239. Terungkap (Bagian C)Dia kemudian menunduk, tatapannya terpaku menatap sprei berwarna biru yang terpasang apik di ranjang milik Sri. Tatapan Aji terasa kosong, dia saat ini benar-benar tidak bisa memikirkan apapun.Terlalu banyak masalah yang menghantui kehidupan rumah tangganya, dan masalah yang terbesar memang ada pada kata disaat mereka meminjam uang kepada Karta."Sudah berapa bulan kamu meminjam uang kepada Karta?" tanya Sri ingin tahu, dan berusaha semakin mengorek informasi yang ingin diketahuinya pada Aji."Sudah empat bulan, Bu!" sahut Aji dengan lesu."Empat bulan?!" Abi memekik kecil. "Mas! Sudah berapa uang yang kalian keluarkan untuk juragan Karta? Karena menurut kabar yang beredar, dia mematok bunga sebanyak 10% untuk setiap pinjaman yang dia berikan. Jika Mas meminjam uang sebanyak enam ratus juta, maka enam puluh juta rupiah harus Mas bayar setiap bulannya, dan itu artinya sudah dua ratus empat puluh juta yang Mas bayar kepada juragan Karta!" lanjut Abi lagi denga
PILIH KASIH (Membungkam Mertua dan Ipar secara Elegant)240. Ultimatum! (Bagian A)"Nggak, bukan rumah ataupun sawah, Bu!" Aji menyahut cepat."Terus? Darimana kamu dapat uangnya? Tiga ratus juta, Ji. Tiga ratus juta," ujar Sri dengan penuh penekanan. "Tabungan aku," ujar Aji dengan sangat lirih, bahkan bisa dibilang hampir berbisik."Tabungan?" Sri bertanya sangsi."Iya tabungan aku," katanya lagi."Oh, kamu masih belum mau jujur sama kami?" tanya Sri dengan sangat sinis."Bu—""Apa?" Sri langsung menyambar.Wanita berusia lima puluh tiga tahun itu benar-benar geram saat ini, apalagi saat melihat Aji yang kelihatannya masih menutup-nutupi sesuatu. Jika rumah dan juga sawahnya aman, lalu apa sumber uang lainnya? "Yang pasti bukan rumah dan juga sawah," sahut Aji setengah hati."Ya lalu apa?" Sri kembali mendesak. "Bisa saja kalian menggadaikan rumah itu, apalagi rumah iru atas nama Lisa," ujar Sri lagi."Tidak, Bu. Sertifikat rumah dan juga sawah masih aman di tanganku. Ibu tidak pe
241. Ultimatum! (Bagian B)Dia semakin menekankan perkataannya kepada Aji, dan dia hanya bisa berharap kalau anak sulungnya itu akan mematuhi perkataannya. Karena bagaimanapun juga Sri benar-benar sudah hilang kesabaran, dengan kebodohan dan juga kebucinan Aji."Kamu itu yang mbok pintar sedikit kenapa toh, Ji? Apa yang dikatakan oleh istrimu, selalu kamu ikuti. Apa yang dikatakan oleh Lisa, selalu kamu penuhi. Boleh kamu membelikan apapun untuk dia, Ibu tidak masalah karena itu memang sudah tugas kamu sebagai suaminya untuk memenuhi kebutuhannya!" Sri menatap Aji dengan lekat. "Kamu juga boleh membantu mertuamu, tentu saja jika kamu mempunyai uang dan mampu. Ibu juga tidak masalah, kok. Tetapi, jika kamu mempertaruhkan masa depan anak-anakmu hanya demi keluarga istrimu, maka Ibu benar-benar akan marah. Ibu memberikan kebun sawit itu untukmu, agar kamu mempunyai pegangan untuk masa depan Naufal dan juga Salsa. Bukan untuk kamu investasikan kepada Marwan! Ibu benar-benar tidak habis pi
242. Ultimatum! (Bagian C)"Apa? Kamu nyariin Abi? Ini orangnya, bawa pulang sana." Aji berseru, sambil menunjuk Abi."Hah? Nggak, kok. Aku mau ketemu Ibu, bukan nyari Mas Abi," kata Anna dengan cepat. "Tapi kamu ngapain di situ, Mas? Bukannya tadi pagi pergi sama Bang Ridho?" tanya Anna ingin tahu.Dia berjalan mendekati ranjang, dan mendudukkan dirinya di sana. Tepat di samping Abi, walau harus sempit-sempitan tapi dia memaksakan tubuhnya untuk ikut duduk di sana."Udah pulanglah, dan Mas ngadem dulu di sini," sahut Abi cepat. "Kamu kok di sini, Dek? Siapa yang jaga toko, Dek? Kok, kamu tinggal?" Abi balas bertanya."Oh, ada Emak sama Aina di rumah kok, Mas. Makanya aku ke sini, toko dijaga Aina, Mas. Aman!" sahut Anna cepat."Oalah, Emak datang?" Abi berseru senang."Iya, di rumah sama Aina. Makanya Mas jangan keluyuran aja!" Anna mencebik sinis.Abi hanya bisa menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, apalagi saat melihat istrinya yang melotot galak. Maklum saja, yang namanya wanita
PILIH KASIH (Membungkam Mertua dan Ipar secara Elegant)243. Salah Alamat! (Bagian A)POV ANNA“Yang ngebut dong, An!”Ibu menepuk bahuku dengan lumayan kuat, padahal rumahku sudah kelihatan tapi tetap saja, kelihatannya dia merasa laju motor ini sangat-sangat lambat. Sehingga Ibu benar-benar sampai harus bertindak bar-bar seperti saat ini.“Ya Allah, Bu. Dah sampai juga, loh!” kataku dengan nada bosan.Aku membelokkan motor nemex milikku untuk kembali memasuki halaman rumahku yang luas, dan setelahnya Ibu langsung melompat turun dengan tergesa-gesa. Sukses membuat aku kaget, bagaimana kalau Ibu sampai jatuh?Bagaimana kalau dia sampai terluka? Memar? Geger otak? Stroke? Bisa gawat aku! Bapak dan juga Mas Abi serta Mas Aji pasti menyalahkanku karena tidak menjaga Ibu dengan baik."Mana Ibu, Ai?" tanyaku pada Aina yang duduk di meja kasir, adikku itu terlihat sedang memainkan ponselnya dengan tekun."Di dalam, Mbak," sahut Aina tanpa menoleh."An, adikmu cantik banget," bisik Joko pada
244. Salah Alamat! (Bagian B)"Ana! Maksud kamu apa? Aku bukan penjahat kelamin, woi!"Saat aku memasuki rumah, aku bisa melihat Ibu dan Emak sedang berbincang seru. Namun, saat mereka melihat aku masuk ke dalam rumah, pembicaraan mereka langsung terhenti dan menatapku dengan pandangan terkejut."Kamu ngagetin aja, An!" Ibu bahkan sampai mengusap dadanya, terlihat sangat terkejut dengan kedatanganku. Begitu juga dengan Emak yang sepertinya tengah mengalami hal yang sama, terkejut tanpa alasan."Anna cuma masuk ke dalam sini, Bu. Masak gitu aja kaget?" tanyaku cepat, tentu saja sambil memberikan pembelaan diri."Namanya juga tiba-tiba, ya kami kaget lah. Kami ini udah tua, jantung kami nggak sekuat anak-anak muda!" kata Ibu tak kalah cepat. "Lagian kamu ngapain masuk dengan cara mengendap-endap seperti itu? Kayak maling aja," kata Ibu lagi."Ya kan, Anna kira kalian lagi ngomong sama tamunya, Bu. Jadi Anna nggak mau ribut-ribut, takut mengganggu," balasku memberikan alasan. "Eh, tamun
245. Salah Alamat! (Bagian C)"Yah, itu karena Mas nggak diundang," balas ku dengan santai."Ana!" Emak memperingatkan.Mas Aji kemudian menatapku dengan pandangan mengejek, dia terlihat luar biasa senang saat melihat aku dimarahi oleh Emak. Emak memang adalah orang yang benar-benar menjunjung tinggi sopan santun dan juga rasa hormat.Jadi dia jelas saja tidak merasa senang saat aku menyahuti kata-kata Mas Aji tadi dengan sedikit ketus, tapi mau bagaimana lagi? Setiap melihat Mas Aji, aku memang mau bertindak julid saja padanya."Maaf, Mak," kataku dengan cepat.Emak hanya mengangguk, namun dia langsung mengalihkan pandangannya ke arah Mas Aji dan juga melemparkan senyum manis kepada Kakak iparku itu."Nak Aji, apa kabar? Sehat?" tanya Emak dengan sangat lembut."Alhamdulillah, sehat, Mak. Emak gimana kabarnya? Maaf ya, Aji sudah lama tidak main ke rumah," kata Mas Aji dengan tak kalah sopannya.Mas Aji memang tergolong cukup sopan kepada orang tuaku, tetapi di saat-saat tertentu dia
PILIH KASIH (Membungkam Mertua dan Ipar secara Elegant)246. Kedatangan Marwan! (Bagian A)“Kamu ini nyusahin aja, heran!” Mas Aji bersungut-sungut, dia memakai sandalnya sambil menatapku dengan pandangan tajam. “Duluan sana, Mas mau ke belakang dulu!” kata Mas Aji sambil berjalan ke arah samping.Aku mengedikkan bahuku tak peduli, dan lantas berjalan ke depan, aku bahkan lupa dengan pintu yang terhubung. Padahal aku bisa saja masuk ke toko memakai pintu itu, tapi aku lupa dan terpaksa aku berjalan melalui halaman untuk ke depan toko.Saat sudah sampai di sana, aku langsung mengernyitkan dahiku saat melihat ada seorang lelaki yang duduk berhadapan dengan Joko yang sedang merebahkan dirinya di kursi panjang dan sepertinya Joko sedang tertidur. Sedangkan lelaki itu membelakangiku, jadi aku tidak bisa menebak siapa lelaki itu.Saat melihat ke arah motornya pun, aku sama sekali tidak mengenalnya. Motor PCM, kelihatannya masih baru, mulus, berkilau, dan juga mengkilat. Seingatku di desa in