Sebuah suara dari seberang mengagetkan dirinya.
"Ivan, ini Dr. Shigeaki," ujar Kiki lewat interkom.
Ivan menimpali, "Terima kasih," dan dia berhenti sejenak untuk menenangkan pikiran. Lalu dia kembali mengangkat gagang teleponnya. Seperti budaya biasa, memulai percakapan dengan sedikit obrolan basa-basi, tapi sadar bahwa dokter itu adalah orang yang sibuk, dia bergegas pada poin masalah. "Sejujurnya begini, Dr. Shigeaki, aku membutuhkan bantuanmu, tapi bila menurutmu ini terlalu rumit dan kemungkinan tidak menarik perhatianmu untuk sedikit meluangkan waktu luangmu, bilang saja. Bahwa kami mendapat seorang tamu ketika kebaktian kemarin, seorang narapidana yang sedang dalam proses pembebasan. Dia sekarang tinggal di sebuah rumah singgah daerah Chiba, dan pikirannya benar-benar sedang rumit. Dia sempat ke sini tadi pagi, baru saja pulang sebetulnya, dan berdasarkan pengakuan dia tadi, kalau sekarang dia tengah mengidap penyakit yang cukup parah. Dia pernah diperiksa di Rumah Sakit Kanto."
"Bantuan apa yang kau butuhkan, Ivan?" tanya Dr. Shigeaki.
"Kalau kau sedang tergesa-gesa, kita bisa sambung nanti."
"Tidak, Ivan. Teruskan saja."
"Baiklah. Nah, orang ini mengatakan dirinya telah didiagnosis mengidap toksoplasmosis. Katanya sih, parah, kemudian dia mengatakan segala hal dengan keputusasaan, seolah-olah dia tidak akan terselamatkan. Aku ingin tahu bahwa kau bisa memeriksa kebenaran hal ini. Di sini aku tidak sedang meminta informasi rahasia lho, kau mengerti, kan? Aku tahu dia bukan pasienmu, juga aku tidak berniat melanggar prosedur medis untuk hal ini. Bukan itu yang aku minta. Kau mengerti, kan?"
"Dari uraian panjangmu tadi, kau terlihat seperti meragukan sesuatu. Mengapa kau seperti meragukannya? Kenapa dia mengaku menderita toksoplasmosis kalau sebenarnya tidak?" Dr. Shiegaki bernada curiga.
"Dia penjahat kambuhan, Dokter. Sepanjang hidupnya banyak dihabiskan di dalam penjara, jadi kemungkinan dia tidak yakin di mana letak kebenaran. Dan aku tidak mengatakan bahwa aku meragukannya. Kejadian dua kali di kantorku dia mengerang karena sakit kepalanya kambuh, terlihat mengenaskan. Ironis dan iba sekali aku melihatnya. Aku hanya menegasikan apa yang sudah dikatakannya padaku. Hanya itu."
Sunyi-senyap. Hanya terdengar gesekan-gesekan antara jari tangan dan kulit kepala. Seolah-olah dokter itu sedang memburu kecemasannya barangkali ada yang menguping pembicaraan mereka. "Aku belum bisa mencari tahu lebih detail, Ivan. Apa kau tahu dokter yang menanganinya?"
"Aku tidak tahu."
"Kalau begitu, siapa nama orang itu?"
"Harry Kazuya."
"Baiklah. Beri aku waktu sekitar dua jam."
"Terima kasih, Dokter." Napas Ivan kali ini terlihat begitu lega.
Ivan mematikan telepon kemudian kembali ke Kanto. Dia kembali melanjutkan ringkasan fakta itu:
Bella mulai menghilang pada Jumat malam, tertanggal 4 Desember 2002. Sebelum kejadian itu, dia bersama teman-teman perempuannya berjalan-jalan di satu-satunya mal di Kanto pada suatu malam. Setelah filmnya selesai, mereka berempat—termasuk Bella—makan piza di restoran mal tersebut. Saat memasuki restoran, para gadis itu berbincang sebentar dengan dua anak laki-laki, salah satu di antaranya adalah Hiro Akada. Setelah makan piza, mereka meluncur ke rumah salah satu gadis itu dan menonton acara televisi sampai larut malam. Sebelum meninggalkan restoran, Bella sempat permisi sebentar ke toilet. Setelah itu, ketiga temannya yang lain tidak pernah melihatnya lagi.
Sebelum meninggalkan mal, dia sempat menelepon ibunya dan berjanji seperti biasa untuk tidak pulang sebelum tengah malam, di mana itu menjadi batas pulangnya seperti biasa. Lalu dia menghilang. Berselang satu jam, teman-temannya menjadi prihatin dan mulai menghubunginya setelah sempat wara-wiri ke toilet dan menjelajahi sudut mal termasuk ke restoran piza yang sempat mereka singgahi sebelumnya. Dua jam kemudian, BMW merahnya ditemukan di tempat dia meninggalkannya di lapangan parkir mal. Mobil itu terkunci. Tidak ada perlawanan sama sekali, tidak ada jejak yang mencurigakan, suasana senyap, bersih. Keluarga dan teman-temannya panik, kemudian pencarian pun dikerahkan.
Aparat penyelidik—Polisi—secara sigap mencurigai adanya konspirasi atau semacam permainan kotor dan mengorganisir pencarian besar-besaran untuk menemukan Bella. Ribuan relawan dan berhari-hari, berminggu-minggu sesudahnya, seluruh populasi kota dan kabupaten digeledah habis-habisan. Tidak ditemukan apa pun. Nihil. Kamera-kamera yang dipasang di setiap sudut mal terlalu jauh letaknya, gambarnya tidak jelas, dan tidak bisa membantu apa-apa. Tidak seorang pun yang memberi kesaksian telah melihat Bella meninggalkan mal dan berjalan menuju mobilnya. Hajime Stefa menawarkan imbalan besar untuk informasi, dan ketika jumlah itu ternyata tidak efektif, dia menaikkan tarifnya.
Petunjuk pertama tentang kasus tersebut muncul pada tanggal 16 Desember, dua belas hari usai Bella dinyatakan hilang. Dua kakak-beradik sedang memancing di sebuah gasung di Sungai Merah, yang dikenal sebagai Hateruma, ketika salah seorang dari mereka menginjak dan menemukan kantong plastik. Ternyata di dalamnya berisi kartu keanggotaan sasana olahraga Bella. Mereka menggali lumpur dan pasir dan menemukan kartu lain—kartu pelajar Bella yang dicetak oleh SMA Kanto. Salah seorang kakak-beradik itu mengenali namanya karena berita yang gencar beredar, dia lantas segera mendatangi kantor polisi di Kanto.
Hateruma berjarak sekitar enam puluh kilometer di sebelah utara perbatasan kota.
Para penyelidik dari kepolisian, yang dipimpin oleh Detektif Yuval Bonjamin membuat keputusan untuk merahasiakan penemuan kartu keanggotaan sasana olahraga dan kartu pelajar Bella. Menurut mereka, strategi yang lebih tepat adalah dengan menemukan mayat korban terlebih dahulu. Mereka melakukan pencarian yang melelahkan, namun sia-sia. Belum ada yang ditemukan. Pihak berwenang diminta tetap bersiaga.
Sementara penyelidikan berlangsung, Detektif Bonjamin menerima sebuah petunjuk baru yang tanpa melibatkan nama Furuya Satoru. Dia tidak membuang-buang waktu. Berselang dua hari, dia bersama rekan detektifnya, Yoshio Edogawa, menghampiri Furuya saat meninggalkan sebuah klub olahraga. Beberapa jam kemudian, tiga detektif lain menghampiri pemuda bernama Tatsuya Kimura, yang merupakan teman dekat Furuya. Tatsuya pergi ke kantor polisi dengan sejumlah pertanyaan dari pihak penyelidik. Dia tidak tahu-menahu tentang kasus hilangnya Bella Stefa, dan tidak merasa prihatin sedikit pun, meski sejujurnya dia merasa gugup ketika dipaksa datang ke kantor polisi.
***
Penjaga di Gereja Bethany baru saja membersihkan salju setebal kira-kira delapan senti dari trotoar ketika pemuda berkacamata itu muncul. Matahari sudah gagah, tapi angin menderu ribut: suhu udara terjebak di titik beku. Pemuda itu hanya mengenakan celana jeans tipis, kemeja musim panas, sepasang sepatu bot usang, dan sehelai jaket yang nyaris tak mampu menahan dinginnya udara: dengan tangan terlipat di depan dada dan napas yang menggebu. Tapi, dia tak terlihat terburu-buru. Langkah kakinya teratur. Penjaga gereja bingung karena sapaannya hanya berakhir pada suaranya—tak ada balasan. Dekat kapel dan berhenti di depan pintu samping bertandakan kata “Kantor” dalam cat hijau usang. Pemuda itu tidak mengetuk dan pintu itu tidak terkunci. Dia melangkah masuk persis ketika hembusan angin kencang lain menerpanya dari belakang.
Ruangan itu adalah ruangan resepsionis yang penuh barang dan berdebu, persis seperti bayangan kita tentang kondisi sebuah gereja tua. Di tengah-tengah ruangan terdepat meja tulis dengan sekeping papan nama yang mengumumkan kehadiran Maki Mustang yang duduk tak jauh di belakang namanya. Dia menyapa sambil tersenyum, “Selamat pagi.”
“Selamat pagi,” balas pemuda itu. Lengang sejenak. “Di luar dingin sekali.”
“Benar sekali,” sahut wanita itu, sambil menilai cepat tamunya. Masalah utamanya adalah dia tidak mempunyai mantel, dan kepala serta kedua tangannya tidak berpelindung.
“Kurasa kau adalah Maki Mustang,” katanya, sambil membaca tulisan di papan nama itu.
“Bukan, Maki Mustang tidak bisa datang hari ini karena pilek. Aku Yuji Satoyama, istri pendeta, menggantikan tempatnya. Ada yang bisa kami bantu?”
Ada satu kursi kosong dan pemuda itu memandang penuh harap ke sana. “Boleh aku duduk?”
“Boleh, silakan,” sahut Yuji. Laki-laki itu duduk dengan berhati-hati, seolah-olah dengan wajah yang kelihatan tua itu dia harus melakukan segala sesuatu dengan matang-matang.
“Apakah pendeta ada di sini?” tanya laki-laki itu sambil memandang ke pintu yang tercium hawa sunyinya di pojok kiri.
“Pendeta ada di sini, tapi dia sedang ada rapat yang tidak bisa diganggu. Apakah ada sesuatu yang kamu perlukan?” Yuji seorang yang bertubuh mungil, mempunyai dada yang indah dan sehelai sweeter yang terlihat pas dengan tubuhnya.
Laki-laki itu tidak bisa melihat apapun di bawah pinggul wanita itu sebab terhalang oleh meja tulis. Dari dulu, dia menyukai perempuan-perempuan bertubuh mungil. Wajah yang manis dan menawan, sepasang bola mata berwarna cokelat, tulang pipi tinggi, seorang perempuan yang cantik dan terlihat segar; dia istri pendeta yang sempurna. Sudah sangat lama dia tidak menjumpai sensasi itu kembali.
“Aku ingin segera bertemu pendeta, Satoyama. Bisa?” katanya sembari menangkupkan tangannya seperti orang yang hendak berdoa. “Aku datang ke gereja dan mendengar khotabhnya kemarin. Sepertinya aku butuh sedikit bimbingan.”
Yuji tersenyum dan memperlihatkan giginya; sungguh indah. “Jadwal dia padat sekali hari ini.”
Laki-laki itu merespon dengan wajah memelas. “Aku sangat membutuhkannya sekarang. Agak mendesak.”
Yuji telah menikah dengan Aoki Satoyama cukup lama dan mereka tidak mempunyai rekor untuk mengusir seorang jemaat dari kantor suaminya, entah yang sudah membuat perjanjian sebelumnya maupun yang tidak. Lagi pula, hari itu adalah hari senin yang beku dan Aoki juga tidak terlalu sibuk. Dering telepon begitu sering terdengar nyaring hari itu, salah satunya adalah konsultasi seorang pemuda dan pemudi yang tidak ingin menikah sedang berlangsung saat itu, kemudian kunjungan rutin ke beberapa rumah sakit.
Kemudian Yuji mencari-cari di sekitaran meja tulis, dan dia menemukan buku yang berisi beberapa daftar pertanyaan para kliennya. “Baiklah kalau begitu, aku perlu mencatat beberapa pertanyaan dasar lebih dulu dan setelah itu kita lihat apa yang bisa dilakukan.” Yuji sudah mantap dengan bolpoin di tangan kirinya.
Laki-laki itu bereaksi dengan membungkukkan badannya ke Yuji. “Terima kasih.”
“Siapa namamu?” tanya Yuji dengan intonasi datar yang terkesan lugas.
“Yuji Jaeger.” Dia secara otomatis mengeja nama belakangnya untuk Yuji. “Lahir tanggal 5 Juli 1960 di Kota Shibuya, Tokyo. Umurku empat puluh tujuh tahun. Aku bujangan, sudah pernah menikah, kemudian bercerai. Aku tidak mempunyai anak. Tidak punya alamat tempat tinggal. Tidak mempunyai pekerjaan. Dan tidak bermasa depan.”Yuji menyaring seluruh informasi itu dan sementara bolpoin yang dipegangnya dengan lincah mencari ruang-ruang kosong yang wajib diisi. Semua jawaban yang diucapkan oleh Ajin menyebabkan jauh lebih baik kuriositas daripada yang bisa ditampung formulir kecil yang ada di hadapannya. “Sudah, sebentar…” Yuji menahan. “Kali ini tentang alamat,” Yuji masih sambil menulis. “Di mana tempat tinggalmu sekarang?”“Aku tidak punya tempat tinggal. Aku hanya orang tidak berguna yang terpaksa ditampung Lembaga Permasyarakatan Kanto. Aku ditampung di rumah singgah. Di jalan nomor dua belas, beber
“Setengah hidupku,” jawab Ajin dengan tegas. Seolah-olah dia telah melatih untuk mengucapkan kalimat itu sepuluh kali sehari.Yuji menulis sesuatu, sedetik kemudian papan ketik komputer itu lantas menarik perhatiannya. Kemudian secara sigap dia mengetik membabi-buta seperti seorang karyawan yang sedang menghadapi tenggat waktu yang mepet. Email-nya kepada Aoki terurai; “Ada seorang narapidana di sini yang sedang mencari dan ingin segera menemuimu. Dia tidak mau pergi dari sini sebelum nampak batang hidungmu. Tapi dia terlihat cukup ramah. Aku buatkan dia teh sembari dia menunggumu. Aku tidak mau terlalu banyak berbicara dengannya, cepat selesaikan konsultasimu.”Lima belas menit kemudian, pintu ruangan Pendeta terbuka lebar dan seorang perempuan keluar dengan hentak langkah kaki yang keras sambil mengusap mata. Di belakang perempuan itu, menyusul mantan tunangannya yang mampu membuat kerutan di dahi sekaligus senyum tipis di bibir pada
Setelah suara Ajin itu berhenti, kemudian ruangan disulap menjadi senyap. “Apa lagi yang membuatmu menahan ucapanmu, Ajin?”“Aku menderita toksoplasmosis. Penyakit ganas yang menyerang otakku, sangat mematikan, tidak bisa diobati.”Aoki tercenung.“Apabila aku punya banyak uang, aku mungkin bisa melawannya. Dengan perawatan rutin, kemoterapi, yang masih bisa memperpanjang umurku mungkin sampai beberapa bulan ke depan, bahkan memungkinkan untuk setahun. Tapi ini sudah akut. Aku sudah lama membiarkan penyakit ini mengganggku waktuku, tanpa penanganan sewajarnya. Aku tidak pernah merasakan diomeli dokter hanya karena tidak rutin minum obat, atau yang lain. Aku pasti mati beberapa bulan lagi.” Ajin mengerutkan dahinya dan badannya agak sedikit condong, lalu mengurut pelipisnya. Napasnya tersengal, terlihat berat. Seluruh tarikan-tarikan tubuhnya terlihat kesakitan.“Aku turut berduka tentang penyakitmu.” Aoki me
Lengang sejenak di antara mereka. Sementara hanya deru napas mewakili pembicaraan keduanya. Sedetik memahami keheningan itu, mata Ajin berotasi mengelililingi ruangan dan kemudian berhenti tepat di mata Aoki. Keduanya saling melihat untuk waktu yang tidak sebentar, tidak seorang pun di antara keduanya yang mau mengerjap. “Aku sudah melakukan kesalahan yang besar, Pendeta. Aku melukai beberapa orang yang tidak pernah bersalah atas kehidupanku. Aku sangat tidak yakin akan membawa semua bayangan dan rekam jejak kesalahan itu sampai ke pemakamanku.”Tepat sekarang pembicaraan antara aku dengannya menuju inti persoalan, kegundahan yang membuatnya datang kemari, batin Aoki. Beban kesalahan, dosa, yang diumpat dalam dirinya. Perasaan malu akibat perbuatan buruk yang sudah terpendam terlalu lama. Ajaibnya, Ajin mampu menyadari itu di sisa-sisa umurnya.&ldquo
Setelah empat puluh lima menit pembicaraan yang tersendat-sendat dan progres yang begitu lambat, Aoki mulai jenuh dengan pertemuan ini. Ajin tidak memperlihatkan gerak-gerik obsesinya pada Tuhan, dan karena persoalan Tuhan adalah kajian keahlian Aoki, hal itu kelihatannya tidak cukup signifikan yang bisa dia lakukan. Aoki bukan ahli bedah otak. Atau seseorang dengan sekantung lowongan pekerjaan dengan gaji yang menjanjikan.Sebuah dering notifikasi pesan muncul di layar komputernya. Dua deringan mungkin artinya ada seseorang yang akan konsultasi. Sementara kalau tiga kali, pertanda pesan berasal dari meja resepsionis. Aoki bersikap seolah tidak mempedulikannya. Harapnya, dia bisa segera pulang dan merebahkan punggungnya di ranjang mewahnya.“Buat apa kau perlu tongkat itu?” nada suaranya terdengar ramah.Ajin meringkuk. Matanya kembali memancarkan ingatan masa kelamnya. “Penjara yakni tempat yang brutal.”“Aku kerap kal
Ajin menarik napas kuat-kuat dan membusungkan dadanya. Mengubah posisi duduknya agak lebih tegak. Dia hampir mengangguk, tapi terhalang cedutan yang tiba-tiba. Cedutan itu seperti muncul lebih cepat jika dirinya di bawah tekanan.“Atau jangan-jangan… Kau yang membunuh gadis itu, Ajin?” tanya Aoki, dia terperangah mendengar pertanyaannya sendiri. Baru sepuuh menit yang lalu, Aoki kembali mengingat-ingat dalam hati nama semua jemaat gerejanya yang harus dikunjungi di rumah sakit. Hingga memikirkan sebuah cara alternatif untuk mengusir Ajin dengan halus dari kantornya. Namun sekarang, pikirannya justru berkecamuk di seputar kasus pembunuhan dan mayat misterius seorang gadis.“Aku bingung apa yang harus kulakukan,” sahut Ajin ketika sejurus kemudian ada serangan rasa sakit di kepalanya. Dia menggeliat dan menekuk tubuhnya seperti menahan gejolak isi perutnya seolah-olah hendak muntah dan mulai menekan-nekan sisi kepalanya dengan bantuan kedua
“Laki-laki itu menderita, Yuji. Serta bukan gara-gara toksoplasmosisnya semata. Dia juga tahu sesuatu tentang kasus pembunuhan gadis itu, juga mayatnya. Dia mengetahui banyak hal, sebagai seorang kriminal, aku heran dia merasa terusik dengan fakta bahwa seorang laki-laki tak bersalah akan dieksekusi.”Bagi seseorang yang menghabiskan banyak waktunya dengan mendengarkan cerita orang lain, mulai dari masalah-masalah sepele hingga masalah-masalah pelik, serta menwarkan sejumlah nasihat hingga bimbingan yang bisa mereka yakini, Aoki sudah mampu menjadi orang yang bijaksana dan jeli. Dan dia jarang sekali meleset. Sementara istrinya, Yuji, jauh lebih cepat menarik kesimpulan dan jauh lebih enteng mengkritik dan menjustifikasi dan kerap kali salah. “Lalu bagaimana langkahmu, Pendeta?” tanyanya.“Mari kita luangkan waktu sekitar satu jam ke depan untuk mencari tahu lebih detail tentang laki-laki itu serta kasus penculikan dan pembunuhan seorang g
Biro Hukum Shin menjadi utopia bagi mereka yang mengalami kondisi injustice, meski resultannya relatif kecil sekali. Yang dianiaya, difitnah, dituduh, yang diperlakukan tidak adil, mereka pada akhirnya menghubungi Shin. Untuk menyaring kasus yang semakin hari semakin bertambah itu, Shin mempekerjakan mulai dari mahasiswa hukum yang hendak lulus kuliah, juga paralegal dalam jumlah lumayan. Dia memilih dalam posisi itu setiap hari, mengais tangkapan-tangkapan dari yang sepele sampai yang krusial dan melemparkan sisanya. Biro hukumnya berkembang pesat. Pasang-surut, berkembang lagi dan kemudian pecah akibat sebuah krisis. Para pengacara termasuk yang masih berstatus sebagai mahasiswa datang dan pergi. Dia menggugat mereka, dan sebaliknya. Terjadi adu lempar gugatan. Barangkali bagi mahasiswa, mereka beralasan tidak terikat kontrak di luar magang. Uangnya habis, namun kemudian Shin memenangkan kasus besar yang lain. Titik terbawah dalam kariernya yaitu ketika dia memergoki pegawai akunt
Miya tidak pernah mempunyai sejarah masalah didasarkan emosi, prasangka yang dibuat-buat, masalah rutinitas makan, perilaku pencitraan, gangguan jiwa, atau penggunaan dan penyelundupan narkoba. Dia secara tiba-tiba menghilang. Tak ada saksi mata. Tidak ada apa pun, penjelasan, kalimat implisit yang mengindikasikan selamat tinggal atau sekadar nada ngambek melalui telepon. Untaian doa tidak pernah putus digaungkan di gereja-gereja, sekolah-sekolah, media sosial, dan lain-lain. Nomor inklusif dibuat hanya untuk menerima telepon yang ada kaitannya dengan kasusnya, tapi dugaan dan indikasi bukti tak semuanya terbukti benar. Sekaligus dibuatlah sebuah situs web yang dirancang khusus untuk memonitor pencarian atau menyaring desas-desus gosip. Para ahli, pejabat, baik yang tulen maupun yang fake, berduyun-duyun ke kota hanya untuk memberikan wejangan. Juga seorang paranormal datang tanpa diundang, langsung pergi ketika tak satu pun orang yang mau membayar jasanya. Sementara progres pencari
Biro Hukum Shin menjadi utopia bagi mereka yang mengalami kondisi injustice, meski resultannya relatif kecil sekali. Yang dianiaya, difitnah, dituduh, yang diperlakukan tidak adil, mereka pada akhirnya menghubungi Shin. Untuk menyaring kasus yang semakin hari semakin bertambah itu, Shin mempekerjakan mulai dari mahasiswa hukum yang hendak lulus kuliah, juga paralegal dalam jumlah lumayan. Dia memilih dalam posisi itu setiap hari, mengais tangkapan-tangkapan dari yang sepele sampai yang krusial dan melemparkan sisanya. Biro hukumnya berkembang pesat. Pasang-surut, berkembang lagi dan kemudian pecah akibat sebuah krisis. Para pengacara termasuk yang masih berstatus sebagai mahasiswa datang dan pergi. Dia menggugat mereka, dan sebaliknya. Terjadi adu lempar gugatan. Barangkali bagi mahasiswa, mereka beralasan tidak terikat kontrak di luar magang. Uangnya habis, namun kemudian Shin memenangkan kasus besar yang lain. Titik terbawah dalam kariernya yaitu ketika dia memergoki pegawai akunt
“Laki-laki itu menderita, Yuji. Serta bukan gara-gara toksoplasmosisnya semata. Dia juga tahu sesuatu tentang kasus pembunuhan gadis itu, juga mayatnya. Dia mengetahui banyak hal, sebagai seorang kriminal, aku heran dia merasa terusik dengan fakta bahwa seorang laki-laki tak bersalah akan dieksekusi.”Bagi seseorang yang menghabiskan banyak waktunya dengan mendengarkan cerita orang lain, mulai dari masalah-masalah sepele hingga masalah-masalah pelik, serta menwarkan sejumlah nasihat hingga bimbingan yang bisa mereka yakini, Aoki sudah mampu menjadi orang yang bijaksana dan jeli. Dan dia jarang sekali meleset. Sementara istrinya, Yuji, jauh lebih cepat menarik kesimpulan dan jauh lebih enteng mengkritik dan menjustifikasi dan kerap kali salah. “Lalu bagaimana langkahmu, Pendeta?” tanyanya.“Mari kita luangkan waktu sekitar satu jam ke depan untuk mencari tahu lebih detail tentang laki-laki itu serta kasus penculikan dan pembunuhan seorang g
Ajin menarik napas kuat-kuat dan membusungkan dadanya. Mengubah posisi duduknya agak lebih tegak. Dia hampir mengangguk, tapi terhalang cedutan yang tiba-tiba. Cedutan itu seperti muncul lebih cepat jika dirinya di bawah tekanan.“Atau jangan-jangan… Kau yang membunuh gadis itu, Ajin?” tanya Aoki, dia terperangah mendengar pertanyaannya sendiri. Baru sepuuh menit yang lalu, Aoki kembali mengingat-ingat dalam hati nama semua jemaat gerejanya yang harus dikunjungi di rumah sakit. Hingga memikirkan sebuah cara alternatif untuk mengusir Ajin dengan halus dari kantornya. Namun sekarang, pikirannya justru berkecamuk di seputar kasus pembunuhan dan mayat misterius seorang gadis.“Aku bingung apa yang harus kulakukan,” sahut Ajin ketika sejurus kemudian ada serangan rasa sakit di kepalanya. Dia menggeliat dan menekuk tubuhnya seperti menahan gejolak isi perutnya seolah-olah hendak muntah dan mulai menekan-nekan sisi kepalanya dengan bantuan kedua
Setelah empat puluh lima menit pembicaraan yang tersendat-sendat dan progres yang begitu lambat, Aoki mulai jenuh dengan pertemuan ini. Ajin tidak memperlihatkan gerak-gerik obsesinya pada Tuhan, dan karena persoalan Tuhan adalah kajian keahlian Aoki, hal itu kelihatannya tidak cukup signifikan yang bisa dia lakukan. Aoki bukan ahli bedah otak. Atau seseorang dengan sekantung lowongan pekerjaan dengan gaji yang menjanjikan.Sebuah dering notifikasi pesan muncul di layar komputernya. Dua deringan mungkin artinya ada seseorang yang akan konsultasi. Sementara kalau tiga kali, pertanda pesan berasal dari meja resepsionis. Aoki bersikap seolah tidak mempedulikannya. Harapnya, dia bisa segera pulang dan merebahkan punggungnya di ranjang mewahnya.“Buat apa kau perlu tongkat itu?” nada suaranya terdengar ramah.Ajin meringkuk. Matanya kembali memancarkan ingatan masa kelamnya. “Penjara yakni tempat yang brutal.”“Aku kerap kal
Lengang sejenak di antara mereka. Sementara hanya deru napas mewakili pembicaraan keduanya. Sedetik memahami keheningan itu, mata Ajin berotasi mengelililingi ruangan dan kemudian berhenti tepat di mata Aoki. Keduanya saling melihat untuk waktu yang tidak sebentar, tidak seorang pun di antara keduanya yang mau mengerjap. “Aku sudah melakukan kesalahan yang besar, Pendeta. Aku melukai beberapa orang yang tidak pernah bersalah atas kehidupanku. Aku sangat tidak yakin akan membawa semua bayangan dan rekam jejak kesalahan itu sampai ke pemakamanku.”Tepat sekarang pembicaraan antara aku dengannya menuju inti persoalan, kegundahan yang membuatnya datang kemari, batin Aoki. Beban kesalahan, dosa, yang diumpat dalam dirinya. Perasaan malu akibat perbuatan buruk yang sudah terpendam terlalu lama. Ajaibnya, Ajin mampu menyadari itu di sisa-sisa umurnya.&ldquo
Setelah suara Ajin itu berhenti, kemudian ruangan disulap menjadi senyap. “Apa lagi yang membuatmu menahan ucapanmu, Ajin?”“Aku menderita toksoplasmosis. Penyakit ganas yang menyerang otakku, sangat mematikan, tidak bisa diobati.”Aoki tercenung.“Apabila aku punya banyak uang, aku mungkin bisa melawannya. Dengan perawatan rutin, kemoterapi, yang masih bisa memperpanjang umurku mungkin sampai beberapa bulan ke depan, bahkan memungkinkan untuk setahun. Tapi ini sudah akut. Aku sudah lama membiarkan penyakit ini mengganggku waktuku, tanpa penanganan sewajarnya. Aku tidak pernah merasakan diomeli dokter hanya karena tidak rutin minum obat, atau yang lain. Aku pasti mati beberapa bulan lagi.” Ajin mengerutkan dahinya dan badannya agak sedikit condong, lalu mengurut pelipisnya. Napasnya tersengal, terlihat berat. Seluruh tarikan-tarikan tubuhnya terlihat kesakitan.“Aku turut berduka tentang penyakitmu.” Aoki me
“Setengah hidupku,” jawab Ajin dengan tegas. Seolah-olah dia telah melatih untuk mengucapkan kalimat itu sepuluh kali sehari.Yuji menulis sesuatu, sedetik kemudian papan ketik komputer itu lantas menarik perhatiannya. Kemudian secara sigap dia mengetik membabi-buta seperti seorang karyawan yang sedang menghadapi tenggat waktu yang mepet. Email-nya kepada Aoki terurai; “Ada seorang narapidana di sini yang sedang mencari dan ingin segera menemuimu. Dia tidak mau pergi dari sini sebelum nampak batang hidungmu. Tapi dia terlihat cukup ramah. Aku buatkan dia teh sembari dia menunggumu. Aku tidak mau terlalu banyak berbicara dengannya, cepat selesaikan konsultasimu.”Lima belas menit kemudian, pintu ruangan Pendeta terbuka lebar dan seorang perempuan keluar dengan hentak langkah kaki yang keras sambil mengusap mata. Di belakang perempuan itu, menyusul mantan tunangannya yang mampu membuat kerutan di dahi sekaligus senyum tipis di bibir pada
“Yuji Jaeger.” Dia secara otomatis mengeja nama belakangnya untuk Yuji. “Lahir tanggal 5 Juli 1960 di Kota Shibuya, Tokyo. Umurku empat puluh tujuh tahun. Aku bujangan, sudah pernah menikah, kemudian bercerai. Aku tidak mempunyai anak. Tidak punya alamat tempat tinggal. Tidak mempunyai pekerjaan. Dan tidak bermasa depan.”Yuji menyaring seluruh informasi itu dan sementara bolpoin yang dipegangnya dengan lincah mencari ruang-ruang kosong yang wajib diisi. Semua jawaban yang diucapkan oleh Ajin menyebabkan jauh lebih baik kuriositas daripada yang bisa ditampung formulir kecil yang ada di hadapannya. “Sudah, sebentar…” Yuji menahan. “Kali ini tentang alamat,” Yuji masih sambil menulis. “Di mana tempat tinggalmu sekarang?”“Aku tidak punya tempat tinggal. Aku hanya orang tidak berguna yang terpaksa ditampung Lembaga Permasyarakatan Kanto. Aku ditampung di rumah singgah. Di jalan nomor dua belas, beber