"Wahhh ... Wahhhh. Jadi ini suaminya si Puspa!" teriak Wulan dari kejauhan.
'Ngapain lagi nih anak kesini?' tanyaku dalam hati.
"Heran, kok si Puspa mau-maunya di perawanin sama si buruk rupa." ucap Wulan.
"Beneran semalam belah duren, Pus?" tanya lbu-ibu tetangga rumahku.
"Gimana rasanya? Kuat berapa ronde tuh suami jelekmu."
Wajahku langsung merona, mengingat apa yang terjadi tadi semalam.
'Tapi, ini Ibu-ibu beneran nanya kaya gitu?'
Aku menghela napas dalam, lalu menatap satu-persatu wajah mereka.
"Kalian nanya? Kalian bertanya-tanya bagaimana rasanya? Itu tanya saja pada rumput-rumput yang bergoyang."
Ujarku menirukan slogan Arif cepmek yang tangah viral itu, sambil menunjuk rumput yang ada di halaman rumahku.
Heran aku sama Ibu-ibu di kampung ini. Kapan bisa berhenti julid dengan kehidupan orang lain?
Bukan orang lain tapi keluargaku. Setiap hari mereka berbelanja hanya untuk bergibah, kuping-ku selalu panas mendengar nyinyiran, dan julidan para tetangga yang selalu mengomentari kehidupan pribadiku.
"Halah bilang saja, si buruk rupa itu payah?"ejek Wulan, membuat semua orang menertawakanku dan Bang Adnan.
Aku yang tak terima atas hinaan sepupuku ingin langsung membalasnya. Namun, di hentikan oleh Bang Adnan.
"Biarkan saja, Dek."
"Nyesel gak, Pus? Sudah menikah dengan lelaki g e m b e l itu?" tanya Wulan.
"Makanya cari suami itu yang benar. Ini juga ibunya sudah gak waras, sudah mau saya jodohkan sama Jurangan Nasir. Eh, besoknya main di jodohkan saja anaknya, sama orang asing." herdik Bi Ningsih.
"Sengaja mau bikin anaknya sensara. Masa ada seorang Ibu yang menjodohkan anaknya sama p e n g e m i s pasar," ujar Ibu-ibu lain.
"Padahal, Bu. Kalau si Puspa mau di nikahin sama Jurangan Nasir. Dia bakalan di bikinin rumah gedong, uang bulanan gepokan. Lah ini malah milih nikah sama p e m u l u n g."
'Ya Allah. Banyak sekali sebutan panggilan suamiku. Tadi g e m b e l,
P3ng3mis, sekarang p e m u l u n g, sungguh dahsyat sekali mulut wanita'
"Kalau begitu. Silahkan jodohkan saja putri Bibi, pada Jurangan Nasir!" tunjuk-ku pada Wulan.
Seketika wajah kedua orang itu memerah, dan menatapku tajam.
Aku balas menatap berani wajah Bi Ningsih. Orang seperti saudara Ibumu ini, mana mungkin dia senang jika aku dan Ibu bahagia.
Mereka ingin menjodohkanku, agar bisa memperalatku untuk memeras harta Jurangan Nasir. Aku tahu rencana mereka ingin membuatku menderita demi keuntungan mereka sendiri. Mereka benar-benar licik.
"Huh! Memang anakku tidak laku apa? Wulan, putriku itu tidak perlu di jodohkan dengan siapapun. Sudah banyak pria yang sekarang mengejar-ngejar dia, bukan seperti kamu. Kalau tidak di jodohkan mana l*ku-laku kamu sampai perawan tua." ujar Bi Ningsih bangga.
Cihhhh! Padahal para lelaki itu mengejar Wulan karena sekedar menginginkan tubuhnya.
Saat SMA dulu aku sering mendengar bahwa setiap mantan pacarnya, pernah melakukan hubungan intim pada Wulan. Wanita itu begitu terkenal di kalangan lelaki. Makanya sekarang para lelaki itu ingin mendapatkannya hanya untuk bisa mencicipi tubuh Wulan.
'Kasihan Bibi tak tahu tentang kebusukan anaknya,' batinku.
"Benar, Bu. Nih coba lihat calon suamiku! Beda jauh banget bukan dengan suaminya si Puspa itu. Sudah tampan, berkulit putih bersih, dengan tubuh gagah. Dia juga sudah mapan dan kaya raya, bukan pria gemb-el yang tak jelas asal usulnya." ujarnya, sambil menujukan foto di dalam ponselnya pada semua orang.
Saat Bang Adnan ikut melihatnya. Pria itu malah tertawa terbahak-bahak, aku bingung apa ada yang lucu dengan foto itu.
Kulihat tidak ada. Pria ini sungguh aneh, kenapa malah tertawa saat melihat foto pria tampan berjas yang ada di dalam ponsel Wulan.
"Hei! berani ge-landang-an sepertimu menertawakan pacarku!" seru Wulan.
"Kayanya ga waras itu suaminya, Puspa." herdik Ibu-ibu lain.
"Aduh kumplit banget sih penderitaan, Puspa."
'Bang! Kenapa kamu memalukan diri sendiri?'batinku.
****
"Puspa, sebaiknya kamu bawa suamimu itu ke rumah sakit jiwa."
"Ya Allah, benar-benar tega Bu Ranti ini. Menjodohkan anaknya sama lelaki rupanya seperti itu, sudah mukanya a-ncur, miskin, o-taknya juga geser." nyinyir mereka.
"Ibu-ibu di sini itu mau belanja atau mau bergosip ria? Kalau mau ghibah cari tempat yang lain bukan di sini!"tegurku.
"Belagu banget sih kamu, Puspa!"
"Lagian gimana mau belanja? Melihat wajah suamimu membuat kami jijik, dan malas berbelanja di sini."
Mendengar itu Bang Adnan yang di sampingku langsung berdiri, dan berjalan masuk ke dalam rumah.
Aku hanya menatap punggung belakangnya dengan tatapan iba. Kenapa hatiku marasa sakit saat suamiku terhina seperti itu, aku memang tidak mencintai. Tapi, pria itu adalah suamiku pakaianku. Aku harus menjaga martabatnya.
"Nah begitu dong! Kami juga jadi nyaman berbelanja tanpa harus melihat wajah jel-ek suamimu."
"Kalo bisa jangan sampai dia berani keluar rumah."
"Nanti kamu bisa malu sendiri, kalau orang-orang tahu dia suamimu, Puspa."
"Emang semua orang sudah tahu, Bu. Kalau suami Puspa itu ya si buruk rupa." Ejek Bibi.
Bibi dan Wulan sama sekali tak beranjak pergi. Mereka masih betah di sini untuk menghina, dan mengejek-ku. Padahal kedua wanita ini sama sekali tak ada berbelanja.
"Sudah cukup! Jika kalian mau berbelanja silahkan, kalo tidak pergi saja ke tempat lain." kesalku.
"Dih! Gak usah ngambek gitu, demi belain suami gem-belnya."ujar Bibi Ningsih.
"Mau dia seburuk apapun. Dia tetap suamiku yang wajib aku bela, Bi."
"Ya, sudah nih pesanan saya. Cepetan bungkusin," ucap Ibu-ibu itu.
Mereka menyerahkan selembar kertas belanjaanya padaku. Aku langsung menerima, dan membungkus pesanan mereka dengan cepat.
"Ini pesanannya," ujarku sambil menyerahkan plastik hitam satu-persatu pesanan mereka.
"Besok kalau kami mau belanja, bilang sama suamimu jangan keluar."
"Apalagi sampai berjaga di warung. Kamu harus melarangnya karena kami mual dan jijik melihat wajahnya."
"Makanya kamu nurut sama Bibi. jangan sama Ibu kamu nanti kaya gini nih. Kamu jadi nyesel sendirikan?" tanya Bibi penuh percaya diri.
"Kalau sudah belanjanya, silahkan pergi!" usirku. Aku benar-benar tak tahan mendengar ocehan mereka.
Segera wajah mereka nampak kesal.
"Maaf, apakah ini benar rumahnya Bu Ranti?" tanya pria berjas, membuat semua wajah ibu-ibu bertanya-tanya.
"Benar, Pak."jawabku.
"Siapa pria itu?" bisik Ibu-ibu.
"Paling orang depkolektor yang mau nagih hutang." Bibi tertawa mengejek.
Aku tak mengubris mereka. Kualihkan wajahku lagi pada pria tadi.
"Apakah benar anda yang bernama Pupsari?"tanyanya lagi.
"Benar, Pak. Saya Puspasari, ada apa ya?" tanyaku, darimana pria ini tahu namaku.
"Ini ada kiriman dari atasan saya untuk anda."ujarnya lalu menyerahkan sekotak beludru merah.
Penasaran aku perlahan membuka isinya. Aku dan para Ibu-ibu begitu terkejut saat melihat satu set perhiasan cantik di dalamnya.
"Maaf, sepertinya anda salah orang." ujarku sambil mengembalikannya lagi.
Aku kekeh berusaha untuk menolak hadiahnya. Namun, pria itu memaksa aku untuk menerimnya.
"Benar, ini adalah hadiah pernikahan anda yang di berikan oleh atasan saya. Jadi mohon di terima,"ujarnya dan melangkah pergi dengan kotak merah yang masih di tangan ini.
Aku melonggo, tak percaya ada orang yang mengirimkan hadiah pernikahan seperti ini.
Siapa sebenarnya pria tadi? Pakaian juga rapi seperti orang kantoran. Aneh sekali aku harus menyelidikinya.
______
"Siapa pria itu, Puspa?"
"Kok bisa dia ngasih set perhiasan mahal itu."
'Mulai deh kepo lagi.'
"Coba sini aku lihat," ujar Wulan, wanita itu langsung mengambil paksa kotak perhiasan dari tanganku.
Aku hanya menghela napas panjang. Saat melihatnya begitu norak mencoba, dan memamerkan perhiasan yang bukan miliknya.
"Bagus ga, Bu?"tanya Wulan pada Ibunya.
"Cocok banget itu mah di kamu, Nak."balas Bi Ning semangat.
"Harusnya perhiasan ini itu buat aku ya, Bu. Soalnya bakal ga cocok kalo si Puspa yang memakainya,"ucap Wulan.
Aku langsung menatap horor pada wanita itu.
"Maaf, pria tadi ngasihnya sama aku bukan sama kamu. Kalau kamu mau beli aja sendiri," ucapku lalu mengambil perhiasan kembali.
"Heh! Berikan padaku. Kamu itu tidak pantas memilikinya!" kekeh Wulan.
"Puspa, cepat berikan perhiasan itu pada putriku!"sentak Bibi tak tahu malu.
"Kalian gak malu, mengambil barang yang bukan milik kalian? "tanyaku.
Wajah Wulan dan Bi Ningsih memerah. Mereka tak sadar bahwa sedari tadi mereka terus di perhatikan oleh para ibu-ibu.
"Bu Ning, jadi selama ini--"
"Tidak! Saya hanya memberitahunya saja," sangkal Bibi.
"Lagian dulu, Puspa bilang ga suka sama perhiasan. Ya daripada gak ke pake lebih baik untukku,"timpal Wulan.
'Kapan aku pernah bilang begitu?' tanya batinku.
"Oh begitu, saya kira memang Bi Ning dan Wula, ini suka meminta barang yang bukan hak kalian," cibir Ibu-ibu lainnya.
Huh, memang mereka suka meminta barangku dengan mengklaim bahwa barang itu tak cocok untukku.
Dulu saat Aku dan Wulan kecil. Kami sering bermain bersama, waktu itu aku mambawa banyak sekali mainan. Namun, semua di ambil oleh Wulan dan Bibi. Mereka membawa semua mainan itu ke rumahnya.
Pernah juga saat Ibu dan Bapak membelikanku gaun pesta yang indah. Saat aku menunjukkan pada Wulan. la langsung menangis, lalu Bibi merebut, dan mengambil gaun pestaku untuk Wulan.
Saat itu ada anak tetangga kami yang berulang tahun. Namun, aku di ejek oleh teman-temannya-ku saat tak memakai gaun pesta kesana.
Sementara Wulan di puji oleh teman-temannya. Karena memakai gaun pestaku yang indah.
Sebaiknya aku masuk ke dalam rumahku, kurasa sudah habis tenagaku hari ini meladeni mereka.
Kulangkahkan kaki ini masuk ke dalam rumah.
Kulihat Bang Adnan seperti tengah menelpon seseorang. Tapi, perhatikanku teralih pada ponselnya dengan logo apel yang bekas gigitan orang.
'Melihat penampilannya. Aku merasa mana mungkin ia mampu membeli barang semahal itu. Aku pasti salah lihat.'
Aku menggeleng kepalaku cepat. Aku kembali melihatnya. Namun, ponsel itu tetap sama.
'Siapa sebenarnya dia?'tanya batinku.
Bersambung.
"Bang~" panggilku.Bang Adnan menoleh, tubuhnya menegang saat melihatku. Lalu segera memasukan ponselnya ke dalam saku celana."Ini! Kira-kira siapa yang memberikan perhiasan indah ini, Bang? Katanya ini sebagai hadiah pernikahan kita?" tanyaku."A-bang gak tahu," jawabnya, aku menghela nafas panjang."Puspa, itu apa?"tanya Ibu saat datang keluar dari dapur."Perhiasan,"jawabku."Kamu dapat dari mana?"tanya Ibu dengan wajah terkejutnya."Tidak tahu. Tadi ada orang aneh yang tiba-tiba datang terus ngasih ini sebagai hadiah pernikahan kami katanya," jelasku."Pus, Ibu takut kalau orang itu pencuri. Sebaiknya kamu buang saja, Ibu gak mau kalau kita kena masalah," perintah Ibu."Jangan! "sentak Bang Adnan. Aku dan ibu langsung menatap curiga padanya."Kenapa, Bang? Benar kata lbu mungkin pria tadi itu memang pencuri," jelasku."Bukan. Dia bukan pencuri," jawabnya."Dari mana kamu tahu, Bang?"tanyaku sambil mengkerut kening."Perhiasan itu memang untukmu," jawabnya membuat kami terkejut.
"Huh! Kami tidak akan pernah menyesali ucapan kami,"ketus Wulan pada Irpan."Sudahlah, Wulan. Kita pulang saja, bisa muntah nanti kalau lama-lama mata ibu, lihat pasangan burukk rupa ini." hina Bi Ning dengan tataan rendah pada Puspa dan Adnan."Mending burukk rupa, daripada burukk akhlak kayak kalian!" balasku tak kalah sengit."Kamu!"raung Bi Ningsih tak terima."Apa? Bibi gak terima?"tantangku berani."Sudah, Mbak. Jangan di ladenin dua keong racun itu,"ujar Irpan."Beraninya kau sebut kami keong racun! Siapa kau di sini, hah?" tanya Bu Ning tak terima."Ya, kalau gak mau di sebut keong racun. Lalu keong apa dong? Keong emas," ledek Irpan pada kedua ibu dan anak itu."Hey! Sebutan keong racun, sepertinya memang cocok untuk mereka."timpalku menyetujui nama baru yang di buat Irpan untuk mereka.Mereka nampak mencabbikan bibirnya, raut wajahnya begitu sangat kesal saat ini."Dasar kau keong racun, baru kenal sudah ngajak tidur~. Ngomong gak sopan santun, kau anggap aku ayam kampung~""
Ceklek!Saat Bang Adnan membuka pintu kamar, terlihat siapa orang yang telah menganggu kami, dan itu ternyata Irpan~Adiknya."Ada apa?"tanya Bang Adnan ketus."Aku lapar"jawabnya sambil mengelus-elus perut."Apa wajahku ini seperti makanan?" tanya Bang Adnan."Bukan.Tapi, seperti brownies pake toping oreo" ceplos Irpan terkekeh."Sudah sana pergi! Buat makanan sendiri di dapur sana!"usir Bang Adnan."Buatkan," pinta Irpan penuh permohonan."Tidak ada! Aku lagi sibuk memancing di dalam," tolak Bang Adnan.Brugh!Lalu pintu tertutup dengan kencang. Aku langsung pura-pura tertidur."Ah, gara-gara si Irpan. Jadi dia sudah tidur duluan.""Eh. Siapa itu Puspa?"tanya Ibu-ibu rempong."Adiknya Bang Adnan,"jawabku seadanya.Wajah mereka nampak terkejut."Ngaco, kamu Puspa. Masa modelan kaya suamimu itu bisa punya adik setampan dia?"tanya mereka tidak percaya."Iya, beda jauh banget itu mah.""Bagaikan langit, dan bumi, si tampan dan si b* r i k." "Atau jangan-jangan dia selingkuh kamu, Pus?"
"Heh, apa maksudmu?"tanya Sandi sambil ingin menonjok wajah Bang Adnan."Tidak, ada."jawab Bang Adnan santai."Sudahlah, Mas. Buang-buang energi saja ngadepin dia. Lagian kalau kamu tonjok wajahnya mau kayak apa lagi coba? Sudah jelek nantu tambah jelek,"ledek Wulan.Bukanya membalas Bang Adnan malah tersenyum-senyum."Eh, Puspa kamu juga datang.Tapi, pagi-pagi jadi tukang masak di sana."titah Bi Ning."Maaf, saya tak berminat."tolak Puspa mentah-mentah."Belagu kamu! Saudara macam apa yang tak mau membantu pernikahan saudaranya sendiri?" ujar Wulan sewot."Ranti, ajari anakmu itu! Sesama saudara harusnya saling bantu, jangan kayak begitu tingkahnya."ujar Bi Ning pada ibu.Ibu yang baru saja keluar dari rumah langsung di semprot omelan Bi Ning."Ya, terserah anakku Ning. Orang dianya gak mau masa harus di paksa,"jawab Ibu."Ya, haruslah kamu ibunya. Suruh anakmu itu bantu kami, kalau dia gak mau paksa. Masa sebagai orang tua kalah sama anak sendiri sih,"cibir Bi Ning."Menantu kamu 'k
"Loh, Mas Sandi mau kemana?" tanya Wulan.Semua orang langsung terdiam mendengar nada, dan ucapan Sandi. Pria yang tadi dengan sombongnya kelewatan memamerkan semua kekayaan serta menghina kami. Kini tunduk pada seorang Irpan.'Punya pelet Nih ipar gue'batinku terkekeh.Sandi yang akan segera pergi langsung di kejar oleh Wulan."Mas! Kamu mau kemana?"cegah Wulan saat Sandi akan memasuki mobilnya."Aku pulang dulu, nanti aku ke sini lagi. Aku lupa ada kerjaan yang belum aku bereskan di kantor,"ujarnya. Lalu tanpa perduli meninggalkan Wulan, dan Bi Ning yang masih meneriakinya."Kaya abis ngelihat macan ngamuk. Kok bisa dia kaya begitu?"tanyaku pada Irpan."Heh, sudah saya bilang Mbak. Jangan remehkan irpan aura saya iyang gahar sama orang jahat," ucap Irpan Sombong."Kenapa kamu keluar? Sudahku bilang sembunyikan saja di dalam," tiba-tiba Bang Adnan menyahut dengan nada marah.Bang Adnan nampak begitu emosi pada adiknya. Kenapa sih laki gue?"Lu udah gue bela, malah ngamuk. Aneh emang
"Ranti! Siapa orang tadi yang naik mobil itu?"tanya Bi Ning sambil menunjuk jarinya yang di kerumuni cacing gelamor.''Next level emang ini mak lampir,' batinku."Oh tadi itu irpan, adiknya Adnan."jawab ibu dengan tenang.Wajah Bi Ning, dan Wulan terkejut, mulut mereka tercengang mendengar Irpan yang mengendarai mobil mewah itu.Aku celingukan mumpung lagi kaya gitu, enak kalau di masukin sesuatu nih.'Lalat, di mana Lalat?'kekehku"Emang punya mobil dia? Gak percaya saya orang gak war*s kaya gitu, mana bisa beli mobil sebagus itu," ujar Bi Ning meremehkan."Benar, paling itu mobil rentalan. Ya ampun hidup sulit bergaya elit," cibir Wulan.Ibu terlihat jengah dengan mereka."Orang yang gak terlihat hartanya di anggapnya miskin. Orang yang punya mobil di anggapnya sok kaya. Ning kamu kayanya salah minum obat,?" tanya ibuku.Aku terkekeh kegelian. Ibu the best sedunia cara membalasnya gak kaleng-kaleng."Ngapain saya minum obat, saya orang sakit?" tanya Bi Ning."Siapa tahu. Kulihat mul
"Apa-apaan ini? Dekor, gaun pengantin. Ngapain Bang Adnan pesan- pesan kayak gini? Masa iya dia mau nikah lagi,' batinku bertanya-tanya.'Ini tidak boleh terjadi. Mana sanggup nanti aku di madu. Walaupun pernikahan ini tak ada cinta. Tapi, hatiku gak rela pokoknya titik segede kelapa!"Dek in--"Aku langsung mengambil ponselku tanpa menghiraukan Bang Adnan. Terlihat pria itu mengerutkan keningnya bingung, mungkin dia merasa aneh dengan sikapku.'Ah, bodo amat yang jelas sakit banget hati ini tak mau di madu.'"Dek kamu kenapa?" tanyanya."Gak apa-apa," jawabku."Dek, ada yang mau Abang sampaikan. Kita ngobrol bertiga sama ibu," pintanya.Aku memanggil ibu di kamarnya. Lalu kami berkumpul di ruang tamu."Ini ada apa?"tanya ibu kebingungan.Aku menggelengkan kepala saat ibu menatapku."Maaf jika saya menganggu waktu istirahat ibu. Dek, besok Abang di minta untuk pulang kerumah. Tadi irpan bilang penyakit ibuku kambuh lagi,"jelasnya.Aku tercekat mendengar apa yang di sampaikan Bang Adna
Aku menampar, dan menjambak rambut Wulan kuat. Lalu mendorong tubuhnya yang lebih besar dariku samapi wanita itu terjungkal ke belakang.Brugh!"S i a l a n!"teriaknya.Wulan langsung bangkit. Lalu bersiap menyerang ku balik.Aku yang akan menerima serangannya. Langsung memasang jurus kucing j a b l a y."Hayahhhh! Maju lu," tantangku.Wulan yang merasa tertantang lalu menjambak rambutku. Aku yang tidak mau kalah ikut mejambak rambut sampai beberapa helai rambut itu rontok."Argggggggg ..." teriaknya.Bi Ning yang menyadari anaknya babak belur olehku sigap mengeroyoki, dan membantu anaknya.Wanita paruh baya itu menarik tubuhku, dan mencoba melepaskan genggaman tangan ini. Supaya tanganku tidak menyakiti anaknya."Lepaskan putriku!" teriaknya sambil menendang b o k 0 n gku dengan kakinya.Aku yang kesakitan melepas tangan ini dari rambut, dan wajah Wulan. Entah kekuatan dari mana atau memang ini adalah amarahku yang selama ini terpedam. Aku segera bangkit, dan berlari menindih tubuh