28. Ibu Minta Bagian (Bagian B)Mereka terlihat ingin menjawab ucapanku, namun semuanya terdiam saat mendengar suara tiga buah sepeda motor memasuki pekarangan rumah, dan aku bisa menebak salah satu diantaranya adalah motor butut kami.Aku langsung berdiri dan beranjak menuju ke pintu untuk menyambut suamiku, dan juga Wak Cokro yang datang di belakang mereka. Aku juga bisa menemukan Bapak kepala desa dan juga kepala dusun yang berjalan dibelakang mereka, sambil membawa satu buah rol meteran. Alhamdulillah, akhirnya jadi juga hari ini, tanah ini diukur dan kami membelinya secara sah. Ibu Mas Aji dan juga Mbak Lisa datang mengikuti, wajah mereka terlihat terkejut saat melihat Wak Cokro dan Bapak kepala desa ada di sini."Loh, Pak kades ngapain kesini? bareng Mas Cokro juga?" tanya Ibu dengan nada heran. Kemudian Pak kades melihat Ibu, dan mengangguk kecil. "Iya, Bu. Soalnya, Abi dan Wak Cokro mau melakukan transaksi jual-beli tanah ini, dan kami disini berlaku sebagai saksi dan juga o
PILIH KASIH (Membungkam Mertua dan Ipar secara Elegant)29. Menerjang Lisa (Bagian A)“Apa?” tanyaku memastikan pendengaranku, tapi aku yakin kalau pendengaranku sama sekali tidak ada masalah.“Kamu pura-pura nggak dengar, atau memang budeg betulan?” tanya Mbak Lisa dengan nada ketus.Dia saat ini sedang menatapku dengan pandangan sinis, setelah dimarahi oleh Wak Cokro tadi dia menjadi sangat sensi kepadaku. Mampus, rasakan! Aku tidak mau mendengarkan ucapan-ucapan absurd dari Ibu dan juga Mbak Lisa, makanya aku keluar dari rumah dan melihat pengukuran tanah yangs edang suamiku dan juga yang lain lakukan.Aku bisa ikutan gila jika tetap berada di sini, aku haus tetap waras agar bisa memakmurkan kehidupan keluarga kami. Mbak Lisa dan Mas Aji akan tertawa bahagia jika aku dan Mas Abi tetap tenggelam dalam kemiskinan seperti ini.Tidak ada yang salah menjadi miskin, yang salah adalah mempunyai saudara dajjal seperti mereka-mereka ini. Tidak punya rasa kemanusiaan sama sekali memang!“He
30. Menerjang Lisa (Bagian B)"Kepala keluarga yang gagal!" sahut Mas Abi pelan. "Mana mungkin aku melakukan hal itu, membahagiakan Ana saja aku belum pernah. Dan sekarang aku malah mau mencuranginyam aku nggak mau, Bu. Surat tanah ini akan tetap nama Ana!" kata Mas Abi dengan tegas."Bodoh sekali adikmu ini, Ji!" kata Ibu emosi."Memang!" ujar Mas Aji dengan menggebu-gebu."Sekarang aku tanya, kenapa rumahmu atas nama Mbak Lisa, Mas? Padahal tanah dan rumah itu semua berasal dari Ibu!" tanya Mas Abi dengan geram. "Karena Mbakmu ini pegawai negeri, jangan kau samakan dengan istrimu, dong!" sahut Mas Aji dengan santai. Aku melihatnya dengan pandangan jijik, sok hebat! Apa hebatnya pegawai negeri? Tapi benar juga apa yang Mas Abi katakan, apapun yang dibuat dan dibeli oleh Ibu dan Mas Aji, semuanya atas nama Mbak Lisa.Aku sih, tidak urus. Toh, itu kehidupan mereka. Tapi, jika mereka bercerai apa Mas Aji tidak rugi? Eh! Astaghfirullahaladzim, kok aku malah mendoakan sesuatu yang buruk
PILIH KASIH (Membungkam Mertua dan Ipar secara Elegant)31. Lapor Polisi (Bagian A)Aku dan si Lampir Lisa saat ini sedang didudukkan bersama, di depanku ada Pak Kades dan juga Bapak mertuaku yang baru saja dipanggil oleh Pak kadus tadi.Lelaki paruh baya yang mempunyai gelar sebagai Bapak mertuaku itu menatap kami dengan pandangan tajam, di bibirnya terselip rokok, sesekali asap rokok dihembuskannya dengan kesal.Aku hanya menatapnya dengan pandangan datar, tidak ada sedikitpun raut ketakutan yang aku tunjukkan. Karena bagaimanapun juga aku memang tengah membela harga diriku yang diinjak-injak oleh si Lampir Lisa sialan itu.Pak kadus dan juga Wak Cokro terlihat duduk di bawah sana bersama Ibu, mereka duduk beralaskan tikar pandan yang sudah lumayan banyak bolongnya. Mata Ibu menatapku dengan tajam, bibirnya bersungut-sungut marah.Sedangkan di sofa muat dua orang, Mas Abi dan Mas Aji tengah duduk bersama. Namun, raut mereka tegang dan sama sekali tidak ada sedikitpun nuansa kekeluar
32. Lapor Polisi (Bagian B)"Karena kamu yang menyerang aku, dasar manusia bersel satu. Tidak sekolah, tidak punya otak!" ujar si Lampir dengan emosi."LISA!" Eitsss, bukan Bapak ataupun Mas Aji yang berteriak. Tetapi Wak Cokro, di bawah sana dia menggeleng dengan kelakuan si Lampir yang sudah kelewatan batas. Begitu juga dengan Pak kades dan Pak kadus yang hanya menggeleng tak percaya, mereka menatap si Lampir terkejut. Seorang pegawai negeri yang terhormat, ternyata mempunyai akhlak yang sangat buruk."Mas, cukup! Jangan ikut campur urusan kami!" kata Bapak tidak terima karena mendengar menantu kesayangannya di bentak.Dia menatap Wak Cokro dengan pandangan memohon, namun Wak Cokro malah menatap Bapak dengan pandangan menantang. "Apa? Aku tidak boleh ikut campur dengan urusan keluargamu? Ana adalah tanggung jawabku, sewaktu emaknya menitipkan Ana di keluarga kita akulah yang menerimanya." Wak Cokro berujar emosi.Bapak langsung terdiam, bagaimanapun juga Wak Cokro adalah saudara
33. Lapor Polisi (Bagian C)"Aku percaya dengan istriku, Bu! Anak tidak akan bertindak seperti itu jika kalian tidak memulainya terlebih dahulu!" sahut Mas Abi dengan tegas."Cukup!" Bapak kembali mengeluarkan suara. "Setelah bapak amati, dan bapak mendengar masing-masing argumen kalian. Bapak sudah bisa mengepulkan sesuatu!" Lanjutnya sambil kembali mengepulkan asap rokok dari bibirnya."Apa, Pak? Kasih keadilan buat Lisa, dia babak belur begini. Ya Allah, Nduk! Huhuhu …." Kini Ibu yang menangis, sambil ngesot menuju Mbak Lisa dan menangkup kedua tangan menantunya itu.Kemudian kedua orang itu menangis bersamaan, tersedu-sedu, terisak-isak! Ya Allah, tukang drama!"Ana, minta maaf pada mbakmu! Kau salah sudah memfitnah, dan juga menghajarnya!" ujar Bapak dengan tegas.Namun ketegasannya itu sama sekali tidak berdampak untukku, dia tegas hanya untuk membela si Lampir. Tak sekalipun dia bersikap tegas saat Ibu dan si Lampir itu membully ku, dia seolah menutup mata akan kelakuan istri d
PILIH KASIH (Membungkam Mertua dan Ipar secara Elegant)34. Kompensasi! (Bagian A)"Apa?" tanya si Lampir lagi.Aku tidak menyahuti, namun hanya menatap ke depan sana dengan pandangan tajam. Menatap wajah Bapak yang mulai ikut memucat, lalu senyum sinis aku sunggingkan dan mengintimidasi mereka lewat tatapan."Pak kades, saya harap kejadian ini diproses saja. Toh, Bapak ada di sini dan bisa menjadi saksi." Aku menatap Pak Kades dengan pandangan memohon."Kalau Mbak Ana maunya begitu, baiklah! Saya akan menjadi saksi," kata Pak kades kooperatif."Apa-apaan kamu ini, Ana! Kamu mau melaporkan mbakmu sendiri?!" tanya Ibu naik pitam."Loh? Apa Ibu tidak bisa mendengar? Dialah yang ingin melaporkan aku terlebih dahulu," kataku dengan ketus. "Aku hanya meladeni apa yang dia inginkan!" ujarku lagi."A—apa?" tanya Ibu tak percaya."Aku adalah orang biasa dan jika aku dilaporkan ke kantor polisi maka aku sudah siap! Palingan aku hanya akan menjalani hukuman selama beberapa tahun, tapi jika dia
35. Kompensasi! (Bagian B)"Ana tidak akan meminta maaf!" Bukan aku yang menyahutinya, tetapi Mas Abi yang berujar dengan tegas dari sebelah sana. Wajahnya terlihat mengeras, dengan urat-urat yang tercetak jelas di keningnya."Aku yakin Ana tidak akan mau, dan andaikata dia mau pun. Dia tidak aku izinkan untuk meminta maaf!" Lanjutnya dengan sangat tegas. "Istriku tidak bersalah! Lalu, kenapa dia harus yang meminta maaf?" tanyanya dengan nada yang sangat ketus.Bapak terlihat murka dia menatap wajah Mas Abi dengan pandangan yang menghunus tajam, seolah-olah jika pandangan bisa membunuh maka suamiku itu sudah tergeletak tak berdaya di lantai rumah ini."Aku juga tidak sudi meminta maaf, dia yang memfitnahku!" jawabku emosi. "Aku akan tetap melanjutkan perkara ini!" kataku dengan tegas.Wajah si Lampir semakin memucat, keringat dingin terlihat menggantung di dahinya. Aku yakin dia saat ini tengah ketakutan, namun aku sama sekali tidak mau terlihat lemah dan langsung mengalah.Biar dia