Hani memutuskan langsung pulang saja. Kalau Reynaldi atau Utari marah, itu urusan nanti. Tak apalah, dipecat sekalian. Ia sudah pasrah.
Hani berjalan gontai menuruni tangga dan langsung menuju keluar. Hingga ia tak sadar kalau sejak tadi Marta memperhatikannya.
"Han, kamu mau ke mana jam segini?" tanya Marta heran dan berusaha mengejarnya.
"Eh, Ta. Aku mau pulang, kepalaku sakit," jawab Hani berusaha tersenyum.
"Kamu sakit? Mau kuantar pulang?" Marta menempelkan punggung tangannya di kening Hani.
"Gak usah, Ta. Kamu kan, masih kerja. Aku naik ojek aja. Cuma sedikit pusing juga," jawab Hani lagi menenangkan sahabatnya.
Walau heran Reynaldi masih datang menepati janjinya padahal perkiraan Hani, ia tengah sibuk dengan perempuan bernama Delia, tak urung Hani menemui juga lelaki yang hari ini terlihat sangat berbeda.Lelaki itu datang dengan sangat rapi, seolah akan pergi ke acara resmi. Dengan hem batik lengan pendek dan celana bahan, ia terlihat … lebih gagah dan family-man.Hani mendudukan dirinya dekat sang ibu di bawah tatapan lelaki yang sedari tadi matanya tak berkedip. Hani membuang muka saat lelaki itu malah tersenyum melihat kerisihannya.Pak Dery terdengar berdehem dulu sebelum membuka percakapan, setelah beberapa lama melihat putrinya duduk dengan canggung."Baik, kita mulai saja, ya." Ayah H
Kedua pria itu menoleh hampir bersamaan ke arah suara. Aroma persaingan pun, perlahan mencair. Aiman mulai melangkah menuju teras dengan senyum sinis ia tujukan pada Reynaldi.Sebenarnya Reynaldi sangat ingin mencegah Aiman menemui Hani, ia ingin kembali juga ke teras, tetapi teriakan Delia dari dalam mobil mengurungkan niatnya. Lelaki itu segera membuka pintu mobil kemudian masuk dan menjalankan mobilnya keluar dari pelataran rumah orang tua Hani.Aiman segera meraih tangan kedua orang tua Hani, kemudian diciumnya takzim. Tidak seperti ibunya Aiman, sikap orang tua Hani memang tidak berubah kepadanya. Tetap memperlakukannya seperti dulu, tetap menganggapnya sebagai anak sendiri.Sebenarnya, sepasang suami istri itu sangat menyayangkan sampai pernikah
Bu Ratna --ibunya Hani-- mengetuk pintu kamar anaknya yang terkunci."Han," panggilnya di depan pintu dengan suara lumayan keras. Tidak ada jawaban."Hani." Lagi, Ratna memanggil anaknya. Namun, tetap tak ada jawaban."Han, ada Aiman datang!" Ratna masih mencoba memanggil sang anak."Bilang aku pusing, Bu. Mau istirahat." Hani balas teriak. Ia menolak menemui Aiman. Ia berdalih kepalanya pusing dan ingin tidur.Sebenarnya bukan cuma alasan, Hani memang sedang tidak baik-baik saja, apalagi sejak keributan ulah wanita bernama Delia itu di depan rumahnya.Bagaimana
Senja sudah berganti malam. Lampu-lampu mulai dinyalakan untuk menerangi dunia menggantikan matahari yang selalu menghilang di sore hari.Aiman belum beranjak dari rumah orang tua Hani, meskipun wanita itu tak mau menemuinya.Aiman juga tak menghiraukan ancaman sang ibu, yang ia anggap gertakan semata itu. Hingga setengah jam kemudian ponselnya kembali berdering.Dengan malas, Aiman merogoh benda itu, lalu melihat layarnya. Keningnya langsung berkerut saat nama Ratih yang tertera di sana. Pasti sang ibu menggunakan perawatnya itu, untuk membuatnya pulang. Itu pikir Aiman.Tadinya ia ingin mengabaikan, tapi panggilan terus berulang sampai lima kali.
Hani menarik napas panjang dulu sebelum memasuki bangunan dua lantai yang beberapa tahun ini menjadi tempatnya mencari sesuap nasi.Terhitung sudah tiga kali berganti kepemilikan, hingga sekarang dibeli Pak Reynaldi. Ia setia mengabdi di sana.Ditatapnya bangunan kafe bergaya minimalis modern itu dengan senyum tipis di bibirnya. Sebentar lagi, ia bukan bagian dari kafe itu.Hani mulai melangkah menuju pintu khusus karyawan. Marta sudah dikabarinya sejak semalam. Gadis itu langsung menyongsongnya begitu ia masuk.Sama seperti dulu Marta pun tidak rela harus berpisah dengan sang sahabat, tapi ia tetap mendukung keputusan Hani.Ha
Aiman duduk dengan lesu di sisi blankar pasien. Tangannya tak lepas menggenggam tangan yang sudah keriput itu. Lalu diciumnya takzim. Rasa sesal sangat menghantuinya.Sudah sehari semalam ini sang ibu belum juga sadar setelah kemarin nekat meminum obat serangga. Sungguh Aiman sangat menyesalkan ini. Tak disangka sang ibu serius dengan ancamannya, bukan hanya menggertak.Ia terus berdoa dan mendampingi sang ibu tanpa meninggalkannya sekejap pun. Ia bahkan tak pergi ke kantor. Padahal Ratih juga bersedia menunggu ibunya, tetapi Aiman memutuskan akan menunggu sang ibu sampai sadar, dan meminta maaf."Ai." Suara pelan dan serak membuat kepala Aiman yang menelungkup di sisi blankar mendongak kaget. Matanya langsung berbinar saat dilihatnya sang ibu sudah m
Reynaldi mondar-mandir dengan gelisah di depan ruang bercat serba putih itu. Wajahnya sangat pucat menyiratkan kekhawatiran yang mendalam.Bu Ratna duduk terpekur dengan air mata tak henti mengalir. Di sisinya, sang suami terus mengelus pundak sang istri untuk menenangkannya. Padahal ia sendiri tak kalah khawatir. Bagaimana tidak, di dalam sana anak dan cucu mereka sedang berjuang antara hidup dan mati.Hani mengalami pendarahan hebat di rahimnya. Belum lagi luka di kulit kepala juga sebagian tubuh yang lainnya, akibat perbuatan Delia.Reynaldi sangat menyesalkan kejadian itu. Semua salahnya, kenapa ia bisa kecolongan seperti ini. Yang ia heran, kenapa tak ada seorang pun karyawannya yang mendengar teriakan Hani.
'Bruk'.Pintu kamar Aiman tertutup, setelah tubuhnya menghilang di baliknya. Meninggalkan Ratih yang masih mematung, jari-jari tangannya saling memilin satu sama lain.Aiman memejamkan matanya dengan kuat setelah berada di kamar. Punggungnya bersandar di balik pintu. Ia sebenarnya tak ingin menyakiti siapa pun, apalagi seorang wanita. Cukuplah dulu menyakiti Hani.Namun, apalah daya kejadian dulu harus terulang. Ia menikahi wanita yang tak dicintainya.Kalimat-kalimat penegasan itu pun harus diucapkannya lagi untuk kedua kalinya.Dulu, di hari pertama pernikahannya dengan Hani, ia pun mengucapkan kalimat pedas yang pasti menyak
Hani berdiri mematung, ujung rambutnya dimainkan angin nakal di taman kota, sore ini. Di depannya, berdiri tak kalah kaku seorang lelaki dengan topi di kepalanya. Jarak mereka hanya dua meteran.Beberapa waktu berselang, mereka hanya saling tatap dalam kekakuan. Entah apa yang harus dilakukan. Hingga …."Sayang, dapat popcorn-nya?" Seorang lelaki lain muncul di belakang Hani menggendong anak lelaki kecil."Mas, mana popcorn-nya? Bayi kita sudah tak sabar, nanti dia ileran, lho." Seorang wanita lain juga muncul di belakang lelaki bertopi.Empat orang dewasa, berdiri kaku, dengan pandangan saling menatap tajam.Hening. Tak
Mengertilah Aiman sekarang, kenapa sejak pagi sang istri mendiamkannya. Membuat kepalanya serasa mau pecah. Memikirkan apa gerangan salahnya.Aiman masih menatap benda kecil pipih bergaris dua merah di telapak tangannya, sebelum melempar bunga di tangan ke atas sofa ruang tamu. Kemudian berlari menyusul sang istri yang sudah masuk meninggalkannya.Ditangkapnya tubuh sang istri, kemudian dibopong dan dibawa berputar-putar, untuk meluapkan rasa bahagia."Sayang ...kamu hamil lagi?" tanyanya sambil membawa tubuh Hani dalam bopongan berputar-putar.Hani memekik, seraya melingkarkan kedua tangan di leher sang suami."Mas, apaan sih kamu?
Sebulan berlalu ….Keluarga kecil itu, baru saja keluar dari RSJ tempat Sri dirawat. Mereka memang mengagendakan kunjungan rutin ke sana, untuk mengetahui perkembangan ibu dari sang kakak itu.Aiman sudah bersumpah akan mengobati wanita itu sampai sembuh. Bila nanti sudah benar-benar sembuh, ia juga akan menampung wanita itu. Akan menganggap Sri sebagai ibunya sendiri, sebagai pengganti Yuli. Itu dia lakukan sebagai bentuk penebusan dosa orang tuanya di masa lalu. Semoga dengan begitu, ayah, ibu, dan kakaknya tenang di alam sana.Tangan Aiman terjulur ingin membuka pintu mobil, saat seseorang memanggilnya. Semua menoleh ke asal suara. Tampak seorang lelaki berkacamata dan seorang gadis kecil di sana.
Jam tiga dini hari, Hani terbangun dengan kepala pusing. Wanita itu juga belum lama memejamkan mata. Ia menemani dulu sang suami mengisi perut dan mendengarkan semua ceritanya.Suara gumaman pelan terdengar dari sampingnya berbaring. Dipaksanya bola mata untuk terbuka karena penasaran dengan suara yang didengarnya.Suara itu ternyata keluar dari mulut Aiman yang tubuhnya menggigil, tetapi matanya terpejam. Hani segera bangkit, duduk di sebelah tubuh suaminya yang masih terbaring. Wanita itu menempelkan punggung tangannya di kening sang suami.Hani terperanjat, karena suhu tubuh itu begitu tinggi. Tubuh Aiman sangat panas. Pantaslah lelaki itu begitu menggigil.Hani segera beranjak ke dapur me
Aiman melangkah gontai mendekati tubuh yang meringkuk dan bersimbah darah, diiringi tatapan semua orang yang menyaksikan. Tubuh lelaki itu langsung meluruh dengan lemah tepat di sisi tubuh yang merintih itu.Tatapan nanar ia tujukan pada wajah pucat yang terus merintih, dan memegangi perutnya yang terus mengeluarkan darah. Ada dua luka di tubuh Arum. Satu di kaki, mungkin polisi menembaknya untuk melumpuhkannya, agar tidak kabur. Satu lagi di perut, karena wanita itu melawan, dan malah menyandera warga. Anak kecil pula. Mengancam dengan senjata tajam. Hingga akhirnya polisi harus menyarangkan lagi timah panas di perutnya.Semua warga yang menyaksikan tak ada yang bersuara. Mereka diam bahkan menahan napas. Semua penasaran drama apa yang akan terjadi selanjutnya antara dua bersaudara itu.
Hani dijemput orang tuanya, mereka pulang setelah Hanan membaik. Sementara Aiman kembali ke tempat semula. Mungkin jasad sang ibu sudah dibawa ke rumah sakit. Namun, ia ingin mengurus Sri, dan mengetahui sejauh mana pencarian Arum.Aiman tak menyangka, keluarganya akan hancur seperti ini. Arum yang berubah kalap setelah mengetahui kisah hidupnya. Lalu ada wanita bernama Sri, yang menderita sekian lama, karena keputusan sang ayah di masa lalu. Hanan yang menjadi korban balas dendam Arum, dan terakhir sang ibu yang harus meninggal dengan tragis, di tangan anak yang sudah dibesarkan sejak bayi.Sungguh semua terjadi begitu cepat, di saat ia seharusnya tengah menikmati bulan madu setelah berhasil membawa wanita yang dicintainya dalam pernikahan kedua kalinya.S
Dengan tangan gemetar, Aiman mengemudikan mobil keluar dari perkampungan itu mencari klinik terdekat. Di sampingnya, Hani terus menangis mendekap sang anak yang kondisinya mengkhawatirkan.Hanan demam tinggi, tubuhnya kejang-kejang, matanya berputar ke atas sejak tadi. Entah apa yang terjadi, mungkin ia ketakutan dan trauma dengan semua yang terjadi."Hanan, bertahanlah sayang. Ada mama di sini. Kita ke dokter, ya. Anak mama pasti kuat. Nanti kita pulang sayang. Kita berkumpul lagi." Hani terus menceracau di antara tangisnya yang terus berderai.Aiman membelokkan mobil ke arah klinik kecil terdekat. Keadaan lelaki itu sudah tak dapat digambarkan seperti apa. Sangat kacau. Dengan wajah pucat, rambut acak-acakan, tubuh basah akibat memeluk jasad sang ibu yang
Hani memaksakan diri bangun walaupun tubuhnya masih terasa lemas tak bertulang. Tak dapat dipercaya, semua kejadian barusan terasa seperti mimpi. Ibu mertua yang nekat mendekati Arum. Mereka rebutan Hanan, sampai Arum mendorong Yuli hingga jatuh ke sungai dan terbawa arus.Hani berdiri lalu berjalan dengan hati yang kacau balau menghampiri Aiman yang masih bersimpuh di tengah jembatan dengan tubuh beku.Disentuhnya bahu lelaki tercinta yang hatinya pasti lebih kacau."Mas," panggil Hani serak seraya ikut bersimpuh memeluk Aiman dan Hanan. Mereka berpelukan di tengah jembatan kayu yang bergoyang-goyang. Jembatan kayu yang dijadikan jembatan penyeberangan darurat oleh warga untuk mencapai kampung di seberang sungai.
Yuli semakin mendekati Arum, hingga akhirnya kursi roda akan menabrak tubuh yang berdiri kaku itu.Sepersekian detik Arum tersadar dari keterpakuannya. Refleks ia menghindar agar tidak tertabrak. Namun, tangan Yuli berhasil meraih tubuh mungil Hanan.Arum semakin tersentak, ia pertahankan tubuh mungil yang kembali menjerit itu dengan sekuat tenaga. Sementara Yuli juga melakukan hal yang sama. Adegan saling rebut tak dapat terelakkan. Keduanya sama-sama mempertahankan tubuh mungil itu."Lepaskan, cucuku! Dia tidak bersalah, dia berhak hidup bahagia!" pekik Yuli dengan suara tertahan."Tidak akan! Aku tidak rela melihat kalian bahagia sementara aku dan ibuku menderita. Aku akan lenyapkan anak i