Giga sakit, demam tinggi sejak semalam. Syukurnya Mama sudah datang sesuai dengan yang direncanakan bersama dulu. Sekitar tiga hari sebelum HPL harus sudah sampai di Yogyakarta. Kalau tidak, pasti Peony kuwalahan. Masalahnya, kontraksi palsu sudah sering melanda. Datang dan pergi sesuka hati. Membuat Peony kadang-kadang meringis menahan sakit, merintih atau malah menangis karena kesakitan. Hehe. Walaupun mahir, tidak mungkin kan menyetir mobil untuk membawa Giga periksa ke dokter? Oke, kalau bersama Mama harus menyewa taxi tapi kan, jadi lebih tenang semuanya? Peony pun bisa ikut, sekalian periksa ke dokter kandungan.
"Gimana Ma, kata dokter Mas Giga sakit apa?" tanya Peony penuh kekhawatiran, "Duh, harus opname atau rawat jalan saja, Mama?"
Tentu saja Mama bisa mengerti kekhawatiran Peony. Jadi, inilah yang diterangkan padanya
Pertanyaan Abah secara spontan merasuki benak Prameswari yang semakin berkabut tebal. Siapakah yang telah menemukan, menjaga dan melindunginya selama di Yogyakarta? Untuk beberapa saat lamanya, gadis ayu alami itu terlilit konflik besar. Haruskah dia menjawab dengan jujur? Bukan, bukan berarti Prameswari ingin berbohong lagi pada Abah, Ummi ataupun Abang dan Teh Hasna. Tapi tentu saja tak menginginkan rahasianya tentang Giga terungkap begitu saja.Baginya, lebih baik ikatan cintanya bersama Giga terberai begitu saja dari pada keluarganya tahu yang sebenarnya. Tidak, tidak. Prameswari tak mau semua orang jadi salah paham. Terlebih pada kenyataannya Giga tak lagi sendiri, sudah berkeluarga dan mungkin sekarang bayi kembar mereka sudah terlahir ke dunia. Mustahil, dia mengambil posisi di antara Giga dan Peony lagi. Kecuali dia tak pernah pergi meninggalkan Giga seperti ini.&
Konflik yang melanda Giga jauh lebih besar dari pada yang dialami Prameswari. Meskipun sudah berjuang setengah mati untuk melupakan dan menghapus jejak Prameswari dari hatinya tapi hasilnya nol besar. Nihil. Semakin hari semakin bertumbuh subur lah perasaan cinta padanya. Semakin jelas dan tegas bayang-bayang gadis ayu alami itu menggelayuti benak. Seolah nyata adanya di sisi, tak pernah lekang meskipun oleh kantuk berat yang menyergap atau mimpi-mimpi yang mewarnai tidurnya. Prameswari Shalihatun Nisa, justeru semakin kental mengaliri darah dalam tubuhnya."Dek Mytha!" gumamnya lirih memanggil, "Kamu lagi apa, Dek?"Giga terus memandangi sebingkai foto Prameswari yang tersimpan rapi di MY LOVE, folder tersembunyi dalam galeri ponselnya, "Mas rindu sama kamu, Dek. Kapan kamu kembali ke Jogja? Maafkan Mas ya, Dek? Nggak bi
Sebisa mungkin Giga mengatur diri, jangan sampai memperkeruh keadaan. Selembut mungkin menarik napas panjang, membalikkan badan ke arah Peony yang menatap dengan setajam sembilu. Mustahil baginya untuk mengelak apalagi berlari. Bisa-bisa semua rencana yang telah tersusun secara matang hancur berantakan. Berkeping-keping atau bahkan terserpih dan musnah. Tentu saja, Giga tak menginginkan semua itu terjadi. Lebih baik kehilangan nyawa dari pada harus menderita lantaran kehilangan Prameswari."Aneh?" tanya Giga pada akhirnya dengan memasang mimik wajah tak bersalah, "Apa yang aneh? Aku biasa-biasa saja kok, Dek."Sampai di sini tatapan Peony masih sama dengan yang tadi, setajam sembilu. Menyorot penuh seolah-olah ingin menyelam dan bersemayam di dasar bola mata. Tapi Giga berusaha untuk mengabaikan semua itu dan
Sebaik apapun Yuka kepadanya, Prameswari masih enggan untuk bertemu. Jangankan berbincang-bincang seperti dulu, untuk sekedar bertahap muka pun dia belum memiliki nyali yang cukup. Malu, takut dan yang jelas kehabisan rasa percaya diri. Bukan apa-apa. Prameswari kenal betul bagaimana sahabat dekatnya itu. Dia pasti menyerbu dengan seribu atau bahkan sejuta pertanyaan, tentang kepergiannya dulu. Tentang bagaimana Prameswari berpetualang selama berada di Yogyakarta … Sudah barang tentu Yuka akan terus bertanya mengenai penolakan perjodohannya dengan Ustadz Lapuk. Itu, atau justeru akan mengolok-olok kenapa dia tak menikah saja dengan Ustadz Lapuk, sosok yang tak perlu dipertanyakan lagi kebaikannya. Sungguh, selain sahabat yang baik dan setia, Yuka juga memiliki keusilan tingkat langit yang tak terbantahkan."Kamu kenapa Neng, nggak mau ketemu sama Yuka?" hati-hati, Ummi bertanya,
Sebisa mungkin Ummi menenangkan Prameswari yang terlihat sudah semakin kehilangan kesabaran. Dalam benaknya hanya ada dua hal sekarang, membicarakan masalah ini dengan Abah walaupun riskan atau membiarkan Prameswari patah hati selama-lamanya. Karena Ummi tahu persis, bagaimana Abah ketika sudah mengambil sebuah keputusan. Takkan mudah untuk digoyahkan. Sedangkan semalam, Abah sudah mengatakan padanya kalau mustahil baginya meminang Giga untuk Prameswari.Duh, hati Ummi sudah seperti karang es di tengah lautan sekarang. Satu suami dan satu lagi anak. Anak perempuan semata wayang. Kebingungan semakin mengaduk-aduk segenap perasaan dan pemikirannya, menciptakan sebentuk rasa takut. Apakah yang Ummi takutkan sekarang? Kehilangan Prameswari lagi, untuk yang ke dua kalinya. Tentu saja dia tak menginginkan hal itu terjadi. Baginya, kehilangan Prameswari seperti dulu adalah hal yang paling gela
AISYAH semakin gempar!Kalau tadi pagi Prameswari sudah membuat heboh lantaran membanting cangkir ke dinding kamar hingga hancur berkeping-keping, sore ini tahu-tahu sudah duduk memeluk lutut di atas atap pendopo santri. Pandangannya semakin terlihat hampa, menebalkan kesan frustrasi berat dalam dirinya. Kontan, antara takut dan bingung, Amma segera menghubungi Abah. Mengatakan apa yang sebenarnya telah terjadi pada Prameswari. Mulai dari aksi mengurung diri di kamar, sampai detik ini. Menangis meraung-raung di atas atap pendopo santri.Sudah barang tentu Abah mengelus dada dengan tingkah polah Sang Puteri semata wayang. Geram juga rasanya, kenapa tak kunjung menyadari kalau selama ini Abah hanya ingin memberikan yang terbaik untuknya. Terbaik dunia dan akhirat, malah. Itulah mengapa dulu, sempat berniat menjodohkannya de
Linglung, antara percaya atau tidak dengan yang didengarnya Prameswari berlari secepat kilat ke sisi atap sebelah kiri. Nyaris saja jatuh terjungkal. Beruntung pula, tak ada satu pun genting yang pecah. Jika iya, bisa-bisa terjatuh ke lantai pendopo. Mungkin itulah yang dinamakan dengan takdir baik karena Baba yang sedari tadi standby dengan sigap merengkuh tubuhnya ke dalam pelukan. Mengikat kuat-kuat dengan tali tambang dan menurunkannya. Semua yang standby di bawah berseru penuh syukur dan rasa haru, akhirnya Prameswari berhasil diselamatkan. Walaupun dalam keadaan tak sadarkan diri, tentu saja.Berita meninggalnya Ummi menjadi sebuah guncangan yang begitu besar bagi Prameswari. Bagaimana tidak? Tiga hari y
Abah memandang Prameswari penuh dengan haru, "Kamu yakin dengan keputusan kamu, Neng?"Prameswari mengangguk kecil tapi tanpa sebersit keraguan mencampuri, membuat Abah tersenyum simpul. Kaca-kaca bening yang sedari tadi mengenangi bola matanya, perlahan-lahan merembes dan menetes. Tanpa menunggu detik-detik melaju melintasi mereka, Abah merengkuhnya ke dalam pelukan. Erat, lembut dan hangat. Jadilah akhirnya dua orang ayah dan anak itu menumpahkan perasaan masing-masing. Saling menguatkan."Neng … Neng Wari," panggil Abah setelah pelukan mereka terlepas secara alami, "Abah bahagia, Neng."Sederet kata yang diucapkan Abah dengan penuh kejujuran dan ketulusan itu membakar semangat Prameswari hingga matang. Teguh sudah pendiriannya kini, tak mungkin go