"Saya harap, kamu segera menyelesaikan baju-bajumu. Karena beberapa desainer akan datang sehari sebelum pagelaran busana itu dimulai. Saya yakin kamu bisa memberikan karya terbaikmu pada acara ini. Saya mengandalkanmu, Kanaya," ujar Pak Iyan dengan gaya lemah gemulainya. "Baik, Pak. Saya akan segera menyelesaikannya. Terima kasih atas kesempatan ini," ucap Kanaya penuh haru. Tentu ini adalah kesempatan baik untuknya karena ia akan menunjukkan baju-baju rancangannya. Ia ingin memberikan yang terbaik dalam acara tersebut. "Oh, ya, kamu akan tetap ikut menjadi modelnya, 'kan?" "Jika diperbolehkan, Pak." "Tentu saja. Saya sangat suka dengan penampilan kamu saat di panggung. Selain baju-baju rancangan yang bagus, kamu juga sangat layak menjadi model papan atas. Kamu sangat berbakat di dunia modelling, meski saya hanya mengajarkanmu sebentar saja. Jangan lupa nanti kabari saya jika semuanya sudah siap, ya!" "Baik, Pak. Terima kasih sekali lagi," ucap Kana
"Turunkan! Nggak sopan banget tau'!" Devan menurunkan tubuh Kanaya karena gadis itu memukuli punggungnya. Wajah gadis itu terlihat kesal. Namun justru itu membuat Devan senang. Ia memang suka sekali menggoda Kanaya. Sebenarnya bukan hanya karena ingin menjahili, tapi ia tidak ingin melihat wanitanya terlalu sibuk dengan perjahitan dan tidak memperhatikan kesehatannya. Ia tidak ingin Kanaya terlalu capek, karena ia lihat, Kanaya menguap beberapa kali dan terlihat juga melenturkan otot-ototnya yang kaku mungkin karena terlalu lama duduk di kursi. "Cepat mandi, bau sekali! Apa perlu aku yang memandikan?" "Enak saja!" Kanaya melepaskan tubuhnya dari Devan dan mencium aroma tubuhnya sendiri. Namun tidak bau sama sekali menurutnya, karena ia selalu memakai deodorant dan parfum yang membuatnya tetap segar walau seharian berkeringat. "Tidak bau." "Itu menurutmu. Tapi menurutku itu sangat bau!" Devan menutup hidungnya, "Sepertinya kamu ingin aku yang meman
Devan terbangun dan mendapati dirinya berada di sebuah ruangan yang diyakini sebagai ruangan rumah sakit. Ia merasakan kepalanya sakit dan menyentuhnya. Terdapat perban di kepalanya. Ia panik saat teringat ia baru saja mengalami kecelakaan atas keteledorannya. Ia melepas selang infus dan turun dari ranjang. Ia mencari keberadaan Kanaya. Ia khawatir terjadi hal buruk pada istrinya. Terlebih ialah yang menyebabkan kecelakaan itu terjadi. "Di mana istriku? Ke mana kalian membawa istriku?" teriak Devan seperti orang kesetanan berlari ke sana ke mari. Ia sungguh tidak akan memaafkan dirinya sendiri jika terjadi hal buruk pada Kanaya. Ia menerutuki kebodohannya sendiri yang terlalu panik dan mengambil alih kendali mobil di saat dirinya tidak bisa mengendalikan diri. "Sabar, Pak. Istri Bapak sedang ditangani oleh dokter. Silakan tunggu di sana," pinta seorang suster. Devan berada di depan ruang UGD. Tak berselang lama, pintu terbuka. Devan segera menghampiri do
"Maafkan kata-kataku, aku hanya tidak mau kamu kelelahan karena masih sakit. Jangan bersedih lagi. " Devan mengusap air mata Kanaya dan menenangkannya. "Aku keluar dulu. Tolong jaga Kanaya," ucapnya pada Resti dan Mili. Kedua gadis itu hanya mengangguk patuh. "Jangan khawatir, Ay, kamu pasti bisa menyelesaikannya tepat waktu. Nanti kita akan membantumu. Yang penting sekarang pikirkan dulu kesehatanmu," ujar Resti. "Benar, Aya, jangan sedih lagi, ya!" Mili memeluk Kanaya begitu pun Resti. "Ngomong-ngomong, ini tuh ruangan VVIP loh, kok suami kamu itu bisa memasukkanmu ke ruangan mahal begini ya, Ay," celetuk Mili. "Benar juga loh!" sahut Resti. Kanaya juga baru menyadari hal itu setelah Mili mengatakannya. Sejak bangun, ia tidak menyadari jika dirinya berada di ruangan kelas mahal di rumah sakit ini. Ia semakin bingung dengan laki-laki yang mengaku tukang ojek itu. *** "Aku benar-benar tidak lapar, kalian makan saja dulu." Kanaya menolak makanan yang
Devan duduk di samping Kanaya yang juga duduk di tempat tidurnya, menunggu kata yang akan keluar dari mulut wanitanya itu. "Terima kasih untuk semuanya. Aku tidak bisa membalas semua kebaikanmu. Dan juga, maafkan aku atas sikapku padamu tadi. Aku tidak berniat bersikap kasar. Aku hanya takut tidak bisa mengikuti acara itu," ujar Kanaya. "Aku tidak memintamu membalas semuanya. Cukup dengan melihatmu tidak bersedih dan kembali ceria lagi, itu sudah cukup bagiku." Devan memegang tangan Kanaya dan gadis itu menatapnya. "Semua yang berurusan denganmu adalah tanggung jawabku, jadi tidak perlu mengkhawatirkan apa pun." "Terima kasih sekali lagi, tapi ..., apa ini tidak terlalu berlebihan?" Devan menggeleng dan tersenyum, "Apa yang membuatmu berpikir seperti itu?" "Ruangan ini, bukankah sangat mahal? Kenapa tidak menempatkanku di ruangan umum saja? Bagaimana dengan semua biaya rumah sakit nanti?" Devan baru sadar jika ia terlalu mencolok dengan menempat
"Hei! Nglamun terus, Bro!" Sebuah tepukan di bahu membuat Alex kaget. "Apaan sih, Jon! Bikin kaget orang aja!" Jono dan Joni tertawa melihat ekspresi Alex. Kedua kembar itu ikut duduk di samping Alex. Jarang-jarang mereka bisa duduk bertiga setelah Alex dekat dengan Cintia. Karena gadis itu selalu tidak ingin diganggu saat bersama Alex, termasuk kedua sahabat Alex. "Heh, tumben nggak dikintilin Cintia." Jono celingukan melihat kanan dan kiri, karena khawatir ada Cintia tiba-tiba. "Lo nggak nengokin Aya? Eh lupa, mana berani ya, 'kan? Nanti dimarahin lagi sama Cintia." "Nengokin Aya? Memangnya dia kenapa?" tanya Alex penasaran dengan ucapan teman baiknya. "Memangnya lo nggak tahu kalau Aya kecelakaan dan dirawat di rumah sakit?" Alex kaget dan menatap tajam Jono, "Aya berada di rumah sakit? Kenapa aku tidak tahu? Aku harus menjenguknya sekarang!" Alex bangkit dari tempat duduknya. "Nggak takut Cintia marah-marah lagi, lo Lex?" tanya Joni. "
Alex bercedih, "Aku tidak butuh ijin dari siapa pun. Lagi pula, aku yang lebih dulu mengenal Aya, bukan kamu. Jadi aku tidak butuh ijin dari siapa pun untuk berada di sini!" "Apa kamu begitu ingin menemui istri orang? Sepertinya jaman sekarang memang lebih banyak anak muda yang suka mengganggu rumah tangga orang," sinis Devan. "Tidak perlu menyamakan rumah tangga kalian dengan rumah tangga orang pada umumnya. Kalian hanya orang yang tidak saling kenal, berbeda denganku dan Aya. Kami sudah lama bersama. Lebih baik kamu saja yang pergi, aku yakin kamu tidak akan mampu membayar biaya rumah sakit ini. Dengan pekerjaanmu sebagai tukang ojek, harusnya kamu sadar, jika biaya ruangan ini sangat mahal. Tidak mungkin kamu membayarnya dengan uang recehan dari hasil ojekmu itu." Kanaya menggeleng mendengar ucapan Alex yang terkesan menyombongkan diri. Ia seperti tidak mengenali Alex lagi. Ia bukanlah Alex yang ia kenal dulu. Alex yang selalu rendah hati dan tidak sombong.
Degh! Bagaimana bisa? Bukankah kemarin baik-baik saja? Apakah ada orang yang sengaja melakukan itu pada bajunya? Tapi siapa? Kanaya terburu-buru pergi ke ruangan tempat baju miliknya. Ia tidak sempat melihat Devan yang juga mengikutinya. Tentu saja Devan akan menjadi orang pertama yang mencari tahu siapa yang sudah berani membuat istrinya kesulitan. Kanaya memegang potongan kain tenun troso yang berserakan di lantai. Itu adalah potongan kain dari baju yang sudah ia persiapkan. Ia menghela napas panjang. Kecewa? Tentu. Ia sudah menghabiskan waktunya berhari-hari agar bisa mendapatkan hasil yang ia inginkan. Tapi disaat ia sudah berhasil, semuanya seperti sia-sia. 'Siapa yang tega melakukan ini?' Devan melihat raut wajah Kanaya yang nampak sedih dan lemah. Ia merasa kasihan padanya. Ia tahu betul bagaimana Kanaya melakukan pekerjaan yang sangat melelahkan itu. 'Kur*ngajar! Siapa yang berani membuat istriku bersedih!' "Ya ampun, kok bisa, Pak? Kerjaan si
"Aya! Kamu kenapa, Sayang?" Bu Herlin menghampiri Kanaya yang berada di kamar mandi dapur. Menantunya itul tampak lemas dan pucat. "Bi, bantu bawa Aya ke kamarnya."Dengan bantuan Bi Karti, Bu Herlin membawa menantunya ke kamar. Sampai di sana, dia semakin terkejut melihat Devan yang juga tampak lemas dan tiduran di ranjang. "Istriku kenapa, Ma?" Dengan tubuh yang lemas, Devan mendekati istrinya yang kini dibaringkan di sampingnya. "Kamu kenapa, Sayang?Kanaya memegang perutnya, sementara Bu Herlin memijat kepala menantunya itu. "Aya muntah di kamar mandi," jawab Bu Herlin. "Kamu sakit juga, Dev?" "Kepalaku pusing, Ma, tapi aku lebih khawatir sama Aya. Biar kutelepon Aldo agar memeriksanya." Devan mengambil ponsel dan melakukan panggilan pada Aldo. "Apa? Lalu kamu tidak bisa ke sini? Ya sudah, tolong suruh Dokter Maria kemari untuk memeriksa istriku.""Gimana, Dev?""Aldo sedang mengurusi istrinya yang juga sakit, Ma. Sama seperti Aya, Resti juga muntah-muntah parah dan harus dirawa
Hari ini Kanaya akan menghadiri pernikahan Tini, setelah mendapatkan undangan yang diberikan Resti dua hari yang lalu. Kanaya sudah bersiap dan sedang menunggu Resti dan Mili. Tak lama kemudian, kedua sahabatnya itu datang bersama pasangannya masing-masing.Setelah ijab kabul yang dilaksanakan berbarengan dengan Mili, Resti akan ikut suaminya ke Jakarta, begitupun Mili yang akan ikut di mana suaminya tinggal. Namun, sebelum itu mereka akan menghabiskan beberapa hari lagi untuk menikmati suasana di kampung mereka. Seperti hari ini, ketiga pasangan itu sudah berada di salah satu gedung yang sedang diadakannya pesta pernikahan Tini dan Pak Iyan, dosen Kanaya dulu. Mereka tidak menyangka jika Pak Iyan yang sikapnya kadang lemah lembut seperti perempuan itu akhirnya menikah. Dan yang tidak disangka juga, Tini, yang dulu selalu mengutamakan ketampanan untuk menjadi pasangannya, kini menjatuhkan pilihan pada Pak Iyan."Hai, Aya, Mas Ganteng, selamat datang!" sapa Tini, setelah melihat kedat
Kanaya dan Devan mengajak semua tamunya untuk masuk. Mereka duduk bersantai di belakang rumah, yang mana ada dua gazebo yang baru saja dipesan oleh Devan dari meubel Pak Karman. Tempatnya yang rindang, membuat mereka betah berlama-lama di sana. Terlebih ada banyak mangga yang sudah tua dan ada yang sudah masak dari pohonnya. Kemarin setelah menghabiskan waktu di gazebo yang disediakan warga, Devan mempunyai inisiatif untuk membuat gazebo juga di belakang rumah sang istri. Kapan-kapan ia akan mengajak seluruh keluarganya untuk ke sini, sambil membuat tenda dan bermalam di belakang rumah. Sudah lama sekali tidak melakukan kegiatan seperti itu. Tidak masalah meski harus kemah di belakang rumah karena suasananya sudah seperti di hutan, banyak pohon yang rindang. "Ayo ambil lagi! Itu yang atas ada yang sudah masak, My Sweety. Aku mau yang di atas yang warnanya sudah kuning." Mili berteriak pada sang kekasih yang kini naik ke atas pohon mangga. Andre mengambil beberapa mangga muda serta
"Aku hanya bercanda, Sayang. Aku tahu tidak akan ada yang bisa menandingi pesonaku," kata Devan dengan percaya dirinya."Jadi, kamu mau memberinya pekerjaan?""Iya. Nanti akan kuminta Andre untuk menanyakan posisi yang masih membutuhkan karyawan di kantor cabang yang ada di sini." Kanaya pun tersenyum bahagia.Mereka menikmati jajanan yang tadi dibawanya, ditemani angin sepoi-sepoi dan lucunya Mira yang sesekali merebut makanan Kanaya."Kali ini biar aku yang menggendongnya. Setelah ini kita langsung istirahat," tegas Devan saat melihat istrinya lelah. Dengan membawa payung, Devan menggendong Mira dan menggandeng istrinya. Sungguh pemandangan yang membuat banyak orang merasa iri pada Kanaya. Memiliki suami yang tampan dan juga kaya, serta perhatian dan penuh kasih."Waduh, jadi ngerepotin Nak Devan. Sini Mira, sama Nenek." Bu Sumi langsung menyambut Mira yang berada di gendongan Devan dan Devan pun menyerahkan balita itu setelah sampai di rumah Bu Sumi."Nggak ngerepotin kok, Bu," sa
Cintia menatap Devan, yang membuat laki-laki juga menoleh. "Aku minta maaf karena membuatmu digerebek warga. Aku juga minta maaf atas kesalahan yang telah kulakukan pada Aya selama ini."Cintia menangkupkan kedua tangannya, membuat Kanaya memegang tangan itu. "Suamiku sudah memaafkanmu, iya, kan, Honey?" Kanaya lagi-lagi tersenyum, Devan hanya mengangguk."Papa, ayo kita pulang!" Anak kecil berusia dua tahun itu menarik lengan papanya."Iya, Sayang. Sebentar, ya.""Hai, anak manis, siapa namamu?" Kanaya menanyai anaknya Alex."Namaku Altaf, Tante," jawabnya dengan lancar. Meski baru dua tahun, anak itu sudah pandai berbicara dengan lancarnya. Hal itu membuat Kanaya senang karena dia memang sangat menyukai anak kecil."Oh ya, Altaf, Tante ada jajanan, kamu mau nggak?" Kanaya mengambil plastik berisi jajanan miliknya, memberikan pada Altaf.Anak kecil itu memilih-milih dan akhirnya mengambil klepon."Terima kasih, Tante.""Sama-sama, Sayang." Kanaya tersenyum ramah dan mengusap kepala A
Alex dan Cintia sama terkejutnya kala melihat kedatangan Kanaya dan Devan. Namun, Alex bersikap ramah dan menyapa Devan serta Kanaya. "Hai, Ay. Bagaimana kabarmu dan suamimu?"Alex yang tadinya tengah duduk di gazebo akhirnya berdiri dan mendekat ke arah Kanaya dan Devan. Devan hanya menatapnya dengan tatapan datar, sementara Kanaya tersenyum ramah. "Baik, Lex, kami sangat baik," ujar Kanaya yang menoleh pada Cintia di samping Alex.Selain bersama Cintia, di sana juga ada Bu Mirna yang duduk di kursi roda. Kanaya sangat penasaran mengapa Bu Mirna berada di kursi roda dan sepertinya tidak begitu sehat. Belum sempat Kanaya bertanya, Cintia akhirnya berdiri sambil menggendong putranya. "Kapan kamu datang, Aya?""Kemarin. Ini anak kalian?" Kanaya menatap anak laki-laki yang matanya mirip dengan Alex."Iya, ini anak kami," sahut Cintia yang kini bersikap ramah, tidak seperti Cintia yang dulu. Ia bahkan memperhatikan balita yang berada di gendongan Kanaya. "Ini, kan, anaknya Lita, kok bisa
Suara jangkrik masih terdengar karena masih terlalu petang. Kanaya bangun pagi-pagi sekali. Sebelum suaminya bangun, ia sudah lebih dahulu berada di dapur setelah membersihkan tubuhnya. Rasanya ia lebih bersemangat pagi ini. Memasak beberapa menu masakan, wanita berambut panjang itu melakukannya dengan gembira.Jendela dan pintu sudah dibuka, Kanaya menghirup udara pagi yang begitu sejuk dan segar. Dirinya berdiri, merenggangkan otot-otot tangan, lalu memperhatikan keadaan di sekitar rumahnya. Beberapa sudah ada rumah baru, juga ada rumah yang sudah direnovasi."Aku mencarimu, Sayang." Devan memeluk Kanaya dari belakang. "Kupikir kamu kabur.""Untuk apa, aku kabur? Memangnya aku buronan?" Devan menghidu aroma istrinya dan menciumi tengkuknya. "Geli, Honey. Jangan menggodaku! Kalau tidak mau aku terkam!" Devan menyernyit, lalu melepaskan tangan yang melingkar di perut istrinya. Ia tertawa mendengar kata-kata istrinya yang seperti mengancam. "Kenapa kamu jadi begini, Sayang? Harusnya
"Bagaimana keadaan anak-anak asuh? Aku sudah lama tidak ke sana." Radit memulai pembicaraan di tengah perjalanan menuju ruang tamu."Mereka baik-baik saja dan ... mereka menanyakanmu." Zalia menjawab tanpa menoleh.Sejak Bu Herlin memintanya untuk tinggal lagi di rumah, Radit hanya sesekali pergi ke desa Sumber Makmur, tempat di mana ia menghabiskan waktu untuk lebih dekat dengan Ustaz Zaki dan Zalia. Di tempat itu ia sering diajak Ustaz Zaki untuk mengurusi anak-anak asuh yang diambil dari jalanan. Radit yang pernah tinggal di jalanan, merasa sangat tergugah untuk membantu mengurusi mereka. Ia menghabiskan banyak uang untuk membantu pembangunan rumah anak-anak asuh itu."Oh ya? Aku juga sudah rindu pada mereka. Juga, pada kalian semua." Zalia menoleh sekilas, lalu menatap ke depan lagi. Jujur hatinya juga bahagia bisa melihat Radit lagi. Menurutnya, Radit adalah sosok yang baik dan penyayang. Selama di desa Sumber Makmur, Zalia sering melihat Radit membantu pembangunan masjid dan j
Gerimis yang tiba-tiba mengguyur, seolah ikut merasakan kesedihan Kanaya. Di samping makam sang ibu yang masih basah, perempuan itu masih duduk berjongkok. Diusapnya pusara yang baru beberapa menit terpasang itu, berkali-kali pula menghapus air mata yang terus mengalir. Rasa sedih di hatinya tak bisa lagi ditahan. Untuk kedua kalinya ia merasakan kehilangan orang terkasih.Biar seperti apa pun, Dewi tetaplah ibu yang pernah mengisi hatinya. Kenangan indah sebelum ia memutuskan meninggalkan dirinya dan sang ayah pun masih ada dalam ingatan. Pun dengan pelukan hangat yang selalu dirindukannya. Kini, harapan untuk bisa mendapatkan pelukan hangat itupun telah sirna. Dewi, telah terbujur kaku di bawah sana. "Ayo kita pulang, Sayang. Di sini dingin," ajak Devan yang memegang bahu sang istri.Kanaya menoleh, menatap wajah teduh sang suami yang tersenyum hangat padanya. Sungguh, ia bersyukur masih memiliki Devan. Suami yang dikirimkan Tuhan, dengan segala kesempurnaan di matanya."Ayo, Sayan