diri. Semua hewan buas yang datang mendekat, dibuat lari terbirit-birit dengan aura kematian yang dimiliki pria sepuh itu. Pria sepuh itu, tidak terlalu menggunakan banyak tenaga untuk mengusir hewan-hewan buas, sebab ia tidak mau konsentrasi Ekawira jadi terganggu akibat pertarungan ringan tersebut.***Tak terasa, sudah tiga hari berlalu. Ekawira masih duduk bersila di tempatnya. Dia tidak minum maupun makan. Tidak ada yang mampu menggoyahkan konsentrasinya kali ini. Ekawira telah bertekad untuk menaklukkan setiap tantangan dalam latihan bela dirinya. Kini fisiknya sedang ditempa, supaya kuat, ketika Kekuatan Batu Bintang Perak bereaksi. Astagina tersenyum lebar.
Kekuatan Batu Bintang Perak, hanya muncul dalam kurun waktu seratus tahun sekali. Hanya manusia terpilih saja lah yang dapat memiliki Kekuatan Batu Bintang Perak di dalam tubuhnya.Pada kelahiran Ekawira, terjadi penomena alam yang luar biasa. Langit siang, seketika berubah menjadi gelap, tepat sebelum Ekawira lahir. Selama ini, tidak pernah terjadi hal semacam itu. Alam seolah ikut menyambut kelahiran Ekawira. Guntur menyambar di mana-mana. Angin pun berhembus kencang seperti badai yang siap meluluhlantakkan apa pun yang ada di depannya. Meskipun begitu, tidak ada satupun korban jiwa. Tidak ada yang mengalami musibah di hari itu. Bahkan mereka tidak tahu menahu, bahwa saat itu sedang terjadi badai. Sungguh aneh. Ya, tidak bisa ditelaah oleh akal manusia. Namun, itulah yang terjadi di hari itu. Alam seolah hanya ingin menunjukkannya pada orang-orang yang detik itu, menjadi saksi kelahiran Ekawira saja. Bukan itu saja, tepat sesaat Ekawira lahir ke dunia. Sang ayah pun menghilang, s
Pusaran angin itu, membawa tubuh Ekawira berserta Pedang Batu Selembur, sejauh mungkin dari para pendekar aliran hitam itu.Perlahan-lahan, pusaran anginnya menghilang. Tubuh Ekawira pun terkapar di atas dedaunan kering, sedangkan Pedang Batu Selembur berada tidak jauh darinya.Seketika itu juga, muncul seorang pria sepuh yang seluruh rambutnya telah memutih, langsung menghampiri Ekawira yang tidak sadarkan diri di sana. Dia sedikit mengibas pakaiannya yang seperti jubah itu. Kemudian duduk berjongkok di samping kanan Ekawira. Dua ruas jarinya menyentuh tengkuk Ekawira. "Pemuda ini memiliki fisik yang lemah, tetapi tenaga dalamnya sangat kuat," gumamnya sesaat setelah memeriksa kondisi Ekawira, yang tidak sadarkan diri itu. "Seandainya bukan karena kekuatan besar ini, mungkin nyawanya sudah tiada setelah mendapat serangan dari Dewi Laba-laba Hitam dan Tengkorak Iblis." Kemudian ia mengangkat tangan kanannya dan berada tepat di atas tubuh Ekawira. Pria sepuh itu, mengalirkan seluru