Devan menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan, berusaha menetralkan perasaan aneh dalam tubuhnya. Ia laki-laki normal, tentu ada perasaan lain saat bersentuhan dengan seorang gadis. Namun sebisa mungkin, ia tepis semua itu karena ia ingin menjaga gadis yang telah dinikahinya tersebut.
Meski saat ini, halal baginya untuk menyentuh gadis di sampingnya, tapi ia tidak ingin membuat Kanaya membencinya. Jika pun ia harus melakukannya, ia hanya ingin Kanaya sendiri yang memintanya.
***
Kokok ayam membangunkan insan yang terlelap dari tidurnya. Masih terdengar sisa tetesan air hujan semalam.
Perlahan-lahan, Kanaya membuka matanya yang masih lengket. Ia menguap dan menggeliat. Namun tiba-tiba ia merasakan hembusan napas seseorang. Ia membelalakkan mata saat melihat laki-laki yang ada di rumahnya, kini tidur di sebelahnya.
"Aaaaaaa!"
Ia bangkit, meraba tubuhnya dan meraba bagian sensitifnya. Ia takut jika laki-laki itu sudah berbuat macam-macam padanya. Namun ia tidak merasakan hal aneh pada tubuhnya.
Devan mengerjakan matanya saat mendengar teriakan Kanaya. Perlahan ia bangun dan melenturkan otot-otot tangannya yang semalaman dibuat bantal oleh Kanaya yang tertidur pulas dalam dekapannya.
"Dasar pencuri kesempatan! Ngapain kamu tidur di kamarku!" teriak Kanaya.
Devan kaget dengan ucapan Kanaya. Ia heran kenapa gadis itu marah-marah, padahal semalam ia yang memeluknya dengan erat. "Bukankah kamu sendiri yang melarangku pergi? Bahkan kamu memelukku dengan sangat erat," kilah Devan.
"Itu tidak mungkin! Mana mungkin, aku memelukmu?" Kanaya mencoba mengingat-ingat posisi ia ketika bangun tadi. Ia ingat jika tadi ia seperti memeluk seseorang. "Oh tidak, masa iya aku memeluk dia?" gumamnya dalam hati.
"Ya sudahlah jika tidak ingat. Yang pasti aku hanya menemanimu saat kamu ketakutan karena ada petir semalam. Aku tidak berbuat macam-macam padamu. Kalau tidak percaya, kamu bisa memeriksa tubuhmu," ucap Devan.
Ia mengambil ponselnya yang telah mati kehabisan baterai karena senternya hidup semalaman. Saat ini, listrik telah kembali menyala. Entah sejak kapan lampu di kamar ini sudah hidup kembali.
Devan keluar dari kamar Kanaya menuju ke kamar mandi. Suasana masih sangat petang. Terdengar suara adzan berkumandang. Devan bergegas mengambil air wudhu dan hendak melaksanakan kewajiban pada sang pencipta.
Di rumah Kanaya, ada tempat khusus untuk sholat. Devan sudah berada di sana untuk segera sholat. Meski baru dua malam di rumah itu, tapi ia seperti sudah terbiasa dengan suasananya.
Kanaya berada di tempat yang sama dengan Devan karena hendak sholat subuh juga. "Mau berjamaah, apa mau sholat sendiri?"
"Silahkan pimpin sholat," ucap Kanaya mempersilahkan.
Mereka pun sholat berjamaah dengan khusyuk. Selepas salam, Devan mengulurkan tangannya pada Kanaya. Gadis itu pun menjabat tangan Devan.
Ia teringat saat dulu ia sering sholat berjamaah bersama sang ayah. Tak terasa bulir bening jatuh dari pelupuk matanya. Ia merasa ada yang menggantikan posisi ayahnya di rumah itu. Ia menyeka air mata yang berjatuhan dengan mukena yang ia pakai.
"Jangan menangis, do'akan ayahmu supaya tenang disana," ujar Devan. "Paman sudah bercerita banyak padaku soal kamu dan ayahmu. Semoga kamu bisa mewujudkan keinginan ayahmu," ucapnya lagi.
Kanaya mengangkat wajahnya. Ia terkejut mendengar penuturan laki-laki di hadapannya, "Apa kamu bertemu pamanku?"
"Iya, tadi siang aku ke rumahnya. Beliau sangat baik, aku jadi merasa menjadi anaknya." Devan tersenyum seraya membuka peci almarhum Pak Ali yang tadi dipakainya.
Kanaya tidak menyangka Devan bisa tahu rumah pamannya dan berkunjung ke sana sendiri.
"Iya, Paman Karman memang baik, beliau adalah satu-satunya kerabat Ayah. Oh, ya, aku minta maaf tadi sudah berucap kasar padamu. Dan juga, makasih buat semuanya, dapur penuh dengan makanan. Tapi itu terlalu berlebihan, sebaiknya kamu simpan uangmu untuk kebutuhan yang lain." Kanaya membuka mukena yang dikenakan.
"Sama-sama. Tidak apa-apa, itu kan untuk keperluan sehari-hari."
Kanaya memasak untuk sarapan pagi. Hari ini ia tidak ke kampus. Ia masih ada jahitan milik tetangganya yang belum selesai.
"Masakanmu enak juga, padahal hanya masakan sederhana." Devan dengan lahap memakan tumis kangkung dan ayam goreng buatan Kanaya.
"Aku memang sudah terbiasa memasak dan melakukan semua pekerjaan rumah dari kecil. Ayah sudah mengajariku untuk hidup mandiri."
"Maaf jika aku lancang, apa ibumu juga sudah meninggal?" tanya Devan yang penasaran. Sejak kemarin, sepertinya ia tidak pernah mendengar cerita tentang ibu Kanaya. Ia hanya mendengar tentang almarhum ayahnya. Begitu pun dengan Pak Karman, paman Kanaya itu juga tidak bercerita tentang ibu Kanaya.
Tadi siang saat ia menemui pak Karman, laki-laki paruh baya itu menceritakan tentang Kanaya yang hidup bersama Pak Ali Hasan, ayahnya. Namun sang ayah meninggal tiga bulan yang lalu akibat sakit ginjal. Ia juga menceritakan tentang keinginan sang ayah untuk menjadikan Kanaya desainer hebat. Pak Karman tidak bercerita tentang ibu kandung Kanaya.
Kanaya mendongak, "Maaf, aku tidak bisa bercerita soal itu," ucap Kanaya yang terlihat sendu.
"Ya sudah, ayo lanjut makan lagi."
***
"Ini bagus sekali, Aya. Aku suka sekali dengan hasil jahitannya, kamu itu memang pandai seperti ayahmu," ucap seorang yang sedang mencoba baju yang selesai dijahit Kanaya. Ia adalah pelanggan yang selalu menjahit di tempat Kanaya sejak Pak Ali masih hidup.
"Gimana, Mbak? Udah pas?"
"Iya Aya, ini pas di badan dan nyaman juga dipakainya." Sembari membuka kembali baju yang baru dicoba, tetangga Kanaya yang seorang janda itu terpana melihat Devan yang mengeluarkan motornya. Matanya tidak berkedip menatap wajah Devan yang memang berparas tampan dan bertubuh kekar. Bahkan saat ini terlihat begitu mempesona dengan menggunakan kaos putih dan sarung milik ayah Kanaya.Memang Devan hanya memiliki satu setel baju di sini. Selebihnya ia menggunakan baju milik almarhum pak Ali. Entah kenapa laki-laki itu tidak mengambil baju miliknya dan lebih nyaman menggunakan baju milik almarhum.
"Ya ampun, tampan sekali suami kamu ya Ay, pantas saja kamu sampe rela dinikahkan paksa. Kalau aku jadi kamu pun pasti rela, bahkan jadi yang kedua pun aku mau banget," ucap Tini dengan mata berbinar-binar.
Kanaya hanya tersenyum menanggapi tetangganya itu. Entah kenapa ada perasaan kesal saat Tini memuji ketampanan Devan di depannya. Memang tidak dipungkiri olehnya, lelaki itu sangat mempesona. Namun ia tepiskan semua itu.
"Ini kembaliannya, Mbak Tini." Kanaya menyerahkan uang kembalian beserta plastik berisi baju yang tadi dicoba.
"Makasih ya, Aya, besok-besok aku bakalan rajin ke sini agar bisa menatap suami tampanmu," ujarnya yang tersenyum genit. Kanaya hanya menggelengkan kepala melihat tingkah tetangganya itu.
"Waah, rajin sekali sih, Mas, pagi-pagi udah mandiin motor. Aku mau juga dong, dimandiin," ujar Tini yang dengan suara menggoda.
Devan menoleh ke arah suara yang menegur. Ia hanya tersenyum kikuk pada tetangga Kanaya yang terkesan genit itu sambil mengarahkan selang air ke motor yang sedang dicucinya. Tini menatap Devan dengan tatapan kagum, tentu Devan merasa risih ditatap seperti itu.
Kanaya berada di depan pintu dan melihat kelakuan Tini yang menggoda Devan. Ia tidak menghiraukan meski ada perasaan aneh dan bergegas masuk ke dalam rumah.
Kanaya mengambil beberapa ikan segar yang berada di kulkasnya. Ia sedikit menghentak-hentakkan pisaunya saat mengiris beberapa bawang putih. Entah mengapa, perasaannya sedikit tidak enak saat mengingat Devan yang tersenyum ramah pada Tini.
"Aww!" Karena ia tidak fokus, pisau tajam yang ia pegang kini mengenai jari tangannya dan mengeluarkan darah, "Aduh, sakit banget!"
"Astaga, tanganmu berdarah!" Dengan sigap, Devan memasukkan jari Kanaya yang berdarah ke dalam mulut dan menghisap darahnya.
Kanaya memperhatikan wajah Devan dengan seksama. Ia merasakan debaran dalam dadanya. Laki-laki itu terlihat begitu tampan jika dilihat dari jarak dekat. Seutas senyum muncul dari balik bibir Kanaya. Tidak banyak, hanya sedikit.
Begitu menyadari jika dirinya tiba-tiba mengagumi Devan, Kanaya buru-buru menarik lagi senyumnya saat teringat senyum ramah Devan pada Tini. Ia menarik tangannya dengan kasar, "Lepas ah! Kayak vampir aja sih, minum darah! Bisa-bisa darahku habis kamu minum!"
"Aku hanya membantumu mengurangi rasa sakit, dan supaya darahnya juga nggak mengalir terus." Kanaya melepaskan tangannya dari tangan Devan, "Biarin!" ketusnya. Dengan sedikit kesal, Kanaya melanjutkan aktifitasnya. Devan merasa aneh dengan sikap Kanaya. Baru tadi pagi bersikap baik, sekarang tiba-tiba ketus padanya. *** "Apa?! Kamu menikahi seorang gadis dan mengaku sebagai tukang ojek? Bagaimana bisa!" teriak Radit dalam sambungan telepon. Devan menjauhkan ponsel dari telinga, karena suara sekretaris sekaligus saudara angkatnya itu terdengar memekakkan telinga. "Iya, dan aku tinggal bersama di rumahnya. Dia seorang gadis cantik yang mandiri, aku suka melihatnya." Devan tersenyum mengingat wajah Kanaya. "Gila! Pergi dari rumah gara-gara tidak mau dinikahkan, sekarang malah udah nikahin anak orang tanpa pemberitahuan, dasar aneh! Lagian apa sih kurangnya Zalia, wanita sholehah dan cantik putri seorang ustadz terkenal, malah ditinggal pergi!"
"Maaf, ikut berteduh ya," ucap Devan. Ia berdiri agak berjauhan dengan seorang gadis muda yang ternyata sudah ada di pos ronda, dan juga sedang berteduh. Hujan semakin deras, membuat hawa dingin semakin terasa. Devan melihat gadis muda di depannya kedinginan karena tidak memakai jaket. Merasa kasihan, ia melepas jaket yang ia kenakan dan memberikannya pada gadis itu. "Tidak usah, Mas. Buat Mas aja, lagi pula rumahku dekat dari sini, kalau aku pakai, nanti Masnya yang kedinginan. Sepertinya Mas ini bukan orang sini," tolak gadis muda itu. "Tidak apa-apa, aku kan laki-laki, tidak akan kedinginan." Saat menyerahkan jaketnya, Devan malah terpeleset karena tempatnya licin. Kanaya yang hendak menolong, juga ikut terjatuh dan berada tepat di atas tubuh Devan. Saat hendak berdiri, tiba-tiba mereka diteriaki oleh seorang bapak-bapak yang membuat beberapa orang pun berdatangan. Mereka menuduh Devan tengah berbuat asusila bersama Kanaya. Posisi mereka yang terliha
Devan mendapatkan pesan dari orang-orang suruhannya yang mengawasi Kanaya. Ia membuka video Kanaya yang tersenyum membawa bunga mawar merah dan diiringi suara pengamen yang menyanyikan lagu cinta. Hatinya terasa perih dan dadanya panas seperti terbakar. Apa lagi saat melihat ada laki-laki di samping Kanaya. Laki-laki itu adalah Alex. Devan merasa frustasi. Setelah sekian lama tidak merasakan perasaan indah pada seorang wanita, kini dia dapat merasakannya kembali pada gadis yang tiba-tiba ia nikahi. Namun ia harus sadar jika ternyata ada Alex diantara mereka. Sejak patah hati pada cinta pertamanya yang bermain di belakang dengan sahabatnya, ia tidak percaya lagi pada wanita dan cinta. Banyak wanita yang mendekatinya, tapi ia selalu acuh dan tidak peduli. Namun saat melihat Kanaya, hatinya merasakan cinta itu hadir kembali. Tapi lagi-lagi, ada laki-laki lain yang juga dekat dengan wanita yang ia cintai. Itu membuatnya kecewa. "Kenapa baru pulang?" Devan menanyai Kanaya yang baru saj
Kanaya dipanggil oleh dosennya. Rupanya pihak kampus juga sudah mengetahui tentang video itu. Namun karena tidak ingin berita ini tersebar luas, pihaknya meminta seluruh mahasiswa yang mendapatkan video itu untuk segera menghapusnya dan tidak menyebarluaskannya. Menurutnya, Kanaya adalah mahasiswa terbaik di kampus. Pihak kampus tidak mau jika nama Kanaya menjadi buruk akibat video tersebut. Itulah sebabnya, video itu bisa segera diatasi. Meski sedikit heran karena Kanaya tidak mendapat sanksi apa-apa, semua mahasiswa hanya bisa diam. "Gimana, Ay?" tanya Mili. "Aman. Nggak tau gimana ceritanya, tapi semua ponsel milik mahasiswa yang punya video itu, sudah disita dan dihapus permanen oleh pihak kampus. Tapi aku bersyukur banget sih, meski itu tetap tidak akan membuat keadaan kembali seperti dulu lagi," ucap Kanaya penuh kelegaan. "Iya, ponselku juga tadi diminta sama Pak Iyan," sahut Mili. "Syukurlah, jadi video itu sudah nggak ada lagi sekarang."
Kanaya baru saja sampai di depan rumah. Ia heran mengapa terdengar suara orang bercengkrama di dalam rumahnya. Setelah mendekat, ia baru mengenali bahwa itu adalah suara paman dan bibinya. "Assalamualaikum." "Wa alaikumussalam, Aya, baru pulang, Ndhuk? Sini, duduk!" ajak Bu Siti, sang bibi yang tadinya sedang berbicara dengan suaminya dan juga Devan. "Ada apa, Bibi dan Paman tiba-tiba ke sini?" Tanya Kanaya setelah duduk di samping bibinya. "Ini, Bibi hanya memastikan saja katanya kamu ada tanda-tanda hamil, jadi Bibi cepat-cepat kemari. Jadi benar kamu hamil, Ndhuk? Kalau lagi hamil, lebih baik istirahat saja, jangan pergi kuliah dulu. Pasti boleh ijin, kan, kalau memungkinkan harus istirahat?" tanya Bu Siti yang membuat Kanaya kebingungan. "Ha-hamil?" "Iya, Bibi senang sekali mendengarnya." Bu Siti kelihatan begitu bahagia saat berbicara dengan Kanaya. Sementara Kanaya, gadis itu bingung dengan paman dan bibinya yang tiba-tiba datang dan me
"Ini negatif?" "Iya, Bi." "Owalah, tapi nggak apa-apa, nanti juga kalau sudah waktunya, pasti diberi kepercayaan sama Gusti Allah." Kanaya hanya mengangguk mengiyakan ucapan bibinya. "Jamu yang dibawa Alin tadi, nanti diminum, ya! Biar tubuhmu semakin sehat, dan juga biar cepat hamil," tambah Bu Siti. "Ah, Bibi. Lagian hamil kan bisa ditunda, nanti-nanti juga bisa." "Eh, nggak boleh gitu! Lihat Bibi, gara-gara nunda hamil terlalu lama, kandungan jadi kering. Akhirnya cuma punya Alin, itu pun saat usia Bibi sudah cukup tua." "Itu, 'kan dulu, Bi. Sekarang jaman sudah modern, apa-apa sudah bisa direncanakan dengan baik." "Jangan ngeyel, Aya. Atau, kamu belum bisa menerima pernikahan ini?" Kanaya hanya diam tanpa menjawab. "Dengarkan Bibi, Ndhuk, kalian sudah menikah dan dia sudah menjadi suamimu. Kamu harus menjadi istri yang baik untuk suamimu. Bibi lihat, Devan lelaki yang baik dan bertanggung jawab. Pamanmu juga bilang begitu. Malahan,
"Sudahlah, Lex, jangan seperti ini, tidak enak dilihat orang-orang." "Aku tidak akan bangun sebelum kamu mau memaafkanku dan kita seperti dulu lagi, Ay." Alex berlutut di depan Kanaya dan disaksikan oleh teman-temannya. Tentu saja Kanaya merasa malu dan risih ditatap oleh banyak orang. Terlebih ia melihat Cintia yang menahan amarahnya. "Sudah kubilang aku memaafkanmu, jadi berhenti bersikap seperti ini." "Dan kita bisa jalan, makan, nonton bareng seperti dulu lagi?" tanya Alex dengan mata berbinar. "Maaf, Lex, kalau itu, aku nggak bisa. Kamu tahu bagaimana aku sekarang. Jadi kuharap, kita tetap bisa berteman biasa tanpa berlebihan." "Tidak bisa begitu, Ay, aku ingin kita seperti dulu lagi. Seperti dulu sebelum ada laki-laki itu diantara kita. Lagi pula, namamu belum terdaftar dalam surat nikah dengannya, itu artinya, kamu bukan milik siapa-siapa!" "Alex!" Terlihat Bu Mirna datang dengan berkacak pinggang. Ia berjalan cepat mendekati anaknya yan
Kanaya menyambut uluran tangan Radit, "Kanaya," ucapnya. "Jadi, Anda yang menyewa villa ini?" Radit mengangguk. Kanaya merasa bingung, karena Devan memiliki seorang bos. Padahal selama ini Devan mengaku sebagai tukang ojek. 'Kalau laki-laki ini bosnya, lalu dia bekerja sebagai apa?' "Kamu pasti bertanya-tanya tentang pekerjaan suamimu, 'kan? Jangan khawatir, dia itu memang tukang ojek beneran. Hanya saja, karena saya berbaik hati padanya, saya memintanya mengantar jemput adik saya ke sekolah. Karena adik saya itu tidak suka naik mobil. Dan gajinya, ya, diatas rata-rata pastinya, karena saya bukan bos yang pelit," jelas Radit. Devan terlihat menahan amarah tapi berusaha mengendalikannya. Ia tidak mau sandiwaranya terbongkar. Terpaksa ia mengikuti alur yang diciptakan saudara angkatnya, yang seolah ingin balas dendam padanya karena selama ini sering memerintahnya. "Lalu Devan juga masih bisa ngojek lagi setelah mengantar jemput adik saya, iya, 'kan, Dev?" D
"Aya! Kamu kenapa, Sayang?" Bu Herlin menghampiri Kanaya yang berada di kamar mandi dapur. Menantunya itul tampak lemas dan pucat. "Bi, bantu bawa Aya ke kamarnya."Dengan bantuan Bi Karti, Bu Herlin membawa menantunya ke kamar. Sampai di sana, dia semakin terkejut melihat Devan yang juga tampak lemas dan tiduran di ranjang. "Istriku kenapa, Ma?" Dengan tubuh yang lemas, Devan mendekati istrinya yang kini dibaringkan di sampingnya. "Kamu kenapa, Sayang?Kanaya memegang perutnya, sementara Bu Herlin memijat kepala menantunya itu. "Aya muntah di kamar mandi," jawab Bu Herlin. "Kamu sakit juga, Dev?" "Kepalaku pusing, Ma, tapi aku lebih khawatir sama Aya. Biar kutelepon Aldo agar memeriksanya." Devan mengambil ponsel dan melakukan panggilan pada Aldo. "Apa? Lalu kamu tidak bisa ke sini? Ya sudah, tolong suruh Dokter Maria kemari untuk memeriksa istriku.""Gimana, Dev?""Aldo sedang mengurusi istrinya yang juga sakit, Ma. Sama seperti Aya, Resti juga muntah-muntah parah dan harus dirawa
Hari ini Kanaya akan menghadiri pernikahan Tini, setelah mendapatkan undangan yang diberikan Resti dua hari yang lalu. Kanaya sudah bersiap dan sedang menunggu Resti dan Mili. Tak lama kemudian, kedua sahabatnya itu datang bersama pasangannya masing-masing.Setelah ijab kabul yang dilaksanakan berbarengan dengan Mili, Resti akan ikut suaminya ke Jakarta, begitupun Mili yang akan ikut di mana suaminya tinggal. Namun, sebelum itu mereka akan menghabiskan beberapa hari lagi untuk menikmati suasana di kampung mereka. Seperti hari ini, ketiga pasangan itu sudah berada di salah satu gedung yang sedang diadakannya pesta pernikahan Tini dan Pak Iyan, dosen Kanaya dulu. Mereka tidak menyangka jika Pak Iyan yang sikapnya kadang lemah lembut seperti perempuan itu akhirnya menikah. Dan yang tidak disangka juga, Tini, yang dulu selalu mengutamakan ketampanan untuk menjadi pasangannya, kini menjatuhkan pilihan pada Pak Iyan."Hai, Aya, Mas Ganteng, selamat datang!" sapa Tini, setelah melihat kedat
Kanaya dan Devan mengajak semua tamunya untuk masuk. Mereka duduk bersantai di belakang rumah, yang mana ada dua gazebo yang baru saja dipesan oleh Devan dari meubel Pak Karman. Tempatnya yang rindang, membuat mereka betah berlama-lama di sana. Terlebih ada banyak mangga yang sudah tua dan ada yang sudah masak dari pohonnya. Kemarin setelah menghabiskan waktu di gazebo yang disediakan warga, Devan mempunyai inisiatif untuk membuat gazebo juga di belakang rumah sang istri. Kapan-kapan ia akan mengajak seluruh keluarganya untuk ke sini, sambil membuat tenda dan bermalam di belakang rumah. Sudah lama sekali tidak melakukan kegiatan seperti itu. Tidak masalah meski harus kemah di belakang rumah karena suasananya sudah seperti di hutan, banyak pohon yang rindang. "Ayo ambil lagi! Itu yang atas ada yang sudah masak, My Sweety. Aku mau yang di atas yang warnanya sudah kuning." Mili berteriak pada sang kekasih yang kini naik ke atas pohon mangga. Andre mengambil beberapa mangga muda serta
"Aku hanya bercanda, Sayang. Aku tahu tidak akan ada yang bisa menandingi pesonaku," kata Devan dengan percaya dirinya."Jadi, kamu mau memberinya pekerjaan?""Iya. Nanti akan kuminta Andre untuk menanyakan posisi yang masih membutuhkan karyawan di kantor cabang yang ada di sini." Kanaya pun tersenyum bahagia.Mereka menikmati jajanan yang tadi dibawanya, ditemani angin sepoi-sepoi dan lucunya Mira yang sesekali merebut makanan Kanaya."Kali ini biar aku yang menggendongnya. Setelah ini kita langsung istirahat," tegas Devan saat melihat istrinya lelah. Dengan membawa payung, Devan menggendong Mira dan menggandeng istrinya. Sungguh pemandangan yang membuat banyak orang merasa iri pada Kanaya. Memiliki suami yang tampan dan juga kaya, serta perhatian dan penuh kasih."Waduh, jadi ngerepotin Nak Devan. Sini Mira, sama Nenek." Bu Sumi langsung menyambut Mira yang berada di gendongan Devan dan Devan pun menyerahkan balita itu setelah sampai di rumah Bu Sumi."Nggak ngerepotin kok, Bu," sa
Cintia menatap Devan, yang membuat laki-laki juga menoleh. "Aku minta maaf karena membuatmu digerebek warga. Aku juga minta maaf atas kesalahan yang telah kulakukan pada Aya selama ini."Cintia menangkupkan kedua tangannya, membuat Kanaya memegang tangan itu. "Suamiku sudah memaafkanmu, iya, kan, Honey?" Kanaya lagi-lagi tersenyum, Devan hanya mengangguk."Papa, ayo kita pulang!" Anak kecil berusia dua tahun itu menarik lengan papanya."Iya, Sayang. Sebentar, ya.""Hai, anak manis, siapa namamu?" Kanaya menanyai anaknya Alex."Namaku Altaf, Tante," jawabnya dengan lancar. Meski baru dua tahun, anak itu sudah pandai berbicara dengan lancarnya. Hal itu membuat Kanaya senang karena dia memang sangat menyukai anak kecil."Oh ya, Altaf, Tante ada jajanan, kamu mau nggak?" Kanaya mengambil plastik berisi jajanan miliknya, memberikan pada Altaf.Anak kecil itu memilih-milih dan akhirnya mengambil klepon."Terima kasih, Tante.""Sama-sama, Sayang." Kanaya tersenyum ramah dan mengusap kepala A
Alex dan Cintia sama terkejutnya kala melihat kedatangan Kanaya dan Devan. Namun, Alex bersikap ramah dan menyapa Devan serta Kanaya. "Hai, Ay. Bagaimana kabarmu dan suamimu?"Alex yang tadinya tengah duduk di gazebo akhirnya berdiri dan mendekat ke arah Kanaya dan Devan. Devan hanya menatapnya dengan tatapan datar, sementara Kanaya tersenyum ramah. "Baik, Lex, kami sangat baik," ujar Kanaya yang menoleh pada Cintia di samping Alex.Selain bersama Cintia, di sana juga ada Bu Mirna yang duduk di kursi roda. Kanaya sangat penasaran mengapa Bu Mirna berada di kursi roda dan sepertinya tidak begitu sehat. Belum sempat Kanaya bertanya, Cintia akhirnya berdiri sambil menggendong putranya. "Kapan kamu datang, Aya?""Kemarin. Ini anak kalian?" Kanaya menatap anak laki-laki yang matanya mirip dengan Alex."Iya, ini anak kami," sahut Cintia yang kini bersikap ramah, tidak seperti Cintia yang dulu. Ia bahkan memperhatikan balita yang berada di gendongan Kanaya. "Ini, kan, anaknya Lita, kok bisa
Suara jangkrik masih terdengar karena masih terlalu petang. Kanaya bangun pagi-pagi sekali. Sebelum suaminya bangun, ia sudah lebih dahulu berada di dapur setelah membersihkan tubuhnya. Rasanya ia lebih bersemangat pagi ini. Memasak beberapa menu masakan, wanita berambut panjang itu melakukannya dengan gembira.Jendela dan pintu sudah dibuka, Kanaya menghirup udara pagi yang begitu sejuk dan segar. Dirinya berdiri, merenggangkan otot-otot tangan, lalu memperhatikan keadaan di sekitar rumahnya. Beberapa sudah ada rumah baru, juga ada rumah yang sudah direnovasi."Aku mencarimu, Sayang." Devan memeluk Kanaya dari belakang. "Kupikir kamu kabur.""Untuk apa, aku kabur? Memangnya aku buronan?" Devan menghidu aroma istrinya dan menciumi tengkuknya. "Geli, Honey. Jangan menggodaku! Kalau tidak mau aku terkam!" Devan menyernyit, lalu melepaskan tangan yang melingkar di perut istrinya. Ia tertawa mendengar kata-kata istrinya yang seperti mengancam. "Kenapa kamu jadi begini, Sayang? Harusnya
"Bagaimana keadaan anak-anak asuh? Aku sudah lama tidak ke sana." Radit memulai pembicaraan di tengah perjalanan menuju ruang tamu."Mereka baik-baik saja dan ... mereka menanyakanmu." Zalia menjawab tanpa menoleh.Sejak Bu Herlin memintanya untuk tinggal lagi di rumah, Radit hanya sesekali pergi ke desa Sumber Makmur, tempat di mana ia menghabiskan waktu untuk lebih dekat dengan Ustaz Zaki dan Zalia. Di tempat itu ia sering diajak Ustaz Zaki untuk mengurusi anak-anak asuh yang diambil dari jalanan. Radit yang pernah tinggal di jalanan, merasa sangat tergugah untuk membantu mengurusi mereka. Ia menghabiskan banyak uang untuk membantu pembangunan rumah anak-anak asuh itu."Oh ya? Aku juga sudah rindu pada mereka. Juga, pada kalian semua." Zalia menoleh sekilas, lalu menatap ke depan lagi. Jujur hatinya juga bahagia bisa melihat Radit lagi. Menurutnya, Radit adalah sosok yang baik dan penyayang. Selama di desa Sumber Makmur, Zalia sering melihat Radit membantu pembangunan masjid dan j
Gerimis yang tiba-tiba mengguyur, seolah ikut merasakan kesedihan Kanaya. Di samping makam sang ibu yang masih basah, perempuan itu masih duduk berjongkok. Diusapnya pusara yang baru beberapa menit terpasang itu, berkali-kali pula menghapus air mata yang terus mengalir. Rasa sedih di hatinya tak bisa lagi ditahan. Untuk kedua kalinya ia merasakan kehilangan orang terkasih.Biar seperti apa pun, Dewi tetaplah ibu yang pernah mengisi hatinya. Kenangan indah sebelum ia memutuskan meninggalkan dirinya dan sang ayah pun masih ada dalam ingatan. Pun dengan pelukan hangat yang selalu dirindukannya. Kini, harapan untuk bisa mendapatkan pelukan hangat itupun telah sirna. Dewi, telah terbujur kaku di bawah sana. "Ayo kita pulang, Sayang. Di sini dingin," ajak Devan yang memegang bahu sang istri.Kanaya menoleh, menatap wajah teduh sang suami yang tersenyum hangat padanya. Sungguh, ia bersyukur masih memiliki Devan. Suami yang dikirimkan Tuhan, dengan segala kesempurnaan di matanya."Ayo, Sayan