Setelah suara Ajin itu berhenti, kemudian ruangan disulap menjadi senyap. “Apa lagi yang membuatmu menahan ucapanmu, Ajin?”
“Aku menderita toksoplasmosis. Penyakit ganas yang menyerang otakku, sangat mematikan, tidak bisa diobati.”
Aoki tercenung.
“Apabila aku punya banyak uang, aku mungkin bisa melawannya. Dengan perawatan rutin, kemoterapi, yang masih bisa memperpanjang umurku mungkin sampai beberapa bulan ke depan, bahkan memungkinkan untuk setahun. Tapi ini sudah akut. Aku sudah lama membiarkan penyakit ini mengganggku waktuku, tanpa penanganan sewajarnya. Aku tidak pernah merasakan diomeli dokter hanya karena tidak rutin minum obat, atau yang lain. Aku pasti mati beberapa bulan lagi.” Ajin mengerutkan dahinya dan badannya agak sedikit condong, lalu mengurut pelipisnya. Napasnya tersengal, terlihat berat. Seluruh tarikan-tarikan tubuhnya terlihat kesakitan.
“Aku turut berduka tentang penyakitmu.” Aoki menyadari bahwa mengatakan demikian sesungguhnya tidak memberikan kepuasan sama sekali buat Ajin.
“Persetan sama kepala ini!” Ajin memekik. Kedua tangannya masih mencengkeram hebat kepalanya, kedua matanya masih terus terpejam rapat. Dia tengah berusaha melawan rasa nyeri yang menyerang kepalanya secara tiba-tiba itu. Meskipun gejala demikian sudah biasa terjadi, namun rasa sakitnya tidak bisa ditawar sama sekali; tetap terasa sakit. Ajin belum mampu melanjutkan pembicaraan lagi. Seolah-olah menjelaskan bahwa jika dia bergerak sedikit saja, kepalanya akan semakin pening. Aoki mengamatinya dengan tidak berdaya sambil menggigit bibir bagian bawahnya. Berselang beberapa menit, rasa nyeri itu mereda, dan Ajin menarik napas panjang dan bersandar. Dia tampak terkulai lemas. “
“Maaf,” ucap Ajin. “Kapan pertama kali kamu dinyatakan mengidap toksoplasmosis?”
“Aku tidak tahu tepatnya. Mungkin sudah sekitar dua bulan yang lalu. Kepalaku mulai sering pusing, kulitku mulai terlihat memar-memar, pendengaranku agak terganggu sejak di Chiba. Mungkin daripada kau yang hidup tenang di bawah bangunan ini, yang memutuskan iya atau tidak untuk melibatkan diri dengan masalah klienmu, kau tidak bisa membayangkan kalau dulu aku kesakitan tanpa ada bantuan perawatan sama sekali. Setelah aku dibebaskan dan di bawa ke sini, mereka baru membawaku ke Rumah Sakit Kanto. Aku menjalani serangkaian tes, aku mendapat pemeriksaan. Dan aku menceritakan gejala-gejala yang kerap aku alami. Kemudian setelah beberapa pemeriksaan, aku divonis mengidap penyakit itu.” Ajin menghirup napas kuat-kuat, dan setelah dadanya menolak terlalu banyak udara, dia mengembus, dia berhasil menyunggingkan senyuman pertamanya di hadapan Aoki.
“Mungkin aku merasa kalau kau pernah bertemu dengan orang-orang yang sama sepertiku.” Ajin tersendat. “Mereka yang tengah sekarat.”
“Terkadang. Tapi itu merupakan bagian dari pekerjaanku.”
“Dan kukira, orang-orang yang tengah dalam kondisi seperti itu mau tidak mau mengalami kecenderungan untuk menjadi lebih serius tentang masalah Tuhan, kehidupan setelah mati, dan sebagainya.”
“Betul. Seperti burung yang beterbangan di awan, ketika dia mampu merasakan bahwa angin-angin yang menyertainya merubah auranya sebab akan datangnya hujan, mereka akan dengan cepat kembali ke sarang. Tapi bagaimana denganmu sendiri, Ajin? Kau percaya Tuhan itu ada? Apakah kau juga percaya dengan adanya kehidupan setelah mati?”
“Relatif. Atau bisa dibilang situasional. Ada kalanya aku percaya, ada kalanya juga tidak. Bahkan ketika aku mencoba untuk berusaha percaya pada Tuhan, masih ada sedikit keraguan yang menegur kepercayaanku. Mungkin sangat mudah buatmu untuk percaya kepada Tuhan sebab kau memiliki kehidupan yang mudah dan bahagia. Lain cerita jika denganku.”
“Kau hendak menceritakan seluruh kehidupanmu padaku?”
Ajin menimbang. “Entahlah. Tidak juga.”
“Lantas kenapa kau ke sini?”
Lengang sejenak di antara mereka. Sementara hanya deru napas mewakili pembicaraan keduanya. Sedetik memahami keheningan itu, mata Ajin berotasi mengelililingi ruangan dan kemudian berhenti tepat di mata Aoki. Keduanya saling melihat untuk waktu yang tidak sebentar, tidak seorang pun di antara keduanya yang mau mengerjap. “Aku sudah melakukan kesalahan yang besar, Pendeta. Aku melukai beberapa orang yang tidak pernah bersalah atas kehidupanku. Aku sangat tidak yakin akan membawa semua bayangan dan rekam jejak kesalahan itu sampai ke pemakamanku.”Tepat sekarang pembicaraan antara aku dengannya menuju inti persoalan, kegundahan yang membuatnya datang kemari, batin Aoki. Beban kesalahan, dosa, yang diumpat dalam dirinya. Perasaan malu akibat perbuatan buruk yang sudah terpendam terlalu lama. Ajaibnya, Ajin mampu menyadari itu di sisa-sisa umurnya.&ldquo
Setelah empat puluh lima menit pembicaraan yang tersendat-sendat dan progres yang begitu lambat, Aoki mulai jenuh dengan pertemuan ini. Ajin tidak memperlihatkan gerak-gerik obsesinya pada Tuhan, dan karena persoalan Tuhan adalah kajian keahlian Aoki, hal itu kelihatannya tidak cukup signifikan yang bisa dia lakukan. Aoki bukan ahli bedah otak. Atau seseorang dengan sekantung lowongan pekerjaan dengan gaji yang menjanjikan.Sebuah dering notifikasi pesan muncul di layar komputernya. Dua deringan mungkin artinya ada seseorang yang akan konsultasi. Sementara kalau tiga kali, pertanda pesan berasal dari meja resepsionis. Aoki bersikap seolah tidak mempedulikannya. Harapnya, dia bisa segera pulang dan merebahkan punggungnya di ranjang mewahnya.“Buat apa kau perlu tongkat itu?” nada suaranya terdengar ramah.Ajin meringkuk. Matanya kembali memancarkan ingatan masa kelamnya. “Penjara yakni tempat yang brutal.”“Aku kerap kal
Ajin menarik napas kuat-kuat dan membusungkan dadanya. Mengubah posisi duduknya agak lebih tegak. Dia hampir mengangguk, tapi terhalang cedutan yang tiba-tiba. Cedutan itu seperti muncul lebih cepat jika dirinya di bawah tekanan.“Atau jangan-jangan… Kau yang membunuh gadis itu, Ajin?” tanya Aoki, dia terperangah mendengar pertanyaannya sendiri. Baru sepuuh menit yang lalu, Aoki kembali mengingat-ingat dalam hati nama semua jemaat gerejanya yang harus dikunjungi di rumah sakit. Hingga memikirkan sebuah cara alternatif untuk mengusir Ajin dengan halus dari kantornya. Namun sekarang, pikirannya justru berkecamuk di seputar kasus pembunuhan dan mayat misterius seorang gadis.“Aku bingung apa yang harus kulakukan,” sahut Ajin ketika sejurus kemudian ada serangan rasa sakit di kepalanya. Dia menggeliat dan menekuk tubuhnya seperti menahan gejolak isi perutnya seolah-olah hendak muntah dan mulai menekan-nekan sisi kepalanya dengan bantuan kedua
“Laki-laki itu menderita, Yuji. Serta bukan gara-gara toksoplasmosisnya semata. Dia juga tahu sesuatu tentang kasus pembunuhan gadis itu, juga mayatnya. Dia mengetahui banyak hal, sebagai seorang kriminal, aku heran dia merasa terusik dengan fakta bahwa seorang laki-laki tak bersalah akan dieksekusi.”Bagi seseorang yang menghabiskan banyak waktunya dengan mendengarkan cerita orang lain, mulai dari masalah-masalah sepele hingga masalah-masalah pelik, serta menwarkan sejumlah nasihat hingga bimbingan yang bisa mereka yakini, Aoki sudah mampu menjadi orang yang bijaksana dan jeli. Dan dia jarang sekali meleset. Sementara istrinya, Yuji, jauh lebih cepat menarik kesimpulan dan jauh lebih enteng mengkritik dan menjustifikasi dan kerap kali salah. “Lalu bagaimana langkahmu, Pendeta?” tanyanya.“Mari kita luangkan waktu sekitar satu jam ke depan untuk mencari tahu lebih detail tentang laki-laki itu serta kasus penculikan dan pembunuhan seorang g
Biro Hukum Shin menjadi utopia bagi mereka yang mengalami kondisi injustice, meski resultannya relatif kecil sekali. Yang dianiaya, difitnah, dituduh, yang diperlakukan tidak adil, mereka pada akhirnya menghubungi Shin. Untuk menyaring kasus yang semakin hari semakin bertambah itu, Shin mempekerjakan mulai dari mahasiswa hukum yang hendak lulus kuliah, juga paralegal dalam jumlah lumayan. Dia memilih dalam posisi itu setiap hari, mengais tangkapan-tangkapan dari yang sepele sampai yang krusial dan melemparkan sisanya. Biro hukumnya berkembang pesat. Pasang-surut, berkembang lagi dan kemudian pecah akibat sebuah krisis. Para pengacara termasuk yang masih berstatus sebagai mahasiswa datang dan pergi. Dia menggugat mereka, dan sebaliknya. Terjadi adu lempar gugatan. Barangkali bagi mahasiswa, mereka beralasan tidak terikat kontrak di luar magang. Uangnya habis, namun kemudian Shin memenangkan kasus besar yang lain. Titik terbawah dalam kariernya yaitu ketika dia memergoki pegawai akunt
Miya tidak pernah mempunyai sejarah masalah didasarkan emosi, prasangka yang dibuat-buat, masalah rutinitas makan, perilaku pencitraan, gangguan jiwa, atau penggunaan dan penyelundupan narkoba. Dia secara tiba-tiba menghilang. Tak ada saksi mata. Tidak ada apa pun, penjelasan, kalimat implisit yang mengindikasikan selamat tinggal atau sekadar nada ngambek melalui telepon. Untaian doa tidak pernah putus digaungkan di gereja-gereja, sekolah-sekolah, media sosial, dan lain-lain. Nomor inklusif dibuat hanya untuk menerima telepon yang ada kaitannya dengan kasusnya, tapi dugaan dan indikasi bukti tak semuanya terbukti benar. Sekaligus dibuatlah sebuah situs web yang dirancang khusus untuk memonitor pencarian atau menyaring desas-desus gosip. Para ahli, pejabat, baik yang tulen maupun yang fake, berduyun-duyun ke kota hanya untuk memberikan wejangan. Juga seorang paranormal datang tanpa diundang, langsung pergi ketika tak satu pun orang yang mau membayar jasanya. Sementara progres pencari
Sebuah suara dari seberang mengagetkan dirinya. "Ivan, ini Dr. Shigeaki," ujar Kiki lewat interkom. Ivan menimpali, "Terima kasih," dan dia berhenti sejenak untuk menenangkan pikiran. Lalu dia kembali mengangkat gagang teleponnya. Seperti budaya biasa, memulai percakapan dengan sedikit obrolan basa-basi, tapi sadar bahwa dokter itu adalah orang yang sibuk, dia bergegas pada poin masalah. "Sejujurnya begini, Dr. Shigeaki, aku membutuhkan bantuanmu, tapi bila menurutmu ini terlalu rumit dan kemungkinan tidak menarik perhatianmu untuk sedikit meluangkan waktu luangmu, bilang saja. Bahwa kami mendapat seorang tamu ketika kebaktian kemarin, seorang narapidana yang sedang dalam proses pembebasan. Dia sekarang tinggal di sebuah rumah singgah daerah Chiba, dan pikirannya benar-benar sedang rumit. Dia sempat ke sini tadi pagi, baru saja pulang sebetulnya, dan berdasarkan pengakuan dia tadi, kalau sekarang dia tengah mengidap penyakit yang cukup parah. Dia pernah diperiksa di Rumah Sakit Kant
“Yuji Jaeger.” Dia secara otomatis mengeja nama belakangnya untuk Yuji. “Lahir tanggal 5 Juli 1960 di Kota Shibuya, Tokyo. Umurku empat puluh tujuh tahun. Aku bujangan, sudah pernah menikah, kemudian bercerai. Aku tidak mempunyai anak. Tidak punya alamat tempat tinggal. Tidak mempunyai pekerjaan. Dan tidak bermasa depan.”Yuji menyaring seluruh informasi itu dan sementara bolpoin yang dipegangnya dengan lincah mencari ruang-ruang kosong yang wajib diisi. Semua jawaban yang diucapkan oleh Ajin menyebabkan jauh lebih baik kuriositas daripada yang bisa ditampung formulir kecil yang ada di hadapannya. “Sudah, sebentar…” Yuji menahan. “Kali ini tentang alamat,” Yuji masih sambil menulis. “Di mana tempat tinggalmu sekarang?”“Aku tidak punya tempat tinggal. Aku hanya orang tidak berguna yang terpaksa ditampung Lembaga Permasyarakatan Kanto. Aku ditampung di rumah singgah. Di jalan nomor dua belas, beber
Miya tidak pernah mempunyai sejarah masalah didasarkan emosi, prasangka yang dibuat-buat, masalah rutinitas makan, perilaku pencitraan, gangguan jiwa, atau penggunaan dan penyelundupan narkoba. Dia secara tiba-tiba menghilang. Tak ada saksi mata. Tidak ada apa pun, penjelasan, kalimat implisit yang mengindikasikan selamat tinggal atau sekadar nada ngambek melalui telepon. Untaian doa tidak pernah putus digaungkan di gereja-gereja, sekolah-sekolah, media sosial, dan lain-lain. Nomor inklusif dibuat hanya untuk menerima telepon yang ada kaitannya dengan kasusnya, tapi dugaan dan indikasi bukti tak semuanya terbukti benar. Sekaligus dibuatlah sebuah situs web yang dirancang khusus untuk memonitor pencarian atau menyaring desas-desus gosip. Para ahli, pejabat, baik yang tulen maupun yang fake, berduyun-duyun ke kota hanya untuk memberikan wejangan. Juga seorang paranormal datang tanpa diundang, langsung pergi ketika tak satu pun orang yang mau membayar jasanya. Sementara progres pencari
Biro Hukum Shin menjadi utopia bagi mereka yang mengalami kondisi injustice, meski resultannya relatif kecil sekali. Yang dianiaya, difitnah, dituduh, yang diperlakukan tidak adil, mereka pada akhirnya menghubungi Shin. Untuk menyaring kasus yang semakin hari semakin bertambah itu, Shin mempekerjakan mulai dari mahasiswa hukum yang hendak lulus kuliah, juga paralegal dalam jumlah lumayan. Dia memilih dalam posisi itu setiap hari, mengais tangkapan-tangkapan dari yang sepele sampai yang krusial dan melemparkan sisanya. Biro hukumnya berkembang pesat. Pasang-surut, berkembang lagi dan kemudian pecah akibat sebuah krisis. Para pengacara termasuk yang masih berstatus sebagai mahasiswa datang dan pergi. Dia menggugat mereka, dan sebaliknya. Terjadi adu lempar gugatan. Barangkali bagi mahasiswa, mereka beralasan tidak terikat kontrak di luar magang. Uangnya habis, namun kemudian Shin memenangkan kasus besar yang lain. Titik terbawah dalam kariernya yaitu ketika dia memergoki pegawai akunt
“Laki-laki itu menderita, Yuji. Serta bukan gara-gara toksoplasmosisnya semata. Dia juga tahu sesuatu tentang kasus pembunuhan gadis itu, juga mayatnya. Dia mengetahui banyak hal, sebagai seorang kriminal, aku heran dia merasa terusik dengan fakta bahwa seorang laki-laki tak bersalah akan dieksekusi.”Bagi seseorang yang menghabiskan banyak waktunya dengan mendengarkan cerita orang lain, mulai dari masalah-masalah sepele hingga masalah-masalah pelik, serta menwarkan sejumlah nasihat hingga bimbingan yang bisa mereka yakini, Aoki sudah mampu menjadi orang yang bijaksana dan jeli. Dan dia jarang sekali meleset. Sementara istrinya, Yuji, jauh lebih cepat menarik kesimpulan dan jauh lebih enteng mengkritik dan menjustifikasi dan kerap kali salah. “Lalu bagaimana langkahmu, Pendeta?” tanyanya.“Mari kita luangkan waktu sekitar satu jam ke depan untuk mencari tahu lebih detail tentang laki-laki itu serta kasus penculikan dan pembunuhan seorang g
Ajin menarik napas kuat-kuat dan membusungkan dadanya. Mengubah posisi duduknya agak lebih tegak. Dia hampir mengangguk, tapi terhalang cedutan yang tiba-tiba. Cedutan itu seperti muncul lebih cepat jika dirinya di bawah tekanan.“Atau jangan-jangan… Kau yang membunuh gadis itu, Ajin?” tanya Aoki, dia terperangah mendengar pertanyaannya sendiri. Baru sepuuh menit yang lalu, Aoki kembali mengingat-ingat dalam hati nama semua jemaat gerejanya yang harus dikunjungi di rumah sakit. Hingga memikirkan sebuah cara alternatif untuk mengusir Ajin dengan halus dari kantornya. Namun sekarang, pikirannya justru berkecamuk di seputar kasus pembunuhan dan mayat misterius seorang gadis.“Aku bingung apa yang harus kulakukan,” sahut Ajin ketika sejurus kemudian ada serangan rasa sakit di kepalanya. Dia menggeliat dan menekuk tubuhnya seperti menahan gejolak isi perutnya seolah-olah hendak muntah dan mulai menekan-nekan sisi kepalanya dengan bantuan kedua
Setelah empat puluh lima menit pembicaraan yang tersendat-sendat dan progres yang begitu lambat, Aoki mulai jenuh dengan pertemuan ini. Ajin tidak memperlihatkan gerak-gerik obsesinya pada Tuhan, dan karena persoalan Tuhan adalah kajian keahlian Aoki, hal itu kelihatannya tidak cukup signifikan yang bisa dia lakukan. Aoki bukan ahli bedah otak. Atau seseorang dengan sekantung lowongan pekerjaan dengan gaji yang menjanjikan.Sebuah dering notifikasi pesan muncul di layar komputernya. Dua deringan mungkin artinya ada seseorang yang akan konsultasi. Sementara kalau tiga kali, pertanda pesan berasal dari meja resepsionis. Aoki bersikap seolah tidak mempedulikannya. Harapnya, dia bisa segera pulang dan merebahkan punggungnya di ranjang mewahnya.“Buat apa kau perlu tongkat itu?” nada suaranya terdengar ramah.Ajin meringkuk. Matanya kembali memancarkan ingatan masa kelamnya. “Penjara yakni tempat yang brutal.”“Aku kerap kal
Lengang sejenak di antara mereka. Sementara hanya deru napas mewakili pembicaraan keduanya. Sedetik memahami keheningan itu, mata Ajin berotasi mengelililingi ruangan dan kemudian berhenti tepat di mata Aoki. Keduanya saling melihat untuk waktu yang tidak sebentar, tidak seorang pun di antara keduanya yang mau mengerjap. “Aku sudah melakukan kesalahan yang besar, Pendeta. Aku melukai beberapa orang yang tidak pernah bersalah atas kehidupanku. Aku sangat tidak yakin akan membawa semua bayangan dan rekam jejak kesalahan itu sampai ke pemakamanku.”Tepat sekarang pembicaraan antara aku dengannya menuju inti persoalan, kegundahan yang membuatnya datang kemari, batin Aoki. Beban kesalahan, dosa, yang diumpat dalam dirinya. Perasaan malu akibat perbuatan buruk yang sudah terpendam terlalu lama. Ajaibnya, Ajin mampu menyadari itu di sisa-sisa umurnya.&ldquo
Setelah suara Ajin itu berhenti, kemudian ruangan disulap menjadi senyap. “Apa lagi yang membuatmu menahan ucapanmu, Ajin?”“Aku menderita toksoplasmosis. Penyakit ganas yang menyerang otakku, sangat mematikan, tidak bisa diobati.”Aoki tercenung.“Apabila aku punya banyak uang, aku mungkin bisa melawannya. Dengan perawatan rutin, kemoterapi, yang masih bisa memperpanjang umurku mungkin sampai beberapa bulan ke depan, bahkan memungkinkan untuk setahun. Tapi ini sudah akut. Aku sudah lama membiarkan penyakit ini mengganggku waktuku, tanpa penanganan sewajarnya. Aku tidak pernah merasakan diomeli dokter hanya karena tidak rutin minum obat, atau yang lain. Aku pasti mati beberapa bulan lagi.” Ajin mengerutkan dahinya dan badannya agak sedikit condong, lalu mengurut pelipisnya. Napasnya tersengal, terlihat berat. Seluruh tarikan-tarikan tubuhnya terlihat kesakitan.“Aku turut berduka tentang penyakitmu.” Aoki me
“Setengah hidupku,” jawab Ajin dengan tegas. Seolah-olah dia telah melatih untuk mengucapkan kalimat itu sepuluh kali sehari.Yuji menulis sesuatu, sedetik kemudian papan ketik komputer itu lantas menarik perhatiannya. Kemudian secara sigap dia mengetik membabi-buta seperti seorang karyawan yang sedang menghadapi tenggat waktu yang mepet. Email-nya kepada Aoki terurai; “Ada seorang narapidana di sini yang sedang mencari dan ingin segera menemuimu. Dia tidak mau pergi dari sini sebelum nampak batang hidungmu. Tapi dia terlihat cukup ramah. Aku buatkan dia teh sembari dia menunggumu. Aku tidak mau terlalu banyak berbicara dengannya, cepat selesaikan konsultasimu.”Lima belas menit kemudian, pintu ruangan Pendeta terbuka lebar dan seorang perempuan keluar dengan hentak langkah kaki yang keras sambil mengusap mata. Di belakang perempuan itu, menyusul mantan tunangannya yang mampu membuat kerutan di dahi sekaligus senyum tipis di bibir pada
“Yuji Jaeger.” Dia secara otomatis mengeja nama belakangnya untuk Yuji. “Lahir tanggal 5 Juli 1960 di Kota Shibuya, Tokyo. Umurku empat puluh tujuh tahun. Aku bujangan, sudah pernah menikah, kemudian bercerai. Aku tidak mempunyai anak. Tidak punya alamat tempat tinggal. Tidak mempunyai pekerjaan. Dan tidak bermasa depan.”Yuji menyaring seluruh informasi itu dan sementara bolpoin yang dipegangnya dengan lincah mencari ruang-ruang kosong yang wajib diisi. Semua jawaban yang diucapkan oleh Ajin menyebabkan jauh lebih baik kuriositas daripada yang bisa ditampung formulir kecil yang ada di hadapannya. “Sudah, sebentar…” Yuji menahan. “Kali ini tentang alamat,” Yuji masih sambil menulis. “Di mana tempat tinggalmu sekarang?”“Aku tidak punya tempat tinggal. Aku hanya orang tidak berguna yang terpaksa ditampung Lembaga Permasyarakatan Kanto. Aku ditampung di rumah singgah. Di jalan nomor dua belas, beber