Share

Akad

"Bagaimana, Nak? Apakah kau bersedia menerima lamaran saya, untuk putri saya?"

Dengan berat, Hj Karim mengucap kalimat itu karena terjerat atas ucapnya sendiri yang mengatakan bahwa akan merestui siapapun laki-laki yang dipilihkan Aisha.

Arash, hanya menunduk. Ia mengepalkan tangan dan mengertak giginya sehingga beradu akibat menahan amarah yang kian membuncah.

"Boss, jangan! Sepertinya wanita ninja itu bukan wanita baik-baik!" Bisik Tomo menghasut.

"Benar, bang. Siapa tahu, wanita teroris itu punya rencana licik," kali ini, Bean yang membisikkan hasutan.

"Tapi, gue tak mau kalah akan tantangan ini!" ucap Arash dengan geram. Membuat kedua anak  buahnya terdiam. Jika tadi diam karena terkejut dan masih setengah percaya. Kini, ia tahu. Bahwa dirinya yang telah dilamarnya.

"Baik, Pak!" Jawab Arash dengan tegas. Ia melirik sinis ke arah Aisha yang tengah mengusap wajah dengan kedua tangannya.

Helaan nafas panjang terdengar jelas oleh wanita yang bernama Rosyidah keluar dari mulut suaminya. Ia kini faham bahwa suaminya mengucapkan hal demikian tidaklah murni ketulusan.

Sedangkan, Aisha. Ia mengusap wajahnya lama dan terus mengucapkan bismillah untuk menghadapi kemungkinan apa yang akan terjadi setelah pernikahannya.

"Baiklah, Kalian boleh pulang. Kalian hanya kan datang esok untuk melangsungkan akad pernikahan,"

Hj Karim menatap kosong pada punggung ketiga preman yang pergi melenggang itu dengan hati terasa di palu godam.

Tapi, ia juga akan lebih merasa sakit, jika melihat putri semata wayangnya harus mengurung diri di kamar pasca di tinggal menikah oleh Gus Fahmi atas perjodohan orang tuanya.

🍁🍁🍁

"Sial!"

Arash melempar apapun yang ada di hadapannya. Bagaimanapun, selama ini. Ia tidak pernah menyukai seorang wanita. Apalagi sampai masalah pernikahan. Namun, lamaran dari wanita bercadar itu membuat ia tidak bisa menolak karena di anggap semua ini adalah tantangannya yang harus di kalahkan.

"Boss, Tenang, boss!"

"Bagaimana bisa tenang, hah? Kalian tahu gue benar-benar benci dengan keadaan ini. Wanita itu benar-benar bikin amarahku membuncah." Bentak Arash. 

Mereka tengah berada di sebuah ruangan yang mejanya dipenuhi dengan botol alkohol, sabu dan minuman lainnya. Siapapun yang masuk, akan langsung mencium menyengat bau alkohol yang pekat.

Arash memegang satu botol minuman. Ia sesekali menenggak, entah sudah ke berapa botol yang telah ia teguk. Namun, tak ada satupun yang membuat ia bisa merasa tenang.

"Tom,"

"Baik, boss!

"Bean,"

"Ada, boss!"

"Malam ini kita akan beraksi,"

"Lho, kemana bang?" tanya Bean segera bangkit.

"Kalian tahu, esok gue akan menikah. Dan gue akan cari uang untuk maharnya!" 

"Lho, bukannya uang boss banyak?" tanya Tomo. Namun, Arash tak menggubrisnya.

Arash, Alkohol baginya adalah candu, sekaligus obat penenang. Bahkan, ia merasa jika tak minum minuman beralkohol. Ia sama saja seperti tidak makan, Dan gairah hidupnya berkurang.

Kau tahu? Bagaimana pecandu rokok? Saat ia terlambat saja menyesap rokok, Maka ia akan merasa resah dan tak bergairah.

"Jangan banyak tanya! Ayo kita berangkat!" ucap Arash yang langsung melemparkan kain penutup kepala.

Ketiga preman itu mengendap-endap menyusup pada sebuah bangunan yang mewah. Bangunan yang sudah mereka incar sejak tempo hari. Hanya saja, aksi ini harus terjeda karena harus menghadap pada wanita di dalam bus itu.

"Boss! Ini sudah dapat perhiasannya!" Seru Tomo sambil memandang kalung berlian.

"Ambil!" Tegas Arash. Ia sendiri mengobrak-abrik pakaian yang terlipat rapi sehingga bibirnya menggunjingkan senyuman saat menemukan apa yang di carinya.

Matanya melebar saat melihat isi dompet dengan lembaran uang merah

yang cukup banyak. 

Sedangkan, Bean. Ia hanya berjaga-jaga di pintu gerbang untuk mengomando kapan harus keluar, dan bertahan takut kalau aksi mereka di lihat orang lain.

Brak!

Tomo tanpa sengaja menyenggol guci sehingga pecah dan menimbulkan suara. Jelas saja, pemilik rumah ini terbangun.

"Hey!

"Maling"

"Maling"

Wanita gendut yang tengah tertidur panik, ia berteriak histeris saat melihat dua orang yang menggunakan kain penutup kepala. Hanya mata dan mulutnya yang terlihat.

"Tolong!

"Tolong!

Tomo dengan sigap segera membungkam mulut wanita yang masih setengah sadar dengan tissue sehingga pemilik rumah yang telah di geladah ini lemah dan tak sadarkan diri kembali.

"Maaf, minta uangnya dikit."

"Tenang saja, dosisnya enggak tinggi kok, Mbak. Gak seperti ronde suami Mbak!" celetuk Tomo sebelum ia meninggalkan kamar yang telah di geladahnya.

Mereka menaiki pintu gerbang agar bisa segera kabur dari rumah yang telah mereka rampok. Lari tunggang langgang didalam kegelapan malam yang hanya mengandalkan cahaya lampu Mercure.

Huft!

"Hampir saja," ucap Tomo saat sudah tuba di markasnya.

"Kali ini, gue gak akan bagi rata uang hasil rampokan kita," ucap Arash sambil membuka dompet rampokannya.

"Gak apa-apa, boss. Yang penting boss bisa lancar menghadapi tantangan gadis ninja itu," sahut Tomo. Ia terengah-engah dan menekuk lutut dengan kedua tangannya dan punggung membungkuk.

"Ini!"

Arash melemparkan dua botol minuman sprite pada kedua anak buahnya. Lalu, ia kembali menghitung hasil rampokannya malam ini.

🍁🍁🍁

"Apa, jadi Putrimu akan menikah esok?"

"Iya, kang! Entahlah. Aku juga bingung, hanya saja aku sudah terikat dengan ucapanku yang akan merestui siapapun pilihan Aisha," jawab Hj Karim. Ia memijit kening karena sesungguhnya jika anak dari Adek pimpinan pondok pesantren ini menikahi laki-laki yang tidak sepadan merupakan sebuah tragedi. Bahkan di anggap mencoreng maru'ah pesantren.

"Aku harap, Semoga Kakanda akan berkenan meridhoi tempat ini untuk melangsungkan akad pernikahan mereka."

Hj Harun hanya menghela napas. Baginya, ini adalah berita yang cukup mengejutkan. Dimana ia pulang dari berziarah disuguhkan dengan berita bahwa putri adeknya akan menikah. Bukan prihal menikah yang di anggap masalah. Namun, prihal siapa yang jadi pasangan pernikahannya. Seorang pimpinan preman yang siapapun tak berani jika untuk sekedar berinteraksi. Tatapan matanya saja cukup membuat orang lain lari tunggang langgang ketakutan.

"Tenanglah, sebagai kakakmu. Aku ikut bertanggung jawab atas ini. Maka , akan saya izinkan kau menggunakan aula ini untuk akad pernikahan." ucap Hj Harun. Sebenarnya, kenapa putri adeknya tidak menunggu lamaran sahabatnya saja untuk menggantikan posisi Gus Fahmi yang menorehkan luka pada keluarga ini.

Hj Karim memang tinggal satu kompleks dalam lingkungan pesantren. Ustadz Harun yang memintanya untuk tinggal di lingkungannya, bahkan ia yang menyediakan tanah untuk rumah. agar Hj Karim mau membantunya menjadi dewan guru sekaligus partner untuk memajukan pesantren yang telah ia rintis.

"Terima kasih, Kakanda!"

"Sama-sama, tapi jangan dulu melaporkan pada ummi Inayah." jawab Hj Harun.

🍁🍁🍁

Suara gema shalawat yang diiringi dengan musik hadroh mengisi suasana pagi. Dimana hari ini akan di lakukan akad pernikahan oleh dua insan yang berbeda latar belakang.

Ummi Rosyidah hanya bisa menangis meratapi putrinya yang lebih memilih lelaki berandalan daripada lelaki yang setara dengannya.

"Aisha, apa kamu tidak bisa memilih dan memilah? Kenapa kamu tolak lamaran Gus Faruq yang akan menggantikan posisi Gus Fahmi yang meninggalkanmu?" tanya Ummi Rasyidah. Walaupun marah. Sebagai seorang ibu, Ia tetap merias Putrinya dengan cantik. Apalagi, kalau tidak. Maka, Hj Karim akan marah.

"Lagian, kalau kamu menikah dengan laki-laki yang bisa ngaji, faham agama, setara dengan kita. Maka, kamu pasti akan punya pesantren sendiri. Seperti uwakmu itu, apa kamu tidak tertarik?"

"Justru itu, justru itu yang Aisha tak suka dari Umma!" jawab Aisha. Kemudian ia beringsut duduk di atas ranjang yang sudah di taburi kelopak mawar yang bertebaran.

"Assalamualaikum, Teh Aisha. Pengantin prianya sudah datang. Acara ijab akan segera dimulai," ucap Dzulfa berteriak di balik pintu kamar pengantin menembus telinga Aisha yang tengah menenangkan diri.

"Terima kasih, Dzul!" Sahut Aisha dari dalam.

"Maafkan Aish Umma," lirih Aisha sebelum ia bangkit untuk melangsungkan acara sakralnya.

Ummi Rasyidah hanya menitikan air mata melihat putri semata wayangnya yang terasa pilihannya menyimpang.

"Kau baik-baik saja kan, Nak? Kau bukan karena patah hati atas kepergian Gus Fahmi kan?" Gumamnya.

Di aula, Sudah banyak santri yang duduk rapi turut menyaksikan. Begitu juga para saksi dan penghulu sudah duduk bersila.

Semua melongo saat melihat Aisha berjalan di gandeng oleh Dzulfa. Bukan ibundanya sendiri. Terlebih, Tomo dan Bean menatap dengan mulut terbuka  wanita yang menggunakan niqab terlihat begitu anggun. Mungkin, kalau ada nyamuk. Entah sudah berapa yang musnah di mulut keduanya.

Sementara Arash. Ia mengepalkan tangannya merasa di tantang. Ia akan meluapkan emosional tertahannya saat sudah menjalankan pernikahan.

Aisha duduk. Nampak terlihat lebih cerah meskipun hanya nampak matanya saja yang dipoles cela bagian kelopaknya.

"Bagaimana, sudah bisa di mulai?" tanya penghulu.

"Sudah!" Semua yang hadir menjawab dengan serempak. kecuali ummi Rasyidah, Ia malah menangis terisak. Hj Karim merangkulnya UN menguatkan.

"Baiklah, Ananda mempelai pria, apakah sudah siap maharnya?" tanya penghulu pada Arash.

"Sudah, Pak! Uang senilai satu juta rupiah dibayar tunai." Arash sengaja menekan kata satu juta untuk meremehkan bahwa wanita yang akan dinikahinya begitu rendah.

"Bagaimana ukhty Aisha. Apa kau Ridha dengan mahar yang akan diberikan oleh calon pengantin pria?"

Kali ini, penghulu bertanya pada mempelai wanita.

"Tidak!"

Jawaban Aisha cukup membuat semua yang hadir menohok.

Apalagi, Arash. Ia semakin merasa amarahnya sudah di ubun-ubun. Ataukah Aisha memang benar-benar menantang?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status