Sarah terkesiap saat mendengar suara benda jatuh di dekatnya. Dia mengerjap ketika melihat seseorang berjalan mengendap-endap, menuju lemari sambil membawa beberapa tas. Sarah mengucek matanya dan melotot tajam.
"Adam?""Eh? Dokter udah bangun ya?" ucap Adam sambil membuka lemari di bawah wastafel, meletakkan tas yang Sarah bawa ke dalam sana."Jam berapa sekarang?""Jam enam pagi.""Jam enam? Ngapain kamu ke sini hah?" tanya Sarah langsung mundur dari kursi tempat dia tidur. Menutupi dada dengan jas miliknya.Adam mengunci lemari, kemudian menunjuk ke arah rantang yang dia letakkan di atas bangsal. "Itu makanan dari perawat Amel, beliau ada di luar kok. Lagi nyapu halaman."Sarah mendelik pada Adam yang menyengir polos."Dok, pake pelet apa sih?" tanya Adam."Apa sih? Aku gak pake pelet apa-apa. Jangan sembarangan bicara!" sahut Sarah, ketus. Dia memeluk rantang itu ke dekapan."Soalnya Bu Dokter bikin aku tersihir."Sarah menguap. Mengabaikan gombalan tak mutu dari Adam yang sudah menjadi polusi suara di paginya yang damai. Beruntung, perawat Amel datang. Dia menegur Adam dan menyuruh pria itu keluar dari ruangan tersebut."Nanti sore mau dijemput gak?" tanya Adam pada perawat Amel yang tengah mencuci tangan di wastafel."Gak usah, ongkosnya mahal kalau sama kamu mah.""Kali ini gratis deh, Bu.""Kenapa?""Sebagai wujud rasa syukur, karena udah bisa ketemu bidadari semalam." Adam cengengesan, dia mengedipkan sebelah matanya pada Sarah. Disambut muka jijik wanita itu.'Hah, mimpi apa aku semalam ketemu orang kayak dia?' batin Sarah sembari mendesah sebal.Melihat wajah dongkol Sarah. Amel lantas mendorong punggung Adam agar pergi dari sana. Adam melambaikan tangan, lalu melempar kissbye padanya. Membuat wanita itu bergidik ngeri."Maaf ya, Bu Dokter. Adam emang gitu, dia agak sedikit lain otaknya. Tapi dia pria baik kok, meski tampilannya rada slengean." Amel duduk di sebelah Sarah yang tengah membuka rantang berisi makanan itu. Melahapnya dengan riang."Enak, Bu?"Sarah mengangguk, menyuap lagi makanan yang ada di rantang itu. Amel menggigit bibir, menatap sang dokter. "Tadi pagi Adam jemput saya, katanya mau berterima kasih sama Bu Dokter. Jadi, dia masak itu buat Bu Dokter."Gerakan mulut Sarah terhenti seketika. Dia menoleh pada Amel yang menunduk takut. "Hah? Jadi ini bukan masakan Bu Amel?" tanya Sarah dengan mulut penuh nasi.Amel menggeleng. "Saya bahkan gak bisa masak, Bu."Sarah tercengang. Mengamati makanan di rantang yang nyaris habis. "Jadi ini masakan Adam?"***"Woi Adam! Habis darimana?" tanya seorang pria tengah duduk manis di motor bebeknya."Habis nganterin Bu Amel ke puskesmaslah. Biasa," katanya sambil menyeka rambut kusut masainya yang sudah beberapa hari ini tidak dikeramas."Ada dokter baru ya? Cantik?""Cantik banget, berwibawa, pinter, terus idaman banget jadi bini," jelas Adam membuat kawanannya tertawa."Gak cocok berarti kamu, Dam.""Kenapa?" tanya Adam sambil menaikkan satu kaki ke jok."Karena kamu cocoknya sama Leila--anak kampung sebelah yang biasanya nungguin kamu ngojek." Adam mendecih sebal mengingat nama wanita itu. Dia menyentak standar motornya, kemudian menyalakan mesin. Pergi dari sana."Gak seru, ah! Mau balik dulu!"Teman-teman Adam tertawa mengejek. Sedangkan pria itu sudah melajukan motor trailnya melewati jalan setapak tanpa aspal yang membuat tubuhnya bergetar karena batu-batu coral besar. Dia menghela napas panjang, melirik ke arah motor bebek yang berjalan di sebelahnya."Kenapa? Ngambek dikatain mereka?""Sedikit. Ya, wajarlah mereka bilang begitu. Oiya, ada kabar dari kak Hamzah gak, Di?" tanya Adam sembari membelokkan stang menuju halaman rumah yang dipagari bambu. Ada tanaman rambat berbunga merah menyala menghiasi, di setiap sisi ada bunga sepatu yang sedang bermekaran menambah kesan asri.Adam memarkir motornya segera. Kemudian menaiki tangga menuju rumah gazebo panggung berbahan kayu miliknya. Duduk di kursi yang sengaja dia taruh pada bagian teras. Menarik gelas aluminium di tatakan, lalu menuangkan air dari teko."Belum ada kabar dari Bos besar. Mungkin memang tidak ada perkembangan apapun. Mau aku hubungkan ke Bos besar?"Adam meneguk airnya. "Tidak usah, kalau dia belum ngehubungin aku berarti belum ada yang bisa disampaikan.""Kamu mau cepat-cepat pergi dari sini?""Gak juga, di sini lumayan. Apalagi ada dokter Sarah, seperti ada alasan untuk berlama-lama di sini, Di."Ardi--teman Adam-- itu tertawa geli. "Ternyata kamu bisa jatuh cinta juga ya, Dam.""Kamu gak lihat sih. Dia itu betulan cantik, Di. Hmm, kalau kasus ini selesai... mungkin aku bakalan lamar dia."Ardi menatap Adam dengan muka kaget. "Serius?""Kapan aku bercanda, Di?" sergah Adam.Pria itu tersenyum, kemudian mengendikkan dagunya ke arah jalanan. Ardi mengikuti arah pandangan Adam. Seorang wanita tengah dibonceng Pak Lurah dengan motor supra tua yang nampak masih gagah membawa tubuh tambunnya itu.Adam mengangkat tangan. "Bu Dokter! Mampir dulu!" teriak Adam.Sedangkan wanita yang dia teriaki cuma menganga tak percaya. Dia melotot sewaktu melihat Adam berlari menuruni tangga, naik ke motor trailnya yang berisik itu. Melaju di belakang motor Pak Lurah."Ngapain kamu hah?" teriak Sarah."Jagain Bu Dokter, kalau ada yang jahatin gimana?" balas Adam tak kalah nyaring."Ya Tuhan! Pak Lurah kenapa sih bisa punya warga petakilan begini?" tanya Sarah pada Pak Lurah yang cuma tertawa geli saja sedari tadi."Adam itu memang begitu. Tapi baru kali ini saya lihat dia ngejar-ngejar cewek. Jadi lucu juga," katanya.Sarah mengembuskan napas. Namun tiba-tiba motor supra Pak Lurah berhenti, mesinnya mati. Pria itu mencopot kopiah di kepala, mengipasi pitaknya yang mungkin berkeringat. "Penyakitnya kambuh nih, Bu.""Terus gimana nih, Pak? Masih jauh gak nih rumah sewaannya?" tanya Sarah.Pak Lurah mengangguk. Bersamaan dengan itu Adam datang bak pahlawan kesiangan. Dia turun dari motor dan mendekati dua orang itu. Melirik motor Pak Lurah yang mati. "Kambuh, Pak?""Hmm, biasa motor tua. Kamu sibuk gak, Dam? Kalau gak sibuk, bisa anterin Bu Dokter ke rumahnya gak?"Adam jelas mau. Dokter Sarah saja yang enggan menerima tawaran itu. Dia menolak, lebih memilih berjalan membawa tas ranselnya daripada harus ikut Adam."Yakin Bu mau jalan? Masih jauh loh! Kalau kakinya kenapa-napa nanti aku yang repot!" Adam berceloteh sambil menggiring motornya di samping Sarah."Kaki-kaki siapa! Kok kamu yang repot sih?" gerutu wanita itu sambil menarik tas besarnya yang melorot."Repot karena harus gendong Bu Dokter.""Dih! Siapa yang mau digendong sama kamu!" sahut Sarah sengit. Dia melangkah lebih cepat, meninggalkan Adam. Saat dia hendak mengejar Sarah, Ardi malah datang. Menunjukkan ponselnya yang menyala. Tertera nama Hamzah di caller idnya.Adam sempat ragu hendak menjawab, terlebih dia melihat Sarah sempat menengok ke belakang. Mungkin berharap Adam mengejarnya. Namun pria itu memilih menarik ponsel di tangan Ardi."Halo Kak, bisa pending dulu ya. Mau nganterin calon istri nih."Ardi menepuk jidat, pasrah menerima kembali ponsel itu. Mengawasi Adam yang pergi melelah sang pujaan hati. "Maaf, Bos. Adik Anda lagi bucin-bucinnya sama seseorang.""Selama tidak membahayakan identitas Adam, biarkan saja. Nanti aku telepon lagi."TBC"Ngapain sih kamu ngikutin aku?" gerutu Sarah berusaha menghindari Adam, tapi pria itu malah menyusul dan kini tengah mencoba membujuk agar Sarah mau ikut dengannya. Adam menarik tas di tangan Sarah. Berharap wanita itu berhenti bersikap keras kepala. Namun Sarah kembali merebut tas jinjingnya dari tangan Adam. "Biar aku bantu! Anggap aja balas budi karena udah nolongin aku kemarin," ujar Adam balas merenggut tas itu lagi dari Sarah. "Gak usah! Itu tugas aku nolongin orang!" Dia menarik tasnya lagi. "Dok!" "Adam!" "Ayolah, Dok!" "Gak usah!" Adam menyerah setelah aksi rebut-rebutan tas mereka dihentikan oleh suara seorang wanita dari arah berlawanan. Wanita dengan rambut dikuncir dua itu menatap Adam, sedih. "Mas Adam!" tegurnya membuat Adam mendesah sebal. Mengetahui Adam nampak tertekan melihat wanita itu, Sarah jadi penasaran. Dia menyenggol pinggang Adam seraya mendongak menatap pria jangkung itu. "Pacar kamu ya?" "Gak ada. Aku gak punya pacar. Tapi kalau Bu Dokter mau,
"Gak, Dam! Obat ini bikin kamu ketergantungan. Aku gak bisa biarin kamu konsumsi ini terus!" kata Ardi memeluk kuat paket itu, kemudian membawanya pergi. Meninggalkan Adam yang mendecih sebal. Dia mengacak rambutnya, frustasi. Sudah cukup lama dia tidak meminum obat antidepresan karena dokter yang menanganinya meminta Adam untuk memulai pola hidup baik. Makan teratur, olahraga dan berusaha tidur sesuai anjuran. Semua sudah dia lakukan, terkecuali bagian tidur. Adam dihantui mimpi buruk setiap malam. Membuat dia punya waktu tidur paling lama hanya dua jam, sisanya dia habiskan dengan berolahraga atau merenung. Obat lebih bisa membuatnya tenang saat serangan cemasnya datang. Obat lebih bisa membuatnya merasa damai dari rasa bersalah, meski sesaat. Dan kini, obat itu mau dihanguskan oleh Ardi di halaman belakang. "Ardi!" pekik Adam seraya menuruni anak tangga dan merebut kotak itu dari tangannya. "Adam! Aku minta kali ini sama kamu, jangan membantah perintah dari Bos Besar. Kamu suda
Sarah memasang jas dokternya. Masuk ke ruangan perawatan yang sedang sibuk dan agak kacau. Beberapa lansia tengah menunggu di depan bagian administrasi. Tampak lelah dan tak sabaran. Meskipun begitu, Sarah tak bisa langsung menyuruh mereka masuk ke ruang pemeriksaan. Ada beberapa pasien yang memerlukan bantuannya sekarang. Seperti di ruang perawatan, ada dua pasien yang terbaring lemas di bangsal, salah satunya terluka. "Kenapa ini?" tanya Sarah saat melihat kaki si pasien mengeluarkan darah cukup banyak. Membasahi bangsal tempat dia berbaring. "Kena pisau. Lukanya cukup dalam, Dok. Perlu dijahit." Mendengar ucapan sang suster, si pasien pria itu menangis ketakutan. Membuat kekacauan makin menjadi. Sementara pasien satunya juga menangis karena takut disuntik. Sarah memijit pelipisnya. Dia menarik napas panjang, kemudian mendekati pria tadi. Berusaha menenangkan. "Kalau luka Bapak gak dijahit. Takutnya nanti infeksi, Pak. Jika lukanya dibiarkan menganga begitu, sembuhnya juga bakala
"Jangan minum obat penenang. Kamu udah ketergantungan, Dam!" tegur Ardi yang tengah duduk manis di kursi lipat. Kedua kakinya menyilang, menunjukkan parut memanjang di bagian pergelangan, luka akibat kecelakaan motor di dekat persawahan beberapa bulan yang lalu."Kalau aku mau tidur nyenyak, ya mesti minum obat itu." Adam membuka botol obat tersebut, sebelum dirampas paksa oleh Sarah yang datang tiba-tiba.Ardi menatap wanita itu datar, namun dalam hati bersyukur karena setelah itu Adam tak berkutik lagi. Tatapan memohonnya tak membuat Sarah gentar, justru makin menegaskan kalau malam ini dia tak akan tidur ditemani obat tersebut."Aku udah bilang tadi. Lupa?""Enggak lupa. Cuma gak ingat aja," ujar Adam disertai cengiran lebarnya.Sarah dan Ardi mendesah bersama, sebal dengan sikap petakilan Adam. Kedua orang itu berdiri di depan bangsal Adam. Melipat tangan di dada. Lebih dulu Ardi menyentil dahi Adam, membuat pria itu meringis. "Aku balik dulu, mau ambil baju sekalian bawain pakaia
Sarah mencangklong tasnya. Merogoh saku celana seraya mengeluarkan kunci lalu membuka pintu rumahnya yang kosong melompong. Tubuh wanita itu berbalik saat mengenali suara meraung kendaraan Adam yang mendekati halaman depan. Tanpa menunggu, Sarah masuk ke dalam rumah. Melepas jasnya, menyisakan kemeja putih bersih yang nampak indah di tubuhnya. Wanita itu mendengar suara Adam memanggilnya dari depan teras."Bu dokter...." Adam berteriak seperti anak kecil yang mengajak main. Pria itu menaiki tangga dan berdiri di depan pintu, melongokkan kepala, mengintip Sarah yang tengah mengamati atap rumah. "Boleh masuk gak nih?""Masuk aja," kata Sarah tanpa memandang Adam yang sedang menenteng tas kecil berisi peralatan tukangnya. Santai Adam mengeluarkan palu dan gergaji dari sana. Ikut mendongak ke atap. "Atap kamar aku bocor. Kalau hujan, semuanya gak sempet terselamatkan lagi.""Gampang! Udah nyiapin atap barunya gak? Paku sama kayu?" tanya Adam lantas diangguki Sarah.Tidak berbasa basi, Ad
"Rumah Sarah tempias. Atapnya udah rusak, besok rencananya aku mau benerin. Tapi hujan turun, kasian juga kalau dia mesti basah-basahan di rumahnya sendiri."Ardi bersidekap, nampak tak terima dengan keputusan Adam membawa Sarah ke rumah mereka. "Tapi setidaknya ada bagian di rumahnya yang gak kena tempiaskan?" tanya pria itu."Ardi," tegur Adam tak suka dengan sikap posesifnya itu, meskipun Adam tahu reaksi Ardi tersebut bentuk dari perlindungan sebagai pendamping yang diutus kakaknya. Namun Adam tak mau terus dikekang, seolah setiap langkahnya mesti diperhatikan.Maka dari itu, ketika Ardi marah karena kaget mendapati Sarah di rumah mereka. Adam dengan cepat menjelaskan asal muasal masalah yang mereka hadapi, berharap Ardi maklum. Tapi sebaliknya, Ardi malah reaktif. "Dia menguping pembicaraan kita.""Itu gak disengaja, Di.""Bagaimana kalau dia utusan seseorang?" tuduh Ardi makin membuat Adam berang, dia mendekati Ardi, menarik kerah kemeja pria itu dengan satu tangan. Ardi tak me
Adam kembali pagi-pagi sekali setelah tidur beberapa jam di hotel dan mengabaikan kondisi Ardi bersama Sarah di rumah. Jelas Adam tidak khawatir Sarah dan Ardi macam-macam, karena dia tahu Ardi tidak tertarik pada hubungan rumit bersama wanita. Bahkan sejak Adam pergi, keduanya sudah terlibat dalam permusuhan tak tersirat yang lebih dulu dimulai oleh Ardi.Ketika dia sampai di teras, Adam melihat Sarah sudah keluar dari rumah. Tampak cemberut. Saat mendapati Adam pulang, senyumnya merekah tipis. Sambutan yang cukup membuat hati Adam berbunga-bunga."Dokter udah mau balik? Gak sekalian sarapan di sini?""Aku gak mau diintai terus sama temen kamu itu! Ngeri tahu!"Adam tertawa. Ardi menjalankan perintahnya dengan baik, bahkan lebih dari yang Adam harapkan. Sewaktu dia melirik ke pintu depan, Ardi berdiri di sana sambil bersidekap. "Mau ku antar ke rumah?" tawar Adam mengabaikan pelototan Ardi."Kamu baru balik," kata Sarah seraya mengawasi tampilan Adam yang luar biasa lebih rapi dari b
"Udah jadi?"Suara Sarah mengagetkan Adam yang tengah membersihkan kekacauan akibat pecahan genteng yang jatuh ke dalam rumah. Dia mengelus dada, menetralkan detak jantungnya yang bertalu-talu."Kenapa gak salam dulu sih, Dok? Kaget tau. Kalau aku jantungan gimana? Dokter mau aku tinggalin di sini? Nanti gak ada yang gombalin Dokter Sarah lagi... mau?""Pengen banget!" sahut Sarah pendek. Dia terkekeh melihat muka Adam yang merengut."Jahat juga ya," gerutu Adam seraya melanjutkan aktivitasnya. Pria itu mengambil serokan dan mengumpulkan debu tebal tersebut. Selesai membuang sampah-sampah dan merapikan beberapa barang, Adam menengok kedatangan Sarah dengan pakaian casualnya."Mau ke mana?""Nyari makan. Mau ikut? Tapi nebeng," kata Sarah menunjukkan motor Adam yang terparkir di depan teras. Tak mau membuang kesempatan besar, Adam mengangguk antusias. Segera dia meletakkan kembali sapu di sudut ruangan, berlari kecil menuju dapur dan mencuci tangannya yang berdebu.Kembali dari dapur,
Sarah memandang mobil di depannya, kemudian pada sosok Adam yang pucat. Dia menggeleng. "Gak, aku aja yang bawa mobilnya.""Loh? Janganlah, aku kan yang ngajak Dok--""Sarah. Panggil aku, Sarah." Wanita itu menatap Adam dengan wajah serius, sementara Adam cuma bisa diam sembari mengangguk paham. Sarah melanjutkan omongannya, "Kamu gak memungkikan banget buat bawa mobil. Aku gak mau kita kecelakaan.""Bisa-bisanya kamu meragukan aku," gerutu Adam."Kata Ardi kamu menggalau beberapa hari ini. Pasti karena aku tolak waktu itukan?""Jujur banget ngomongnya.""Karena kondisi kamu yang gak memungkinkan itu, aku gak bakalan izinin kamu buat nyetir. Mending aku aja," jelas Sarah panjang lebar.Sebal, Adam pun menurut saja. Dia duduk di samping kemudi, mengamati Sarah yang sedang memasang belt. Adam tak percaya, kalau wanita yang beberapa waktu lalu menolaknya malah kini menerima tawaran untuk pergi jalan-jalan bersama. Adam bingung, sumpah!"Kenapa kamu mau terima ajakan aku?""Sebagai permin
Sarah tidak tahu kalau Adam akan jujur dengan perasaannya. Ketika pria itu mengatakan kenyataan tersebut, Sarah cuma tercengang dengan mulut menganga. Telunjuknya menunjuk diri sendiri, tak menyangka."Gak salah kamu, Dam? Jangan bilang kamu memberitahu Leila soal ini? Bisa mampus kita!" kata Sarah cemas.Adam terkekeh. "Meskipun dia bawa para preman itu, aku gak bakalan biarin mereka melukai Dokter Sarah. Aku harus menepati janji'kan?" ujarnya sambil menaik-naikkan kedua alisnya yang tebal.Sebelah tangan Sarah mengusap keningnya. Dia melipat kaki di atas kursi, mendesah sebal dengan keputusan Adam yang terlalu berisiko itu. "Bagaimana kalau kamu yang terluka? Siapa yang repot?""Dokter. Tugas kamu'kan mengobati orang yang terluka?" sahut Adam enteng sekali. "Kamu lihat? Aku juga terluka!" kata Sarah menunjuk sudut bibirnya yang luka, lalu ke keningnya yang benjol. "Aku yang obatin Dokter. Kita saling mengobati," ujar Adam langsung mendapat sahutan berupa suara muntah dari Ardi. Lel
Motor trail Adam meraung di depan rumah Leila yang terbilang mewah. Semua orang di desa itu dan tempat Adam tinggal, tahu kalau Leila bukan anak gadis dari orang sembarangan. Ayah Leila merupakan seorang tuan tanah yang punya banyak anak buah turunan dari preman pasar. Mereka juga tahu, kalau ayah Leila bukanlah pria baik. Ardi pernah bertemu dengan pria paruh baya tersebut, dan menyatakan kalau dia tak menyukai cara kerjanya. Dan sekarang Adam menemukan alasan Ardi tak menyukai ayah Leila itu. "Makanya, hutang itu dibayar dong! Berani-berani ngambil utang, tapi gak sanggup bayar. Lucu juga!" katanya sambil memelintir kumisnya yang tebal. Adam turun dari motor. Menghampiri teras beton yang tampak licin. Sejenak amarah pria itu reda, tatapannya menghunus pada Adam. Hanya dengan endikkan kepala, beberapa preman pasar yang tadi ditemui keluar dari pos mereka. Menyeringai pada Adam, seolah merasa menang. "Akhirnya datang juga. Kamu nerima tawaran kami ya?" tanya pria itu. "Gak. Aku
Sarah menatap Adam yang berjalan membelah kerumunan para preman tersebut. Menimbang rasio kemungkinan Adam menang dari delapan preman yang sedang menjagalnya. Meski agak tipis, Sarah yakin Adam bisa melawan orang-orang berotot besar itu."Menjauh dari Dokter Sarah," perintah Adam dengan nada menusuk tajam.Pimpinan preman yang berada di depan Sarah akhirnya berbalik badan, menghadap Adam yang sedang menyingsing lengan baju lusuhnya. Seulas senyum tipis terukir, dia melangkah maju ke depan Adam. Mendorong pundak pria itu dengan kencang. "Jadi ini yang bikin neng Leila sakit hati? Cowok dekil ini rupanya?"Tak terima disebut dekil, Adam balas mendorong dada si preman. Namun hasilnya nihil. Tak ada pergerakan apapun, selain Adam yang ditertawakan seluruh kawanan preman tersebut."Kenapa? Heran karena gak bisa ngedorong aku? Jelaslah, orang macam kamu... aku tonjok sekali juga pasti jiun!" ujarnya sombong.Adam mengepalkan tangannya. Mencoba membuktikan ucapan si preman dan hasilnya... me
"Leila keknya marah banget sama kamu, Dam."Adam mengendikkan bahunya, tak peduli dengan perasaan Leila yang terluka akibat ulahnya. Bagi Adam, Leila bukan siapa-siapa, hanya sebatas langganan ojeknya sebelum kedatangan Sarah. "Masa bodoh. Aku capek ketemu sama dia. Manjanya kebangetan," keluh Adam lalu menghentikan motornya di depan beranda rumah Sarah. Wanita itu turun dari jok. Membuka dompetnya lalu menyerahkan beberapa lembar uang pada Adam. Namun Adam justru mendorong balik uang tersebut seraya berkata lirih pada Sarah, "Gak usah. Makan bareng Dokter Sarah tadi udah jadi imbalan paling berharga.""Cih, gak usah gombal. Kamu udah perbaikin atapnya sendirian. Masa gak aku bayar," kata Sarah menarik tangan Adam, lalu meletakkan uang tersebut di telapak tangannya.Ketika Adam menggenggam uang pemberian Sarah, dia sontak memukul jidatnya sendiri. "Ampun dah! Kita lupa bayar makanan tadi!"Ikut-ikutan, Sarah menepuk jidatnya juga. Tersadar kalau mereka belum bayar sepersen pun makan
"Udah jadi?"Suara Sarah mengagetkan Adam yang tengah membersihkan kekacauan akibat pecahan genteng yang jatuh ke dalam rumah. Dia mengelus dada, menetralkan detak jantungnya yang bertalu-talu."Kenapa gak salam dulu sih, Dok? Kaget tau. Kalau aku jantungan gimana? Dokter mau aku tinggalin di sini? Nanti gak ada yang gombalin Dokter Sarah lagi... mau?""Pengen banget!" sahut Sarah pendek. Dia terkekeh melihat muka Adam yang merengut."Jahat juga ya," gerutu Adam seraya melanjutkan aktivitasnya. Pria itu mengambil serokan dan mengumpulkan debu tebal tersebut. Selesai membuang sampah-sampah dan merapikan beberapa barang, Adam menengok kedatangan Sarah dengan pakaian casualnya."Mau ke mana?""Nyari makan. Mau ikut? Tapi nebeng," kata Sarah menunjukkan motor Adam yang terparkir di depan teras. Tak mau membuang kesempatan besar, Adam mengangguk antusias. Segera dia meletakkan kembali sapu di sudut ruangan, berlari kecil menuju dapur dan mencuci tangannya yang berdebu.Kembali dari dapur,
Adam kembali pagi-pagi sekali setelah tidur beberapa jam di hotel dan mengabaikan kondisi Ardi bersama Sarah di rumah. Jelas Adam tidak khawatir Sarah dan Ardi macam-macam, karena dia tahu Ardi tidak tertarik pada hubungan rumit bersama wanita. Bahkan sejak Adam pergi, keduanya sudah terlibat dalam permusuhan tak tersirat yang lebih dulu dimulai oleh Ardi.Ketika dia sampai di teras, Adam melihat Sarah sudah keluar dari rumah. Tampak cemberut. Saat mendapati Adam pulang, senyumnya merekah tipis. Sambutan yang cukup membuat hati Adam berbunga-bunga."Dokter udah mau balik? Gak sekalian sarapan di sini?""Aku gak mau diintai terus sama temen kamu itu! Ngeri tahu!"Adam tertawa. Ardi menjalankan perintahnya dengan baik, bahkan lebih dari yang Adam harapkan. Sewaktu dia melirik ke pintu depan, Ardi berdiri di sana sambil bersidekap. "Mau ku antar ke rumah?" tawar Adam mengabaikan pelototan Ardi."Kamu baru balik," kata Sarah seraya mengawasi tampilan Adam yang luar biasa lebih rapi dari b
"Rumah Sarah tempias. Atapnya udah rusak, besok rencananya aku mau benerin. Tapi hujan turun, kasian juga kalau dia mesti basah-basahan di rumahnya sendiri."Ardi bersidekap, nampak tak terima dengan keputusan Adam membawa Sarah ke rumah mereka. "Tapi setidaknya ada bagian di rumahnya yang gak kena tempiaskan?" tanya pria itu."Ardi," tegur Adam tak suka dengan sikap posesifnya itu, meskipun Adam tahu reaksi Ardi tersebut bentuk dari perlindungan sebagai pendamping yang diutus kakaknya. Namun Adam tak mau terus dikekang, seolah setiap langkahnya mesti diperhatikan.Maka dari itu, ketika Ardi marah karena kaget mendapati Sarah di rumah mereka. Adam dengan cepat menjelaskan asal muasal masalah yang mereka hadapi, berharap Ardi maklum. Tapi sebaliknya, Ardi malah reaktif. "Dia menguping pembicaraan kita.""Itu gak disengaja, Di.""Bagaimana kalau dia utusan seseorang?" tuduh Ardi makin membuat Adam berang, dia mendekati Ardi, menarik kerah kemeja pria itu dengan satu tangan. Ardi tak me
Sarah mencangklong tasnya. Merogoh saku celana seraya mengeluarkan kunci lalu membuka pintu rumahnya yang kosong melompong. Tubuh wanita itu berbalik saat mengenali suara meraung kendaraan Adam yang mendekati halaman depan. Tanpa menunggu, Sarah masuk ke dalam rumah. Melepas jasnya, menyisakan kemeja putih bersih yang nampak indah di tubuhnya. Wanita itu mendengar suara Adam memanggilnya dari depan teras."Bu dokter...." Adam berteriak seperti anak kecil yang mengajak main. Pria itu menaiki tangga dan berdiri di depan pintu, melongokkan kepala, mengintip Sarah yang tengah mengamati atap rumah. "Boleh masuk gak nih?""Masuk aja," kata Sarah tanpa memandang Adam yang sedang menenteng tas kecil berisi peralatan tukangnya. Santai Adam mengeluarkan palu dan gergaji dari sana. Ikut mendongak ke atap. "Atap kamar aku bocor. Kalau hujan, semuanya gak sempet terselamatkan lagi.""Gampang! Udah nyiapin atap barunya gak? Paku sama kayu?" tanya Adam lantas diangguki Sarah.Tidak berbasa basi, Ad