---Beberapa hari menjelang pensi, suasana sekolah semakin ramai. Tapi, bukan cuma karena persiapan acara yang kian mendekati puncaknya, melainkan juga karena gosip baru yang beredar. Kali ini, desas-desus yang beredar bukan main hebohnya—tentang Reyhan."Eh, lo tahu nggak?" kata salah satu teman panitia dengan nada berbisik tapi jelas terdengar. "Reyhan katanya sering jalan bareng sama Dinda, anak XII IPS 1. Mereka keliatan mesra banget pas latihan."Aku yang sedang sibuk mengatur daftar pengisi acara langsung menghentikan pekerjaanku. Mendengar nama Reyhan dan Dinda disebut dalam satu kalimat membuat jantungku berdegup lebih cepat. "Apa? Siapa Dinda?" tanyaku, mencoba terdengar santai meski dalam hati sudah bergolak."Ya, itu. Anak band juga. Katanya mereka sering latihan bareng, dan... ya gitu deh, keliatan dekat banget," lanjutnya sambil memberikan tatapan penuh arti.Aku mencoba menelan rasa kesal yang mulai merayap. Siapa Dinda? Kenapa Reyhan nggak pernah cerita soal dia? Apa in
---Malam itu, aku memutuskan untuk memeriksa sendiri apa yang sebenarnya terjadi di studio tempat Reyhan dan band-nya berlatih. Gosip yang beredar membuat hatiku tidak tenang, dan meskipun Reyhan sudah meyakinkan, aku butuh bukti nyata.Saat aku tiba di studio, aku melihat mereka sedang berlatih. Suara gitar, drum, dan vokal Reyhan mengisi ruangan, menciptakan suasana yang penuh semangat. Tapi perhatianku langsung tertuju pada Reyhan yang sedang bercanda dengan seorang cewek di dekatnya. Mereka tampak akrab, dan hatiku langsung terasa berat."Reyhan," panggilku, mencoba menahan nada suaraku agar tetap tenang.Dia menoleh, terkejut melihatku. "Nail? Kamu kok di sini?""Aku cuma mau lihat latihanmu," jawabku sambil melangkah mendekat, lalu melirik cewek itu. "Siapa dia?"Cewek itu langsung menjawab dengan ramah. "Oh, aku Dinda. Gitaris band ini."Reyhan segera menjelaskan. "Dinda cuma teman latihan, Nail. Nggak ada apa-apa, aku janji."Aku mengangguk pelan, meskipun perasaan cemas masi
---Hari H pensi akhirnya tiba, dan suasana sekolah berubah menjadi lebih hidup dari biasanya. Setiap sudut dihiasi dengan lampu-lampu berwarna dan poster-poster kreatif. Aku, sebagai panitia, sudah sibuk sejak pagi, memastikan semua berjalan sesuai rencana."Mana Reyhan? Dia udah siap belum?" tanyaku pada Hana, yang juga sibuk membantu di belakang panggung."Tenang aja, Nail. Dia udah di sana, lagi cek sound," jawab Hana sambil tersenyum menggoda. "Gimana, nervous ya lihat pacar sendiri tampil?"Aku mengangkat bahu, meski sebenarnya aku merasa deg-degan. "Bukan nervous, lebih ke penasaran. Dia janji mau nyanyiin lagu spesial buat aku."Hana tertawa kecil. "Ya ampun, romantis banget sih. Jangan sampai kamu nangis di depan panggung, ya."Aku menepis leluconnya dengan senyum kecil, lalu melanjutkan pekerjaanku. Setelah beberapa saat, terdengar suara panggilan untuk Reyhan dan band-nya untuk naik ke panggung. Aku segera bergegas ke depan, mencari tempat terbaik untuk menonton.Reyhan mun
---Setelah pensi yang spektakuler, hubungan kami semakin solid. Meskipun Reyhan tetap saja dengan segala kekonyolannya, aku mulai belajar untuk lebih percaya padanya. Aku tahu bahwa dia selalu berusaha menunjukkan bahwa aku adalah prioritas utamanya, meski kadang caranya agak… unik.Salah satu contohnya adalah ketika dia memutuskan untuk memasak makan malam romantis di rumahku. "Nail, kamu tinggal duduk manis aja. Malam ini aku yang masak!" katanya dengan penuh semangat.Aku mengangkat alis, agak skeptis. "Kamu? Masak? Yang benar aja, Rey."Dia menepuk dadanya dengan percaya diri. "Tenang, Chef Reyhan di sini siap melayani."Aku memutuskan untuk membiarkannya mencoba, meski aku sudah menyiapkan nomor darurat tukang makanan favorit, just in case. Tak lama kemudian, aroma masakan mulai memenuhi rumah, dan aku harus mengakui, baunya cukup menggoda.Tapi, begitu aku masuk ke dapur, aku langsung tahu bahwa ekspektasi harus diturunkan. Dapur berantakan seperti habis dihantam tornado. Tepun
---Aku, Naila Rahma, siswi kelas XI IPA 2, sedang merasa seolah dunia berkonspirasi melawan aku. Semua dimulai pada pagi yang cerah ini, ketika aku duduk di kantin, memegang kotak makan siang yang rasanya lebih hambar dari biasanya. Sepertinya aku bisa merasakan awan gelap mengikutiku kemanapun aku pergi—atau mungkin itu cuma akibat kurang tidur.Hari itu, kantin sekolah penuh dengan obrolan dan tawa. Namun, tiba-tiba, suara Alif, cowok yang sudah kusukai sejak kelas X, memecah keramaian. Suaranya yang biasa terdengar rendah dan santai, kini terasa seperti guntur yang mengguncang hati.“Iya, aku resmi jadian sama dia,” kata Alif, sambil menggenggam tangan Rani, si ketua ekskul tari yang terkenal cantik dan ramah itu. Mereka berdiri di tengah kantin, seolah dunia milik mereka berdua.Aku menelan ludah dan mencoba tetap terlihat santai. Padahal, hatiku rasanya seperti dihantam truk sampah. Satu-satunya yang bisa kulakukan adalah menatap mereka berdua dari kejauhan dengan ekspresi datar
---Pagi itu, setelah kejadian di kantin, aku memutuskan untuk mencoba melupakan Alif. Tapi, seperti biasa, hidup tidak pernah semudah itu. Apalagi, setelah pulang sekolah, aku bertemu dengan Reyhan di luar gerbang sekolah. Reyhan adalah teman sekelas yang paling hobi ngebanyol dan selalu punya ide-ide aneh yang kadang bikin kepala pusing."Lu tahu enggak, Nail?" tanya Reyhan dengan wajah yang seolah baru menemukan formula rahasia kehidupan. "Kunci buat bikin Alif cemburu adalah... pura-pura punya pacar."Aku menatapnya dengan alis terangkat. "Rey, serius deh, kamu ngomong apa? Ini bukan film drama, ya," jawabku sambil memutar mata.Reyhan tidak peduli dengan mataku yang seakan-akan ingin meledak itu. Dia malah melanjutkan dengan wajah serius—padahal seriusnya itu lebih mirip orang yang baru banget selesai nonton film superhero."Tapi serius, Nail. Cowok itu biasanya baru ngeh kalau mereka sebenarnya suka sama cewek yang mereka abaikan setelah cewek itu punya pacar," katanya sambil me
---Keesokan harinya, Reyhan datang ke sekolah dengan gaya yang bikin aku hampir pingsan. Kalau ada penghargaan untuk penampilan paling aneh dan dramatis, dia pasti juaranya. Reyhan datang dengan jaket kulit hitam yang kelihatan kekecilan banget, seperti dia baru keluar dari lemari tua yang nggak pernah dipakai, celana jeans sobek-sobek di sana-sini—bukan karena keren, tapi karena memang sudah begitu—dan yang paling parah, dia mengenakan kacamata hitam besar yang bikin dia kelihatan seperti pengawal artis yang lagi nyamar jadi cowok biasa.Aku yang lagi duduk di bangku depan kelas hanya bisa menatapnya dengan mulut terbuka. "Rey, ini bukan film action, loh!" ucapku dengan suara pelan, meskipun hatiku sudah berteriak kencang.Dia tersenyum lebar, seolah-olah dia baru saja memenangkan lotre. "Kita harus bikin ini meyakinkan, Nail!" katanya sambil merangkul bahuku, seolah kami sedang berjalan di karpet merah."Rey, ini cuma pura-pura jadian, bukan audisi jadi aktor Hollywood!" bisikku ke
---Awalnya, rencana pura-pura jadian ini berjalan cukup lancar. Reyhan dan aku memang tampil seperti pasangan kekasih yang serasi—meskipun hanya di depan orang lain. Bahkan, Alif mulai terlihat agak canggung setiap kali melihat kami berdua bersama. Kalau Alif melirik, Reyhan langsung meletakkan tangannya di bahuku atau bahkan memanggilku "Sayang" dengan suara yang berlebihan. Dan tentu saja, aku merasa seperti sedang berada di dalam dunia yang sangat aneh.Namun, seiring berjalannya waktu, masalah mulai muncul, dan semuanya dimulai dengan Rani, si ketua ekskul tari yang cantik dan ramah itu.Suatu hari, setelah latihan fisika yang sangat membosankan, Rani mendekat dan duduk di sampingku di kantin. Aku masih merasa agak canggung, karena dia tahu tentang hubungan palsu Reyhan dan aku, tapi aku tidak berharap dia akan begitu akrab."Kamu beruntung punya Reyhan," katanya sambil menatapku dengan tatapan penuh rasa kagum. "Dia lucu banget. Aku sampai iri, lho. Dia selalu bisa bikin orang k
---Setelah pensi yang spektakuler, hubungan kami semakin solid. Meskipun Reyhan tetap saja dengan segala kekonyolannya, aku mulai belajar untuk lebih percaya padanya. Aku tahu bahwa dia selalu berusaha menunjukkan bahwa aku adalah prioritas utamanya, meski kadang caranya agak… unik.Salah satu contohnya adalah ketika dia memutuskan untuk memasak makan malam romantis di rumahku. "Nail, kamu tinggal duduk manis aja. Malam ini aku yang masak!" katanya dengan penuh semangat.Aku mengangkat alis, agak skeptis. "Kamu? Masak? Yang benar aja, Rey."Dia menepuk dadanya dengan percaya diri. "Tenang, Chef Reyhan di sini siap melayani."Aku memutuskan untuk membiarkannya mencoba, meski aku sudah menyiapkan nomor darurat tukang makanan favorit, just in case. Tak lama kemudian, aroma masakan mulai memenuhi rumah, dan aku harus mengakui, baunya cukup menggoda.Tapi, begitu aku masuk ke dapur, aku langsung tahu bahwa ekspektasi harus diturunkan. Dapur berantakan seperti habis dihantam tornado. Tepun
---Hari H pensi akhirnya tiba, dan suasana sekolah berubah menjadi lebih hidup dari biasanya. Setiap sudut dihiasi dengan lampu-lampu berwarna dan poster-poster kreatif. Aku, sebagai panitia, sudah sibuk sejak pagi, memastikan semua berjalan sesuai rencana."Mana Reyhan? Dia udah siap belum?" tanyaku pada Hana, yang juga sibuk membantu di belakang panggung."Tenang aja, Nail. Dia udah di sana, lagi cek sound," jawab Hana sambil tersenyum menggoda. "Gimana, nervous ya lihat pacar sendiri tampil?"Aku mengangkat bahu, meski sebenarnya aku merasa deg-degan. "Bukan nervous, lebih ke penasaran. Dia janji mau nyanyiin lagu spesial buat aku."Hana tertawa kecil. "Ya ampun, romantis banget sih. Jangan sampai kamu nangis di depan panggung, ya."Aku menepis leluconnya dengan senyum kecil, lalu melanjutkan pekerjaanku. Setelah beberapa saat, terdengar suara panggilan untuk Reyhan dan band-nya untuk naik ke panggung. Aku segera bergegas ke depan, mencari tempat terbaik untuk menonton.Reyhan mun
---Malam itu, aku memutuskan untuk memeriksa sendiri apa yang sebenarnya terjadi di studio tempat Reyhan dan band-nya berlatih. Gosip yang beredar membuat hatiku tidak tenang, dan meskipun Reyhan sudah meyakinkan, aku butuh bukti nyata.Saat aku tiba di studio, aku melihat mereka sedang berlatih. Suara gitar, drum, dan vokal Reyhan mengisi ruangan, menciptakan suasana yang penuh semangat. Tapi perhatianku langsung tertuju pada Reyhan yang sedang bercanda dengan seorang cewek di dekatnya. Mereka tampak akrab, dan hatiku langsung terasa berat."Reyhan," panggilku, mencoba menahan nada suaraku agar tetap tenang.Dia menoleh, terkejut melihatku. "Nail? Kamu kok di sini?""Aku cuma mau lihat latihanmu," jawabku sambil melangkah mendekat, lalu melirik cewek itu. "Siapa dia?"Cewek itu langsung menjawab dengan ramah. "Oh, aku Dinda. Gitaris band ini."Reyhan segera menjelaskan. "Dinda cuma teman latihan, Nail. Nggak ada apa-apa, aku janji."Aku mengangguk pelan, meskipun perasaan cemas masi
---Beberapa hari menjelang pensi, suasana sekolah semakin ramai. Tapi, bukan cuma karena persiapan acara yang kian mendekati puncaknya, melainkan juga karena gosip baru yang beredar. Kali ini, desas-desus yang beredar bukan main hebohnya—tentang Reyhan."Eh, lo tahu nggak?" kata salah satu teman panitia dengan nada berbisik tapi jelas terdengar. "Reyhan katanya sering jalan bareng sama Dinda, anak XII IPS 1. Mereka keliatan mesra banget pas latihan."Aku yang sedang sibuk mengatur daftar pengisi acara langsung menghentikan pekerjaanku. Mendengar nama Reyhan dan Dinda disebut dalam satu kalimat membuat jantungku berdegup lebih cepat. "Apa? Siapa Dinda?" tanyaku, mencoba terdengar santai meski dalam hati sudah bergolak."Ya, itu. Anak band juga. Katanya mereka sering latihan bareng, dan... ya gitu deh, keliatan dekat banget," lanjutnya sambil memberikan tatapan penuh arti.Aku mencoba menelan rasa kesal yang mulai merayap. Siapa Dinda? Kenapa Reyhan nggak pernah cerita soal dia? Apa in
---Hubungan kami yang akhirnya stabil mulai diuji lagi, kali ini bukan oleh orang ketiga, tapi oleh situasi yang benar-benar baru: persiapan pentas seni (pensi) sekolah. Aku terlibat sebagai anggota panitia, dan tanggung jawabku bukan main banyaknya. Mulai dari dekorasi panggung yang harus megah, daftar pengisi acara, hingga memastikan semuanya berjalan lancar pada hari H.Di sisi lain, Reyhan tergabung dalam band sekolah yang akan tampil di acara puncak. Jadwal latihannya yang padat membuat waktu kami bersama menjadi semakin terbatas. Ini jelas menjadi tantangan baru bagi kami berdua.Suatu sore, setelah rapat panitia yang melelahkan, Reyhan menghampiriku di kantin. "Nail, aku nggak bisa nemenin kamu pulang hari ini. Ada latihan band," katanya sambil menatapku dengan sedikit rasa bersalah.Aku mengangguk pelan, mencoba menyembunyikan rasa kecewaku. "Nggak apa-apa, Rey. Semangat latihannya, ya."Dia tersenyum, lalu mengacak rambutku dengan lembut. "Thanks, Sayang. Aku janji, pas hari
---Sejak perbincangan terakhir dengan Reyhan, aku berusaha untuk benar-benar mempercayainya. Aku tahu, rasa cemas dan ragu tidak akan membawa kami ke mana-mana. Jadi, aku mulai belajar untuk melepaskan kekhawatiran itu dan fokus pada apa yang benar-benar penting: kebahagiaan kami berdua.Hari-hari berlalu dengan lebih ringan. Reyhan tetap seperti biasa, selalu ada dengan senyumnya yang menenangkan, dan aku mulai merasakan perubahan dalam diriku. Tidak ada lagi malam-malam penuh kecemasan atau telepon mendadak karena rasa curiga yang tidak perlu. Aku merasa lebih bebas, seperti beban besar telah terangkat dari dadaku.Namun, bukan berarti aku sepenuhnya berubah menjadi malaikat sabar. Ada saat-saat di mana kekesalanku masih muncul, terutama ketika Reyhan melakukan hal-hal kecil yang, meskipun tidak signifikan, tetap saja mengganggu. Seperti ketika dia lupa membawa payung saat hujan deras, dan aku harus menjemputnya di sekolah dengan basah kuyup."Rey, serius deh. Kamu itu kan tahu bak
---Keesokan harinya, aku sedang duduk di bangku taman sekolah sambil menatap daun-daun yang berguguran. Pikiran tentang perbincangan semalam dengan Reyhan masih berputar di kepalaku. Sebagian besar diriku merasa lega, tapi ada bagian kecil yang masih kesal. Apakah aku terlalu cemburu? Atau apakah Reyhan yang terlalu santai?Tidak lama kemudian, Reyhan datang dengan langkah cepat, wajahnya terlihat lebih serius dari biasanya. Dia langsung duduk di sebelahku tanpa banyak bicara. "Nail, aku tahu aku salah karena nggak bilang dulu soal ketemuan sama Clarissa. Tapi aku nggak mau ada kesalahpahaman antara kita."Aku mengangkat alis. "Oh, jadi sekarang kamu mau klarifikasi, ya? Apa ini episode 'Reyhan Minta Maaf: Versi Diperpanjang'?" tanyaku dengan nada sinis, meskipun dalam hati aku tahu aku hanya berusaha menyembunyikan rasa bersalahku.Reyhan menghela napas, kemudian mengeluarkan sebuah buku catatan dari tasnya. "Ini," katanya, menyerahkan buku itu kepadaku. "Ini alasan aku ketemu dia.
---Malam itu, aku tidak bisa lagi menahan diri. Pikiran tentang Reyhan dan Clarissa terus menghantui kepalaku seperti soundtrack horor yang terus berulang. Setelah makan malam, aku menatap ponselku, menimbang apakah harus meneleponnya atau tidak. Tapi, semakin lama aku berpikir, semakin mengerikan skenario yang muncul di kepalaku. Jadi, dengan napas panjang dan mental yang belum sepenuhnya siap, aku menekan nomor Reyhan.Telepon berdering beberapa kali sebelum akhirnya dia menjawab. Suaranya terdengar santai, terlalu santai untuk seseorang yang sedang berada dalam radar kecurigaan. "Halo, Nail. Ada apa? Kok telepon malam-malam gini?"Aku mencoba menjaga nada suaraku tetap tenang. "Rey, aku denger kamu ketemu sama Clarissa di kafe. Itu benar?" tanyaku langsung, tanpa basa-basi.Hening.Detik-detik berlalu seperti adegan slow motion di film drama. Akhirnya, Reyhan bersuara, terdengar sedikit ragu. "Iya, tapi aku bisa jelasin."Aku mengernyit. "Jelasin apa? Kamu nggak bilang apa-apa soa
---Hari itu, aku merasa segalanya baik-baik saja. Pagi yang cerah, tugas sekolah yang ringan, dan donat cokelat favoritku yang tampak menggoda di atas piring plastik. Aku duduk di kantin bersama Hana, sahabatku, menikmati suasana istirahat dengan tenang. Sampai kemudian, suara Vira dari meja sebelah menghancurkan kedamaian itu seperti batu jatuh ke kolam yang tenang."Eh, denger-denger Reyhan ketemuan sama Clarissa di kafe, lho," katanya dengan nada penuh sensasi, seperti pembawa acara gosip di televisi.Aku yang sedang mengunyah donat langsung berhenti. Gigi terhenti di tengah cokelat yang meleleh, dan hampir saja aku tersedak. Dengan mata melebar, aku menoleh ke arahnya. "Apa? Siapa yang bilang?" tanyaku nyaris panik, donat masih tertahan di tangan.Vira menatapku seolah aku baru saja bertanya sesuatu yang jelas. "Katanya anak kelas sebelah yang lihat. Mereka kelihatan ngobrol serius, gitu," jawabnya sambil mengaduk es teh manisnya dengan gaya santai seolah dia baru saja mengumumka