Kanaya baru saja sampai di depan rumah. Ia heran mengapa terdengar suara orang bercengkrama di dalam rumahnya. Setelah mendekat, ia baru mengenali bahwa itu adalah suara paman dan bibinya. "Assalamualaikum." "Wa alaikumussalam, Aya, baru pulang, Ndhuk? Sini, duduk!" ajak Bu Siti, sang bibi yang tadinya sedang berbicara dengan suaminya dan juga Devan. "Ada apa, Bibi dan Paman tiba-tiba ke sini?" Tanya Kanaya setelah duduk di samping bibinya. "Ini, Bibi hanya memastikan saja katanya kamu ada tanda-tanda hamil, jadi Bibi cepat-cepat kemari. Jadi benar kamu hamil, Ndhuk? Kalau lagi hamil, lebih baik istirahat saja, jangan pergi kuliah dulu. Pasti boleh ijin, kan, kalau memungkinkan harus istirahat?" tanya Bu Siti yang membuat Kanaya kebingungan. "Ha-hamil?" "Iya, Bibi senang sekali mendengarnya." Bu Siti kelihatan begitu bahagia saat berbicara dengan Kanaya. Sementara Kanaya, gadis itu bingung dengan paman dan bibinya yang tiba-tiba datang dan me
"Ini negatif?" "Iya, Bi." "Owalah, tapi nggak apa-apa, nanti juga kalau sudah waktunya, pasti diberi kepercayaan sama Gusti Allah." Kanaya hanya mengangguk mengiyakan ucapan bibinya. "Jamu yang dibawa Alin tadi, nanti diminum, ya! Biar tubuhmu semakin sehat, dan juga biar cepat hamil," tambah Bu Siti. "Ah, Bibi. Lagian hamil kan bisa ditunda, nanti-nanti juga bisa." "Eh, nggak boleh gitu! Lihat Bibi, gara-gara nunda hamil terlalu lama, kandungan jadi kering. Akhirnya cuma punya Alin, itu pun saat usia Bibi sudah cukup tua." "Itu, 'kan dulu, Bi. Sekarang jaman sudah modern, apa-apa sudah bisa direncanakan dengan baik." "Jangan ngeyel, Aya. Atau, kamu belum bisa menerima pernikahan ini?" Kanaya hanya diam tanpa menjawab. "Dengarkan Bibi, Ndhuk, kalian sudah menikah dan dia sudah menjadi suamimu. Kamu harus menjadi istri yang baik untuk suamimu. Bibi lihat, Devan lelaki yang baik dan bertanggung jawab. Pamanmu juga bilang begitu. Malahan,
"Sudahlah, Lex, jangan seperti ini, tidak enak dilihat orang-orang." "Aku tidak akan bangun sebelum kamu mau memaafkanku dan kita seperti dulu lagi, Ay." Alex berlutut di depan Kanaya dan disaksikan oleh teman-temannya. Tentu saja Kanaya merasa malu dan risih ditatap oleh banyak orang. Terlebih ia melihat Cintia yang menahan amarahnya. "Sudah kubilang aku memaafkanmu, jadi berhenti bersikap seperti ini." "Dan kita bisa jalan, makan, nonton bareng seperti dulu lagi?" tanya Alex dengan mata berbinar. "Maaf, Lex, kalau itu, aku nggak bisa. Kamu tahu bagaimana aku sekarang. Jadi kuharap, kita tetap bisa berteman biasa tanpa berlebihan." "Tidak bisa begitu, Ay, aku ingin kita seperti dulu lagi. Seperti dulu sebelum ada laki-laki itu diantara kita. Lagi pula, namamu belum terdaftar dalam surat nikah dengannya, itu artinya, kamu bukan milik siapa-siapa!" "Alex!" Terlihat Bu Mirna datang dengan berkacak pinggang. Ia berjalan cepat mendekati anaknya yan
Kanaya menyambut uluran tangan Radit, "Kanaya," ucapnya. "Jadi, Anda yang menyewa villa ini?" Radit mengangguk. Kanaya merasa bingung, karena Devan memiliki seorang bos. Padahal selama ini Devan mengaku sebagai tukang ojek. 'Kalau laki-laki ini bosnya, lalu dia bekerja sebagai apa?' "Kamu pasti bertanya-tanya tentang pekerjaan suamimu, 'kan? Jangan khawatir, dia itu memang tukang ojek beneran. Hanya saja, karena saya berbaik hati padanya, saya memintanya mengantar jemput adik saya ke sekolah. Karena adik saya itu tidak suka naik mobil. Dan gajinya, ya, diatas rata-rata pastinya, karena saya bukan bos yang pelit," jelas Radit. Devan terlihat menahan amarah tapi berusaha mengendalikannya. Ia tidak mau sandiwaranya terbongkar. Terpaksa ia mengikuti alur yang diciptakan saudara angkatnya, yang seolah ingin balas dendam padanya karena selama ini sering memerintahnya. "Lalu Devan juga masih bisa ngojek lagi setelah mengantar jemput adik saya, iya, 'kan, Dev?" D
"Aya!" Betapa kagetnya mereka, Kanaya berada di lantai, dalam dekapan Devan dan hanya mengenakan handuk saja. Devan menarik selimut yang ada di atas ranjang di sampingnya dan menutupi tubuh Kanaya. Ia sendiri berdiri dan menghampiri teman-temannya yang berani membuka pintu kamar tanpa permisi. Resti dan Mili menelan salivanya, saat Devan menghampiri mereka dan terlihat memendam amarah. Namun saat sudah dekat, Devan hanya berkata, "Tolong tutup pintunya!" Mendengar itu, Resti cepat-cepat menarik handle pintu dan menutupnya. Mereka kembali ke ruang tamu karena tidak ingin mengganggu aktivitas pengantin baru itu. Devan mengunci kamar dan kembali menghampiri Kanaya yang masih di lantai dengan selimut yang menutupi tubuhnya. Ia menggendong tubuh ramping itu dan meletakkannya di ranjang. Menyingkap selimut yang menutupi kaki dan menyentuh kaki itu. "Aauw!" teriak Kanaya. "Ceroboh sekali, bisa-bisanya terpeleset dan terkilir begini," pungkas Devan.
Mereka menoleh ke belakang. Bu Sumi terlihat datang dengan wajah sinisnya. Tetangga yang satu itu memang selalu kepo dan julid. "Eh, Bu Sumi ngapain sih ikut-ikutan!" sinis Tini. "Ikut-ikutan? Sama orang-orang miskin seperti kalian ini? Nggak level, ya! Saya cuma mau bilang sama kalian kalau cari suami itu yang berbobot, seperti suami saya contohnya. Jangan hanya cari suami seperti tukang ojek nggak mutu. Nggak akan ada maju-majunya." "Hello Bu Sumi! Ibu pikir kita tertarik gitu sama suami buntelanmu itu! Biar pun kaya, kalau model buntelan kayak Pak Kusno begitu saya sih ogah! Sama sekali nggak enak dipandang! Bikin suasana hati saya buruk aja, mending juga tukang ojek tapi selalu enak dipandang dan menyenangkan hati," sahut Tini. "Hei! Berani kamu mengatai suami saya, ya!" Bu Sumi menjambak rambut Tini dan Tini pun tidak mau kalah menjambak rambut Bu Sumi. Mereka berdua saling serang. Kanaya berusaha memisahkan mereka tapi tidak berhasil. Ia bingung kar
"Itu bukan sebuah masalah. Aku pasti akan membantumu. Lagi pula, kalau kau seperti itu, aku bisa saja menikungmu," ujar Radit. "Awas saja kalau berani!" "Oh, ya. Mama bilang minggu depan akan ada acara di kota ini. Apa kau akan menemuinya?" "Kenapa bisa di kota ini? Apa jangan-jangan kau sengaja memberitahu keberadaanku, ya?" "Tidak, aku sama sekali tidak memberitahukan keberadaanmu. Justru aku berpikir mungkin memang inilah jodoh. Kamu datang ke kota ini karena menghindari pernikahan, malah menikah di sini. Perusahaan butuh tukang ukir, dan aku dikirim ke sini untuk mencari tukang ukir. Dan sekarang, Mama juga akan datang ke kota ini karena ada pagelaran busana yang bekerja sama dengannya," papar Radit. Seperti sebuah kebetulan, semua rentetan kejadian bersatu dalam kota yang sebelumnya sama sekali tidak pernah mereka kunjungi. Mungkinkah ini adalah sebuah pertanda dan petunjuk, bahwa mereka berjodoh. Memikirkan hal itu, Devan tersenyum sendiri. Ra
"Saya harap, kamu segera menyelesaikan baju-bajumu. Karena beberapa desainer akan datang sehari sebelum pagelaran busana itu dimulai. Saya yakin kamu bisa memberikan karya terbaikmu pada acara ini. Saya mengandalkanmu, Kanaya," ujar Pak Iyan dengan gaya lemah gemulainya. "Baik, Pak. Saya akan segera menyelesaikannya. Terima kasih atas kesempatan ini," ucap Kanaya penuh haru. Tentu ini adalah kesempatan baik untuknya karena ia akan menunjukkan baju-baju rancangannya. Ia ingin memberikan yang terbaik dalam acara tersebut. "Oh, ya, kamu akan tetap ikut menjadi modelnya, 'kan?" "Jika diperbolehkan, Pak." "Tentu saja. Saya sangat suka dengan penampilan kamu saat di panggung. Selain baju-baju rancangan yang bagus, kamu juga sangat layak menjadi model papan atas. Kamu sangat berbakat di dunia modelling, meski saya hanya mengajarkanmu sebentar saja. Jangan lupa nanti kabari saya jika semuanya sudah siap, ya!" "Baik, Pak. Terima kasih sekali lagi," ucap Kana
"Aya! Kamu kenapa, Sayang?" Bu Herlin menghampiri Kanaya yang berada di kamar mandi dapur. Menantunya itul tampak lemas dan pucat. "Bi, bantu bawa Aya ke kamarnya."Dengan bantuan Bi Karti, Bu Herlin membawa menantunya ke kamar. Sampai di sana, dia semakin terkejut melihat Devan yang juga tampak lemas dan tiduran di ranjang. "Istriku kenapa, Ma?" Dengan tubuh yang lemas, Devan mendekati istrinya yang kini dibaringkan di sampingnya. "Kamu kenapa, Sayang?Kanaya memegang perutnya, sementara Bu Herlin memijat kepala menantunya itu. "Aya muntah di kamar mandi," jawab Bu Herlin. "Kamu sakit juga, Dev?" "Kepalaku pusing, Ma, tapi aku lebih khawatir sama Aya. Biar kutelepon Aldo agar memeriksanya." Devan mengambil ponsel dan melakukan panggilan pada Aldo. "Apa? Lalu kamu tidak bisa ke sini? Ya sudah, tolong suruh Dokter Maria kemari untuk memeriksa istriku.""Gimana, Dev?""Aldo sedang mengurusi istrinya yang juga sakit, Ma. Sama seperti Aya, Resti juga muntah-muntah parah dan harus dirawa
Hari ini Kanaya akan menghadiri pernikahan Tini, setelah mendapatkan undangan yang diberikan Resti dua hari yang lalu. Kanaya sudah bersiap dan sedang menunggu Resti dan Mili. Tak lama kemudian, kedua sahabatnya itu datang bersama pasangannya masing-masing.Setelah ijab kabul yang dilaksanakan berbarengan dengan Mili, Resti akan ikut suaminya ke Jakarta, begitupun Mili yang akan ikut di mana suaminya tinggal. Namun, sebelum itu mereka akan menghabiskan beberapa hari lagi untuk menikmati suasana di kampung mereka. Seperti hari ini, ketiga pasangan itu sudah berada di salah satu gedung yang sedang diadakannya pesta pernikahan Tini dan Pak Iyan, dosen Kanaya dulu. Mereka tidak menyangka jika Pak Iyan yang sikapnya kadang lemah lembut seperti perempuan itu akhirnya menikah. Dan yang tidak disangka juga, Tini, yang dulu selalu mengutamakan ketampanan untuk menjadi pasangannya, kini menjatuhkan pilihan pada Pak Iyan."Hai, Aya, Mas Ganteng, selamat datang!" sapa Tini, setelah melihat kedat
Kanaya dan Devan mengajak semua tamunya untuk masuk. Mereka duduk bersantai di belakang rumah, yang mana ada dua gazebo yang baru saja dipesan oleh Devan dari meubel Pak Karman. Tempatnya yang rindang, membuat mereka betah berlama-lama di sana. Terlebih ada banyak mangga yang sudah tua dan ada yang sudah masak dari pohonnya. Kemarin setelah menghabiskan waktu di gazebo yang disediakan warga, Devan mempunyai inisiatif untuk membuat gazebo juga di belakang rumah sang istri. Kapan-kapan ia akan mengajak seluruh keluarganya untuk ke sini, sambil membuat tenda dan bermalam di belakang rumah. Sudah lama sekali tidak melakukan kegiatan seperti itu. Tidak masalah meski harus kemah di belakang rumah karena suasananya sudah seperti di hutan, banyak pohon yang rindang. "Ayo ambil lagi! Itu yang atas ada yang sudah masak, My Sweety. Aku mau yang di atas yang warnanya sudah kuning." Mili berteriak pada sang kekasih yang kini naik ke atas pohon mangga. Andre mengambil beberapa mangga muda serta
"Aku hanya bercanda, Sayang. Aku tahu tidak akan ada yang bisa menandingi pesonaku," kata Devan dengan percaya dirinya."Jadi, kamu mau memberinya pekerjaan?""Iya. Nanti akan kuminta Andre untuk menanyakan posisi yang masih membutuhkan karyawan di kantor cabang yang ada di sini." Kanaya pun tersenyum bahagia.Mereka menikmati jajanan yang tadi dibawanya, ditemani angin sepoi-sepoi dan lucunya Mira yang sesekali merebut makanan Kanaya."Kali ini biar aku yang menggendongnya. Setelah ini kita langsung istirahat," tegas Devan saat melihat istrinya lelah. Dengan membawa payung, Devan menggendong Mira dan menggandeng istrinya. Sungguh pemandangan yang membuat banyak orang merasa iri pada Kanaya. Memiliki suami yang tampan dan juga kaya, serta perhatian dan penuh kasih."Waduh, jadi ngerepotin Nak Devan. Sini Mira, sama Nenek." Bu Sumi langsung menyambut Mira yang berada di gendongan Devan dan Devan pun menyerahkan balita itu setelah sampai di rumah Bu Sumi."Nggak ngerepotin kok, Bu," sa
Cintia menatap Devan, yang membuat laki-laki juga menoleh. "Aku minta maaf karena membuatmu digerebek warga. Aku juga minta maaf atas kesalahan yang telah kulakukan pada Aya selama ini."Cintia menangkupkan kedua tangannya, membuat Kanaya memegang tangan itu. "Suamiku sudah memaafkanmu, iya, kan, Honey?" Kanaya lagi-lagi tersenyum, Devan hanya mengangguk."Papa, ayo kita pulang!" Anak kecil berusia dua tahun itu menarik lengan papanya."Iya, Sayang. Sebentar, ya.""Hai, anak manis, siapa namamu?" Kanaya menanyai anaknya Alex."Namaku Altaf, Tante," jawabnya dengan lancar. Meski baru dua tahun, anak itu sudah pandai berbicara dengan lancarnya. Hal itu membuat Kanaya senang karena dia memang sangat menyukai anak kecil."Oh ya, Altaf, Tante ada jajanan, kamu mau nggak?" Kanaya mengambil plastik berisi jajanan miliknya, memberikan pada Altaf.Anak kecil itu memilih-milih dan akhirnya mengambil klepon."Terima kasih, Tante.""Sama-sama, Sayang." Kanaya tersenyum ramah dan mengusap kepala A
Alex dan Cintia sama terkejutnya kala melihat kedatangan Kanaya dan Devan. Namun, Alex bersikap ramah dan menyapa Devan serta Kanaya. "Hai, Ay. Bagaimana kabarmu dan suamimu?"Alex yang tadinya tengah duduk di gazebo akhirnya berdiri dan mendekat ke arah Kanaya dan Devan. Devan hanya menatapnya dengan tatapan datar, sementara Kanaya tersenyum ramah. "Baik, Lex, kami sangat baik," ujar Kanaya yang menoleh pada Cintia di samping Alex.Selain bersama Cintia, di sana juga ada Bu Mirna yang duduk di kursi roda. Kanaya sangat penasaran mengapa Bu Mirna berada di kursi roda dan sepertinya tidak begitu sehat. Belum sempat Kanaya bertanya, Cintia akhirnya berdiri sambil menggendong putranya. "Kapan kamu datang, Aya?""Kemarin. Ini anak kalian?" Kanaya menatap anak laki-laki yang matanya mirip dengan Alex."Iya, ini anak kami," sahut Cintia yang kini bersikap ramah, tidak seperti Cintia yang dulu. Ia bahkan memperhatikan balita yang berada di gendongan Kanaya. "Ini, kan, anaknya Lita, kok bisa
Suara jangkrik masih terdengar karena masih terlalu petang. Kanaya bangun pagi-pagi sekali. Sebelum suaminya bangun, ia sudah lebih dahulu berada di dapur setelah membersihkan tubuhnya. Rasanya ia lebih bersemangat pagi ini. Memasak beberapa menu masakan, wanita berambut panjang itu melakukannya dengan gembira.Jendela dan pintu sudah dibuka, Kanaya menghirup udara pagi yang begitu sejuk dan segar. Dirinya berdiri, merenggangkan otot-otot tangan, lalu memperhatikan keadaan di sekitar rumahnya. Beberapa sudah ada rumah baru, juga ada rumah yang sudah direnovasi."Aku mencarimu, Sayang." Devan memeluk Kanaya dari belakang. "Kupikir kamu kabur.""Untuk apa, aku kabur? Memangnya aku buronan?" Devan menghidu aroma istrinya dan menciumi tengkuknya. "Geli, Honey. Jangan menggodaku! Kalau tidak mau aku terkam!" Devan menyernyit, lalu melepaskan tangan yang melingkar di perut istrinya. Ia tertawa mendengar kata-kata istrinya yang seperti mengancam. "Kenapa kamu jadi begini, Sayang? Harusnya
"Bagaimana keadaan anak-anak asuh? Aku sudah lama tidak ke sana." Radit memulai pembicaraan di tengah perjalanan menuju ruang tamu."Mereka baik-baik saja dan ... mereka menanyakanmu." Zalia menjawab tanpa menoleh.Sejak Bu Herlin memintanya untuk tinggal lagi di rumah, Radit hanya sesekali pergi ke desa Sumber Makmur, tempat di mana ia menghabiskan waktu untuk lebih dekat dengan Ustaz Zaki dan Zalia. Di tempat itu ia sering diajak Ustaz Zaki untuk mengurusi anak-anak asuh yang diambil dari jalanan. Radit yang pernah tinggal di jalanan, merasa sangat tergugah untuk membantu mengurusi mereka. Ia menghabiskan banyak uang untuk membantu pembangunan rumah anak-anak asuh itu."Oh ya? Aku juga sudah rindu pada mereka. Juga, pada kalian semua." Zalia menoleh sekilas, lalu menatap ke depan lagi. Jujur hatinya juga bahagia bisa melihat Radit lagi. Menurutnya, Radit adalah sosok yang baik dan penyayang. Selama di desa Sumber Makmur, Zalia sering melihat Radit membantu pembangunan masjid dan j
Gerimis yang tiba-tiba mengguyur, seolah ikut merasakan kesedihan Kanaya. Di samping makam sang ibu yang masih basah, perempuan itu masih duduk berjongkok. Diusapnya pusara yang baru beberapa menit terpasang itu, berkali-kali pula menghapus air mata yang terus mengalir. Rasa sedih di hatinya tak bisa lagi ditahan. Untuk kedua kalinya ia merasakan kehilangan orang terkasih.Biar seperti apa pun, Dewi tetaplah ibu yang pernah mengisi hatinya. Kenangan indah sebelum ia memutuskan meninggalkan dirinya dan sang ayah pun masih ada dalam ingatan. Pun dengan pelukan hangat yang selalu dirindukannya. Kini, harapan untuk bisa mendapatkan pelukan hangat itupun telah sirna. Dewi, telah terbujur kaku di bawah sana. "Ayo kita pulang, Sayang. Di sini dingin," ajak Devan yang memegang bahu sang istri.Kanaya menoleh, menatap wajah teduh sang suami yang tersenyum hangat padanya. Sungguh, ia bersyukur masih memiliki Devan. Suami yang dikirimkan Tuhan, dengan segala kesempurnaan di matanya."Ayo, Sayan