Kedua bola mata Hani membulat sempurna saat malam ini membuka pesan dari Marta. Poto dirinya dan Pak Reynaldi duduk sebelahan di taman komplek tadi pagi terpampang di sana. Sekilas lihat, mereka tampak sangat dekat dan mesra. Layaknya sepasang suami istri. Dengan sang istri perutnya membuncit karena hamil.
[Dapat dari mana foto itu?]
Hani buru-buru mengirim pesan, dengan tangan gemetar.
[Coba deh buka WAG, udah rame di sana!]
Hanya itu balasan Marta.
WAG? Gawat semua orang bisa salah paham. Bisa-bisa mereka mengira Hani menjilat agar bisa dipindahkan ke posisi bagus.
Bukanny
Hari yang cerah, Hani menjalani rutinitas pagi seperti biasa. Hari ini ia memutuskan membawa motor, ya walaupun dengan perut yang sudah membuncit, ada yang ingin ia beli sepulang kerja nanti.Hani mulai meniti anak tangga menuju lantai dua. Di bawah ia berpapasan dengan beberapa karyawan. Ada yang bersikap biasa saja seolah tidak ada apa-apa. Ada juga yang mulai memandangnya dengan tatapan tak suka. Namun, Hani tak ambil pusing.Satu demi satu anak tangga dititinya dengan hati-hati, anggap saja sebagai olahraga, itu yang selalu ada dalam pikiran Hani. Kakinya sudah meniti anak tangga terakhir hingga ia kini sudah sampai di lantai dua.Seperti biasa, wanita itu akan beristirahat sebentar saat ia sampai di atas. Sekadar menarik napas untuk melonggarkan dadanya yang
Sepulang kerja Hani ditemani Marta mencari perlengkapan bayi, nyicil sedikit-sedikit, itu pikirnya. Agar tidak terlalu kerepotan nantinya. Ia juga sudah memutuskan tak ingin merepotkan siapapun, termasuk Aiman yang katanya siap bertanggung jawab atas semuanya.Hani tak ingin bermasalah dengan keluarga Aiman. Apalagi ia tahu ibunya kini sangat membencinya. Toh, ia punya sedikit tabungan dari menyisihkan gajinya."Sekalian cuci matalah, Ta." Ucapnya saat mengajak sahabatnya itu."Emang matamu kenapa harus dicuci? Abis lihat apa, sih? Lihat hantu?""Lebih seram dari hantu!""Ada ya, makhluk lebih seram dari hantu?"
Langit senja berwarna merah saat Hani sampai rumah dengan barang belanjaan yang memenuhi motornya.Belum juga motor berhenti, seseorang yang semula duduk di teras sudah menyongsongnya."Han, tadi Mas ke tempat kerja kamu, tapi kamunya sudah pulang."Hani tak menghiraukannya. Ia bahkan tak melirik wajah itu sama sekali. Baginya, wajah Aiman sekarang terlihat sangat menyebalkan. Apalagi tadi Ratih dengan begitu percaya dirinya meminta ia tidak mengganggu laki-laki itu."Han, kamu belanja perlengkapan bayi?" tanya Aiman lagi, menatap wajah Hani dan barang belanjaannya bergantian. Lagi-lagi Hani tak ingin menjawab, tangannya sibuk menurunkan barang-barang itu.
Hani sedang menikmati makan siangnya hari ini saat pintu ruangannya diketuk. Ia sudah tahu siapa pelakunya. Siapa lagi kalau bukan Pak Reynaldi sang bos aneh.Pintu langsung terbuka saat Hani sudah mempersilahkannya masuk."Oh, lagi makan, ya?" tanyanya langsung, begitu sudah berada di dalam."Ya sudah, lanjutkan saja, kasihan bayimu. Kebetulan saya juga sedang diet, tidak akan meminta bekalmu."'Idih, siapa yang nanya.' batin Hani."Bagaimana?" tanya Pak Rey lagi setelah duduk di kursi seberang Hani.Kening Hani berkerut mendengar pertanyaan singkat itu. Gerakan tanga
Hani memutuskan langsung pulang saja. Kalau Reynaldi atau Utari marah, itu urusan nanti. Tak apalah, dipecat sekalian. Ia sudah pasrah.Hani berjalan gontai menuruni tangga dan langsung menuju keluar. Hingga ia tak sadar kalau sejak tadi Marta memperhatikannya."Han, kamu mau ke mana jam segini?" tanya Marta heran dan berusaha mengejarnya."Eh, Ta. Aku mau pulang, kepalaku sakit," jawab Hani berusaha tersenyum."Kamu sakit? Mau kuantar pulang?" Marta menempelkan punggung tangannya di kening Hani."Gak usah, Ta. Kamu kan, masih kerja. Aku naik ojek aja. Cuma sedikit pusing juga," jawab Hani lagi menenangkan sahabatnya.
Walau heran Reynaldi masih datang menepati janjinya padahal perkiraan Hani, ia tengah sibuk dengan perempuan bernama Delia, tak urung Hani menemui juga lelaki yang hari ini terlihat sangat berbeda.Lelaki itu datang dengan sangat rapi, seolah akan pergi ke acara resmi. Dengan hem batik lengan pendek dan celana bahan, ia terlihat … lebih gagah dan family-man.Hani mendudukan dirinya dekat sang ibu di bawah tatapan lelaki yang sedari tadi matanya tak berkedip. Hani membuang muka saat lelaki itu malah tersenyum melihat kerisihannya.Pak Dery terdengar berdehem dulu sebelum membuka percakapan, setelah beberapa lama melihat putrinya duduk dengan canggung."Baik, kita mulai saja, ya." Ayah H
Kedua pria itu menoleh hampir bersamaan ke arah suara. Aroma persaingan pun, perlahan mencair. Aiman mulai melangkah menuju teras dengan senyum sinis ia tujukan pada Reynaldi.Sebenarnya Reynaldi sangat ingin mencegah Aiman menemui Hani, ia ingin kembali juga ke teras, tetapi teriakan Delia dari dalam mobil mengurungkan niatnya. Lelaki itu segera membuka pintu mobil kemudian masuk dan menjalankan mobilnya keluar dari pelataran rumah orang tua Hani.Aiman segera meraih tangan kedua orang tua Hani, kemudian diciumnya takzim. Tidak seperti ibunya Aiman, sikap orang tua Hani memang tidak berubah kepadanya. Tetap memperlakukannya seperti dulu, tetap menganggapnya sebagai anak sendiri.Sebenarnya, sepasang suami istri itu sangat menyayangkan sampai pernikah
Bu Ratna --ibunya Hani-- mengetuk pintu kamar anaknya yang terkunci."Han," panggilnya di depan pintu dengan suara lumayan keras. Tidak ada jawaban."Hani." Lagi, Ratna memanggil anaknya. Namun, tetap tak ada jawaban."Han, ada Aiman datang!" Ratna masih mencoba memanggil sang anak."Bilang aku pusing, Bu. Mau istirahat." Hani balas teriak. Ia menolak menemui Aiman. Ia berdalih kepalanya pusing dan ingin tidur.Sebenarnya bukan cuma alasan, Hani memang sedang tidak baik-baik saja, apalagi sejak keributan ulah wanita bernama Delia itu di depan rumahnya.Bagaimana