Sebisa mungkin Giga mengatur diri, jangan sampai memperkeruh keadaan. Selembut mungkin menarik napas panjang, membalikkan badan ke arah Peony yang menatap dengan setajam sembilu. Mustahil baginya untuk mengelak apalagi berlari. Bisa-bisa semua rencana yang telah tersusun secara matang hancur berantakan. Berkeping-keping atau bahkan terserpih dan musnah. Tentu saja, Giga tak menginginkan semua itu terjadi. Lebih baik kehilangan nyawa dari pada harus menderita lantaran kehilangan Prameswari.
"Aneh?" tanya Giga pada akhirnya dengan memasang mimik wajah tak bersalah, "Apa yang aneh? Aku biasa-biasa saja kok, Dek."
Sampai di sini tatapan Peony masih sama dengan yang tadi, setajam sembilu. Menyorot penuh seolah-olah ingin menyelam dan bersemayam di dasar bola mata. Tapi Giga berusaha untuk mengabaikan semua itu dan
Sebaik apapun Yuka kepadanya, Prameswari masih enggan untuk bertemu. Jangankan berbincang-bincang seperti dulu, untuk sekedar bertahap muka pun dia belum memiliki nyali yang cukup. Malu, takut dan yang jelas kehabisan rasa percaya diri. Bukan apa-apa. Prameswari kenal betul bagaimana sahabat dekatnya itu. Dia pasti menyerbu dengan seribu atau bahkan sejuta pertanyaan, tentang kepergiannya dulu. Tentang bagaimana Prameswari berpetualang selama berada di Yogyakarta … Sudah barang tentu Yuka akan terus bertanya mengenai penolakan perjodohannya dengan Ustadz Lapuk. Itu, atau justeru akan mengolok-olok kenapa dia tak menikah saja dengan Ustadz Lapuk, sosok yang tak perlu dipertanyakan lagi kebaikannya. Sungguh, selain sahabat yang baik dan setia, Yuka juga memiliki keusilan tingkat langit yang tak terbantahkan."Kamu kenapa Neng, nggak mau ketemu sama Yuka?" hati-hati, Ummi bertanya,
Sebisa mungkin Ummi menenangkan Prameswari yang terlihat sudah semakin kehilangan kesabaran. Dalam benaknya hanya ada dua hal sekarang, membicarakan masalah ini dengan Abah walaupun riskan atau membiarkan Prameswari patah hati selama-lamanya. Karena Ummi tahu persis, bagaimana Abah ketika sudah mengambil sebuah keputusan. Takkan mudah untuk digoyahkan. Sedangkan semalam, Abah sudah mengatakan padanya kalau mustahil baginya meminang Giga untuk Prameswari.Duh, hati Ummi sudah seperti karang es di tengah lautan sekarang. Satu suami dan satu lagi anak. Anak perempuan semata wayang. Kebingungan semakin mengaduk-aduk segenap perasaan dan pemikirannya, menciptakan sebentuk rasa takut. Apakah yang Ummi takutkan sekarang? Kehilangan Prameswari lagi, untuk yang ke dua kalinya. Tentu saja dia tak menginginkan hal itu terjadi. Baginya, kehilangan Prameswari seperti dulu adalah hal yang paling gela
AISYAH semakin gempar!Kalau tadi pagi Prameswari sudah membuat heboh lantaran membanting cangkir ke dinding kamar hingga hancur berkeping-keping, sore ini tahu-tahu sudah duduk memeluk lutut di atas atap pendopo santri. Pandangannya semakin terlihat hampa, menebalkan kesan frustrasi berat dalam dirinya. Kontan, antara takut dan bingung, Amma segera menghubungi Abah. Mengatakan apa yang sebenarnya telah terjadi pada Prameswari. Mulai dari aksi mengurung diri di kamar, sampai detik ini. Menangis meraung-raung di atas atap pendopo santri.Sudah barang tentu Abah mengelus dada dengan tingkah polah Sang Puteri semata wayang. Geram juga rasanya, kenapa tak kunjung menyadari kalau selama ini Abah hanya ingin memberikan yang terbaik untuknya. Terbaik dunia dan akhirat, malah. Itulah mengapa dulu, sempat berniat menjodohkannya de
Linglung, antara percaya atau tidak dengan yang didengarnya Prameswari berlari secepat kilat ke sisi atap sebelah kiri. Nyaris saja jatuh terjungkal. Beruntung pula, tak ada satu pun genting yang pecah. Jika iya, bisa-bisa terjatuh ke lantai pendopo. Mungkin itulah yang dinamakan dengan takdir baik karena Baba yang sedari tadi standby dengan sigap merengkuh tubuhnya ke dalam pelukan. Mengikat kuat-kuat dengan tali tambang dan menurunkannya. Semua yang standby di bawah berseru penuh syukur dan rasa haru, akhirnya Prameswari berhasil diselamatkan. Walaupun dalam keadaan tak sadarkan diri, tentu saja.Berita meninggalnya Ummi menjadi sebuah guncangan yang begitu besar bagi Prameswari. Bagaimana tidak? Tiga hari y
Abah memandang Prameswari penuh dengan haru, "Kamu yakin dengan keputusan kamu, Neng?"Prameswari mengangguk kecil tapi tanpa sebersit keraguan mencampuri, membuat Abah tersenyum simpul. Kaca-kaca bening yang sedari tadi mengenangi bola matanya, perlahan-lahan merembes dan menetes. Tanpa menunggu detik-detik melaju melintasi mereka, Abah merengkuhnya ke dalam pelukan. Erat, lembut dan hangat. Jadilah akhirnya dua orang ayah dan anak itu menumpahkan perasaan masing-masing. Saling menguatkan."Neng … Neng Wari," panggil Abah setelah pelukan mereka terlepas secara alami, "Abah bahagia, Neng."Sederet kata yang diucapkan Abah dengan penuh kejujuran dan ketulusan itu membakar semangat Prameswari hingga matang. Teguh sudah pendiriannya kini, tak mungkin go
Lagi, Prameswari bertanya pada Teh Hasna dengan penuh rasa ingin tahu, "Teh, Wari boleh tanya lagi nggak?""Boleh." tukas Teh Hasna dengan semangat yang tak kalah membara, "Neng Wari mau tanya apa?"Prameswari menggaruk kepalanya yang tidak gatal, "Enggg, sebelum nikah sama Abang, Teteh sudah cinta sama Abang apa belum?"Teh Hasna terdiam untuk beberapa saat lamanya demi mendapatkan hantaman yang cukup keras dalam pertanyaan Prameswari. Bagaimana tidak? Sejatinya Teh Hasna hanya berusaha untuk menjalani takdir dengan sebaik-baiknya. Tanpa sepengetahuannya Abi sudah menerima lamaran Abang, padahal sebenarnya dia sedang menunggu Kang Sunan pulang dari menuntut ilmu di Kairo. Apa hendak dikata? Semua sudah terlanjur terjadi. Dia hanya bisa pasrah, ketika Abi mengajaknya ke ruan
"Dek Mytha … Ini nggak seperti yang Dek Mytha pikirkan." sedikit gugup Giga memulai penjelasannya, "Maksud kedatangan Mas ke sini adalah un---"Peony yang baru saja datang menyusul berseru dari belakang Giga, "Dek Mytha mau kan menikah sama Mas Giga?"Siiirrr dug, dug, duuuggg!Bumi terasa bergelombang besar bagi Prameswari, mendengar pertanyaan dari Peony. Menghujam hati terdalamnya yang tiba-tiba berdarah. 'Apa, menikah sama Mas Giga? Wah, Mbak Peony pasti sudah gila! Apa dia lupa, baru saja mencaci maki aku di chat room? Kalau kayak gini, siapa yang munafik sebenarnya? Dia atau aku?'Gemetar, dengan harapan yang kian tinggi menjulang, Peony mendekati Prameswari, "Mau kan Dek Mytha, menjadi pend
"Hampir tengah malam, datanglah Mbak Honey menolong Wari. Dia baru pulang dari kafenya, Wari diajak pulang ke rumah kontrakan." sambil berusaha untuk menenangkan diri, Prameswari melanjutkan ceritanya, "Wari merasa sangat bersyukur dan beruntung karena Mbak Honey orangnya baik. Sangat baik. Hanya saja …!""Apa, Neng?" Abah bertanya dengan mimik wajah sedih sekaligus prihatin, "Hanya saja apa, Neng?"Sejenak, Prameswari menimbang-nimbang. Haruskah dia menceritakan semuanya tentang Mbak Honey? Maksudnya tentang Mbak Honey yang melarangnya memakai jilbab. Bukankah itu aib yang seharusnya dia jaga? Terutama, tentang Mbak Honey yang memaksanya menjadi Ladies Companion di kafenya. Bukankah itu hal yang wajar, karena Mbak Honey sudah menolong dan menyelamatkannya? Kalaupun tidak bisa disebut sebagai balas budi, setidaknya bisa