Abah memandang Prameswari penuh dengan haru, "Kamu yakin dengan keputusan kamu, Neng?"
Prameswari mengangguk kecil tapi tanpa sebersit keraguan mencampuri, membuat Abah tersenyum simpul. Kaca-kaca bening yang sedari tadi mengenangi bola matanya, perlahan-lahan merembes dan menetes. Tanpa menunggu detik-detik melaju melintasi mereka, Abah merengkuhnya ke dalam pelukan. Erat, lembut dan hangat. Jadilah akhirnya dua orang ayah dan anak itu menumpahkan perasaan masing-masing. Saling menguatkan.
"Neng … Neng Wari," panggil Abah setelah pelukan mereka terlepas secara alami, "Abah bahagia, Neng."
Sederet kata yang diucapkan Abah dengan penuh kejujuran dan ketulusan itu membakar semangat Prameswari hingga matang. Teguh sudah pendiriannya kini, tak mungkin go
Lagi, Prameswari bertanya pada Teh Hasna dengan penuh rasa ingin tahu, "Teh, Wari boleh tanya lagi nggak?""Boleh." tukas Teh Hasna dengan semangat yang tak kalah membara, "Neng Wari mau tanya apa?"Prameswari menggaruk kepalanya yang tidak gatal, "Enggg, sebelum nikah sama Abang, Teteh sudah cinta sama Abang apa belum?"Teh Hasna terdiam untuk beberapa saat lamanya demi mendapatkan hantaman yang cukup keras dalam pertanyaan Prameswari. Bagaimana tidak? Sejatinya Teh Hasna hanya berusaha untuk menjalani takdir dengan sebaik-baiknya. Tanpa sepengetahuannya Abi sudah menerima lamaran Abang, padahal sebenarnya dia sedang menunggu Kang Sunan pulang dari menuntut ilmu di Kairo. Apa hendak dikata? Semua sudah terlanjur terjadi. Dia hanya bisa pasrah, ketika Abi mengajaknya ke ruan
"Dek Mytha … Ini nggak seperti yang Dek Mytha pikirkan." sedikit gugup Giga memulai penjelasannya, "Maksud kedatangan Mas ke sini adalah un---"Peony yang baru saja datang menyusul berseru dari belakang Giga, "Dek Mytha mau kan menikah sama Mas Giga?"Siiirrr dug, dug, duuuggg!Bumi terasa bergelombang besar bagi Prameswari, mendengar pertanyaan dari Peony. Menghujam hati terdalamnya yang tiba-tiba berdarah. 'Apa, menikah sama Mas Giga? Wah, Mbak Peony pasti sudah gila! Apa dia lupa, baru saja mencaci maki aku di chat room? Kalau kayak gini, siapa yang munafik sebenarnya? Dia atau aku?'Gemetar, dengan harapan yang kian tinggi menjulang, Peony mendekati Prameswari, "Mau kan Dek Mytha, menjadi pend
"Hampir tengah malam, datanglah Mbak Honey menolong Wari. Dia baru pulang dari kafenya, Wari diajak pulang ke rumah kontrakan." sambil berusaha untuk menenangkan diri, Prameswari melanjutkan ceritanya, "Wari merasa sangat bersyukur dan beruntung karena Mbak Honey orangnya baik. Sangat baik. Hanya saja …!""Apa, Neng?" Abah bertanya dengan mimik wajah sedih sekaligus prihatin, "Hanya saja apa, Neng?"Sejenak, Prameswari menimbang-nimbang. Haruskah dia menceritakan semuanya tentang Mbak Honey? Maksudnya tentang Mbak Honey yang melarangnya memakai jilbab. Bukankah itu aib yang seharusnya dia jaga? Terutama, tentang Mbak Honey yang memaksanya menjadi Ladies Companion di kafenya. Bukankah itu hal yang wajar, karena Mbak Honey sudah menolong dan menyelamatkannya? Kalaupun tidak bisa disebut sebagai balas budi, setidaknya bisa
Setelah pembicaraan super serius yang melelahkan seluruh saraf otaknya itu, Prameswari berbaring lemas di tempat tidur. Pandangannya lurus ke arah kalender biru laut yang terletak di meja belajar. Hari ini, usianya telah genap menjadi sembilan belas tahun. Tak pernah dia sangka sebelumnya, di usia yang masih tergolong belia ini dia sudah harus mengalami hal-hal traumatis seperti ini. Belum lagu, kehilangan Ummi. Sungguh itu adalah hal yang paling berat dalam hidupnya. Patah hati terdahsyat.Terlebih, saat itu terjadi Prameswari masih dalam keadaan gila. Menggilai Giga hanya demi membalas dendam pada Peony. Padahal, Peony bersikap seperti itu karena siapa? Dirinya sendiri, bukan? Misalnya Prameswari tidak mengusik ketenteraman rumah tangga mereka, tidak mungkin kan, Peony sampai menghujat? Tapi itulah mungkin kehendak Allah. Lantaran dia ikut pulang ke rumah mereka lah, akhirnya dia bisa
"Evan!" seru Yuka setengah menjerit, "Coba, lihat ponsel kamu!"Tanpa menunggu reaksi apa pun dari Evan, Yuka merangsek ke depan, merebut ponsel dari tangannya. "Kok, bisa kebetulan gini, sih? Atau jangan-jangan …?"Mati kutu. Itu yang dirasakan Evan sekarang. Sungguh, ini bukan hal yang diharapkannya sekarang. Memang, pernah dulu dia menguatkan tekad untuk berterus terang mengakui segala kejahatannya. Dulu, jauh sebelum Prameswari ditemukan. Tetapi nyalinya langsung mengkerut, menyusut dengan sempurna, begitu berhadapan dengan Abah. Konyol rasanya, seperti seekor kucing yang menyerahkan ikan bakar hasil curiannya. Apalagi waktu itu Abah sedang terbaring sakit."Evan, ternyata kamu ya yang sudah menipu Wari?" tuding Yuka dengan kemarahan membara di w
"Wari jahat banget ya, Amma?" Prameswari memberanikan diri mengalihkan pandangan ke Amma yang duduk di depannya, "Gara-gara Wari ceroboh, bodoh … Ummi sampai meninggal!"Prameswari menundukkan pandangan lagi setelah itu, mengikuti napasnya yang naik turun tiada menentu. Memburu, seolah-olah sedang dalam kejaran binatang buas. Lagi, jiwanya memberantas, meronta-ronta. Bukan karena tidak mau atau setengah hati menuntut ilmu di AISYAH tapi karena gejolak penyesalan yang tak kunjung reda. Andai dulu tak sedekat itu dengan Meyka, mungkin dia takkan pernah pergi dari rumah. Takkan pernah bertemu dengan Mbak Honey hingga mengalami amnesia. Bukan amnesia yang menjadi penyesalan besar bagi Prameswari, melainkan percobaan bunuh dirinya. Kenapa coba, dia sampai sekonyol itu? Kenapa tidak melarikan diri saja?"Wari sedih banget, Amm
Betapa bahagianya Prameswari setelah tahu kalau Yuka juga belajar di AISYAH. Terlebih setelah tahu kalau mereka ditempatkan di kamar yang sama. Wah, sampai-sampai Prameswari melompat-lompat karena hatinya terisi penuh oleh kebahagiaan. Bukan, bukan berarti dia tak suka dengan Audry atau bagaimana tetapi rasanya lebih spesial. Istimewa."Yuka oh Yuka … Kupikir kamu sudah sampai di Jepang?""Wari, aku belum jadi pulang ke Jepang sekarang.""Alhamdulilah, Yuka. Aku seneng banget kamu juga mesantren di sini.""Iya, aku juga seneng banget bisa belajar sama-sama kamu lagi. Kita juga bisa sahabatan deket lagi kan, Wari?""Pastinya dong … Nggak perlu LDR lagi. Hehehehe …!"
Sedikit ragu, Yuka mengayunkan langkah menuju pintu gerbang. Membukanya perlahan-lahan sambil terus merapikan pemikiran dan perasaan yang kian berantakan. Duh, tak lain dan tak bukan yang menjadi beban pemikirannya saat ini hanyalah Prameswari. Ya, walaupun dia sudah mulai bisa menyadari bahwa dalam setiap perjuangan dan sepak terbang akan selalu ada tantangan. Bahkan, halang rintang."Mari Mas, Mbak?" sapa Yuka setelah pintu gerbang terbuka lebar, "Silakan masuk enggg silakan duduk di bangku tamu. Sebentar, saya ajak Wari ke sini dulu, ya?""Ya, makasih ya Dek Yuka?" kata Mas Eiden dengan lembut dan sopan, gaya khas pembawaan dirinya.Yuka hanya mengangguk lalu memutar badan, kembali mendekati Prameswari yang terlihat semakin gelisah. Yuka bisa memaklumi kegelis