241. Ultimatum! (Bagian B)Dia semakin menekankan perkataannya kepada Aji, dan dia hanya bisa berharap kalau anak sulungnya itu akan mematuhi perkataannya. Karena bagaimanapun juga Sri benar-benar sudah hilang kesabaran, dengan kebodohan dan juga kebucinan Aji."Kamu itu yang mbok pintar sedikit kenapa toh, Ji? Apa yang dikatakan oleh istrimu, selalu kamu ikuti. Apa yang dikatakan oleh Lisa, selalu kamu penuhi. Boleh kamu membelikan apapun untuk dia, Ibu tidak masalah karena itu memang sudah tugas kamu sebagai suaminya untuk memenuhi kebutuhannya!" Sri menatap Aji dengan lekat. "Kamu juga boleh membantu mertuamu, tentu saja jika kamu mempunyai uang dan mampu. Ibu juga tidak masalah, kok. Tetapi, jika kamu mempertaruhkan masa depan anak-anakmu hanya demi keluarga istrimu, maka Ibu benar-benar akan marah. Ibu memberikan kebun sawit itu untukmu, agar kamu mempunyai pegangan untuk masa depan Naufal dan juga Salsa. Bukan untuk kamu investasikan kepada Marwan! Ibu benar-benar tidak habis pi
242. Ultimatum! (Bagian C)"Apa? Kamu nyariin Abi? Ini orangnya, bawa pulang sana." Aji berseru, sambil menunjuk Abi."Hah? Nggak, kok. Aku mau ketemu Ibu, bukan nyari Mas Abi," kata Anna dengan cepat. "Tapi kamu ngapain di situ, Mas? Bukannya tadi pagi pergi sama Bang Ridho?" tanya Anna ingin tahu.Dia berjalan mendekati ranjang, dan mendudukkan dirinya di sana. Tepat di samping Abi, walau harus sempit-sempitan tapi dia memaksakan tubuhnya untuk ikut duduk di sana."Udah pulanglah, dan Mas ngadem dulu di sini," sahut Abi cepat. "Kamu kok di sini, Dek? Siapa yang jaga toko, Dek? Kok, kamu tinggal?" Abi balas bertanya."Oh, ada Emak sama Aina di rumah kok, Mas. Makanya aku ke sini, toko dijaga Aina, Mas. Aman!" sahut Anna cepat."Oalah, Emak datang?" Abi berseru senang."Iya, di rumah sama Aina. Makanya Mas jangan keluyuran aja!" Anna mencebik sinis.Abi hanya bisa menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, apalagi saat melihat istrinya yang melotot galak. Maklum saja, yang namanya wanita
PILIH KASIH (Membungkam Mertua dan Ipar secara Elegant)243. Salah Alamat! (Bagian A)POV ANNA“Yang ngebut dong, An!”Ibu menepuk bahuku dengan lumayan kuat, padahal rumahku sudah kelihatan tapi tetap saja, kelihatannya dia merasa laju motor ini sangat-sangat lambat. Sehingga Ibu benar-benar sampai harus bertindak bar-bar seperti saat ini.“Ya Allah, Bu. Dah sampai juga, loh!” kataku dengan nada bosan.Aku membelokkan motor nemex milikku untuk kembali memasuki halaman rumahku yang luas, dan setelahnya Ibu langsung melompat turun dengan tergesa-gesa. Sukses membuat aku kaget, bagaimana kalau Ibu sampai jatuh?Bagaimana kalau dia sampai terluka? Memar? Geger otak? Stroke? Bisa gawat aku! Bapak dan juga Mas Abi serta Mas Aji pasti menyalahkanku karena tidak menjaga Ibu dengan baik."Mana Ibu, Ai?" tanyaku pada Aina yang duduk di meja kasir, adikku itu terlihat sedang memainkan ponselnya dengan tekun."Di dalam, Mbak," sahut Aina tanpa menoleh."An, adikmu cantik banget," bisik Joko pada
244. Salah Alamat! (Bagian B)"Ana! Maksud kamu apa? Aku bukan penjahat kelamin, woi!"Saat aku memasuki rumah, aku bisa melihat Ibu dan Emak sedang berbincang seru. Namun, saat mereka melihat aku masuk ke dalam rumah, pembicaraan mereka langsung terhenti dan menatapku dengan pandangan terkejut."Kamu ngagetin aja, An!" Ibu bahkan sampai mengusap dadanya, terlihat sangat terkejut dengan kedatanganku. Begitu juga dengan Emak yang sepertinya tengah mengalami hal yang sama, terkejut tanpa alasan."Anna cuma masuk ke dalam sini, Bu. Masak gitu aja kaget?" tanyaku cepat, tentu saja sambil memberikan pembelaan diri."Namanya juga tiba-tiba, ya kami kaget lah. Kami ini udah tua, jantung kami nggak sekuat anak-anak muda!" kata Ibu tak kalah cepat. "Lagian kamu ngapain masuk dengan cara mengendap-endap seperti itu? Kayak maling aja," kata Ibu lagi."Ya kan, Anna kira kalian lagi ngomong sama tamunya, Bu. Jadi Anna nggak mau ribut-ribut, takut mengganggu," balasku memberikan alasan. "Eh, tamun
245. Salah Alamat! (Bagian C)"Yah, itu karena Mas nggak diundang," balas ku dengan santai."Ana!" Emak memperingatkan.Mas Aji kemudian menatapku dengan pandangan mengejek, dia terlihat luar biasa senang saat melihat aku dimarahi oleh Emak. Emak memang adalah orang yang benar-benar menjunjung tinggi sopan santun dan juga rasa hormat.Jadi dia jelas saja tidak merasa senang saat aku menyahuti kata-kata Mas Aji tadi dengan sedikit ketus, tapi mau bagaimana lagi? Setiap melihat Mas Aji, aku memang mau bertindak julid saja padanya."Maaf, Mak," kataku dengan cepat.Emak hanya mengangguk, namun dia langsung mengalihkan pandangannya ke arah Mas Aji dan juga melemparkan senyum manis kepada Kakak iparku itu."Nak Aji, apa kabar? Sehat?" tanya Emak dengan sangat lembut."Alhamdulillah, sehat, Mak. Emak gimana kabarnya? Maaf ya, Aji sudah lama tidak main ke rumah," kata Mas Aji dengan tak kalah sopannya.Mas Aji memang tergolong cukup sopan kepada orang tuaku, tetapi di saat-saat tertentu dia
PILIH KASIH (Membungkam Mertua dan Ipar secara Elegant)246. Kedatangan Marwan! (Bagian A)“Kamu ini nyusahin aja, heran!” Mas Aji bersungut-sungut, dia memakai sandalnya sambil menatapku dengan pandangan tajam. “Duluan sana, Mas mau ke belakang dulu!” kata Mas Aji sambil berjalan ke arah samping.Aku mengedikkan bahuku tak peduli, dan lantas berjalan ke depan, aku bahkan lupa dengan pintu yang terhubung. Padahal aku bisa saja masuk ke toko memakai pintu itu, tapi aku lupa dan terpaksa aku berjalan melalui halaman untuk ke depan toko.Saat sudah sampai di sana, aku langsung mengernyitkan dahiku saat melihat ada seorang lelaki yang duduk berhadapan dengan Joko yang sedang merebahkan dirinya di kursi panjang dan sepertinya Joko sedang tertidur. Sedangkan lelaki itu membelakangiku, jadi aku tidak bisa menebak siapa lelaki itu.Saat melihat ke arah motornya pun, aku sama sekali tidak mengenalnya. Motor PCM, kelihatannya masih baru, mulus, berkilau, dan juga mengkilat. Seingatku di desa in
247. Kedatangan Marwan! (Bagian B)"Oh, memang ada perlu apa ke rumah tiba-tiba banget?" sahut Mas Aji ingin tahu.Aku mengamati dan juga mendengarkan di dalam diam, sepertinya Mas Aji sudah jauh berubah. Dia tidak terlihat antusias, berbicara dengan Marwan sangat berbeda dari yang dulu. Kalau dulu jika ada Marwan dan juga Mas Abi di sana, maka Mas Aji akan lebih memilih bercerita dan juga bersenda gurau dengan Marwan dan mengabaikan adik kandungnya sendiri. Tapi sekarang Mas Aji kelihatan ogah-ogahan berbicara kepada Marwan, dia kelihatannya tidak semangat dan juga tidak terlalu senang untuk berbincang dengan lelaki itu."Mengenai masalah tadi malam—""Oh, apalagi yang mau dibahas? Aku tidak mau membicarakan masalah tadi malam, Wan!" sahut Mas Aji dengan cepat, dia bahkan memotong ucapan Marwan sehingga membuat laki itu menatap Mas Aji dengan pandangan tidak suka.Tetapi Kakak iparku itu hanya bersikap cuek, dan mengalihkan pandangannya ke arah jalanan, menunjukkan kalau dia tidak m
248. Kedatangan Marwan! (Bagian C)Memangnya apa yang terjadi tadi malam? Dan ada apa dengan uang tiga ratus ribu?Saat suasana hening, aku bisa melihat Mas Abi yang masuk ke dalam pekarangan. Dia tidak memarkirkan motornya di halaman, melainkan di depan toko bersanding dengan motor milik Marwan yang terlihat mentereng."Loh, Wan, tumben ke sini? Apa kabar?" tanya Mas Abi dengan ramah, dia Lalu bersalaman dengan Marwan dan ikut mendudukkan dirinya di sana."Baik, Bi, Alhamdulillah. Kamu gimana kabarnya?" balas Marwan dengan cepat."Oh, aku baik-baik saja, Alhamdulillah juga," sahut Mas Abi sekenanya."Enak ya hidup kamu sekarang, Bi, nggak perlu susah-susah jadi kuli bangunan lagi," kata Marwan tiba-tiba, sambil mengedarkan pandangannya ke sekeliling toko.Aku dan Aina langsung mendongak secara bersamaan dan menatap ke arah Marwan dengan pandangan tajam, aku bisa melihat Mas Abi Yang menggaruk tengkuknya. Terlihat serba salah dengan pertanyaan yang baru saja Marwan lontarkan."Iya, Al