Suasana malam yang begitu sunyi dengan ditemani suara jangkrik. Kanaya membuka jendela kamarnya, menatap ke arah luar. Hatinya bingung dengan keadaan yang terjadi pada dirinya. Tinggal seatap dengan laki-laki yang berstatus suaminya, tetapi ia tidak tahu siapa sebenarnya laki-laki itu. "Apa yang harus aku lakukan?" Ia bersandar di samping jendela.
Puas merenung, Kanaya pergi ke kamar mandi. Saat Kanaya melewati kamar sang ayah yang saat ini ditempati Devan, ia mendengar suara laki-laki itu yang sepertinya sedang berbicara.
"Sudahlah, kamu urus saja semua urusan yang di sana, aku serahkan tugas itu padamu. Aku akan mengabarimu nanti saat ada waktu." Samar-samar, terdengar suara Devan. Kanaya mendekatkan telinganya di daun pintu. Namun tiba-tiba pintu dibuka dari dalam, ia pun pura-pura membersihkan gorden.
"Ada apa? Kenapa kamu menatapku seperti itu?" tanya Kanaya yang merasa Devan menatapnya penuh selidik.
"Aku hanya heran saja, malam-malam begini masih bersih-bersih, rajin sekali!" sahut Devan.
"Suka-sukalah, memang kenapa?" Kanaya curiga pada Devan yang menelepon seseorang malam-malam. Ia khawatir, Devan seorang yang bermasalah dan menghindar dari sebuah kasus. "Aku hanya mau bilang padamu, jangan macam-macam di rumahku. Aku tidak tahu kamu itu siapa sebenarnya."
"Kamu kan tahu, aku cuma tukang ojek. Memangnya siapa?""Aku mencium ada aroma-aroma kebohongan." Kanaya mengelilingi tubuh Devan, "Mencurigakan!"
Devan tersenyum mendengar penuturan Kanaya, "Memang apa yang kamu curigai? Kalau kamu curiga padaku, kamu bisa ikut denganku ke pangkalan ojek besok pagi."
"Ogah! Ingat ya, kamu boleh tinggal di sini tapi jangan berbuat macam-macam! Dan juga, jangan membocorkan pernikahan ini pada teman-temanku. Awas saja kalau berani!"
"Termasuk pada pacarmu, 'kan?" Kanaya membulatkan matanya saat Devan menyebut pacar. "Tidak usah kaget juga, tadi ada tetanggamu yang mengadu padaku, kamu pulang diantar seorang laki-laki. Apa itu pacarmu?"
Kanaya sudah bisa menebak siapa tetangga yang dimaksud Devan. Itu pasti Bu Sumi, karena tadi saat di pertigaan, ia bertemu dengan Bu Sumi yang juga mengatainya. Ia tidak heran dengan tingkah tetangganya yang satu itu, karena memang terkenal tukang ngadu. Istilah jaman sekarang yaitu, 'Cepu'.
"Anggap saja begitu!"
Kanaya sudah membuat kesepakatan dengan Devan bahwa Devan boleh tinggal bersamanya namun mereka harus tetap menyembunyikan pernikahan dan tidak boleh mengikutinyaa ke kampus. Ia tidak ingin teman-temannya tahu tentang pernikahan grebekan itu.
Namun ia masih was-was karena Cintia juga sudah mengetahui semuanya. Ia khawatir jika berita itu tersebar, maka akan membuat imagenya buruk. Apa lagi kalau sampai para dosen dan dekan yang mengetahui hal itu.
Kanaya meletakkan ponselnya dan menaiki ranjang. Saat hendak memejamkan mata, tiba-tiba lampu padam. Kanaya membuka mata tapi semuanya gelap. Tangannya meraba-raba, ingin mengambil kembali ponselnya. Namun ponsel malah tersenggol dan jatuh entah ke mana.
"Aduuh, malah jatuh lagi. Ke mana tadi?" Ia tetap meraba-raba tapi tidak ketemu. Ia kemudian berdiri dan meraba dinding kamarnya. Sampailah ia di pintu kamar dan memegang handel pintu itu. Membukanya dan kembali meraba dinding menuju ke dapur karena ingin mencari lilin.
Saat sampai di dapur berkat meraba lewat dinding, Kanaya berjalan menuju lemari dapur tempat ia biasa menaruh lilin. Namun saat sampai di lemari itu, ia menabrak tubuh seseorang. Pandangan gelap membuatnya berpikir bahwa itu adalah hantu.
"Aaaaaaaaa," Kanaya berteriak karena takut. Tangannya dipegang oleh makhluk yang tidak nampak tersebut, dan itu membuatnya semakin histeris.
"Pergi kamu hantu, jangan ganggu aku! Pergiii!" Teriaknya saat tubuhnya ditangkap sosok yang dianggap hantu.
"Hei, ini aku!" Devan menyalakan ponselnya tepat di wajah Kanaya.
"Kamu!" Kanaya melepaskan tubuhnya dari dekapan Devan. Ia selalu berpikir bahwa laki-laki itu selalu mencari kesempatan. "Bisa-bisanya memanfaatkan kesempatan!" gumam Kanaya.
"Aku masih mendengarnya, bisakah kamu tidak mencurigaiku? Aku hanya mencari lilin tapi tidak ketemu," kata Devan pelan.
"Sini ponselmu!" Kanaya merebut ponsel Devan untuk meneranginya agar menemukan lilin. Setelah ketemu, ia mengembalikan ponsel itu kepada pemiliknya, "Apa kamu punya korek?"
"Tidak, aku bukan perokok," jawab Devan dengan santainya. Kanaya mencari korek tapi tidak ketemu. Ia menyalakan kompor ternyata gasnya sudah habis. Ia lupa tidak mengisinya.
"Sepertinya malam ini harus gelap-gelapan," ucap Kanaya.
Duaarr!
Duaarr!
Jedder!
Terdengar suara petir menggelegar beriringan dengan hujan yang turun begitu derasnya. Kanaya menutup kedua telinganya karena takut petir. Sejak kecil, ia selalu takut saat ada petir. Dan itu terjadi sampai ia besar seperti sekarang ini.
Dulu ia sering tidur di kamar ayahnya saat ada petir seperti ini. Sejak ayahnya meninggal, Alin sepupunyalah yang terkadang menginap di sini saat cuaca sedang seperti malam ini.
Terkadang Kanaya juga yang menginap di rumah pamannya. Paman dan bibinya tahu jika keponakannya itu sering ketakutan kala ada petir dan geluduk. Namun mereka tidak lagi mengkhawatirkan keponakannya sejak ada Devan. Berharap Devan adalah pelindung yang dikirimkan Tuhan untuk Kanaya.
Devan mengarahkan senter dalam ponselnya ke arah Kanaya yang berjongkok sambil memegang kepalanya. Devan tahu gadis itu tengah ketakutan. Ia mendekati Kanaya dan mencoba untuk menenangkannya.
"Apa kamu takut suara petir?" Kanaya hanya mengangguk seraya menutup matanya.
"Ayo kuantar ke kamarmu, kamu bisa menggunakan ponselku untuk menerangi kamarmu."
Kanaya menurut dan mendekatkan tubuhnya pada Devan. Entah kenapa saat ini ia tidak memikirkan hal lain saat berdekatan dengan Devan. Padahal biasanya ia akan menganggap Devan mencari kesempatan padanya
Setelah sampai ke kamar, Kanaya duduk di atas ranjang dan menutup sebagian tubuhnya dengan selimut. Ia benar-benar takut pada petir yang kilatannya terlihat dari jendela kaca dan atap kaca.
Duaarr!
Suara petir terdengar menggelegar. Lebih keras dari yang pertama mereka dengar. Kanaya ketakutan dan menutup telinganya. Devan mengarahkan senter ponselnya dan melihat Kanaya menangis tanpa suara.
Devan menutup tirai jendela, dan tanpa berpikir panjang, ia memeluk Kanaya yang ketakutan. Ia mengelus punggung gadis itu sampai akhirnya tertidur dalam dekapannya.
Devan membaringkan tubuh Kanaya lalu menyelimutinya. Ia menatap wajah manis gadis itu dengan seksama. Terlihat sangat manis meski lewat sedikit cahaya dari senter ponsel miliknya.
Entah kenapa, Devan merasakan hatinya ingin melindungi dan menjaga Kanaya. Gadis itu telah membuat Devan tersenyum, "Sangat manis jika sedang tertidur lelap seperti ini," ucap Devan yang menatap kagum.
Dipandanginya wajah ayu nan mulus tanpa noda itu. Sepertinya ada rasa yang aneh yang ia rasakan saat menatap Kanaya. Perasaan yang telah lama menghilang dari hatinya, kini seolah hadir kembali. Ia menyadari jika ia mulai menyukai gadis bertubuh proporsional itu. Namun ia sadar jika ternyata Kanaya telah memiliki kekasih.
Tadi siang, ia bertemu dengan tetangga Kanaya yang pernah ia lihat saat di rumah pak RT. Bu Sumi mengatakan padanya bahwa Kanaya diantarkan oleh laki-laki muda dengan motor sportnya. Devan jadi berpikir, mungkin itu adalah pacar Kanaya.
Jika dipikir-pikir, itu bukanlah sebuah masalah, karena saat ini ia sudah menjadi suami Kanaya. Namun, ia juga tidak mau menghancurkan hubungan Kanaya dengan kekasihnya. Dan ia pun tidak bisa begitu saja mendekati Kanaya, karena pernikahan mereka ini hanyalah karena terpaksa. Bukan karena cinta. Tapi, kini telah tumbuh benih-benih cinta dari hati Devan untuk Kanaya.
"Ayah," lirih Kanaya dalam tidurnya, "jangan pergi!" Ia memegang lengan Devan dan memeluk tubuh kekar itu. Ia tidak sadar jika Devanlah yang saat ini sedang ia peluk.
Devan hendak bangkit, tetapi Kanaya semakin erat memeluknya. Terpaksa ia berbaring di samping Kanaya dan membiarkan gadis itu memeluk tubuhnya. Aroma tubuh yang khas dari seorang gadis. Gemuruh dalam dadanya semakin tidak bisa ia hilangkan, "Huh, benar-benar cobaan yang berat!"
Ia menatap lekat wajah ayu yang hanya berjarak beberapa centi meter dari wajahnya itu. Bibir yang begitu menggoda, Devan menyentuh bibir itu dengan tangannya. Saat ini, jiwa laki-lakinya benar-benar tertantang.
Devan berusaha memejamkan matanya dengan posisi masih dipeluk Kanaya. Dadanya semakin bergemuruh, ia tidak berani menatap wajah Kanaya. Kini ia menatap langit-langit kamar dengan sedikit pencahayaan dari ponselnya. Devan menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan, berusaha menetralkan perasaan aneh dalam tubuhnya. Ia laki-laki normal, tentu ada perasaan lain saat bersentuhan dengan seorang gadis. Namun sebisa mungkin, ia tepis semua itu karena ia ingin menjaga gadis yang telah dinikahinya tersebut. Meski saat ini, halal baginya untuk menyentuh gadis di sampingnya, tapi ia tidak ingin membuat Kanaya membencinya. Jika pun ia harus melakukannya, ia hanya ingin Kanaya sendiri yang memintanya. *** Kokok ayam membangunkan insan yang terlelap dari tidurnya. Masih terdengar sisa tetesan air hujan semalam. Perlahan-lahan, Kanaya membuka matanya yang masih lengket. Ia menguap dan menggeliat. Namun tiba-tiba ia merasakan hembusan napas seseorang. Ia me
"Aku hanya membantumu mengurangi rasa sakit, dan supaya darahnya juga nggak mengalir terus." Kanaya melepaskan tangannya dari tangan Devan, "Biarin!" ketusnya. Dengan sedikit kesal, Kanaya melanjutkan aktifitasnya. Devan merasa aneh dengan sikap Kanaya. Baru tadi pagi bersikap baik, sekarang tiba-tiba ketus padanya. *** "Apa?! Kamu menikahi seorang gadis dan mengaku sebagai tukang ojek? Bagaimana bisa!" teriak Radit dalam sambungan telepon. Devan menjauhkan ponsel dari telinga, karena suara sekretaris sekaligus saudara angkatnya itu terdengar memekakkan telinga. "Iya, dan aku tinggal bersama di rumahnya. Dia seorang gadis cantik yang mandiri, aku suka melihatnya." Devan tersenyum mengingat wajah Kanaya. "Gila! Pergi dari rumah gara-gara tidak mau dinikahkan, sekarang malah udah nikahin anak orang tanpa pemberitahuan, dasar aneh! Lagian apa sih kurangnya Zalia, wanita sholehah dan cantik putri seorang ustadz terkenal, malah ditinggal pergi!"
"Maaf, ikut berteduh ya," ucap Devan. Ia berdiri agak berjauhan dengan seorang gadis muda yang ternyata sudah ada di pos ronda, dan juga sedang berteduh. Hujan semakin deras, membuat hawa dingin semakin terasa. Devan melihat gadis muda di depannya kedinginan karena tidak memakai jaket. Merasa kasihan, ia melepas jaket yang ia kenakan dan memberikannya pada gadis itu. "Tidak usah, Mas. Buat Mas aja, lagi pula rumahku dekat dari sini, kalau aku pakai, nanti Masnya yang kedinginan. Sepertinya Mas ini bukan orang sini," tolak gadis muda itu. "Tidak apa-apa, aku kan laki-laki, tidak akan kedinginan." Saat menyerahkan jaketnya, Devan malah terpeleset karena tempatnya licin. Kanaya yang hendak menolong, juga ikut terjatuh dan berada tepat di atas tubuh Devan. Saat hendak berdiri, tiba-tiba mereka diteriaki oleh seorang bapak-bapak yang membuat beberapa orang pun berdatangan. Mereka menuduh Devan tengah berbuat asusila bersama Kanaya. Posisi mereka yang terliha
Devan mendapatkan pesan dari orang-orang suruhannya yang mengawasi Kanaya. Ia membuka video Kanaya yang tersenyum membawa bunga mawar merah dan diiringi suara pengamen yang menyanyikan lagu cinta. Hatinya terasa perih dan dadanya panas seperti terbakar. Apa lagi saat melihat ada laki-laki di samping Kanaya. Laki-laki itu adalah Alex. Devan merasa frustasi. Setelah sekian lama tidak merasakan perasaan indah pada seorang wanita, kini dia dapat merasakannya kembali pada gadis yang tiba-tiba ia nikahi. Namun ia harus sadar jika ternyata ada Alex diantara mereka. Sejak patah hati pada cinta pertamanya yang bermain di belakang dengan sahabatnya, ia tidak percaya lagi pada wanita dan cinta. Banyak wanita yang mendekatinya, tapi ia selalu acuh dan tidak peduli. Namun saat melihat Kanaya, hatinya merasakan cinta itu hadir kembali. Tapi lagi-lagi, ada laki-laki lain yang juga dekat dengan wanita yang ia cintai. Itu membuatnya kecewa. "Kenapa baru pulang?" Devan menanyai Kanaya yang baru saj
Kanaya dipanggil oleh dosennya. Rupanya pihak kampus juga sudah mengetahui tentang video itu. Namun karena tidak ingin berita ini tersebar luas, pihaknya meminta seluruh mahasiswa yang mendapatkan video itu untuk segera menghapusnya dan tidak menyebarluaskannya. Menurutnya, Kanaya adalah mahasiswa terbaik di kampus. Pihak kampus tidak mau jika nama Kanaya menjadi buruk akibat video tersebut. Itulah sebabnya, video itu bisa segera diatasi. Meski sedikit heran karena Kanaya tidak mendapat sanksi apa-apa, semua mahasiswa hanya bisa diam. "Gimana, Ay?" tanya Mili. "Aman. Nggak tau gimana ceritanya, tapi semua ponsel milik mahasiswa yang punya video itu, sudah disita dan dihapus permanen oleh pihak kampus. Tapi aku bersyukur banget sih, meski itu tetap tidak akan membuat keadaan kembali seperti dulu lagi," ucap Kanaya penuh kelegaan. "Iya, ponselku juga tadi diminta sama Pak Iyan," sahut Mili. "Syukurlah, jadi video itu sudah nggak ada lagi sekarang."
Kanaya baru saja sampai di depan rumah. Ia heran mengapa terdengar suara orang bercengkrama di dalam rumahnya. Setelah mendekat, ia baru mengenali bahwa itu adalah suara paman dan bibinya. "Assalamualaikum." "Wa alaikumussalam, Aya, baru pulang, Ndhuk? Sini, duduk!" ajak Bu Siti, sang bibi yang tadinya sedang berbicara dengan suaminya dan juga Devan. "Ada apa, Bibi dan Paman tiba-tiba ke sini?" Tanya Kanaya setelah duduk di samping bibinya. "Ini, Bibi hanya memastikan saja katanya kamu ada tanda-tanda hamil, jadi Bibi cepat-cepat kemari. Jadi benar kamu hamil, Ndhuk? Kalau lagi hamil, lebih baik istirahat saja, jangan pergi kuliah dulu. Pasti boleh ijin, kan, kalau memungkinkan harus istirahat?" tanya Bu Siti yang membuat Kanaya kebingungan. "Ha-hamil?" "Iya, Bibi senang sekali mendengarnya." Bu Siti kelihatan begitu bahagia saat berbicara dengan Kanaya. Sementara Kanaya, gadis itu bingung dengan paman dan bibinya yang tiba-tiba datang dan me
"Ini negatif?" "Iya, Bi." "Owalah, tapi nggak apa-apa, nanti juga kalau sudah waktunya, pasti diberi kepercayaan sama Gusti Allah." Kanaya hanya mengangguk mengiyakan ucapan bibinya. "Jamu yang dibawa Alin tadi, nanti diminum, ya! Biar tubuhmu semakin sehat, dan juga biar cepat hamil," tambah Bu Siti. "Ah, Bibi. Lagian hamil kan bisa ditunda, nanti-nanti juga bisa." "Eh, nggak boleh gitu! Lihat Bibi, gara-gara nunda hamil terlalu lama, kandungan jadi kering. Akhirnya cuma punya Alin, itu pun saat usia Bibi sudah cukup tua." "Itu, 'kan dulu, Bi. Sekarang jaman sudah modern, apa-apa sudah bisa direncanakan dengan baik." "Jangan ngeyel, Aya. Atau, kamu belum bisa menerima pernikahan ini?" Kanaya hanya diam tanpa menjawab. "Dengarkan Bibi, Ndhuk, kalian sudah menikah dan dia sudah menjadi suamimu. Kamu harus menjadi istri yang baik untuk suamimu. Bibi lihat, Devan lelaki yang baik dan bertanggung jawab. Pamanmu juga bilang begitu. Malahan,
"Sudahlah, Lex, jangan seperti ini, tidak enak dilihat orang-orang." "Aku tidak akan bangun sebelum kamu mau memaafkanku dan kita seperti dulu lagi, Ay." Alex berlutut di depan Kanaya dan disaksikan oleh teman-temannya. Tentu saja Kanaya merasa malu dan risih ditatap oleh banyak orang. Terlebih ia melihat Cintia yang menahan amarahnya. "Sudah kubilang aku memaafkanmu, jadi berhenti bersikap seperti ini." "Dan kita bisa jalan, makan, nonton bareng seperti dulu lagi?" tanya Alex dengan mata berbinar. "Maaf, Lex, kalau itu, aku nggak bisa. Kamu tahu bagaimana aku sekarang. Jadi kuharap, kita tetap bisa berteman biasa tanpa berlebihan." "Tidak bisa begitu, Ay, aku ingin kita seperti dulu lagi. Seperti dulu sebelum ada laki-laki itu diantara kita. Lagi pula, namamu belum terdaftar dalam surat nikah dengannya, itu artinya, kamu bukan milik siapa-siapa!" "Alex!" Terlihat Bu Mirna datang dengan berkacak pinggang. Ia berjalan cepat mendekati anaknya yan
"Aya! Kamu kenapa, Sayang?" Bu Herlin menghampiri Kanaya yang berada di kamar mandi dapur. Menantunya itul tampak lemas dan pucat. "Bi, bantu bawa Aya ke kamarnya."Dengan bantuan Bi Karti, Bu Herlin membawa menantunya ke kamar. Sampai di sana, dia semakin terkejut melihat Devan yang juga tampak lemas dan tiduran di ranjang. "Istriku kenapa, Ma?" Dengan tubuh yang lemas, Devan mendekati istrinya yang kini dibaringkan di sampingnya. "Kamu kenapa, Sayang?Kanaya memegang perutnya, sementara Bu Herlin memijat kepala menantunya itu. "Aya muntah di kamar mandi," jawab Bu Herlin. "Kamu sakit juga, Dev?" "Kepalaku pusing, Ma, tapi aku lebih khawatir sama Aya. Biar kutelepon Aldo agar memeriksanya." Devan mengambil ponsel dan melakukan panggilan pada Aldo. "Apa? Lalu kamu tidak bisa ke sini? Ya sudah, tolong suruh Dokter Maria kemari untuk memeriksa istriku.""Gimana, Dev?""Aldo sedang mengurusi istrinya yang juga sakit, Ma. Sama seperti Aya, Resti juga muntah-muntah parah dan harus dirawa
Hari ini Kanaya akan menghadiri pernikahan Tini, setelah mendapatkan undangan yang diberikan Resti dua hari yang lalu. Kanaya sudah bersiap dan sedang menunggu Resti dan Mili. Tak lama kemudian, kedua sahabatnya itu datang bersama pasangannya masing-masing.Setelah ijab kabul yang dilaksanakan berbarengan dengan Mili, Resti akan ikut suaminya ke Jakarta, begitupun Mili yang akan ikut di mana suaminya tinggal. Namun, sebelum itu mereka akan menghabiskan beberapa hari lagi untuk menikmati suasana di kampung mereka. Seperti hari ini, ketiga pasangan itu sudah berada di salah satu gedung yang sedang diadakannya pesta pernikahan Tini dan Pak Iyan, dosen Kanaya dulu. Mereka tidak menyangka jika Pak Iyan yang sikapnya kadang lemah lembut seperti perempuan itu akhirnya menikah. Dan yang tidak disangka juga, Tini, yang dulu selalu mengutamakan ketampanan untuk menjadi pasangannya, kini menjatuhkan pilihan pada Pak Iyan."Hai, Aya, Mas Ganteng, selamat datang!" sapa Tini, setelah melihat kedat
Kanaya dan Devan mengajak semua tamunya untuk masuk. Mereka duduk bersantai di belakang rumah, yang mana ada dua gazebo yang baru saja dipesan oleh Devan dari meubel Pak Karman. Tempatnya yang rindang, membuat mereka betah berlama-lama di sana. Terlebih ada banyak mangga yang sudah tua dan ada yang sudah masak dari pohonnya. Kemarin setelah menghabiskan waktu di gazebo yang disediakan warga, Devan mempunyai inisiatif untuk membuat gazebo juga di belakang rumah sang istri. Kapan-kapan ia akan mengajak seluruh keluarganya untuk ke sini, sambil membuat tenda dan bermalam di belakang rumah. Sudah lama sekali tidak melakukan kegiatan seperti itu. Tidak masalah meski harus kemah di belakang rumah karena suasananya sudah seperti di hutan, banyak pohon yang rindang. "Ayo ambil lagi! Itu yang atas ada yang sudah masak, My Sweety. Aku mau yang di atas yang warnanya sudah kuning." Mili berteriak pada sang kekasih yang kini naik ke atas pohon mangga. Andre mengambil beberapa mangga muda serta
"Aku hanya bercanda, Sayang. Aku tahu tidak akan ada yang bisa menandingi pesonaku," kata Devan dengan percaya dirinya."Jadi, kamu mau memberinya pekerjaan?""Iya. Nanti akan kuminta Andre untuk menanyakan posisi yang masih membutuhkan karyawan di kantor cabang yang ada di sini." Kanaya pun tersenyum bahagia.Mereka menikmati jajanan yang tadi dibawanya, ditemani angin sepoi-sepoi dan lucunya Mira yang sesekali merebut makanan Kanaya."Kali ini biar aku yang menggendongnya. Setelah ini kita langsung istirahat," tegas Devan saat melihat istrinya lelah. Dengan membawa payung, Devan menggendong Mira dan menggandeng istrinya. Sungguh pemandangan yang membuat banyak orang merasa iri pada Kanaya. Memiliki suami yang tampan dan juga kaya, serta perhatian dan penuh kasih."Waduh, jadi ngerepotin Nak Devan. Sini Mira, sama Nenek." Bu Sumi langsung menyambut Mira yang berada di gendongan Devan dan Devan pun menyerahkan balita itu setelah sampai di rumah Bu Sumi."Nggak ngerepotin kok, Bu," sa
Cintia menatap Devan, yang membuat laki-laki juga menoleh. "Aku minta maaf karena membuatmu digerebek warga. Aku juga minta maaf atas kesalahan yang telah kulakukan pada Aya selama ini."Cintia menangkupkan kedua tangannya, membuat Kanaya memegang tangan itu. "Suamiku sudah memaafkanmu, iya, kan, Honey?" Kanaya lagi-lagi tersenyum, Devan hanya mengangguk."Papa, ayo kita pulang!" Anak kecil berusia dua tahun itu menarik lengan papanya."Iya, Sayang. Sebentar, ya.""Hai, anak manis, siapa namamu?" Kanaya menanyai anaknya Alex."Namaku Altaf, Tante," jawabnya dengan lancar. Meski baru dua tahun, anak itu sudah pandai berbicara dengan lancarnya. Hal itu membuat Kanaya senang karena dia memang sangat menyukai anak kecil."Oh ya, Altaf, Tante ada jajanan, kamu mau nggak?" Kanaya mengambil plastik berisi jajanan miliknya, memberikan pada Altaf.Anak kecil itu memilih-milih dan akhirnya mengambil klepon."Terima kasih, Tante.""Sama-sama, Sayang." Kanaya tersenyum ramah dan mengusap kepala A
Alex dan Cintia sama terkejutnya kala melihat kedatangan Kanaya dan Devan. Namun, Alex bersikap ramah dan menyapa Devan serta Kanaya. "Hai, Ay. Bagaimana kabarmu dan suamimu?"Alex yang tadinya tengah duduk di gazebo akhirnya berdiri dan mendekat ke arah Kanaya dan Devan. Devan hanya menatapnya dengan tatapan datar, sementara Kanaya tersenyum ramah. "Baik, Lex, kami sangat baik," ujar Kanaya yang menoleh pada Cintia di samping Alex.Selain bersama Cintia, di sana juga ada Bu Mirna yang duduk di kursi roda. Kanaya sangat penasaran mengapa Bu Mirna berada di kursi roda dan sepertinya tidak begitu sehat. Belum sempat Kanaya bertanya, Cintia akhirnya berdiri sambil menggendong putranya. "Kapan kamu datang, Aya?""Kemarin. Ini anak kalian?" Kanaya menatap anak laki-laki yang matanya mirip dengan Alex."Iya, ini anak kami," sahut Cintia yang kini bersikap ramah, tidak seperti Cintia yang dulu. Ia bahkan memperhatikan balita yang berada di gendongan Kanaya. "Ini, kan, anaknya Lita, kok bisa
Suara jangkrik masih terdengar karena masih terlalu petang. Kanaya bangun pagi-pagi sekali. Sebelum suaminya bangun, ia sudah lebih dahulu berada di dapur setelah membersihkan tubuhnya. Rasanya ia lebih bersemangat pagi ini. Memasak beberapa menu masakan, wanita berambut panjang itu melakukannya dengan gembira.Jendela dan pintu sudah dibuka, Kanaya menghirup udara pagi yang begitu sejuk dan segar. Dirinya berdiri, merenggangkan otot-otot tangan, lalu memperhatikan keadaan di sekitar rumahnya. Beberapa sudah ada rumah baru, juga ada rumah yang sudah direnovasi."Aku mencarimu, Sayang." Devan memeluk Kanaya dari belakang. "Kupikir kamu kabur.""Untuk apa, aku kabur? Memangnya aku buronan?" Devan menghidu aroma istrinya dan menciumi tengkuknya. "Geli, Honey. Jangan menggodaku! Kalau tidak mau aku terkam!" Devan menyernyit, lalu melepaskan tangan yang melingkar di perut istrinya. Ia tertawa mendengar kata-kata istrinya yang seperti mengancam. "Kenapa kamu jadi begini, Sayang? Harusnya
"Bagaimana keadaan anak-anak asuh? Aku sudah lama tidak ke sana." Radit memulai pembicaraan di tengah perjalanan menuju ruang tamu."Mereka baik-baik saja dan ... mereka menanyakanmu." Zalia menjawab tanpa menoleh.Sejak Bu Herlin memintanya untuk tinggal lagi di rumah, Radit hanya sesekali pergi ke desa Sumber Makmur, tempat di mana ia menghabiskan waktu untuk lebih dekat dengan Ustaz Zaki dan Zalia. Di tempat itu ia sering diajak Ustaz Zaki untuk mengurusi anak-anak asuh yang diambil dari jalanan. Radit yang pernah tinggal di jalanan, merasa sangat tergugah untuk membantu mengurusi mereka. Ia menghabiskan banyak uang untuk membantu pembangunan rumah anak-anak asuh itu."Oh ya? Aku juga sudah rindu pada mereka. Juga, pada kalian semua." Zalia menoleh sekilas, lalu menatap ke depan lagi. Jujur hatinya juga bahagia bisa melihat Radit lagi. Menurutnya, Radit adalah sosok yang baik dan penyayang. Selama di desa Sumber Makmur, Zalia sering melihat Radit membantu pembangunan masjid dan j
Gerimis yang tiba-tiba mengguyur, seolah ikut merasakan kesedihan Kanaya. Di samping makam sang ibu yang masih basah, perempuan itu masih duduk berjongkok. Diusapnya pusara yang baru beberapa menit terpasang itu, berkali-kali pula menghapus air mata yang terus mengalir. Rasa sedih di hatinya tak bisa lagi ditahan. Untuk kedua kalinya ia merasakan kehilangan orang terkasih.Biar seperti apa pun, Dewi tetaplah ibu yang pernah mengisi hatinya. Kenangan indah sebelum ia memutuskan meninggalkan dirinya dan sang ayah pun masih ada dalam ingatan. Pun dengan pelukan hangat yang selalu dirindukannya. Kini, harapan untuk bisa mendapatkan pelukan hangat itupun telah sirna. Dewi, telah terbujur kaku di bawah sana. "Ayo kita pulang, Sayang. Di sini dingin," ajak Devan yang memegang bahu sang istri.Kanaya menoleh, menatap wajah teduh sang suami yang tersenyum hangat padanya. Sungguh, ia bersyukur masih memiliki Devan. Suami yang dikirimkan Tuhan, dengan segala kesempurnaan di matanya."Ayo, Sayan