"Ngapain sih kamu ngikutin aku?" gerutu Sarah berusaha menghindari Adam, tapi pria itu malah menyusul dan kini tengah mencoba membujuk agar Sarah mau ikut dengannya.
Adam menarik tas di tangan Sarah. Berharap wanita itu berhenti bersikap keras kepala. Namun Sarah kembali merebut tas jinjingnya dari tangan Adam."Biar aku bantu! Anggap aja balas budi karena udah nolongin aku kemarin," ujar Adam balas merenggut tas itu lagi dari Sarah."Gak usah! Itu tugas aku nolongin orang!" Dia menarik tasnya lagi."Dok!""Adam!""Ayolah, Dok!""Gak usah!"Adam menyerah setelah aksi rebut-rebutan tas mereka dihentikan oleh suara seorang wanita dari arah berlawanan. Wanita dengan rambut dikuncir dua itu menatap Adam, sedih."Mas Adam!" tegurnya membuat Adam mendesah sebal.Mengetahui Adam nampak tertekan melihat wanita itu, Sarah jadi penasaran. Dia menyenggol pinggang Adam seraya mendongak menatap pria jangkung itu."Pacar kamu ya?""Gak ada. Aku gak punya pacar. Tapi kalau Bu Dokter mau, aku gak keberatan."Sarah mendesis. "Aku yang keberatan."Wanita dengan tampilan sedikit norak itu mendekati kedua orang tersebut. Melirik Sarah dengan muka judes, meneliti tampilannya sebentar, lalu bergelayut manja di lengan kekar Adam. "Mas Adam kenapa gak pernah ngojek lagi ke desa sebelah? Leila kangen tahu diboncengin sama Mas Adam," ujarnya lembut serta menggoda.'Dih! Genit amat!' batin Sarah lantas menarik tasnya, kemudian melenggang pergi dari hadapan dua sejoli itu. Tak mau menganggu kemesraan mereka. Tapi Adam justru memberentangkan tangan Leila, merenggut ujung jas Sarah. Menghentikan langkah Sarah agar tidak meninggalkannya dengan Leila sekarang."Maaf ya, aku harus segera anterin Dokter Sarah ke tempatnya.""Tapi, Mas...." Leila berusaha menggapai Adam, tapi gagal.Dengan gesit dia menghindar, bergegas menyalakan motor. Mengedikkan kepala ke arah jok pada Dokter Sarah yang enggan naik. "Cepat, Dok!" kata Adam setengah berbisik.Sarah yang merasa tak nyaman dengan wanita tadi, sempat ragu untuk ikut Adam. Namun setelah dipaksa oleh pria itu, akhirnya Sarah naik ke jok belakang dan menyerahkan tas jinjingnya pada Adam.Knalpot Adam yang berisik, meraung, mengeluarkan asap hitam yang tepat sasaran mengenai sosok Leila. Dia terbatuk, mengipasi wajahnya."Mas Adam kok gitu sih!" teriaknya dengan muka merengut.Sedangkan Adam dan Sarah sudah meluncur pergi jauh di depannya. Leila mendengus, kedua tangannya mengepal kuat saat bertatapan mata dengan Dokter Sarah. "Awas aja kalau dia berani ngerebut Mas Adam!" gerutu Leila.Tatapan tajam Leila terputus. Sarah buang muka. Dia segera menepuk punggung lebar Adam. "Ngapain sih kamu tinggalin dia! Kalau dia salah paham gimana hah," hardik Sarah pada Adam yang fokus menyetir motor."Lebih baik gitu. Aku'kan sukanya sama Dokter Sarah bukan sama Leila.""Segampang itu ya kamu bilang suka. Pasti playboy, jangan-jangan cewek tadi istri kamu?" tuduh Sarah membuat Adam menghentikan motornya mendadak. Tubuh ramping Sarah menabrak punggung Adam."Apaan sih, Dok! Aku masih single, belum nikah. Rencananya sih mau nikahin Dokter... akhhh! Dokter kok nyubit sih!" keluh Adam seraya mengusap pinggangnya yang berdenyut-denyut."Aku turun nih!""Iya, iya, maaf! Habis Dokter cantik sih! Aku'kan jadi demen.""Adam sekali lagi kamu ngomong begitu, aku turun beneran."Sarah menggeser badannya yang mendempet, lalu berpegangan pada pinggiran motor trail. Mengamati hamparan sawah serta pohon kelapa yang berjejer di sepanjang jalan. Tak sadar dia mengulas senyum. Merasa beruntung karena ke depannya akan menikmati pemandangan yang jarang dia lihat di kota."Masih jauh, Dam?""Bentar lagi, Dok. Noh, di depan sana ada rumah panggung. Itu tempat tinggal Dokter nanti," ujar Adam. Dia membelok motor menuju jalan setapak. Tak lama mereka memasuki pekarangan yang dihiasi bunga sepatu serta pohon mangga yang nampak berbuah lebat."Ini rumahnya?" tanya Sarah takjub.Adam mengangguk. Dia mengambil alih tas Sarah. Menaiki undakan tangga bersama Sarah yang tak henti-henti berdecak kagum. Namun tiba-tiba Adam menggerutu. "Dasar pak tua pikunan. Dia lupa kasih kuncinya sama kita," ujar Adam seraya menunjuk ke pintu yang masih digembok.Sarah tersenyum. Dia berjalan menuju birai penghalang di teras yang terbuat dari kayu. Menyangga kedua tangannya di sana. "Udahlah, kita tungguin aja Pak Lurah.""Jadi Dokter mau ditemenin sama aku ya?" goda Adam sambil menggoleng pinggang ramping wanita di sebelahnya.Sarah menoleh. Mengangkat sebelah alis. "Bisa diam gak?""Bisa, Dok. Demi Dokter apasih yang enggak."Kepala Sarah menggeleng, heran dengan tingkah Adam. Samar dia mendengar pria itu menguap lebar. Sontak dia duduk menjulurkan kaki ke bawah, kemudian menyandarkan kepala di pilar kayu pembatas."Bukannya aku udah nyuruh kamu buat istirahat ya? Kayaknya kamu gak tidur semalam," kata Sarah berjongkok di sisi Adam. Menyentuh keningnya sekilas lalu mendesah sebal."Aku gak bisa tidur setelah bermimpi buruk. Tapi syukur juga kemarin aku bisa tidur pas pingsan," ungkap Adam sambil menerawang."Biasanya insomnia?""Hmm, aku langganan obat tidur.""Kamu ada trauma?" selidik Sarah membuat Adam lantas menengok ke sampingnya. Tepat ke wajah Sarah. Adam buang muka lalu tersenyum lebar."Kalau iya, apa Dokter bisa nyembuhinnya?" tanya Adam.***Adam turun dari motornya. Berlari masuk ke dalam rumahnya dan mendapati Ardi tengah duduk manis di kursi rotan sambil menjawab telepon seseorang yang dia yakini adalah kakaknya--Hamzah."Iya, Bos. Saya akan sampaikan hal ini pada Adam." Ardi mengakhiri pembicaraannya, menoleh pada Adam yang tengah duduk menyandar di kursi sembari memejamkan mata."Bos Besar nelepon aku barusan. Ada beberapa dokumen yang mesti kamu tanda tangani, besok.""Hmm, terus apa lagi?" sahut Adam tanpa melihat sang lawan bicara.Ardi mendesah. Dia melanjutkan, "Lalu soal kasus itu... masih belum ada perkembangan. Detektif yang mengikuti para target tidak menemukan apapun selain mereka pergi berlibur keluar kota dengan para simpanan. Menjijikkan!" kata Ardi berkecumik."Itu sudah jadi tradisi mereka. Pesta dan wanita. Lalu apa lagi?"Ardi menggeleng. "Tidak ada. Semuanya bersih."Kali ini giliran Adam yang mendesah. Lelah mengetahui kalau kenyataan yang mereka hadapi terlalu rumit. "Memang sejak awal susah sekali mencari celah. Tapi aku yakin, ada sesuatu yang bisa menggiring kita menemukan bukti. Kalau para target yang kita incar adalah dalang dalam kejadian itu," ujar Adam berusaha menenangkan hatinya dari rasa bersalah yang terus berkecamuk."Lidah mungkin bisa menyembunyikan kebusukan, tapi mata tidak pernah. Jika kita jeli, kita pasti menemukan kebenaran itu."Adam menyunggingkan senyum. Melirik paket di kursi paling pojok yang disembunyikan Ardi. Dia menjulurkan tangan, menunjuk paketannya. "Aku perlu itu.""Kamu udah ketegantungan ini, Dam. Bos Besar menyuruhku agar menyita semua obat ini""Satu-satunya hal yang bisa membuatku tenang cuma obat itu sekarang, Di. Kembalikan!" perintah Adam sengit.TBC"Gak, Dam! Obat ini bikin kamu ketergantungan. Aku gak bisa biarin kamu konsumsi ini terus!" kata Ardi memeluk kuat paket itu, kemudian membawanya pergi. Meninggalkan Adam yang mendecih sebal. Dia mengacak rambutnya, frustasi. Sudah cukup lama dia tidak meminum obat antidepresan karena dokter yang menanganinya meminta Adam untuk memulai pola hidup baik. Makan teratur, olahraga dan berusaha tidur sesuai anjuran. Semua sudah dia lakukan, terkecuali bagian tidur. Adam dihantui mimpi buruk setiap malam. Membuat dia punya waktu tidur paling lama hanya dua jam, sisanya dia habiskan dengan berolahraga atau merenung. Obat lebih bisa membuatnya tenang saat serangan cemasnya datang. Obat lebih bisa membuatnya merasa damai dari rasa bersalah, meski sesaat. Dan kini, obat itu mau dihanguskan oleh Ardi di halaman belakang. "Ardi!" pekik Adam seraya menuruni anak tangga dan merebut kotak itu dari tangannya. "Adam! Aku minta kali ini sama kamu, jangan membantah perintah dari Bos Besar. Kamu suda
Sarah memasang jas dokternya. Masuk ke ruangan perawatan yang sedang sibuk dan agak kacau. Beberapa lansia tengah menunggu di depan bagian administrasi. Tampak lelah dan tak sabaran. Meskipun begitu, Sarah tak bisa langsung menyuruh mereka masuk ke ruang pemeriksaan. Ada beberapa pasien yang memerlukan bantuannya sekarang. Seperti di ruang perawatan, ada dua pasien yang terbaring lemas di bangsal, salah satunya terluka. "Kenapa ini?" tanya Sarah saat melihat kaki si pasien mengeluarkan darah cukup banyak. Membasahi bangsal tempat dia berbaring. "Kena pisau. Lukanya cukup dalam, Dok. Perlu dijahit." Mendengar ucapan sang suster, si pasien pria itu menangis ketakutan. Membuat kekacauan makin menjadi. Sementara pasien satunya juga menangis karena takut disuntik. Sarah memijit pelipisnya. Dia menarik napas panjang, kemudian mendekati pria tadi. Berusaha menenangkan. "Kalau luka Bapak gak dijahit. Takutnya nanti infeksi, Pak. Jika lukanya dibiarkan menganga begitu, sembuhnya juga bakala
"Jangan minum obat penenang. Kamu udah ketergantungan, Dam!" tegur Ardi yang tengah duduk manis di kursi lipat. Kedua kakinya menyilang, menunjukkan parut memanjang di bagian pergelangan, luka akibat kecelakaan motor di dekat persawahan beberapa bulan yang lalu."Kalau aku mau tidur nyenyak, ya mesti minum obat itu." Adam membuka botol obat tersebut, sebelum dirampas paksa oleh Sarah yang datang tiba-tiba.Ardi menatap wanita itu datar, namun dalam hati bersyukur karena setelah itu Adam tak berkutik lagi. Tatapan memohonnya tak membuat Sarah gentar, justru makin menegaskan kalau malam ini dia tak akan tidur ditemani obat tersebut."Aku udah bilang tadi. Lupa?""Enggak lupa. Cuma gak ingat aja," ujar Adam disertai cengiran lebarnya.Sarah dan Ardi mendesah bersama, sebal dengan sikap petakilan Adam. Kedua orang itu berdiri di depan bangsal Adam. Melipat tangan di dada. Lebih dulu Ardi menyentil dahi Adam, membuat pria itu meringis. "Aku balik dulu, mau ambil baju sekalian bawain pakaia
Sarah mencangklong tasnya. Merogoh saku celana seraya mengeluarkan kunci lalu membuka pintu rumahnya yang kosong melompong. Tubuh wanita itu berbalik saat mengenali suara meraung kendaraan Adam yang mendekati halaman depan. Tanpa menunggu, Sarah masuk ke dalam rumah. Melepas jasnya, menyisakan kemeja putih bersih yang nampak indah di tubuhnya. Wanita itu mendengar suara Adam memanggilnya dari depan teras."Bu dokter...." Adam berteriak seperti anak kecil yang mengajak main. Pria itu menaiki tangga dan berdiri di depan pintu, melongokkan kepala, mengintip Sarah yang tengah mengamati atap rumah. "Boleh masuk gak nih?""Masuk aja," kata Sarah tanpa memandang Adam yang sedang menenteng tas kecil berisi peralatan tukangnya. Santai Adam mengeluarkan palu dan gergaji dari sana. Ikut mendongak ke atap. "Atap kamar aku bocor. Kalau hujan, semuanya gak sempet terselamatkan lagi.""Gampang! Udah nyiapin atap barunya gak? Paku sama kayu?" tanya Adam lantas diangguki Sarah.Tidak berbasa basi, Ad
"Rumah Sarah tempias. Atapnya udah rusak, besok rencananya aku mau benerin. Tapi hujan turun, kasian juga kalau dia mesti basah-basahan di rumahnya sendiri."Ardi bersidekap, nampak tak terima dengan keputusan Adam membawa Sarah ke rumah mereka. "Tapi setidaknya ada bagian di rumahnya yang gak kena tempiaskan?" tanya pria itu."Ardi," tegur Adam tak suka dengan sikap posesifnya itu, meskipun Adam tahu reaksi Ardi tersebut bentuk dari perlindungan sebagai pendamping yang diutus kakaknya. Namun Adam tak mau terus dikekang, seolah setiap langkahnya mesti diperhatikan.Maka dari itu, ketika Ardi marah karena kaget mendapati Sarah di rumah mereka. Adam dengan cepat menjelaskan asal muasal masalah yang mereka hadapi, berharap Ardi maklum. Tapi sebaliknya, Ardi malah reaktif. "Dia menguping pembicaraan kita.""Itu gak disengaja, Di.""Bagaimana kalau dia utusan seseorang?" tuduh Ardi makin membuat Adam berang, dia mendekati Ardi, menarik kerah kemeja pria itu dengan satu tangan. Ardi tak me
Adam kembali pagi-pagi sekali setelah tidur beberapa jam di hotel dan mengabaikan kondisi Ardi bersama Sarah di rumah. Jelas Adam tidak khawatir Sarah dan Ardi macam-macam, karena dia tahu Ardi tidak tertarik pada hubungan rumit bersama wanita. Bahkan sejak Adam pergi, keduanya sudah terlibat dalam permusuhan tak tersirat yang lebih dulu dimulai oleh Ardi.Ketika dia sampai di teras, Adam melihat Sarah sudah keluar dari rumah. Tampak cemberut. Saat mendapati Adam pulang, senyumnya merekah tipis. Sambutan yang cukup membuat hati Adam berbunga-bunga."Dokter udah mau balik? Gak sekalian sarapan di sini?""Aku gak mau diintai terus sama temen kamu itu! Ngeri tahu!"Adam tertawa. Ardi menjalankan perintahnya dengan baik, bahkan lebih dari yang Adam harapkan. Sewaktu dia melirik ke pintu depan, Ardi berdiri di sana sambil bersidekap. "Mau ku antar ke rumah?" tawar Adam mengabaikan pelototan Ardi."Kamu baru balik," kata Sarah seraya mengawasi tampilan Adam yang luar biasa lebih rapi dari b
"Udah jadi?"Suara Sarah mengagetkan Adam yang tengah membersihkan kekacauan akibat pecahan genteng yang jatuh ke dalam rumah. Dia mengelus dada, menetralkan detak jantungnya yang bertalu-talu."Kenapa gak salam dulu sih, Dok? Kaget tau. Kalau aku jantungan gimana? Dokter mau aku tinggalin di sini? Nanti gak ada yang gombalin Dokter Sarah lagi... mau?""Pengen banget!" sahut Sarah pendek. Dia terkekeh melihat muka Adam yang merengut."Jahat juga ya," gerutu Adam seraya melanjutkan aktivitasnya. Pria itu mengambil serokan dan mengumpulkan debu tebal tersebut. Selesai membuang sampah-sampah dan merapikan beberapa barang, Adam menengok kedatangan Sarah dengan pakaian casualnya."Mau ke mana?""Nyari makan. Mau ikut? Tapi nebeng," kata Sarah menunjukkan motor Adam yang terparkir di depan teras. Tak mau membuang kesempatan besar, Adam mengangguk antusias. Segera dia meletakkan kembali sapu di sudut ruangan, berlari kecil menuju dapur dan mencuci tangannya yang berdebu.Kembali dari dapur,
"Leila keknya marah banget sama kamu, Dam."Adam mengendikkan bahunya, tak peduli dengan perasaan Leila yang terluka akibat ulahnya. Bagi Adam, Leila bukan siapa-siapa, hanya sebatas langganan ojeknya sebelum kedatangan Sarah. "Masa bodoh. Aku capek ketemu sama dia. Manjanya kebangetan," keluh Adam lalu menghentikan motornya di depan beranda rumah Sarah. Wanita itu turun dari jok. Membuka dompetnya lalu menyerahkan beberapa lembar uang pada Adam. Namun Adam justru mendorong balik uang tersebut seraya berkata lirih pada Sarah, "Gak usah. Makan bareng Dokter Sarah tadi udah jadi imbalan paling berharga.""Cih, gak usah gombal. Kamu udah perbaikin atapnya sendirian. Masa gak aku bayar," kata Sarah menarik tangan Adam, lalu meletakkan uang tersebut di telapak tangannya.Ketika Adam menggenggam uang pemberian Sarah, dia sontak memukul jidatnya sendiri. "Ampun dah! Kita lupa bayar makanan tadi!"Ikut-ikutan, Sarah menepuk jidatnya juga. Tersadar kalau mereka belum bayar sepersen pun makan
Sarah memandang mobil di depannya, kemudian pada sosok Adam yang pucat. Dia menggeleng. "Gak, aku aja yang bawa mobilnya.""Loh? Janganlah, aku kan yang ngajak Dok--""Sarah. Panggil aku, Sarah." Wanita itu menatap Adam dengan wajah serius, sementara Adam cuma bisa diam sembari mengangguk paham. Sarah melanjutkan omongannya, "Kamu gak memungkikan banget buat bawa mobil. Aku gak mau kita kecelakaan.""Bisa-bisanya kamu meragukan aku," gerutu Adam."Kata Ardi kamu menggalau beberapa hari ini. Pasti karena aku tolak waktu itukan?""Jujur banget ngomongnya.""Karena kondisi kamu yang gak memungkinkan itu, aku gak bakalan izinin kamu buat nyetir. Mending aku aja," jelas Sarah panjang lebar.Sebal, Adam pun menurut saja. Dia duduk di samping kemudi, mengamati Sarah yang sedang memasang belt. Adam tak percaya, kalau wanita yang beberapa waktu lalu menolaknya malah kini menerima tawaran untuk pergi jalan-jalan bersama. Adam bingung, sumpah!"Kenapa kamu mau terima ajakan aku?""Sebagai permin
Sarah tidak tahu kalau Adam akan jujur dengan perasaannya. Ketika pria itu mengatakan kenyataan tersebut, Sarah cuma tercengang dengan mulut menganga. Telunjuknya menunjuk diri sendiri, tak menyangka."Gak salah kamu, Dam? Jangan bilang kamu memberitahu Leila soal ini? Bisa mampus kita!" kata Sarah cemas.Adam terkekeh. "Meskipun dia bawa para preman itu, aku gak bakalan biarin mereka melukai Dokter Sarah. Aku harus menepati janji'kan?" ujarnya sambil menaik-naikkan kedua alisnya yang tebal.Sebelah tangan Sarah mengusap keningnya. Dia melipat kaki di atas kursi, mendesah sebal dengan keputusan Adam yang terlalu berisiko itu. "Bagaimana kalau kamu yang terluka? Siapa yang repot?""Dokter. Tugas kamu'kan mengobati orang yang terluka?" sahut Adam enteng sekali. "Kamu lihat? Aku juga terluka!" kata Sarah menunjuk sudut bibirnya yang luka, lalu ke keningnya yang benjol. "Aku yang obatin Dokter. Kita saling mengobati," ujar Adam langsung mendapat sahutan berupa suara muntah dari Ardi. Lel
Motor trail Adam meraung di depan rumah Leila yang terbilang mewah. Semua orang di desa itu dan tempat Adam tinggal, tahu kalau Leila bukan anak gadis dari orang sembarangan. Ayah Leila merupakan seorang tuan tanah yang punya banyak anak buah turunan dari preman pasar. Mereka juga tahu, kalau ayah Leila bukanlah pria baik. Ardi pernah bertemu dengan pria paruh baya tersebut, dan menyatakan kalau dia tak menyukai cara kerjanya. Dan sekarang Adam menemukan alasan Ardi tak menyukai ayah Leila itu. "Makanya, hutang itu dibayar dong! Berani-berani ngambil utang, tapi gak sanggup bayar. Lucu juga!" katanya sambil memelintir kumisnya yang tebal. Adam turun dari motor. Menghampiri teras beton yang tampak licin. Sejenak amarah pria itu reda, tatapannya menghunus pada Adam. Hanya dengan endikkan kepala, beberapa preman pasar yang tadi ditemui keluar dari pos mereka. Menyeringai pada Adam, seolah merasa menang. "Akhirnya datang juga. Kamu nerima tawaran kami ya?" tanya pria itu. "Gak. Aku
Sarah menatap Adam yang berjalan membelah kerumunan para preman tersebut. Menimbang rasio kemungkinan Adam menang dari delapan preman yang sedang menjagalnya. Meski agak tipis, Sarah yakin Adam bisa melawan orang-orang berotot besar itu."Menjauh dari Dokter Sarah," perintah Adam dengan nada menusuk tajam.Pimpinan preman yang berada di depan Sarah akhirnya berbalik badan, menghadap Adam yang sedang menyingsing lengan baju lusuhnya. Seulas senyum tipis terukir, dia melangkah maju ke depan Adam. Mendorong pundak pria itu dengan kencang. "Jadi ini yang bikin neng Leila sakit hati? Cowok dekil ini rupanya?"Tak terima disebut dekil, Adam balas mendorong dada si preman. Namun hasilnya nihil. Tak ada pergerakan apapun, selain Adam yang ditertawakan seluruh kawanan preman tersebut."Kenapa? Heran karena gak bisa ngedorong aku? Jelaslah, orang macam kamu... aku tonjok sekali juga pasti jiun!" ujarnya sombong.Adam mengepalkan tangannya. Mencoba membuktikan ucapan si preman dan hasilnya... me
"Leila keknya marah banget sama kamu, Dam."Adam mengendikkan bahunya, tak peduli dengan perasaan Leila yang terluka akibat ulahnya. Bagi Adam, Leila bukan siapa-siapa, hanya sebatas langganan ojeknya sebelum kedatangan Sarah. "Masa bodoh. Aku capek ketemu sama dia. Manjanya kebangetan," keluh Adam lalu menghentikan motornya di depan beranda rumah Sarah. Wanita itu turun dari jok. Membuka dompetnya lalu menyerahkan beberapa lembar uang pada Adam. Namun Adam justru mendorong balik uang tersebut seraya berkata lirih pada Sarah, "Gak usah. Makan bareng Dokter Sarah tadi udah jadi imbalan paling berharga.""Cih, gak usah gombal. Kamu udah perbaikin atapnya sendirian. Masa gak aku bayar," kata Sarah menarik tangan Adam, lalu meletakkan uang tersebut di telapak tangannya.Ketika Adam menggenggam uang pemberian Sarah, dia sontak memukul jidatnya sendiri. "Ampun dah! Kita lupa bayar makanan tadi!"Ikut-ikutan, Sarah menepuk jidatnya juga. Tersadar kalau mereka belum bayar sepersen pun makan
"Udah jadi?"Suara Sarah mengagetkan Adam yang tengah membersihkan kekacauan akibat pecahan genteng yang jatuh ke dalam rumah. Dia mengelus dada, menetralkan detak jantungnya yang bertalu-talu."Kenapa gak salam dulu sih, Dok? Kaget tau. Kalau aku jantungan gimana? Dokter mau aku tinggalin di sini? Nanti gak ada yang gombalin Dokter Sarah lagi... mau?""Pengen banget!" sahut Sarah pendek. Dia terkekeh melihat muka Adam yang merengut."Jahat juga ya," gerutu Adam seraya melanjutkan aktivitasnya. Pria itu mengambil serokan dan mengumpulkan debu tebal tersebut. Selesai membuang sampah-sampah dan merapikan beberapa barang, Adam menengok kedatangan Sarah dengan pakaian casualnya."Mau ke mana?""Nyari makan. Mau ikut? Tapi nebeng," kata Sarah menunjukkan motor Adam yang terparkir di depan teras. Tak mau membuang kesempatan besar, Adam mengangguk antusias. Segera dia meletakkan kembali sapu di sudut ruangan, berlari kecil menuju dapur dan mencuci tangannya yang berdebu.Kembali dari dapur,
Adam kembali pagi-pagi sekali setelah tidur beberapa jam di hotel dan mengabaikan kondisi Ardi bersama Sarah di rumah. Jelas Adam tidak khawatir Sarah dan Ardi macam-macam, karena dia tahu Ardi tidak tertarik pada hubungan rumit bersama wanita. Bahkan sejak Adam pergi, keduanya sudah terlibat dalam permusuhan tak tersirat yang lebih dulu dimulai oleh Ardi.Ketika dia sampai di teras, Adam melihat Sarah sudah keluar dari rumah. Tampak cemberut. Saat mendapati Adam pulang, senyumnya merekah tipis. Sambutan yang cukup membuat hati Adam berbunga-bunga."Dokter udah mau balik? Gak sekalian sarapan di sini?""Aku gak mau diintai terus sama temen kamu itu! Ngeri tahu!"Adam tertawa. Ardi menjalankan perintahnya dengan baik, bahkan lebih dari yang Adam harapkan. Sewaktu dia melirik ke pintu depan, Ardi berdiri di sana sambil bersidekap. "Mau ku antar ke rumah?" tawar Adam mengabaikan pelototan Ardi."Kamu baru balik," kata Sarah seraya mengawasi tampilan Adam yang luar biasa lebih rapi dari b
"Rumah Sarah tempias. Atapnya udah rusak, besok rencananya aku mau benerin. Tapi hujan turun, kasian juga kalau dia mesti basah-basahan di rumahnya sendiri."Ardi bersidekap, nampak tak terima dengan keputusan Adam membawa Sarah ke rumah mereka. "Tapi setidaknya ada bagian di rumahnya yang gak kena tempiaskan?" tanya pria itu."Ardi," tegur Adam tak suka dengan sikap posesifnya itu, meskipun Adam tahu reaksi Ardi tersebut bentuk dari perlindungan sebagai pendamping yang diutus kakaknya. Namun Adam tak mau terus dikekang, seolah setiap langkahnya mesti diperhatikan.Maka dari itu, ketika Ardi marah karena kaget mendapati Sarah di rumah mereka. Adam dengan cepat menjelaskan asal muasal masalah yang mereka hadapi, berharap Ardi maklum. Tapi sebaliknya, Ardi malah reaktif. "Dia menguping pembicaraan kita.""Itu gak disengaja, Di.""Bagaimana kalau dia utusan seseorang?" tuduh Ardi makin membuat Adam berang, dia mendekati Ardi, menarik kerah kemeja pria itu dengan satu tangan. Ardi tak me
Sarah mencangklong tasnya. Merogoh saku celana seraya mengeluarkan kunci lalu membuka pintu rumahnya yang kosong melompong. Tubuh wanita itu berbalik saat mengenali suara meraung kendaraan Adam yang mendekati halaman depan. Tanpa menunggu, Sarah masuk ke dalam rumah. Melepas jasnya, menyisakan kemeja putih bersih yang nampak indah di tubuhnya. Wanita itu mendengar suara Adam memanggilnya dari depan teras."Bu dokter...." Adam berteriak seperti anak kecil yang mengajak main. Pria itu menaiki tangga dan berdiri di depan pintu, melongokkan kepala, mengintip Sarah yang tengah mengamati atap rumah. "Boleh masuk gak nih?""Masuk aja," kata Sarah tanpa memandang Adam yang sedang menenteng tas kecil berisi peralatan tukangnya. Santai Adam mengeluarkan palu dan gergaji dari sana. Ikut mendongak ke atap. "Atap kamar aku bocor. Kalau hujan, semuanya gak sempet terselamatkan lagi.""Gampang! Udah nyiapin atap barunya gak? Paku sama kayu?" tanya Adam lantas diangguki Sarah.Tidak berbasa basi, Ad