“Yuji Jaeger.” Dia secara otomatis mengeja nama belakangnya untuk Yuji. “Lahir tanggal 5 Juli 1960 di Kota Shibuya, Tokyo. Umurku empat puluh tujuh tahun. Aku bujangan, sudah pernah menikah, kemudian bercerai. Aku tidak mempunyai anak. Tidak punya alamat tempat tinggal. Tidak mempunyai pekerjaan. Dan tidak bermasa depan.”
Yuji menyaring seluruh informasi itu dan sementara bolpoin yang dipegangnya dengan lincah mencari ruang-ruang kosong yang wajib diisi. Semua jawaban yang diucapkan oleh Ajin menyebabkan jauh lebih baik kuriositas daripada yang bisa ditampung formulir kecil yang ada di hadapannya. “Sudah, sebentar…” Yuji menahan. “Kali ini tentang alamat,” Yuji masih sambil menulis. “Di mana tempat tinggalmu sekarang?”
“Aku tidak punya tempat tinggal. Aku hanya orang tidak berguna yang terpaksa ditampung Lembaga Permasyarakatan Kanto. Aku ditampung di rumah singgah. Di jalan nomor dua belas, beberapa blok dari sini. Dan saat ini, aku sedang dalam proses pembebasan, seperti itulah istilah mereka. Beberapa bulan aku di rumah singgah di sini, di Kanto, aku diharapkan akan menjadi manusia merdeka sekali lagi, tanpa ada syarat lain yang diinginkan sebagai syarat pembebasanku.”
Tangan Yuji menghentikan bolpoinnya, tapi sorot matanya masih menatap alat tulis itu lekat-lekat. Keinginannya untuk mencari informasi tentang laki-laki di depannya mendadak lenyap. Dia agak merasa skeptis untuk mencari tahu lebih tentang manusia di depannya. Namun, karena dirinya sendiri yang memulai interogasi itu, dia merasa kalau dia berkewajiban untuk melanjutkan. Lagi pula, apa ada sesuatu yang lain yang bisa mereka lakukan sepanjang menunggu pendeta selesai rapat?
“Kau mau teh?” tanya Yuji setelah dia memikirkan matang-matang kalau pertanyaannya itu tidak berbahaya.
Senyap sejenak, sedikit lebih lama, seolah-olah Ajin tidak sanggung mengiyakan. “Ya, boleh. Gulanya sedikit saja.”
Yuji lekas keluar ruangan untuk menuntaskan tawarannya. Ajin memperhatikannya pergi, mengamati segala-galanya tentang Yuji, fokus dengan bokong bundarnya yang indah di balik balutan celana panjang yang ketat, kedua kaki rampingnya, pundak yang nampak kokoh, bahkan ekor kudanya. Sekitar seratus lima puluh senti, mungkin enam puluh, lima puluh delapan kilo maksimal.
Yuji secara sengaja berlama-lama di luar, dan ketika dia kembali untuk memastikan Ajin Jaeger, dia masih duduk di sana seperti saat Yuji meninggalkannya tadi, masih duduk seperti jemaat yang berdoa, ujung jemari tangan kanannya perlahan mengetuk-ngetuk ujung jemari tangan kirinya, tongkat kayunya yang berwarna putih menggeletak di pangkuannya. Kepalanya dicukur plontos, terlihat kecil dan mengkilap, betul-betul bundar seperti lampu taman, dan ketika Yuji datang menyerahkan secangkir teh pada Ajin, dia memperkirakan sendiri dengan gurauan, apakah Ajin memang berkepala plontos sejak masih muda ataukah memang dia menyukai model kepala seperti itu. Terlihat sebuat tato yang menyeramkan terlukis di salah satu sisi lehernya.
Ajin menerima cangkir teh itu dengan mantap. Dan setelah mengucapkan terima kasih, dia meletakkan cangkir tehnya di meja tulis. Yuji kembali ke tempat duduknya yang semula. Mereka berada terpisah di antara meja tulis.
“Kau seorang Lutheran?” kembali Yuji memegang bolpoin dengan buku yang berisi daftar pertanyaan di depannya.
“Itu perlu kau catat?”
“Ya,” tegasnya.
“Kurasa bukan. Sebenarnya aku bukan siapa-siapa. Aku nggak pernah punya keinginan untuk pergi ke gereja sebelumnya.”
Mendengar pernyataan Ajin yang tidak pernah punya keinginan untuk pergi ke gereja, membuat Yuji merasa bingung. “Lalu kemarin dan sekarang kau kemari, mengapa?”
Ajin Jaeger mengambil cangkir teh itu dengan kedua tangan berada tepat di bawah dagu, mirp seekor tikus yang sedang menangkup sekeping biskuit. Apabila pertanyaan sederhana tentang teh tadi membutuhkan waktu sekitar lima belas detik, mungkin pertanyaan tentang kehadirannya di gereja untuk kali ini membutuhkan waktu dua jam.
Ajin mencium bau harum asap tehnya—dia berasumsi kalau bekas sentuhan Yuji masih menempal di sela-sela cangkir itu—kemudian dia meneguk sedikit dan mengecap bibirnya. “Butuh berapa lama lagi menurutmu aku harus menunggu untuk bertemu Pendeta?” tiba saatnya dia bersuara.
Melihat Ajin yang terlalu lama berpikir, membuat Yuji semakin merasa was-was. Dia menjadi ragu dan terpaksa berlipat-lipat mempertimbangkan banyak hal untuk mempersilakan Ajin bertemu dengan suaminya. Yuji melirik jam dinding, “Sebentar lagi.”
“Aku boleh duduk di sini sambil berdiam diri selagi kita menunggu Pendeta?” nadanya terdengar sangat takzim.
Yuji memperhatikan pergelangan tangan yang kaku itu dan dengan segera mengiyakan kalau berdiam diri bukanlah sesuatu keputusan yang buruk. Lalu, kuriositasnya muncul dan mengganggunya lagi. “Baiklah. Tapi satu pertanyaan terakhir.” Yuji menatap buku yang berisi daftar pertanyaan itu, seolah-olah di situ tertera dengan jelas suatu pertanyaan yang wajib dijawab. “Berapa lama kau berada di penjara?”
“Setengah hidupku,” jawab Ajin dengan tegas. Seolah-olah dia telah melatih untuk mengucapkan kalimat itu sepuluh kali sehari.Yuji menulis sesuatu, sedetik kemudian papan ketik komputer itu lantas menarik perhatiannya. Kemudian secara sigap dia mengetik membabi-buta seperti seorang karyawan yang sedang menghadapi tenggat waktu yang mepet. Email-nya kepada Aoki terurai; “Ada seorang narapidana di sini yang sedang mencari dan ingin segera menemuimu. Dia tidak mau pergi dari sini sebelum nampak batang hidungmu. Tapi dia terlihat cukup ramah. Aku buatkan dia teh sembari dia menunggumu. Aku tidak mau terlalu banyak berbicara dengannya, cepat selesaikan konsultasimu.”Lima belas menit kemudian, pintu ruangan Pendeta terbuka lebar dan seorang perempuan keluar dengan hentak langkah kaki yang keras sambil mengusap mata. Di belakang perempuan itu, menyusul mantan tunangannya yang mampu membuat kerutan di dahi sekaligus senyum tipis di bibir pada
Setelah suara Ajin itu berhenti, kemudian ruangan disulap menjadi senyap. “Apa lagi yang membuatmu menahan ucapanmu, Ajin?”“Aku menderita toksoplasmosis. Penyakit ganas yang menyerang otakku, sangat mematikan, tidak bisa diobati.”Aoki tercenung.“Apabila aku punya banyak uang, aku mungkin bisa melawannya. Dengan perawatan rutin, kemoterapi, yang masih bisa memperpanjang umurku mungkin sampai beberapa bulan ke depan, bahkan memungkinkan untuk setahun. Tapi ini sudah akut. Aku sudah lama membiarkan penyakit ini mengganggku waktuku, tanpa penanganan sewajarnya. Aku tidak pernah merasakan diomeli dokter hanya karena tidak rutin minum obat, atau yang lain. Aku pasti mati beberapa bulan lagi.” Ajin mengerutkan dahinya dan badannya agak sedikit condong, lalu mengurut pelipisnya. Napasnya tersengal, terlihat berat. Seluruh tarikan-tarikan tubuhnya terlihat kesakitan.“Aku turut berduka tentang penyakitmu.” Aoki me
Lengang sejenak di antara mereka. Sementara hanya deru napas mewakili pembicaraan keduanya. Sedetik memahami keheningan itu, mata Ajin berotasi mengelililingi ruangan dan kemudian berhenti tepat di mata Aoki. Keduanya saling melihat untuk waktu yang tidak sebentar, tidak seorang pun di antara keduanya yang mau mengerjap. “Aku sudah melakukan kesalahan yang besar, Pendeta. Aku melukai beberapa orang yang tidak pernah bersalah atas kehidupanku. Aku sangat tidak yakin akan membawa semua bayangan dan rekam jejak kesalahan itu sampai ke pemakamanku.”Tepat sekarang pembicaraan antara aku dengannya menuju inti persoalan, kegundahan yang membuatnya datang kemari, batin Aoki. Beban kesalahan, dosa, yang diumpat dalam dirinya. Perasaan malu akibat perbuatan buruk yang sudah terpendam terlalu lama. Ajaibnya, Ajin mampu menyadari itu di sisa-sisa umurnya.&ldquo
Setelah empat puluh lima menit pembicaraan yang tersendat-sendat dan progres yang begitu lambat, Aoki mulai jenuh dengan pertemuan ini. Ajin tidak memperlihatkan gerak-gerik obsesinya pada Tuhan, dan karena persoalan Tuhan adalah kajian keahlian Aoki, hal itu kelihatannya tidak cukup signifikan yang bisa dia lakukan. Aoki bukan ahli bedah otak. Atau seseorang dengan sekantung lowongan pekerjaan dengan gaji yang menjanjikan.Sebuah dering notifikasi pesan muncul di layar komputernya. Dua deringan mungkin artinya ada seseorang yang akan konsultasi. Sementara kalau tiga kali, pertanda pesan berasal dari meja resepsionis. Aoki bersikap seolah tidak mempedulikannya. Harapnya, dia bisa segera pulang dan merebahkan punggungnya di ranjang mewahnya.“Buat apa kau perlu tongkat itu?” nada suaranya terdengar ramah.Ajin meringkuk. Matanya kembali memancarkan ingatan masa kelamnya. “Penjara yakni tempat yang brutal.”“Aku kerap kal
Ajin menarik napas kuat-kuat dan membusungkan dadanya. Mengubah posisi duduknya agak lebih tegak. Dia hampir mengangguk, tapi terhalang cedutan yang tiba-tiba. Cedutan itu seperti muncul lebih cepat jika dirinya di bawah tekanan.“Atau jangan-jangan… Kau yang membunuh gadis itu, Ajin?” tanya Aoki, dia terperangah mendengar pertanyaannya sendiri. Baru sepuuh menit yang lalu, Aoki kembali mengingat-ingat dalam hati nama semua jemaat gerejanya yang harus dikunjungi di rumah sakit. Hingga memikirkan sebuah cara alternatif untuk mengusir Ajin dengan halus dari kantornya. Namun sekarang, pikirannya justru berkecamuk di seputar kasus pembunuhan dan mayat misterius seorang gadis.“Aku bingung apa yang harus kulakukan,” sahut Ajin ketika sejurus kemudian ada serangan rasa sakit di kepalanya. Dia menggeliat dan menekuk tubuhnya seperti menahan gejolak isi perutnya seolah-olah hendak muntah dan mulai menekan-nekan sisi kepalanya dengan bantuan kedua
“Laki-laki itu menderita, Yuji. Serta bukan gara-gara toksoplasmosisnya semata. Dia juga tahu sesuatu tentang kasus pembunuhan gadis itu, juga mayatnya. Dia mengetahui banyak hal, sebagai seorang kriminal, aku heran dia merasa terusik dengan fakta bahwa seorang laki-laki tak bersalah akan dieksekusi.”Bagi seseorang yang menghabiskan banyak waktunya dengan mendengarkan cerita orang lain, mulai dari masalah-masalah sepele hingga masalah-masalah pelik, serta menwarkan sejumlah nasihat hingga bimbingan yang bisa mereka yakini, Aoki sudah mampu menjadi orang yang bijaksana dan jeli. Dan dia jarang sekali meleset. Sementara istrinya, Yuji, jauh lebih cepat menarik kesimpulan dan jauh lebih enteng mengkritik dan menjustifikasi dan kerap kali salah. “Lalu bagaimana langkahmu, Pendeta?” tanyanya.“Mari kita luangkan waktu sekitar satu jam ke depan untuk mencari tahu lebih detail tentang laki-laki itu serta kasus penculikan dan pembunuhan seorang g
Biro Hukum Shin menjadi utopia bagi mereka yang mengalami kondisi injustice, meski resultannya relatif kecil sekali. Yang dianiaya, difitnah, dituduh, yang diperlakukan tidak adil, mereka pada akhirnya menghubungi Shin. Untuk menyaring kasus yang semakin hari semakin bertambah itu, Shin mempekerjakan mulai dari mahasiswa hukum yang hendak lulus kuliah, juga paralegal dalam jumlah lumayan. Dia memilih dalam posisi itu setiap hari, mengais tangkapan-tangkapan dari yang sepele sampai yang krusial dan melemparkan sisanya. Biro hukumnya berkembang pesat. Pasang-surut, berkembang lagi dan kemudian pecah akibat sebuah krisis. Para pengacara termasuk yang masih berstatus sebagai mahasiswa datang dan pergi. Dia menggugat mereka, dan sebaliknya. Terjadi adu lempar gugatan. Barangkali bagi mahasiswa, mereka beralasan tidak terikat kontrak di luar magang. Uangnya habis, namun kemudian Shin memenangkan kasus besar yang lain. Titik terbawah dalam kariernya yaitu ketika dia memergoki pegawai akunt
Miya tidak pernah mempunyai sejarah masalah didasarkan emosi, prasangka yang dibuat-buat, masalah rutinitas makan, perilaku pencitraan, gangguan jiwa, atau penggunaan dan penyelundupan narkoba. Dia secara tiba-tiba menghilang. Tak ada saksi mata. Tidak ada apa pun, penjelasan, kalimat implisit yang mengindikasikan selamat tinggal atau sekadar nada ngambek melalui telepon. Untaian doa tidak pernah putus digaungkan di gereja-gereja, sekolah-sekolah, media sosial, dan lain-lain. Nomor inklusif dibuat hanya untuk menerima telepon yang ada kaitannya dengan kasusnya, tapi dugaan dan indikasi bukti tak semuanya terbukti benar. Sekaligus dibuatlah sebuah situs web yang dirancang khusus untuk memonitor pencarian atau menyaring desas-desus gosip. Para ahli, pejabat, baik yang tulen maupun yang fake, berduyun-duyun ke kota hanya untuk memberikan wejangan. Juga seorang paranormal datang tanpa diundang, langsung pergi ketika tak satu pun orang yang mau membayar jasanya. Sementara progres pencari
Miya tidak pernah mempunyai sejarah masalah didasarkan emosi, prasangka yang dibuat-buat, masalah rutinitas makan, perilaku pencitraan, gangguan jiwa, atau penggunaan dan penyelundupan narkoba. Dia secara tiba-tiba menghilang. Tak ada saksi mata. Tidak ada apa pun, penjelasan, kalimat implisit yang mengindikasikan selamat tinggal atau sekadar nada ngambek melalui telepon. Untaian doa tidak pernah putus digaungkan di gereja-gereja, sekolah-sekolah, media sosial, dan lain-lain. Nomor inklusif dibuat hanya untuk menerima telepon yang ada kaitannya dengan kasusnya, tapi dugaan dan indikasi bukti tak semuanya terbukti benar. Sekaligus dibuatlah sebuah situs web yang dirancang khusus untuk memonitor pencarian atau menyaring desas-desus gosip. Para ahli, pejabat, baik yang tulen maupun yang fake, berduyun-duyun ke kota hanya untuk memberikan wejangan. Juga seorang paranormal datang tanpa diundang, langsung pergi ketika tak satu pun orang yang mau membayar jasanya. Sementara progres pencari
Biro Hukum Shin menjadi utopia bagi mereka yang mengalami kondisi injustice, meski resultannya relatif kecil sekali. Yang dianiaya, difitnah, dituduh, yang diperlakukan tidak adil, mereka pada akhirnya menghubungi Shin. Untuk menyaring kasus yang semakin hari semakin bertambah itu, Shin mempekerjakan mulai dari mahasiswa hukum yang hendak lulus kuliah, juga paralegal dalam jumlah lumayan. Dia memilih dalam posisi itu setiap hari, mengais tangkapan-tangkapan dari yang sepele sampai yang krusial dan melemparkan sisanya. Biro hukumnya berkembang pesat. Pasang-surut, berkembang lagi dan kemudian pecah akibat sebuah krisis. Para pengacara termasuk yang masih berstatus sebagai mahasiswa datang dan pergi. Dia menggugat mereka, dan sebaliknya. Terjadi adu lempar gugatan. Barangkali bagi mahasiswa, mereka beralasan tidak terikat kontrak di luar magang. Uangnya habis, namun kemudian Shin memenangkan kasus besar yang lain. Titik terbawah dalam kariernya yaitu ketika dia memergoki pegawai akunt
“Laki-laki itu menderita, Yuji. Serta bukan gara-gara toksoplasmosisnya semata. Dia juga tahu sesuatu tentang kasus pembunuhan gadis itu, juga mayatnya. Dia mengetahui banyak hal, sebagai seorang kriminal, aku heran dia merasa terusik dengan fakta bahwa seorang laki-laki tak bersalah akan dieksekusi.”Bagi seseorang yang menghabiskan banyak waktunya dengan mendengarkan cerita orang lain, mulai dari masalah-masalah sepele hingga masalah-masalah pelik, serta menwarkan sejumlah nasihat hingga bimbingan yang bisa mereka yakini, Aoki sudah mampu menjadi orang yang bijaksana dan jeli. Dan dia jarang sekali meleset. Sementara istrinya, Yuji, jauh lebih cepat menarik kesimpulan dan jauh lebih enteng mengkritik dan menjustifikasi dan kerap kali salah. “Lalu bagaimana langkahmu, Pendeta?” tanyanya.“Mari kita luangkan waktu sekitar satu jam ke depan untuk mencari tahu lebih detail tentang laki-laki itu serta kasus penculikan dan pembunuhan seorang g
Ajin menarik napas kuat-kuat dan membusungkan dadanya. Mengubah posisi duduknya agak lebih tegak. Dia hampir mengangguk, tapi terhalang cedutan yang tiba-tiba. Cedutan itu seperti muncul lebih cepat jika dirinya di bawah tekanan.“Atau jangan-jangan… Kau yang membunuh gadis itu, Ajin?” tanya Aoki, dia terperangah mendengar pertanyaannya sendiri. Baru sepuuh menit yang lalu, Aoki kembali mengingat-ingat dalam hati nama semua jemaat gerejanya yang harus dikunjungi di rumah sakit. Hingga memikirkan sebuah cara alternatif untuk mengusir Ajin dengan halus dari kantornya. Namun sekarang, pikirannya justru berkecamuk di seputar kasus pembunuhan dan mayat misterius seorang gadis.“Aku bingung apa yang harus kulakukan,” sahut Ajin ketika sejurus kemudian ada serangan rasa sakit di kepalanya. Dia menggeliat dan menekuk tubuhnya seperti menahan gejolak isi perutnya seolah-olah hendak muntah dan mulai menekan-nekan sisi kepalanya dengan bantuan kedua
Setelah empat puluh lima menit pembicaraan yang tersendat-sendat dan progres yang begitu lambat, Aoki mulai jenuh dengan pertemuan ini. Ajin tidak memperlihatkan gerak-gerik obsesinya pada Tuhan, dan karena persoalan Tuhan adalah kajian keahlian Aoki, hal itu kelihatannya tidak cukup signifikan yang bisa dia lakukan. Aoki bukan ahli bedah otak. Atau seseorang dengan sekantung lowongan pekerjaan dengan gaji yang menjanjikan.Sebuah dering notifikasi pesan muncul di layar komputernya. Dua deringan mungkin artinya ada seseorang yang akan konsultasi. Sementara kalau tiga kali, pertanda pesan berasal dari meja resepsionis. Aoki bersikap seolah tidak mempedulikannya. Harapnya, dia bisa segera pulang dan merebahkan punggungnya di ranjang mewahnya.“Buat apa kau perlu tongkat itu?” nada suaranya terdengar ramah.Ajin meringkuk. Matanya kembali memancarkan ingatan masa kelamnya. “Penjara yakni tempat yang brutal.”“Aku kerap kal
Lengang sejenak di antara mereka. Sementara hanya deru napas mewakili pembicaraan keduanya. Sedetik memahami keheningan itu, mata Ajin berotasi mengelililingi ruangan dan kemudian berhenti tepat di mata Aoki. Keduanya saling melihat untuk waktu yang tidak sebentar, tidak seorang pun di antara keduanya yang mau mengerjap. “Aku sudah melakukan kesalahan yang besar, Pendeta. Aku melukai beberapa orang yang tidak pernah bersalah atas kehidupanku. Aku sangat tidak yakin akan membawa semua bayangan dan rekam jejak kesalahan itu sampai ke pemakamanku.”Tepat sekarang pembicaraan antara aku dengannya menuju inti persoalan, kegundahan yang membuatnya datang kemari, batin Aoki. Beban kesalahan, dosa, yang diumpat dalam dirinya. Perasaan malu akibat perbuatan buruk yang sudah terpendam terlalu lama. Ajaibnya, Ajin mampu menyadari itu di sisa-sisa umurnya.&ldquo
Setelah suara Ajin itu berhenti, kemudian ruangan disulap menjadi senyap. “Apa lagi yang membuatmu menahan ucapanmu, Ajin?”“Aku menderita toksoplasmosis. Penyakit ganas yang menyerang otakku, sangat mematikan, tidak bisa diobati.”Aoki tercenung.“Apabila aku punya banyak uang, aku mungkin bisa melawannya. Dengan perawatan rutin, kemoterapi, yang masih bisa memperpanjang umurku mungkin sampai beberapa bulan ke depan, bahkan memungkinkan untuk setahun. Tapi ini sudah akut. Aku sudah lama membiarkan penyakit ini mengganggku waktuku, tanpa penanganan sewajarnya. Aku tidak pernah merasakan diomeli dokter hanya karena tidak rutin minum obat, atau yang lain. Aku pasti mati beberapa bulan lagi.” Ajin mengerutkan dahinya dan badannya agak sedikit condong, lalu mengurut pelipisnya. Napasnya tersengal, terlihat berat. Seluruh tarikan-tarikan tubuhnya terlihat kesakitan.“Aku turut berduka tentang penyakitmu.” Aoki me
“Setengah hidupku,” jawab Ajin dengan tegas. Seolah-olah dia telah melatih untuk mengucapkan kalimat itu sepuluh kali sehari.Yuji menulis sesuatu, sedetik kemudian papan ketik komputer itu lantas menarik perhatiannya. Kemudian secara sigap dia mengetik membabi-buta seperti seorang karyawan yang sedang menghadapi tenggat waktu yang mepet. Email-nya kepada Aoki terurai; “Ada seorang narapidana di sini yang sedang mencari dan ingin segera menemuimu. Dia tidak mau pergi dari sini sebelum nampak batang hidungmu. Tapi dia terlihat cukup ramah. Aku buatkan dia teh sembari dia menunggumu. Aku tidak mau terlalu banyak berbicara dengannya, cepat selesaikan konsultasimu.”Lima belas menit kemudian, pintu ruangan Pendeta terbuka lebar dan seorang perempuan keluar dengan hentak langkah kaki yang keras sambil mengusap mata. Di belakang perempuan itu, menyusul mantan tunangannya yang mampu membuat kerutan di dahi sekaligus senyum tipis di bibir pada
“Yuji Jaeger.” Dia secara otomatis mengeja nama belakangnya untuk Yuji. “Lahir tanggal 5 Juli 1960 di Kota Shibuya, Tokyo. Umurku empat puluh tujuh tahun. Aku bujangan, sudah pernah menikah, kemudian bercerai. Aku tidak mempunyai anak. Tidak punya alamat tempat tinggal. Tidak mempunyai pekerjaan. Dan tidak bermasa depan.”Yuji menyaring seluruh informasi itu dan sementara bolpoin yang dipegangnya dengan lincah mencari ruang-ruang kosong yang wajib diisi. Semua jawaban yang diucapkan oleh Ajin menyebabkan jauh lebih baik kuriositas daripada yang bisa ditampung formulir kecil yang ada di hadapannya. “Sudah, sebentar…” Yuji menahan. “Kali ini tentang alamat,” Yuji masih sambil menulis. “Di mana tempat tinggalmu sekarang?”“Aku tidak punya tempat tinggal. Aku hanya orang tidak berguna yang terpaksa ditampung Lembaga Permasyarakatan Kanto. Aku ditampung di rumah singgah. Di jalan nomor dua belas, beber