"Ini baju almarhum ayahku dan Anda bisa tidur di kamar Ayah, itu disana." Aya memberikan baju ganti kepada Devan dan juga menunjukkan kamar sang ayah untuk tidur.
"Terima kasih, dan maaf jika aku terpaksa menikahimu. Aku tidak ingin kamu dibawa ke kantor polisi gara-gara aku."
"Tidak apa-apa, lagi pula semua sudah terjadi. Dan ini bukan sepenuhnya salah Anda. Saya hanya tidak percaya tiba-tiba bisa menikah." Kanaya tersenyum kecut.
"Bisakah kita menggunakan bahasa santai saja, jangan 'Saya' dan 'Anda'.""Maaf, tapi kita memang tidak saling mengenal, bukan? Tapi ya sudahlah mari kenalan, namaku Kanaya dan sering dipanggil Aya." Kanaya mengulurkan tangannya.
"Ya, dan bahkan aku sudah menyebutkan namamu dalam ijab qabul tadi," kekeh Devan. "Namaku Devandra, panggil saja Devan." Mereka saling berjabat tangan.
"Lucu sekali ya kita, sudah menikah baru kenalan," ucap Kanaya tertawa. "Jika kau keberatan berada di sini, atau merasa tertekan dengan pernikahan ini, kita bisa membatalkannya, lagian kita belum terdaftar di KUA."
"Lalu bagaimana denganmu? Bukankah itu akan membuatmu digunjing warga di sini?"
"Aah, entahlah!" Aya merebahkan tubuhnya di sandaran kursi. "Aku sama sekali tidak terpikirkan untuk menikah. Aku baru menginjak dua puluh satu tahun dan masih kuliah. Apa kata teman-temanku jika tahu aku sudah menikah?"
"Kamu tenang saja, kita bisa menyembunyikan pernikahan ini pada teman-temanmu," ujar Devan.
"Oke! Ya sudahlah aku mau tidur, besok aku ada kelas. Tolong nanti tutup dan kunci pintunya!" Aya meninggalkan Devan yang masih duduk di kursi tamu.
Sesampainya di kamar, Kanaya terduduk di sudut ranjang dan termenung memikirkan nasibnya. Dia berada di situasi yang sulit. "Apa yang akan aku katakan pada teman-temanku, terutama pada Alex, jika ia tahu tentang pernikahan ini?" lirihnya.
Alex adalah lelaki yang sedang dekat dengannya. Dia laki-laki baik yang menyayangi Kanaya. Bahkan saat ayahnya meninggal, Alexlah yang banyak menghiburnya.
Kini, Ia tidak tahu harus menjelaskan apa pada Alex tentang pernikahan grebekan ini. Ia takut Alex tidak percaya padanya. Meski selama ini Kanaya belum menerima Alex, tetapi ia sadar jika hatinya menyukai Alex.
Kanaya dan Alex memang sudah dekat sejak lama, tapi Kanaya belum juga memberikan jawaban atas pernyataan cinta Alex. Dan meski mereka sedang dekat, Kanaya tidak pernah mau jika Alex mengantarkannya ketika pulang, karena takut dianggap buruk oleh tetangganya. Tetangganya selalu menganggap Kanaya seperti ibunya, yang mudah dibawa laki-laki kaya.
Apa lagi sang ayah selalu berpesan agar dirinya tidak pacaran, karena jodohnya akan datang dengan sendiri. "Ingat, Aya! Fokuslah belajar agar mendapatkan nilai yang bagus, agar tidak direndahkan orang. Jangan pacar-pacaran! Kelak jodohmu akan datang dengan sendirinya," begitulah ucapan pak Ali kepada Kanaya kala itu.
Dulu saat pak Ali Hasan ayahnya masih hidup, ia selalu diantar jemput oleh sang ayah. Namun setelah kepergian sang ayah, Kanaya berangkat kuliah menggunakan jasa tukang ojek ataupun angkutan.
Kalau saja kemarin dia mau diantar oleh Alex, pasti dia tidak harus kehujanan dan berteduh di pos ronda yang menyebabkan ia digrebek bersama Devan. Namun apa mau dikata, nasi sudah menjadi bubur.
"Apa yang harus aku lakukan? Haruskah aku menutupi pernikahan ini? Tapi sampai kapan? Kalau aku mengakhiri pernikahan ini, apa kata orang-orang nanti." Kanaya menatap foto sang ayah yang berada di samping tempat tidurnya. Dia begitu merindukan sosok sang ayah untuk saat ini.
"Ayah, tolong aku, Yah. Apa yang harus aku lakukan? Aku masih ingin menjadi anak Ayah, aku benar benar merasa sendiri tanpa Ayah. Kenapa Ayah tidak mau menjawabku?" Gadis itu meneteskan air mata setiap menatap foto sang ayah.
Ia telah melalui banyak hal bersama sang ayah. Sejak kecil ia hanya hidup berdua dengan ayahnya, saat ibu yang seharusnya menjaga, malah pergi meninggalkan dirinya dan sang ayah, hanya karena ayahnya tidak mampu memberikan banyak uang padanya.
Selama ini, hanya ayahnyalah yang menemani dirinya. Banyak kenangan indah yang tidak bisa dilupakan begitu saja.
Ayahnya telah berjuang sekuat tenaga untuk menyekolahkan dan membiayai seluruh hidupnya. Kini, Kanaya merasa sepi saat pelindungnya telah tiada. Dia selalu merasakan kerinduan dan kesedihan. Meski gadis itu tidak pernah sekalipun menampakkan kesedihan dalam dirinya, karena ia memang selalu tampak ceria, dan pandai menutupi kesedihannya. Ia berusaha kuat untuk dirinya sendiri.
***
Kokok ayam membangunkan insan yang masih terlelap. Perlahan-lahan, Kanaya bangun dari tidur dan menuju ke kamar mandi dengan handuk di pundaknya. Namun ia lupa kalau di rumahnya ada orang lain. Karena baru bangun, ia lupa jika ia telah menjadi seorang istri tadi malam.
Dengan masih menguap dan sedikit membuka mata, Kanaya membuka kamar mandi lalu menutupnya. Namun ia kaget saat mendengar seseorang sedang menyiram air. Sontak ia membelalakkan matanya saat ia melihat laki-laki yang bertelanjang dada dengan memakai celana kolor sambil mengguyur air ke tubuh.
"Haaaah!" teriak Kanaya yang membuat kaget Devan. Ia menoleh dan melihat Kanaya berada di dalam kamar mandi bersamanya. Kanaya yang hendak keluar, malah terpeleset. Devan menangkap tubuh ramping itu meski tubuhnya masih basah akibat siraman air saat ia mandi.
Kamar mandi yang sempit itu menjadi hening. Mereka saling menatap untuk beberapa saat. Degub jantung berpacu seiring dengan tetesan air dari tubuh Devan. "Maaf!" Devan melepaskan tubuh Kanaya dan Kanaya pun segera keluar dari kamar mandi. Ia baru ingat kalau ada Devan sekarang di dalam rumahnya.
Kanaya menghembuskan napas kasar seraya berusaha menetralkan detak jantungnya, "Aduh!" Kanaya menepuk jidatnya. "Kenapa aku bisa lupa kalau ada pria itu di sini? Lagian rajin amat pagi-pagi sudah di kamar mandi saja! Benar-benar sudah tidak aman, di rumah sendiri tapi was-was, " gumamnya kesal.
Tiba-tiba kamar mandi dibuka dari dalam dan Devan memunculkan kepalanya. "Apa aku boleh meminjam handuk?"
Aya membelalakkan matanya, ia lupa belum mencarikan handuk untuk Devan. Terpaksa ia memberikan handuk kesayangannya yang berwarna merah muda. Devan menerima handuk itu. Setelah beberapa menit, Devan keluar dengan pakaian lengkap. Ia juga membawa kembali handuk Kanaya.
Kanaya mencari handuk lain dan bergegas mandi setelah itu."Silakan, hanya ada ini di rumah!" Aya memberikan piring berisi nasi goreng buatannya kepada Devan dan berusaha melupakan kejadian di kamar mandi.
Devan menerima piring berisi nasi goreng buatan Kanaya lalu memasukkan satu suapan ke dalam mulutnya, "Lumayan enak," gumamnya.
"Kenapa?"
"Masakanmu enak juga, apa kamu terbiasa memasak sendiri?" Tanya Devan sambil memasukkan nasi goreng lagi ke dalam mulutnya.
"Ya, siapa lagi yang memasak kalau bukan aku sendiri?" Devan hanya tersenyum dengan jawaban Kanaya.
"Apa kamu akan berangkat kuliah?"
"Hmm," jawab Kanaya.
"Bareng aku saja sekalian aku mau ngojek," ajak Devan.
"Tidak usah, aku biasa pergi sendiri," tolak Kanaya.
"Tapi akan terlihat aneh oleh tetanggamu jika kita pergi sendiri-sendiri."
Kanaya terlihat memikirkan ucapan Devan. Lebih baik dia ikut bareng saja dengan Devan. Lumayan untuk memghemat uang bensin. Semalam ia mendengar jika laki-laki itu adalah seorang tukang ojek, saat ditanya pamannya. "Baiklah, tapi tidak perlu sampai kampus juga!"
"Iya, aku mengerti. Ini ambillah!" Devan mengeluarkan uang pecahan seratus ribu sebanyak sepuluh lembar."Uang sebanyak ini untuk apa?"
"Anggap saja itu uang saku untukmu, bukankah sekarang ini aku suamimu? Sudah kewajibanku memberikan uang padamu."
"Apa?! Apa kau menganggap serius pernikahan ini? Tidak tidak! Aku tidak mau mengambil uangmu!" bentak Kanaya. Tentu ia tidak mau menerima uang itu. Ia khawatir jika laki-laki yang sudah menikahinya itu minta yang aneh-aneh.Apa lagi saat mengingat kejadian di kamar mandi tadi. Ia masih ingat saat tatapan Devan seperti orang yang ingin melahapnya. Tubuh kekar yang menangkap tubuhnya, bagaimana jika tadi ia tidak bisa keluar dari kamar mandi. Membayangkannya saja, Kanaya merasa ngeri.
Ia pernah menonton sebuah film tentang seorang laki-laki yang memberikan uang pada perempuan lalu meminta balasan berupa tidur bersama. Ia tidak ingin jika itu terjadi, karena ia masih ingin menggapai mimpinya. Meski ia tahu mereka sudah menikah, tapi mereka tidak saling mengenal. Lagi pula ia heran tukang ojek bisa punya uang sebanyak itu.
"Baiklah kalau kamu tidak mau, nanti kubelikan sembako saja untuk persediaanku selama di sini." Devan memasukkan kembali uang itu ke dalam dompetnya.
Saat subuh tadi, ia melihat kondisi dapur Kanaya sebelum gadis itu bangun. Ia membuka kulkas dan tidak ada apa-apa di dalamnya. Begitu pun dengan lemari yang berada di samping kulkas. Hanya ada beras yang tinggal sejumput dan mie instan dua biji.Dia tidak melihat apa pun lagi di sana. Hanya ada nasi sisa yang mungkin dimasak Kanaya pagi ini. Itu pun tidak menggunakan telur dan yang lainnya.
"Ya, terserah!"
Kanaya memang tidak pernah memusingkan tentang makanan, karena ia bisa makan apapun. Tapi "apapun" ini tetap makanan ya, bukan yang lain.
Selama ini, ia menjahit di rumahnya dengan jahit milik almarhum ayahnya. Ia sudah menguasai banyak pola jahitan dan sudah banyak yang datang ke rumahnya. Terlebih para pelanggan ayahnya yang kini beralih menjadi pelanggannya. Dan dari hasil menjahit inilah, ia bisa menyambung hidup dan juga untuk biaya kuliahnya.
-----------------Kanaya turun dari motor Devan yang berhenti di depan kampus. Untung tidak ada yang melihat dirinya. Padahal tadi ia sudah berpesan agar menurunkan di tempat yang agak jauh, tapi Devan malah menurunkannya di depan kampus.
Dengan kesal Kanaya berlari kecil memasuki kampus, tanpa menghiraukan Devan.
Brukk!
"Aduh!" Kanaya terjatuh karena menabrak seseorang.
"Aduh!" Kanaya terjatuh karena menabrak seseorang. "Makanya hati-hati," ucap seorang laki-laki yang ditabrak Kanaya. "Iya, maaf." Kanaya menerima ukuran tangan dari orang yang ditabraknya. "Makasih, Lex." Kanaya tersenyum menerima bukunya yang jatuh dan diambilkan oleh Alex. "Kamu kenapa sih buru-buru? Kan ini masih pagi, belum ada dosen yang hadir," tanyanya. "Enggak apa-apa, aku buru-buru karena mau ke ..., toilet, iya toilet!" "Oh, ya sudah jangan lari-lari lagi." Alex mengacak rambut panjang Kanaya. "Oke!" Kanaya mengacungkan jempolnya. Ia pergi meninggalkan Alex dan pura-pura ke kamar mandi. Ia menghembuskan napas kasar. Ia merasa bersalah pada Alex dan tidak tahu apa yang harus ia katakan pada laki-laki itu tentang pernikahan yang sudah terjadi. Kanaya menemui kedua sahabatnya dan berjalan berdampingan. Namun para mata lelaki lebih fokus pada Kanaya. Kanaya memang memiliki daya pikat tersendiri di mata laki-laki. Dia memiliki wajah mani
Kanaya kembali ke kantin, menghampiri Resti dan Mili. Dia benar-benar panik dan tidak bersemangat setelah mendapat ancaman dari Cintia. Dia takut dan bingung harus berbuat apa. "Loh, kok kesini? Ntar Alex marah lagi! Tuh dia masih nungguin kamu!" ujar Resti. Kanaya menatap Alex dari kejauhan. Alex tampak tersenyum ke arahnya dan melambaikan tangan. Apa yang harus ia katakan pada Alex jika Cintia benar-benar menyebarkan berita pernikahan dan penggrebekannya itu. Apa jadinya jika Alex dan keluarganya tahu, pasti akan membuat Kanaya semakin tersudut. Dulu, Kanaya pernah bertemu dengan Bu Mirna ibunya Alex, saat ia tengah berada di toko buku bersama Alex. Bu Mira menarik tangan Alex dan menanyai Alex tentang dirinya. Saat itu Kanaya tidak sengaja mendengar pembicaraan mereka. Bu Mira terdengar tidak menyukai Kanaya karena dianggap berbeda status sosialnya. Tapi permasalahan kali ini berbeda, karena ia kini telah menjadi seorang istri dari seorang tukang oje
Suasana malam yang begitu sunyi dengan ditemani suara jangkrik. Kanaya membuka jendela kamarnya, menatap ke arah luar. Hatinya bingung dengan keadaan yang terjadi pada dirinya. Tinggal seatap dengan laki-laki yang berstatus suaminya, tetapi ia tidak tahu siapa sebenarnya laki-laki itu. "Apa yang harus aku lakukan?" Ia bersandar di samping jendela. Puas merenung, Kanaya pergi ke kamar mandi. Saat Kanaya melewati kamar sang ayah yang saat ini ditempati Devan, ia mendengar suara laki-laki itu yang sepertinya sedang berbicara. "Sudahlah, kamu urus saja semua urusan yang di sana, aku serahkan tugas itu padamu. Aku akan mengabarimu nanti saat ada waktu." Samar-samar, terdengar suara Devan. Kanaya mendekatkan telinganya di daun pintu. Namun tiba-tiba pintu dibuka dari dalam, ia pun pura-pura membersihkan gorden. "Ada apa? Kenapa kamu menatapku seperti itu?" tanya Kanaya yang merasa Devan menatapnya penuh selidik. "Aku hanya heran saja, malam-malam begini masih bersih-ber
Devan berusaha memejamkan matanya dengan posisi masih dipeluk Kanaya. Dadanya semakin bergemuruh, ia tidak berani menatap wajah Kanaya. Kini ia menatap langit-langit kamar dengan sedikit pencahayaan dari ponselnya. Devan menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan, berusaha menetralkan perasaan aneh dalam tubuhnya. Ia laki-laki normal, tentu ada perasaan lain saat bersentuhan dengan seorang gadis. Namun sebisa mungkin, ia tepis semua itu karena ia ingin menjaga gadis yang telah dinikahinya tersebut. Meski saat ini, halal baginya untuk menyentuh gadis di sampingnya, tapi ia tidak ingin membuat Kanaya membencinya. Jika pun ia harus melakukannya, ia hanya ingin Kanaya sendiri yang memintanya. *** Kokok ayam membangunkan insan yang terlelap dari tidurnya. Masih terdengar sisa tetesan air hujan semalam. Perlahan-lahan, Kanaya membuka matanya yang masih lengket. Ia menguap dan menggeliat. Namun tiba-tiba ia merasakan hembusan napas seseorang. Ia me
"Aku hanya membantumu mengurangi rasa sakit, dan supaya darahnya juga nggak mengalir terus." Kanaya melepaskan tangannya dari tangan Devan, "Biarin!" ketusnya. Dengan sedikit kesal, Kanaya melanjutkan aktifitasnya. Devan merasa aneh dengan sikap Kanaya. Baru tadi pagi bersikap baik, sekarang tiba-tiba ketus padanya. *** "Apa?! Kamu menikahi seorang gadis dan mengaku sebagai tukang ojek? Bagaimana bisa!" teriak Radit dalam sambungan telepon. Devan menjauhkan ponsel dari telinga, karena suara sekretaris sekaligus saudara angkatnya itu terdengar memekakkan telinga. "Iya, dan aku tinggal bersama di rumahnya. Dia seorang gadis cantik yang mandiri, aku suka melihatnya." Devan tersenyum mengingat wajah Kanaya. "Gila! Pergi dari rumah gara-gara tidak mau dinikahkan, sekarang malah udah nikahin anak orang tanpa pemberitahuan, dasar aneh! Lagian apa sih kurangnya Zalia, wanita sholehah dan cantik putri seorang ustadz terkenal, malah ditinggal pergi!"
"Maaf, ikut berteduh ya," ucap Devan. Ia berdiri agak berjauhan dengan seorang gadis muda yang ternyata sudah ada di pos ronda, dan juga sedang berteduh. Hujan semakin deras, membuat hawa dingin semakin terasa. Devan melihat gadis muda di depannya kedinginan karena tidak memakai jaket. Merasa kasihan, ia melepas jaket yang ia kenakan dan memberikannya pada gadis itu. "Tidak usah, Mas. Buat Mas aja, lagi pula rumahku dekat dari sini, kalau aku pakai, nanti Masnya yang kedinginan. Sepertinya Mas ini bukan orang sini," tolak gadis muda itu. "Tidak apa-apa, aku kan laki-laki, tidak akan kedinginan." Saat menyerahkan jaketnya, Devan malah terpeleset karena tempatnya licin. Kanaya yang hendak menolong, juga ikut terjatuh dan berada tepat di atas tubuh Devan. Saat hendak berdiri, tiba-tiba mereka diteriaki oleh seorang bapak-bapak yang membuat beberapa orang pun berdatangan. Mereka menuduh Devan tengah berbuat asusila bersama Kanaya. Posisi mereka yang terliha
Devan mendapatkan pesan dari orang-orang suruhannya yang mengawasi Kanaya. Ia membuka video Kanaya yang tersenyum membawa bunga mawar merah dan diiringi suara pengamen yang menyanyikan lagu cinta. Hatinya terasa perih dan dadanya panas seperti terbakar. Apa lagi saat melihat ada laki-laki di samping Kanaya. Laki-laki itu adalah Alex. Devan merasa frustasi. Setelah sekian lama tidak merasakan perasaan indah pada seorang wanita, kini dia dapat merasakannya kembali pada gadis yang tiba-tiba ia nikahi. Namun ia harus sadar jika ternyata ada Alex diantara mereka. Sejak patah hati pada cinta pertamanya yang bermain di belakang dengan sahabatnya, ia tidak percaya lagi pada wanita dan cinta. Banyak wanita yang mendekatinya, tapi ia selalu acuh dan tidak peduli. Namun saat melihat Kanaya, hatinya merasakan cinta itu hadir kembali. Tapi lagi-lagi, ada laki-laki lain yang juga dekat dengan wanita yang ia cintai. Itu membuatnya kecewa. "Kenapa baru pulang?" Devan menanyai Kanaya yang baru saj
Kanaya dipanggil oleh dosennya. Rupanya pihak kampus juga sudah mengetahui tentang video itu. Namun karena tidak ingin berita ini tersebar luas, pihaknya meminta seluruh mahasiswa yang mendapatkan video itu untuk segera menghapusnya dan tidak menyebarluaskannya. Menurutnya, Kanaya adalah mahasiswa terbaik di kampus. Pihak kampus tidak mau jika nama Kanaya menjadi buruk akibat video tersebut. Itulah sebabnya, video itu bisa segera diatasi. Meski sedikit heran karena Kanaya tidak mendapat sanksi apa-apa, semua mahasiswa hanya bisa diam. "Gimana, Ay?" tanya Mili. "Aman. Nggak tau gimana ceritanya, tapi semua ponsel milik mahasiswa yang punya video itu, sudah disita dan dihapus permanen oleh pihak kampus. Tapi aku bersyukur banget sih, meski itu tetap tidak akan membuat keadaan kembali seperti dulu lagi," ucap Kanaya penuh kelegaan. "Iya, ponselku juga tadi diminta sama Pak Iyan," sahut Mili. "Syukurlah, jadi video itu sudah nggak ada lagi sekarang."
"Aya! Kamu kenapa, Sayang?" Bu Herlin menghampiri Kanaya yang berada di kamar mandi dapur. Menantunya itul tampak lemas dan pucat. "Bi, bantu bawa Aya ke kamarnya."Dengan bantuan Bi Karti, Bu Herlin membawa menantunya ke kamar. Sampai di sana, dia semakin terkejut melihat Devan yang juga tampak lemas dan tiduran di ranjang. "Istriku kenapa, Ma?" Dengan tubuh yang lemas, Devan mendekati istrinya yang kini dibaringkan di sampingnya. "Kamu kenapa, Sayang?Kanaya memegang perutnya, sementara Bu Herlin memijat kepala menantunya itu. "Aya muntah di kamar mandi," jawab Bu Herlin. "Kamu sakit juga, Dev?" "Kepalaku pusing, Ma, tapi aku lebih khawatir sama Aya. Biar kutelepon Aldo agar memeriksanya." Devan mengambil ponsel dan melakukan panggilan pada Aldo. "Apa? Lalu kamu tidak bisa ke sini? Ya sudah, tolong suruh Dokter Maria kemari untuk memeriksa istriku.""Gimana, Dev?""Aldo sedang mengurusi istrinya yang juga sakit, Ma. Sama seperti Aya, Resti juga muntah-muntah parah dan harus dirawa
Hari ini Kanaya akan menghadiri pernikahan Tini, setelah mendapatkan undangan yang diberikan Resti dua hari yang lalu. Kanaya sudah bersiap dan sedang menunggu Resti dan Mili. Tak lama kemudian, kedua sahabatnya itu datang bersama pasangannya masing-masing.Setelah ijab kabul yang dilaksanakan berbarengan dengan Mili, Resti akan ikut suaminya ke Jakarta, begitupun Mili yang akan ikut di mana suaminya tinggal. Namun, sebelum itu mereka akan menghabiskan beberapa hari lagi untuk menikmati suasana di kampung mereka. Seperti hari ini, ketiga pasangan itu sudah berada di salah satu gedung yang sedang diadakannya pesta pernikahan Tini dan Pak Iyan, dosen Kanaya dulu. Mereka tidak menyangka jika Pak Iyan yang sikapnya kadang lemah lembut seperti perempuan itu akhirnya menikah. Dan yang tidak disangka juga, Tini, yang dulu selalu mengutamakan ketampanan untuk menjadi pasangannya, kini menjatuhkan pilihan pada Pak Iyan."Hai, Aya, Mas Ganteng, selamat datang!" sapa Tini, setelah melihat kedat
Kanaya dan Devan mengajak semua tamunya untuk masuk. Mereka duduk bersantai di belakang rumah, yang mana ada dua gazebo yang baru saja dipesan oleh Devan dari meubel Pak Karman. Tempatnya yang rindang, membuat mereka betah berlama-lama di sana. Terlebih ada banyak mangga yang sudah tua dan ada yang sudah masak dari pohonnya. Kemarin setelah menghabiskan waktu di gazebo yang disediakan warga, Devan mempunyai inisiatif untuk membuat gazebo juga di belakang rumah sang istri. Kapan-kapan ia akan mengajak seluruh keluarganya untuk ke sini, sambil membuat tenda dan bermalam di belakang rumah. Sudah lama sekali tidak melakukan kegiatan seperti itu. Tidak masalah meski harus kemah di belakang rumah karena suasananya sudah seperti di hutan, banyak pohon yang rindang. "Ayo ambil lagi! Itu yang atas ada yang sudah masak, My Sweety. Aku mau yang di atas yang warnanya sudah kuning." Mili berteriak pada sang kekasih yang kini naik ke atas pohon mangga. Andre mengambil beberapa mangga muda serta
"Aku hanya bercanda, Sayang. Aku tahu tidak akan ada yang bisa menandingi pesonaku," kata Devan dengan percaya dirinya."Jadi, kamu mau memberinya pekerjaan?""Iya. Nanti akan kuminta Andre untuk menanyakan posisi yang masih membutuhkan karyawan di kantor cabang yang ada di sini." Kanaya pun tersenyum bahagia.Mereka menikmati jajanan yang tadi dibawanya, ditemani angin sepoi-sepoi dan lucunya Mira yang sesekali merebut makanan Kanaya."Kali ini biar aku yang menggendongnya. Setelah ini kita langsung istirahat," tegas Devan saat melihat istrinya lelah. Dengan membawa payung, Devan menggendong Mira dan menggandeng istrinya. Sungguh pemandangan yang membuat banyak orang merasa iri pada Kanaya. Memiliki suami yang tampan dan juga kaya, serta perhatian dan penuh kasih."Waduh, jadi ngerepotin Nak Devan. Sini Mira, sama Nenek." Bu Sumi langsung menyambut Mira yang berada di gendongan Devan dan Devan pun menyerahkan balita itu setelah sampai di rumah Bu Sumi."Nggak ngerepotin kok, Bu," sa
Cintia menatap Devan, yang membuat laki-laki juga menoleh. "Aku minta maaf karena membuatmu digerebek warga. Aku juga minta maaf atas kesalahan yang telah kulakukan pada Aya selama ini."Cintia menangkupkan kedua tangannya, membuat Kanaya memegang tangan itu. "Suamiku sudah memaafkanmu, iya, kan, Honey?" Kanaya lagi-lagi tersenyum, Devan hanya mengangguk."Papa, ayo kita pulang!" Anak kecil berusia dua tahun itu menarik lengan papanya."Iya, Sayang. Sebentar, ya.""Hai, anak manis, siapa namamu?" Kanaya menanyai anaknya Alex."Namaku Altaf, Tante," jawabnya dengan lancar. Meski baru dua tahun, anak itu sudah pandai berbicara dengan lancarnya. Hal itu membuat Kanaya senang karena dia memang sangat menyukai anak kecil."Oh ya, Altaf, Tante ada jajanan, kamu mau nggak?" Kanaya mengambil plastik berisi jajanan miliknya, memberikan pada Altaf.Anak kecil itu memilih-milih dan akhirnya mengambil klepon."Terima kasih, Tante.""Sama-sama, Sayang." Kanaya tersenyum ramah dan mengusap kepala A
Alex dan Cintia sama terkejutnya kala melihat kedatangan Kanaya dan Devan. Namun, Alex bersikap ramah dan menyapa Devan serta Kanaya. "Hai, Ay. Bagaimana kabarmu dan suamimu?"Alex yang tadinya tengah duduk di gazebo akhirnya berdiri dan mendekat ke arah Kanaya dan Devan. Devan hanya menatapnya dengan tatapan datar, sementara Kanaya tersenyum ramah. "Baik, Lex, kami sangat baik," ujar Kanaya yang menoleh pada Cintia di samping Alex.Selain bersama Cintia, di sana juga ada Bu Mirna yang duduk di kursi roda. Kanaya sangat penasaran mengapa Bu Mirna berada di kursi roda dan sepertinya tidak begitu sehat. Belum sempat Kanaya bertanya, Cintia akhirnya berdiri sambil menggendong putranya. "Kapan kamu datang, Aya?""Kemarin. Ini anak kalian?" Kanaya menatap anak laki-laki yang matanya mirip dengan Alex."Iya, ini anak kami," sahut Cintia yang kini bersikap ramah, tidak seperti Cintia yang dulu. Ia bahkan memperhatikan balita yang berada di gendongan Kanaya. "Ini, kan, anaknya Lita, kok bisa
Suara jangkrik masih terdengar karena masih terlalu petang. Kanaya bangun pagi-pagi sekali. Sebelum suaminya bangun, ia sudah lebih dahulu berada di dapur setelah membersihkan tubuhnya. Rasanya ia lebih bersemangat pagi ini. Memasak beberapa menu masakan, wanita berambut panjang itu melakukannya dengan gembira.Jendela dan pintu sudah dibuka, Kanaya menghirup udara pagi yang begitu sejuk dan segar. Dirinya berdiri, merenggangkan otot-otot tangan, lalu memperhatikan keadaan di sekitar rumahnya. Beberapa sudah ada rumah baru, juga ada rumah yang sudah direnovasi."Aku mencarimu, Sayang." Devan memeluk Kanaya dari belakang. "Kupikir kamu kabur.""Untuk apa, aku kabur? Memangnya aku buronan?" Devan menghidu aroma istrinya dan menciumi tengkuknya. "Geli, Honey. Jangan menggodaku! Kalau tidak mau aku terkam!" Devan menyernyit, lalu melepaskan tangan yang melingkar di perut istrinya. Ia tertawa mendengar kata-kata istrinya yang seperti mengancam. "Kenapa kamu jadi begini, Sayang? Harusnya
"Bagaimana keadaan anak-anak asuh? Aku sudah lama tidak ke sana." Radit memulai pembicaraan di tengah perjalanan menuju ruang tamu."Mereka baik-baik saja dan ... mereka menanyakanmu." Zalia menjawab tanpa menoleh.Sejak Bu Herlin memintanya untuk tinggal lagi di rumah, Radit hanya sesekali pergi ke desa Sumber Makmur, tempat di mana ia menghabiskan waktu untuk lebih dekat dengan Ustaz Zaki dan Zalia. Di tempat itu ia sering diajak Ustaz Zaki untuk mengurusi anak-anak asuh yang diambil dari jalanan. Radit yang pernah tinggal di jalanan, merasa sangat tergugah untuk membantu mengurusi mereka. Ia menghabiskan banyak uang untuk membantu pembangunan rumah anak-anak asuh itu."Oh ya? Aku juga sudah rindu pada mereka. Juga, pada kalian semua." Zalia menoleh sekilas, lalu menatap ke depan lagi. Jujur hatinya juga bahagia bisa melihat Radit lagi. Menurutnya, Radit adalah sosok yang baik dan penyayang. Selama di desa Sumber Makmur, Zalia sering melihat Radit membantu pembangunan masjid dan j
Gerimis yang tiba-tiba mengguyur, seolah ikut merasakan kesedihan Kanaya. Di samping makam sang ibu yang masih basah, perempuan itu masih duduk berjongkok. Diusapnya pusara yang baru beberapa menit terpasang itu, berkali-kali pula menghapus air mata yang terus mengalir. Rasa sedih di hatinya tak bisa lagi ditahan. Untuk kedua kalinya ia merasakan kehilangan orang terkasih.Biar seperti apa pun, Dewi tetaplah ibu yang pernah mengisi hatinya. Kenangan indah sebelum ia memutuskan meninggalkan dirinya dan sang ayah pun masih ada dalam ingatan. Pun dengan pelukan hangat yang selalu dirindukannya. Kini, harapan untuk bisa mendapatkan pelukan hangat itupun telah sirna. Dewi, telah terbujur kaku di bawah sana. "Ayo kita pulang, Sayang. Di sini dingin," ajak Devan yang memegang bahu sang istri.Kanaya menoleh, menatap wajah teduh sang suami yang tersenyum hangat padanya. Sungguh, ia bersyukur masih memiliki Devan. Suami yang dikirimkan Tuhan, dengan segala kesempurnaan di matanya."Ayo, Sayan