Share

Tujuh

Author: vincenzo
last update Last Updated: 2022-04-05 21:25:45

Ajin menarik napas kuat-kuat dan membusungkan dadanya. Mengubah posisi duduknya agak lebih tegak. Dia hampir mengangguk, tapi terhalang cedutan yang tiba-tiba. Cedutan itu seperti muncul lebih cepat jika dirinya di bawah tekanan.

“Atau jangan-jangan… Kau yang membunuh gadis itu, Ajin?” tanya Aoki, dia terperangah mendengar pertanyaannya sendiri. Baru sepuuh menit yang lalu, Aoki kembali mengingat-ingat dalam hati nama semua jemaat gerejanya yang harus dikunjungi di rumah sakit. Hingga memikirkan sebuah cara alternatif untuk mengusir Ajin dengan halus dari kantornya. Namun sekarang, pikirannya justru berkecamuk di seputar kasus pembunuhan dan mayat misterius seorang gadis.

“Aku bingung apa yang harus kulakukan,” sahut Ajin ketika sejurus kemudian ada serangan rasa sakit di kepalanya. Dia menggeliat dan menekuk tubuhnya seperti menahan gejolak isi perutnya seolah-olah hendak muntah dan mulai menekan-nekan sisi kepalanya dengan bantuan kedua telapak tangannya. “Aku sekarat, oke? Kau tahu itu. Dan sepertinya memang aku akan mati beberapa bulan lagi. Mengapa anak yang tidak bersalah ini juga hendak ikut mati juga? Dia tidak melakukan apa-apa.” Sambil berbicara terbata-bata, matanya berkaca-kaca, kantung matanya berusaha menampung air matanya itu, tetap tidak bisa dan akhirnya menetes. Wajahnya mengerut, menahan rasa sakit.

Aoki memperhatikan, sedangkan Ajin kalang kabut menahan sakit kepalanya, tubuhnya sampai gemetar. Aoki mengulurkan sekotak tisu dan memperhatikan Ajin menyeka wajahnya yang penuh peluh. “Tumorku membesar. Setiap hari semakin membesar dan semakin keras mendesak tengkorak kepalaku.”

“Mereka memberimu obat?”

“Beberapa. Tapi tetap, percuma saja. Aku harus pergi.”

“Menurutku, kau denganku masih belum selesai.”

“Iya, baiklah.”

“Di mana mayatnya?”

“Kau tidak benar-benar ingin tahu.”

“Aku ingin. Mungkin kita bisa bekerja sama menghentikan eksekusi itu.”

Ajin terkekeh. “Oh, iya? Mana mungkin bisa di Kanto.”

Lamat-lamat dia berdiri dan mengetuk-ngetukkan tongkatnya di karpet. Melirik pendeta dan sedikit meringis. “Terima kasih, Pendeta.”

Aoki masih tetap duduk. Dia justru memperhatikan Ajin yang berjalan pincang dan bergegas meninggalkan ruang kerjanya.

Yuji melirik pintu, dia menolak tersenyum. Dia mampu mengucapkan “selamat tinggal” secara lega untuk membalas ucapan “terima kasih” Ajin. Lalu, Ajin Jaeger pun lenyap dari hadapannya, kembali ke jalanan hampa tanpa sehelai mantel dan sarung tangan, dan Yuji tidak memikirkan itu.

Suaminya tidak bergerak, masih duduk termangu di kursinya. Menatap nanar dinding dan masih mencengkeram sebuah salinan artikel surat kabar.

“Apa kau baik-baik saja?” tanya Yuji. Sejurus kemudian Aoki mengulurkan salinan artikel surat kabar itu dan Yuji membacanya hingga teramat bingung.

“Aku belum mengerti apa sangkut-pautnya,” ucapnya begitu selesai membacanya.

“Ajin Jaeger mengetahui di mana mayat gadis itu, karena dialah pembunuhnya.”

“Apakah dia sendiri yang mengakui kalau dia membunuh gadis itu?”

“Hampir. Dia mengatakan kalau dia menderita toksoplasmosis yang kemungkinan besar tidak bisa ditangani dengan operasi dan dia akan mati dalam waktu beberapa bulan lagi. Aku merasa bahwa pernyataan itu adalah ungkapan putus asa dari seorang mantan kriminal yang akan menghadapi mautnya. Dia bilang Eren Tatsuya tidak ada hubungannya sama sekali dengan hilang dan tewasnya gadis itu. Ungkapan dia tersirat sekali, namun dengan jelas dia menyiratkan kalau dia memang tahu di mana mayat gadis itu.”

Yuji tersentak di sofa dan terbentang di antara bantal-bantal. “Dan kau mempercayai ucapannya?”

“Dia kriminal kambuhan, Yuji, dia penipu. Dia lebih suka berbohong daripada mengatakan hal yang sebenarnya. Kau tidak bisa mempercayai ucapannya. Meski terlihat ironis sekali dia menyampaikannya.”

“Apa kau percaya padanya?”

“Aku rasa, iya.”

“Bagaimana bisa kau percaya?”

Related chapters

  • PRESUMPTION OF INNOCENT   Delapan

    “Laki-laki itu menderita, Yuji. Serta bukan gara-gara toksoplasmosisnya semata. Dia juga tahu sesuatu tentang kasus pembunuhan gadis itu, juga mayatnya. Dia mengetahui banyak hal, sebagai seorang kriminal, aku heran dia merasa terusik dengan fakta bahwa seorang laki-laki tak bersalah akan dieksekusi.”Bagi seseorang yang menghabiskan banyak waktunya dengan mendengarkan cerita orang lain, mulai dari masalah-masalah sepele hingga masalah-masalah pelik, serta menwarkan sejumlah nasihat hingga bimbingan yang bisa mereka yakini, Aoki sudah mampu menjadi orang yang bijaksana dan jeli. Dan dia jarang sekali meleset. Sementara istrinya, Yuji, jauh lebih cepat menarik kesimpulan dan jauh lebih enteng mengkritik dan menjustifikasi dan kerap kali salah. “Lalu bagaimana langkahmu, Pendeta?” tanyanya.“Mari kita luangkan waktu sekitar satu jam ke depan untuk mencari tahu lebih detail tentang laki-laki itu serta kasus penculikan dan pembunuhan seorang g

    Last Updated : 2022-04-05
  • PRESUMPTION OF INNOCENT   Sembilan

    Biro Hukum Shin menjadi utopia bagi mereka yang mengalami kondisi injustice, meski resultannya relatif kecil sekali. Yang dianiaya, difitnah, dituduh, yang diperlakukan tidak adil, mereka pada akhirnya menghubungi Shin. Untuk menyaring kasus yang semakin hari semakin bertambah itu, Shin mempekerjakan mulai dari mahasiswa hukum yang hendak lulus kuliah, juga paralegal dalam jumlah lumayan. Dia memilih dalam posisi itu setiap hari, mengais tangkapan-tangkapan dari yang sepele sampai yang krusial dan melemparkan sisanya. Biro hukumnya berkembang pesat. Pasang-surut, berkembang lagi dan kemudian pecah akibat sebuah krisis. Para pengacara termasuk yang masih berstatus sebagai mahasiswa datang dan pergi. Dia menggugat mereka, dan sebaliknya. Terjadi adu lempar gugatan. Barangkali bagi mahasiswa, mereka beralasan tidak terikat kontrak di luar magang. Uangnya habis, namun kemudian Shin memenangkan kasus besar yang lain. Titik terbawah dalam kariernya yaitu ketika dia memergoki pegawai akunt

    Last Updated : 2022-04-05
  • PRESUMPTION OF INNOCENT   Sepuluh

    Miya tidak pernah mempunyai sejarah masalah didasarkan emosi, prasangka yang dibuat-buat, masalah rutinitas makan, perilaku pencitraan, gangguan jiwa, atau penggunaan dan penyelundupan narkoba. Dia secara tiba-tiba menghilang. Tak ada saksi mata. Tidak ada apa pun, penjelasan, kalimat implisit yang mengindikasikan selamat tinggal atau sekadar nada ngambek melalui telepon. Untaian doa tidak pernah putus digaungkan di gereja-gereja, sekolah-sekolah, media sosial, dan lain-lain. Nomor inklusif dibuat hanya untuk menerima telepon yang ada kaitannya dengan kasusnya, tapi dugaan dan indikasi bukti tak semuanya terbukti benar. Sekaligus dibuatlah sebuah situs web yang dirancang khusus untuk memonitor pencarian atau menyaring desas-desus gosip. Para ahli, pejabat, baik yang tulen maupun yang fake, berduyun-duyun ke kota hanya untuk memberikan wejangan. Juga seorang paranormal datang tanpa diundang, langsung pergi ketika tak satu pun orang yang mau membayar jasanya. Sementara progres pencari

    Last Updated : 2022-04-05
  • PRESUMPTION OF INNOCENT   Satu

    Sebuah suara dari seberang mengagetkan dirinya. "Ivan, ini Dr. Shigeaki," ujar Kiki lewat interkom. Ivan menimpali, "Terima kasih," dan dia berhenti sejenak untuk menenangkan pikiran. Lalu dia kembali mengangkat gagang teleponnya. Seperti budaya biasa, memulai percakapan dengan sedikit obrolan basa-basi, tapi sadar bahwa dokter itu adalah orang yang sibuk, dia bergegas pada poin masalah. "Sejujurnya begini, Dr. Shigeaki, aku membutuhkan bantuanmu, tapi bila menurutmu ini terlalu rumit dan kemungkinan tidak menarik perhatianmu untuk sedikit meluangkan waktu luangmu, bilang saja. Bahwa kami mendapat seorang tamu ketika kebaktian kemarin, seorang narapidana yang sedang dalam proses pembebasan. Dia sekarang tinggal di sebuah rumah singgah daerah Chiba, dan pikirannya benar-benar sedang rumit. Dia sempat ke sini tadi pagi, baru saja pulang sebetulnya, dan berdasarkan pengakuan dia tadi, kalau sekarang dia tengah mengidap penyakit yang cukup parah. Dia pernah diperiksa di Rumah Sakit Kant

    Last Updated : 2022-04-03
  • PRESUMPTION OF INNOCENT   Dua

    “Yuji Jaeger.” Dia secara otomatis mengeja nama belakangnya untuk Yuji. “Lahir tanggal 5 Juli 1960 di Kota Shibuya, Tokyo. Umurku empat puluh tujuh tahun. Aku bujangan, sudah pernah menikah, kemudian bercerai. Aku tidak mempunyai anak. Tidak punya alamat tempat tinggal. Tidak mempunyai pekerjaan. Dan tidak bermasa depan.”Yuji menyaring seluruh informasi itu dan sementara bolpoin yang dipegangnya dengan lincah mencari ruang-ruang kosong yang wajib diisi. Semua jawaban yang diucapkan oleh Ajin menyebabkan jauh lebih baik kuriositas daripada yang bisa ditampung formulir kecil yang ada di hadapannya. “Sudah, sebentar…” Yuji menahan. “Kali ini tentang alamat,” Yuji masih sambil menulis. “Di mana tempat tinggalmu sekarang?”“Aku tidak punya tempat tinggal. Aku hanya orang tidak berguna yang terpaksa ditampung Lembaga Permasyarakatan Kanto. Aku ditampung di rumah singgah. Di jalan nomor dua belas, beber

    Last Updated : 2022-04-05
  • PRESUMPTION OF INNOCENT   Tiga

    “Setengah hidupku,” jawab Ajin dengan tegas. Seolah-olah dia telah melatih untuk mengucapkan kalimat itu sepuluh kali sehari.Yuji menulis sesuatu, sedetik kemudian papan ketik komputer itu lantas menarik perhatiannya. Kemudian secara sigap dia mengetik membabi-buta seperti seorang karyawan yang sedang menghadapi tenggat waktu yang mepet. Email-nya kepada Aoki terurai; “Ada seorang narapidana di sini yang sedang mencari dan ingin segera menemuimu. Dia tidak mau pergi dari sini sebelum nampak batang hidungmu. Tapi dia terlihat cukup ramah. Aku buatkan dia teh sembari dia menunggumu. Aku tidak mau terlalu banyak berbicara dengannya, cepat selesaikan konsultasimu.”Lima belas menit kemudian, pintu ruangan Pendeta terbuka lebar dan seorang perempuan keluar dengan hentak langkah kaki yang keras sambil mengusap mata. Di belakang perempuan itu, menyusul mantan tunangannya yang mampu membuat kerutan di dahi sekaligus senyum tipis di bibir pada

    Last Updated : 2022-04-05
  • PRESUMPTION OF INNOCENT   Empat

    Setelah suara Ajin itu berhenti, kemudian ruangan disulap menjadi senyap. “Apa lagi yang membuatmu menahan ucapanmu, Ajin?”“Aku menderita toksoplasmosis. Penyakit ganas yang menyerang otakku, sangat mematikan, tidak bisa diobati.”Aoki tercenung.“Apabila aku punya banyak uang, aku mungkin bisa melawannya. Dengan perawatan rutin, kemoterapi, yang masih bisa memperpanjang umurku mungkin sampai beberapa bulan ke depan, bahkan memungkinkan untuk setahun. Tapi ini sudah akut. Aku sudah lama membiarkan penyakit ini mengganggku waktuku, tanpa penanganan sewajarnya. Aku tidak pernah merasakan diomeli dokter hanya karena tidak rutin minum obat, atau yang lain. Aku pasti mati beberapa bulan lagi.” Ajin mengerutkan dahinya dan badannya agak sedikit condong, lalu mengurut pelipisnya. Napasnya tersengal, terlihat berat. Seluruh tarikan-tarikan tubuhnya terlihat kesakitan.“Aku turut berduka tentang penyakitmu.” Aoki me

    Last Updated : 2022-04-05
  • PRESUMPTION OF INNOCENT   Lima

    Lengang sejenak di antara mereka. Sementara hanya deru napas mewakili pembicaraan keduanya. Sedetik memahami keheningan itu, mata Ajin berotasi mengelililingi ruangan dan kemudian berhenti tepat di mata Aoki. Keduanya saling melihat untuk waktu yang tidak sebentar, tidak seorang pun di antara keduanya yang mau mengerjap. “Aku sudah melakukan kesalahan yang besar, Pendeta. Aku melukai beberapa orang yang tidak pernah bersalah atas kehidupanku. Aku sangat tidak yakin akan membawa semua bayangan dan rekam jejak kesalahan itu sampai ke pemakamanku.”Tepat sekarang pembicaraan antara aku dengannya menuju inti persoalan, kegundahan yang membuatnya datang kemari, batin Aoki. Beban kesalahan, dosa, yang diumpat dalam dirinya. Perasaan malu akibat perbuatan buruk yang sudah terpendam terlalu lama. Ajaibnya, Ajin mampu menyadari itu di sisa-sisa umurnya.&ldquo

    Last Updated : 2022-04-05

Latest chapter

  • PRESUMPTION OF INNOCENT   Sepuluh

    Miya tidak pernah mempunyai sejarah masalah didasarkan emosi, prasangka yang dibuat-buat, masalah rutinitas makan, perilaku pencitraan, gangguan jiwa, atau penggunaan dan penyelundupan narkoba. Dia secara tiba-tiba menghilang. Tak ada saksi mata. Tidak ada apa pun, penjelasan, kalimat implisit yang mengindikasikan selamat tinggal atau sekadar nada ngambek melalui telepon. Untaian doa tidak pernah putus digaungkan di gereja-gereja, sekolah-sekolah, media sosial, dan lain-lain. Nomor inklusif dibuat hanya untuk menerima telepon yang ada kaitannya dengan kasusnya, tapi dugaan dan indikasi bukti tak semuanya terbukti benar. Sekaligus dibuatlah sebuah situs web yang dirancang khusus untuk memonitor pencarian atau menyaring desas-desus gosip. Para ahli, pejabat, baik yang tulen maupun yang fake, berduyun-duyun ke kota hanya untuk memberikan wejangan. Juga seorang paranormal datang tanpa diundang, langsung pergi ketika tak satu pun orang yang mau membayar jasanya. Sementara progres pencari

  • PRESUMPTION OF INNOCENT   Sembilan

    Biro Hukum Shin menjadi utopia bagi mereka yang mengalami kondisi injustice, meski resultannya relatif kecil sekali. Yang dianiaya, difitnah, dituduh, yang diperlakukan tidak adil, mereka pada akhirnya menghubungi Shin. Untuk menyaring kasus yang semakin hari semakin bertambah itu, Shin mempekerjakan mulai dari mahasiswa hukum yang hendak lulus kuliah, juga paralegal dalam jumlah lumayan. Dia memilih dalam posisi itu setiap hari, mengais tangkapan-tangkapan dari yang sepele sampai yang krusial dan melemparkan sisanya. Biro hukumnya berkembang pesat. Pasang-surut, berkembang lagi dan kemudian pecah akibat sebuah krisis. Para pengacara termasuk yang masih berstatus sebagai mahasiswa datang dan pergi. Dia menggugat mereka, dan sebaliknya. Terjadi adu lempar gugatan. Barangkali bagi mahasiswa, mereka beralasan tidak terikat kontrak di luar magang. Uangnya habis, namun kemudian Shin memenangkan kasus besar yang lain. Titik terbawah dalam kariernya yaitu ketika dia memergoki pegawai akunt

  • PRESUMPTION OF INNOCENT   Delapan

    “Laki-laki itu menderita, Yuji. Serta bukan gara-gara toksoplasmosisnya semata. Dia juga tahu sesuatu tentang kasus pembunuhan gadis itu, juga mayatnya. Dia mengetahui banyak hal, sebagai seorang kriminal, aku heran dia merasa terusik dengan fakta bahwa seorang laki-laki tak bersalah akan dieksekusi.”Bagi seseorang yang menghabiskan banyak waktunya dengan mendengarkan cerita orang lain, mulai dari masalah-masalah sepele hingga masalah-masalah pelik, serta menwarkan sejumlah nasihat hingga bimbingan yang bisa mereka yakini, Aoki sudah mampu menjadi orang yang bijaksana dan jeli. Dan dia jarang sekali meleset. Sementara istrinya, Yuji, jauh lebih cepat menarik kesimpulan dan jauh lebih enteng mengkritik dan menjustifikasi dan kerap kali salah. “Lalu bagaimana langkahmu, Pendeta?” tanyanya.“Mari kita luangkan waktu sekitar satu jam ke depan untuk mencari tahu lebih detail tentang laki-laki itu serta kasus penculikan dan pembunuhan seorang g

  • PRESUMPTION OF INNOCENT   Tujuh

    Ajin menarik napas kuat-kuat dan membusungkan dadanya. Mengubah posisi duduknya agak lebih tegak. Dia hampir mengangguk, tapi terhalang cedutan yang tiba-tiba. Cedutan itu seperti muncul lebih cepat jika dirinya di bawah tekanan.“Atau jangan-jangan… Kau yang membunuh gadis itu, Ajin?” tanya Aoki, dia terperangah mendengar pertanyaannya sendiri. Baru sepuuh menit yang lalu, Aoki kembali mengingat-ingat dalam hati nama semua jemaat gerejanya yang harus dikunjungi di rumah sakit. Hingga memikirkan sebuah cara alternatif untuk mengusir Ajin dengan halus dari kantornya. Namun sekarang, pikirannya justru berkecamuk di seputar kasus pembunuhan dan mayat misterius seorang gadis.“Aku bingung apa yang harus kulakukan,” sahut Ajin ketika sejurus kemudian ada serangan rasa sakit di kepalanya. Dia menggeliat dan menekuk tubuhnya seperti menahan gejolak isi perutnya seolah-olah hendak muntah dan mulai menekan-nekan sisi kepalanya dengan bantuan kedua

  • PRESUMPTION OF INNOCENT   Enam

    Setelah empat puluh lima menit pembicaraan yang tersendat-sendat dan progres yang begitu lambat, Aoki mulai jenuh dengan pertemuan ini. Ajin tidak memperlihatkan gerak-gerik obsesinya pada Tuhan, dan karena persoalan Tuhan adalah kajian keahlian Aoki, hal itu kelihatannya tidak cukup signifikan yang bisa dia lakukan. Aoki bukan ahli bedah otak. Atau seseorang dengan sekantung lowongan pekerjaan dengan gaji yang menjanjikan.Sebuah dering notifikasi pesan muncul di layar komputernya. Dua deringan mungkin artinya ada seseorang yang akan konsultasi. Sementara kalau tiga kali, pertanda pesan berasal dari meja resepsionis. Aoki bersikap seolah tidak mempedulikannya. Harapnya, dia bisa segera pulang dan merebahkan punggungnya di ranjang mewahnya.“Buat apa kau perlu tongkat itu?” nada suaranya terdengar ramah.Ajin meringkuk. Matanya kembali memancarkan ingatan masa kelamnya. “Penjara yakni tempat yang brutal.”“Aku kerap kal

  • PRESUMPTION OF INNOCENT   Lima

    Lengang sejenak di antara mereka. Sementara hanya deru napas mewakili pembicaraan keduanya. Sedetik memahami keheningan itu, mata Ajin berotasi mengelililingi ruangan dan kemudian berhenti tepat di mata Aoki. Keduanya saling melihat untuk waktu yang tidak sebentar, tidak seorang pun di antara keduanya yang mau mengerjap. “Aku sudah melakukan kesalahan yang besar, Pendeta. Aku melukai beberapa orang yang tidak pernah bersalah atas kehidupanku. Aku sangat tidak yakin akan membawa semua bayangan dan rekam jejak kesalahan itu sampai ke pemakamanku.”Tepat sekarang pembicaraan antara aku dengannya menuju inti persoalan, kegundahan yang membuatnya datang kemari, batin Aoki. Beban kesalahan, dosa, yang diumpat dalam dirinya. Perasaan malu akibat perbuatan buruk yang sudah terpendam terlalu lama. Ajaibnya, Ajin mampu menyadari itu di sisa-sisa umurnya.&ldquo

  • PRESUMPTION OF INNOCENT   Empat

    Setelah suara Ajin itu berhenti, kemudian ruangan disulap menjadi senyap. “Apa lagi yang membuatmu menahan ucapanmu, Ajin?”“Aku menderita toksoplasmosis. Penyakit ganas yang menyerang otakku, sangat mematikan, tidak bisa diobati.”Aoki tercenung.“Apabila aku punya banyak uang, aku mungkin bisa melawannya. Dengan perawatan rutin, kemoterapi, yang masih bisa memperpanjang umurku mungkin sampai beberapa bulan ke depan, bahkan memungkinkan untuk setahun. Tapi ini sudah akut. Aku sudah lama membiarkan penyakit ini mengganggku waktuku, tanpa penanganan sewajarnya. Aku tidak pernah merasakan diomeli dokter hanya karena tidak rutin minum obat, atau yang lain. Aku pasti mati beberapa bulan lagi.” Ajin mengerutkan dahinya dan badannya agak sedikit condong, lalu mengurut pelipisnya. Napasnya tersengal, terlihat berat. Seluruh tarikan-tarikan tubuhnya terlihat kesakitan.“Aku turut berduka tentang penyakitmu.” Aoki me

  • PRESUMPTION OF INNOCENT   Tiga

    “Setengah hidupku,” jawab Ajin dengan tegas. Seolah-olah dia telah melatih untuk mengucapkan kalimat itu sepuluh kali sehari.Yuji menulis sesuatu, sedetik kemudian papan ketik komputer itu lantas menarik perhatiannya. Kemudian secara sigap dia mengetik membabi-buta seperti seorang karyawan yang sedang menghadapi tenggat waktu yang mepet. Email-nya kepada Aoki terurai; “Ada seorang narapidana di sini yang sedang mencari dan ingin segera menemuimu. Dia tidak mau pergi dari sini sebelum nampak batang hidungmu. Tapi dia terlihat cukup ramah. Aku buatkan dia teh sembari dia menunggumu. Aku tidak mau terlalu banyak berbicara dengannya, cepat selesaikan konsultasimu.”Lima belas menit kemudian, pintu ruangan Pendeta terbuka lebar dan seorang perempuan keluar dengan hentak langkah kaki yang keras sambil mengusap mata. Di belakang perempuan itu, menyusul mantan tunangannya yang mampu membuat kerutan di dahi sekaligus senyum tipis di bibir pada

  • PRESUMPTION OF INNOCENT   Dua

    “Yuji Jaeger.” Dia secara otomatis mengeja nama belakangnya untuk Yuji. “Lahir tanggal 5 Juli 1960 di Kota Shibuya, Tokyo. Umurku empat puluh tujuh tahun. Aku bujangan, sudah pernah menikah, kemudian bercerai. Aku tidak mempunyai anak. Tidak punya alamat tempat tinggal. Tidak mempunyai pekerjaan. Dan tidak bermasa depan.”Yuji menyaring seluruh informasi itu dan sementara bolpoin yang dipegangnya dengan lincah mencari ruang-ruang kosong yang wajib diisi. Semua jawaban yang diucapkan oleh Ajin menyebabkan jauh lebih baik kuriositas daripada yang bisa ditampung formulir kecil yang ada di hadapannya. “Sudah, sebentar…” Yuji menahan. “Kali ini tentang alamat,” Yuji masih sambil menulis. “Di mana tempat tinggalmu sekarang?”“Aku tidak punya tempat tinggal. Aku hanya orang tidak berguna yang terpaksa ditampung Lembaga Permasyarakatan Kanto. Aku ditampung di rumah singgah. Di jalan nomor dua belas, beber

DMCA.com Protection Status