37. Dua Puluh Lima Juta dan juga Gelang (Bagian B)“Apa? Aku tidak boleh memarahinya? Kalau begitu, ajari istrimu dengan baik, jangan bersikap seperti manusia gila!” kata Wak Cokro emosi. “Kalian ini adik-adikku, dan aku masih punya hak untuk mengajari kalian!” Lanjutnya menahan amarah.“Sudahlah, An! Hapus video itu, Bapak tidak berminat melihatnya. Hanya membuat masalah saja!” ujar Bapak dengan ketus.“Oke kalau begitu!” kataku dengan santai.Aku lalu memperlihatkan layar ponselku pada mereka, dan terlihatlah sebuah video yang masih terjeda, ada pohon rambutan dan juga pohon mangga di mana tadi kami baku hantam.Lalu aku menghapusnya dengan cepat. Aku juga beralih ke folder sampah, dan menghapus yang ada di sana. Mereka langsung menghela nafas dengan lega, keringat dingin yang tadi ada di kening mereka sudah di usap menggunakan tangan.Wajah Lisa yang tadi sepucat mayat, kini sudah mulai menunjukkan kehidupan. Aliran darah kembali ke wajahnya, dan terlihat kelegaan yang sangat besar
38. Dua Puluh Lima Juta dan juga Gelang (Bagian C)Bahuku disentuh dengan sangat lembut, saat aku menoleh aku bisa menemukan wajah Mas Abi yang terlihat mengeluarkan ekspresi yang tidak bisa aku artikan. Aku tahu Mas Abi pasti saat ini tengah khawatir dengan keadaanku yang tiba-tiba menjadi pendiam. Tetapi aku tidak bisa mengeluarkan suara, tenggorokanku tercekat, dan terasa sangat sakit.Aku tidak tahu kalau menahan tangisan ternyata rasanya sesakit ini!“Hei, kalau mau menangis, menangis saja. Mas pinjamkan bahu untuk kamu!” katanya sambil ikut duduk di ranjang.Aku tidak menjawab, rasanya tenggorokanku sakit sekali. Mas Abi terasa menepuk kepalaku dan meletakkannya di bahunya sendiri, dia tidak menoleh ke arahku sama sekali. Kami terdiam hingga beberapa menit, namun semakin di tahan aku semakin tidak mampu.Akhirnya aku menangis dengan sangat keras, terisak-isak di bahu suamiku yang juga berguncang. Dia juga menangis, aku tahu itu! Namun, kali ini saja aku ingin egois. Aku tidak ma
PILIH KASIH (Membungkam Mertua dan Ipar secara Elegant)39. Gedebog pisang dikasih nyawa! (Bagian A)"Pagiku cerah, matahari bersinar!" Aku menyapu halaman dengan riang gembira, bibirku mengalunkan lagu dengan sangat semangat."Kubawa sapu lidiku, ke halaman!" Aku rubah sedikit liriknya agar pas dengan kegiatanku, hatiku sedang berbunga-bunga. Sudah dapat uang lima puluh juta ya, kan? Hahaha, aku tertawa jahat."Eh, Annnnaaaaaa! Seneng banget kayaknya, bagi-bagi dong kalau ada kabar bahagia!" Bi Ramlah menegurku.Sepertinya dia baru saja pulang dari mengantar anak bungsunya yang sudah masuk TK, Bi Ramlah ini bukan orang kaya tapi gayanya selangit. Tapi juga bukan orang yang susah sepertiku, dia hidupnya berada di tengah-tengah.Suaminya juga bekerja sebagai kuli bangunan seperti Mas Abi. Tapi gaya Bi Ramlah, sudah seperti Syahrini saja, sebenarnya dia belum terlalu tua. Tetapi aku memanggilnya Bibi karena dia masih keluarga Bapak mertua, dan itu adalah tuturan panggilan.Bi Ramlah i
40. Gedebog pisang dikasih nyawa! (Bagian B)"Ya Allah, Bi. Kalau masalah tanah, sih, itu karena Ibu emang pilih kasih. Cuma mau ngasih Mas Aji, ngasih suamiku nggak mau!" kataku dengan nada sinis, biar dia sampaikan pada mertuaku. "Lagian, suamiku nggak kerja karena dia lagi ke toko bangunan! Bukan karena malas!" Lanjutku lagi semakin ngegas.Emosi sekali rasanya, satu keluarga kok kompak tidak menyukai suamiku ya? Heran aku! Bukan hanya Bapak dan Ibu saja, tetapi keluarga jauh lainnya lebih menyukai Mas Aji. Apa karena mereka berharta? Bisa jadi, sih! Soalnya bisa dibanggakan sebagai saudara, lah, kami ini tidak ada yang bisa dibanggakan. Eitttsss, tapi itu dulu, karena nanti aku akan bangkit dan juga melawan! Aku kemudian kembali melanjutkan kegiatanku menyapu halaman, meladeni Bi Ramlah hanya akan membuang energiku. Sedangkan hari ini aku punya banyak pekerjaan, nanti siang Aira alan menjemputku dan kami akan ke rumah Emak bersama.Mumpung Mas Abi tidak bekerja, aku berniat aka
PILIH KASIH (Membungkam Mertua dan Ipar secara Elegant)41. Ibu kena Mental (Bagian A)"Mas, aku sama Aira ke rumah Ibu dulu, ya!" kataku berpamitan.Aira sudah datang, dia menaiki motor baru dengan merk viora. Hebat! Belum seminggu dia mendapatkan bagian dari Ibu, tapi dia sudah mempunyai motor baru. "Iya, Dek! Jangan ngebut ya, Ra!" kata Mas Abi mengingatkan.Dia sedang mengangkat semen ke dalam rumah, truk yang mengangkut semen dan juga genteng baru saja datang. Dan dari sopir truk, aku bisa mengetahui kalau truk pasir akan datang sore nanti karena mereka masih ada jadwal pengantaran ke kecamatan sebelah."Iya, Mas!" balas Aira dengan semangat.Kami lalu bergegas pergi setelah bergantian mencium punggung tangan suamiku, dia tersenyum kecil dan melambai saat motor Aira mulai melaju."Cepat banget beli motor baru, Ra," kataku padanya dengan sedikit keras."Nunggu apa, Mbak? Ya disegerakan saja lah!" balasnya dengan santai."Mertuamu tahu?" tanyaku ingin tahu."Beli motor? Ya tahu la
42. Ibu kena Mental (Bagian B)Kami langsung menoleh ke belakang, dan menemukan Ibu mertuaku yang baru saja turun dari motor bersama si Lampir Lisa. Sepertinya mereka baru saja berbelanja sayur, terlihat dari sekantong sayur yang ada di motor Lisa."Iya, Bu!" sahutku cepat."Mau ke mana?" tanyanya dengan mata yang memicing tajam."Mau ke rumah Emak!" Aira yang menyahut. "Bu Sri apa kabar?" tanyanya lagi sambil menunjukkan senyum manis."Oh, mau ke rumah besan!" sahut Ibu sinis. "Beli buah segala, biasanya kan orang susah nggak biasa makan buah! Ups!" katanya mengejek.Aira memberikan senyum terbaik, namun dengan cekatan dia tetap memasukkan buah-buahan segar ke dalam kantong."Kalau gitu, Bu Sri hati-hati. Takutnya nanti tersedak, kan nggak biasa!" ujar Aira santai."Maksud kamu, aku ini orang susah? Begitu?" tanya Ibu dengan nada tak percaya."Ya … saya nggak ada ngomong begitu sih, Bu Sri! Tapi kalau Bu Sri merasa, saya bisa apa?" kata Aira dengan nada yang mendayu-dayu. Ibu langsu
PILIH KASIH (Membungkam Mertua dan Ipar secara Elegant)43. Melihara tuyul! (Bagian A) "Eh, mau datang kok, nggak bilang-bilang, Anna, Aira?" Emak berujar heran.Orang tua yang telah membesarkan kami itu terlihat sangat sumringah, karena melihat aku dan juga Aira mendekat. Emak langsung meletakkan sapunya dan berjalan mendekati motor kami dengan cepat.“Wah, motor baru, nih!” katanya menggoda,.Aira langsung tersenyum dengan bangga dan menepuk dadanya, “baru, dong!” katanya dengan senyum sumringah.“Hebat anak Emak!” balas Emak sambil mengacak rambut Aira dengan penuh kasih sayang. “Suami kalian tidak ikut?” tanyanya sambil menatap ke belakang. “Nggak, Mak! Mereka lagi sibuk,” kata Aira sambil menggandeng lengan Emak.“Ayo masuk!” kata Emak sambil beranjak menuju ke dalam, dengan Aira yang menempel di lengannya seperti lintah. Aku kemudian mengikuti langkah kaki Emak, dengan santai kami memasuki rumah dimana kami telah dibesarkan dulu. Tidak terlihat keberadaan Aina di manapun, ak
44. Melihara tuyul! (Bagian B)"Tadi Bi Ramlah datang ke rumah, dan dia juga bilang kalau Ana halu mau bangun rumah, terus Ana keceplosan, Ana emosi, Ana bilang Ana mau bangun rumah mau buat usaha, mau beli motor seperti punya Mbak Lisa. Tapi yang warna biru" kataku lagi."Bagus dong, Mbak. Bagus itu namanya Mbak. Hebat aku bangga sama, Mbak," kata Aira dengan nada menggebu-gebu. "Memang orang kayak gitu tuh wajib dilawan, Mbak. Halal untuk diperangi," katanya lagi."Tapi kan Mbak jadi ngerasa gimana gitu, Dek". Aku menyahut ragu."Ngerasa apa?" tanyanya sewot. "Udah deh singkirkan aja rasa-rasa nggak enak itu. Mbak tuh harus bangkit! Harus punya rumah! Harus beli motor! Harus punya usaha. Kalau ada lebihnya,Mbak beli tuh skin care kek, biar glowingan dikit!" kata Aira lagi."Iya, aku setuju banget." Sahut Aina yang keluar dari dalam kamar, rambutnya terlihat dililit oleh handuk dan wajahnya tampak jauh lebih segar.Hahhh … aku jadi ingin mandi untuk meredakan kegerahan yang aku rasa