PILIH KASIH (Membungkam Mertua dan Ipar secara Elegant)34. Kompensasi! (Bagian A)"Apa?" tanya si Lampir lagi.Aku tidak menyahuti, namun hanya menatap ke depan sana dengan pandangan tajam. Menatap wajah Bapak yang mulai ikut memucat, lalu senyum sinis aku sunggingkan dan mengintimidasi mereka lewat tatapan."Pak kades, saya harap kejadian ini diproses saja. Toh, Bapak ada di sini dan bisa menjadi saksi." Aku menatap Pak Kades dengan pandangan memohon."Kalau Mbak Ana maunya begitu, baiklah! Saya akan menjadi saksi," kata Pak kades kooperatif."Apa-apaan kamu ini, Ana! Kamu mau melaporkan mbakmu sendiri?!" tanya Ibu naik pitam."Loh? Apa Ibu tidak bisa mendengar? Dialah yang ingin melaporkan aku terlebih dahulu," kataku dengan ketus. "Aku hanya meladeni apa yang dia inginkan!" ujarku lagi."A—apa?" tanya Ibu tak percaya."Aku adalah orang biasa dan jika aku dilaporkan ke kantor polisi maka aku sudah siap! Palingan aku hanya akan menjalani hukuman selama beberapa tahun, tapi jika dia
35. Kompensasi! (Bagian B)"Ana tidak akan meminta maaf!" Bukan aku yang menyahutinya, tetapi Mas Abi yang berujar dengan tegas dari sebelah sana. Wajahnya terlihat mengeras, dengan urat-urat yang tercetak jelas di keningnya."Aku yakin Ana tidak akan mau, dan andaikata dia mau pun. Dia tidak aku izinkan untuk meminta maaf!" Lanjutnya dengan sangat tegas. "Istriku tidak bersalah! Lalu, kenapa dia harus yang meminta maaf?" tanyanya dengan nada yang sangat ketus.Bapak terlihat murka dia menatap wajah Mas Abi dengan pandangan yang menghunus tajam, seolah-olah jika pandangan bisa membunuh maka suamiku itu sudah tergeletak tak berdaya di lantai rumah ini."Aku juga tidak sudi meminta maaf, dia yang memfitnahku!" jawabku emosi. "Aku akan tetap melanjutkan perkara ini!" kataku dengan tegas.Wajah si Lampir semakin memucat, keringat dingin terlihat menggantung di dahinya. Aku yakin dia saat ini tengah ketakutan, namun aku sama sekali tidak mau terlihat lemah dan langsung mengalah.Biar dia
PILIH KASIH (Membungkam Mertua dan Ipar secara Elegant)36. Dua Puluh Lima Juta dan juga Gelang (Bagian A)Aku sudah tidak sabar menerima uang dari Ibu, uangnya pasti akan terasa sangat manis. Aku tertawa jahat di dalam hati.Setelah menyelesaikan pekerjaanku, aku langsung keluar dan kembali duduk di tempat semula. Bapak dan ibu belum datang, mungkin mereka masih menghitung uang yang aku pinta."Kamu keterlaluan, An!" ujar Mas Aji dengan tajam.Aku melihatnya dengan dahi berkerut, dia masih berani ternyata. Padahal mereka ini dalam posisi terdesak loh, tapi kenapa masih sombong sekali ya?"Diam, Mas. Jangan gara-gara mulutmu itu, istrimu jadi korban!" sahutku tak kalah tajam.Dia langsung terdiam, dan menutup mulutnya rapat-rapat. Sedangkan Mas Abi terlihat menyunggingkan senyum kecil dari sana, dia pasti selalu berada di sisiku."Oh, ya Pak, Wak," ujarku memanggil Wak Cokro dan juga yang lainnya. "Jika kalian mau melihat bagaimana dia mengatai Ana menjual diri, kalian bisa melihat vi
37. Dua Puluh Lima Juta dan juga Gelang (Bagian B)“Apa? Aku tidak boleh memarahinya? Kalau begitu, ajari istrimu dengan baik, jangan bersikap seperti manusia gila!” kata Wak Cokro emosi. “Kalian ini adik-adikku, dan aku masih punya hak untuk mengajari kalian!” Lanjutnya menahan amarah.“Sudahlah, An! Hapus video itu, Bapak tidak berminat melihatnya. Hanya membuat masalah saja!” ujar Bapak dengan ketus.“Oke kalau begitu!” kataku dengan santai.Aku lalu memperlihatkan layar ponselku pada mereka, dan terlihatlah sebuah video yang masih terjeda, ada pohon rambutan dan juga pohon mangga di mana tadi kami baku hantam.Lalu aku menghapusnya dengan cepat. Aku juga beralih ke folder sampah, dan menghapus yang ada di sana. Mereka langsung menghela nafas dengan lega, keringat dingin yang tadi ada di kening mereka sudah di usap menggunakan tangan.Wajah Lisa yang tadi sepucat mayat, kini sudah mulai menunjukkan kehidupan. Aliran darah kembali ke wajahnya, dan terlihat kelegaan yang sangat besar
38. Dua Puluh Lima Juta dan juga Gelang (Bagian C)Bahuku disentuh dengan sangat lembut, saat aku menoleh aku bisa menemukan wajah Mas Abi yang terlihat mengeluarkan ekspresi yang tidak bisa aku artikan. Aku tahu Mas Abi pasti saat ini tengah khawatir dengan keadaanku yang tiba-tiba menjadi pendiam. Tetapi aku tidak bisa mengeluarkan suara, tenggorokanku tercekat, dan terasa sangat sakit.Aku tidak tahu kalau menahan tangisan ternyata rasanya sesakit ini!“Hei, kalau mau menangis, menangis saja. Mas pinjamkan bahu untuk kamu!” katanya sambil ikut duduk di ranjang.Aku tidak menjawab, rasanya tenggorokanku sakit sekali. Mas Abi terasa menepuk kepalaku dan meletakkannya di bahunya sendiri, dia tidak menoleh ke arahku sama sekali. Kami terdiam hingga beberapa menit, namun semakin di tahan aku semakin tidak mampu.Akhirnya aku menangis dengan sangat keras, terisak-isak di bahu suamiku yang juga berguncang. Dia juga menangis, aku tahu itu! Namun, kali ini saja aku ingin egois. Aku tidak ma
PILIH KASIH (Membungkam Mertua dan Ipar secara Elegant)39. Gedebog pisang dikasih nyawa! (Bagian A)"Pagiku cerah, matahari bersinar!" Aku menyapu halaman dengan riang gembira, bibirku mengalunkan lagu dengan sangat semangat."Kubawa sapu lidiku, ke halaman!" Aku rubah sedikit liriknya agar pas dengan kegiatanku, hatiku sedang berbunga-bunga. Sudah dapat uang lima puluh juta ya, kan? Hahaha, aku tertawa jahat."Eh, Annnnaaaaaa! Seneng banget kayaknya, bagi-bagi dong kalau ada kabar bahagia!" Bi Ramlah menegurku.Sepertinya dia baru saja pulang dari mengantar anak bungsunya yang sudah masuk TK, Bi Ramlah ini bukan orang kaya tapi gayanya selangit. Tapi juga bukan orang yang susah sepertiku, dia hidupnya berada di tengah-tengah.Suaminya juga bekerja sebagai kuli bangunan seperti Mas Abi. Tapi gaya Bi Ramlah, sudah seperti Syahrini saja, sebenarnya dia belum terlalu tua. Tetapi aku memanggilnya Bibi karena dia masih keluarga Bapak mertua, dan itu adalah tuturan panggilan.Bi Ramlah i
40. Gedebog pisang dikasih nyawa! (Bagian B)"Ya Allah, Bi. Kalau masalah tanah, sih, itu karena Ibu emang pilih kasih. Cuma mau ngasih Mas Aji, ngasih suamiku nggak mau!" kataku dengan nada sinis, biar dia sampaikan pada mertuaku. "Lagian, suamiku nggak kerja karena dia lagi ke toko bangunan! Bukan karena malas!" Lanjutku lagi semakin ngegas.Emosi sekali rasanya, satu keluarga kok kompak tidak menyukai suamiku ya? Heran aku! Bukan hanya Bapak dan Ibu saja, tetapi keluarga jauh lainnya lebih menyukai Mas Aji. Apa karena mereka berharta? Bisa jadi, sih! Soalnya bisa dibanggakan sebagai saudara, lah, kami ini tidak ada yang bisa dibanggakan. Eitttsss, tapi itu dulu, karena nanti aku akan bangkit dan juga melawan! Aku kemudian kembali melanjutkan kegiatanku menyapu halaman, meladeni Bi Ramlah hanya akan membuang energiku. Sedangkan hari ini aku punya banyak pekerjaan, nanti siang Aira alan menjemputku dan kami akan ke rumah Emak bersama.Mumpung Mas Abi tidak bekerja, aku berniat aka
PILIH KASIH (Membungkam Mertua dan Ipar secara Elegant)41. Ibu kena Mental (Bagian A)"Mas, aku sama Aira ke rumah Ibu dulu, ya!" kataku berpamitan.Aira sudah datang, dia menaiki motor baru dengan merk viora. Hebat! Belum seminggu dia mendapatkan bagian dari Ibu, tapi dia sudah mempunyai motor baru. "Iya, Dek! Jangan ngebut ya, Ra!" kata Mas Abi mengingatkan.Dia sedang mengangkat semen ke dalam rumah, truk yang mengangkut semen dan juga genteng baru saja datang. Dan dari sopir truk, aku bisa mengetahui kalau truk pasir akan datang sore nanti karena mereka masih ada jadwal pengantaran ke kecamatan sebelah."Iya, Mas!" balas Aira dengan semangat.Kami lalu bergegas pergi setelah bergantian mencium punggung tangan suamiku, dia tersenyum kecil dan melambai saat motor Aira mulai melaju."Cepat banget beli motor baru, Ra," kataku padanya dengan sedikit keras."Nunggu apa, Mbak? Ya disegerakan saja lah!" balasnya dengan santai."Mertuamu tahu?" tanyaku ingin tahu."Beli motor? Ya tahu la