"Gak, Dam! Obat ini bikin kamu ketergantungan. Aku gak bisa biarin kamu konsumsi ini terus!" kata Ardi memeluk kuat paket itu, kemudian membawanya pergi. Meninggalkan Adam yang mendecih sebal.
Dia mengacak rambutnya, frustasi. Sudah cukup lama dia tidak meminum obat antidepresan karena dokter yang menanganinya meminta Adam untuk memulai pola hidup baik. Makan teratur, olahraga dan berusaha tidur sesuai anjuran.Semua sudah dia lakukan, terkecuali bagian tidur. Adam dihantui mimpi buruk setiap malam. Membuat dia punya waktu tidur paling lama hanya dua jam, sisanya dia habiskan dengan berolahraga atau merenung.Obat lebih bisa membuatnya tenang saat serangan cemasnya datang. Obat lebih bisa membuatnya merasa damai dari rasa bersalah, meski sesaat. Dan kini, obat itu mau dihanguskan oleh Ardi di halaman belakang."Ardi!" pekik Adam seraya menuruni anak tangga dan merebut kotak itu dari tangannya."Adam! Aku minta kali ini sama kamu, jangan membantah perintah dari Bos Besar. Kamu sudah ketergantungan berat dengan obat-obat ini," ujar Ardi bersiap melempar obat itu ke kobaran api di dalam drum bekas."Tolong, Di! Kamu tahu sendiri kalau aku ti--""Ada apa ini?" seru Pak Lurah tiba-tiba muncul memotong pertengkaran mereka. Pria itu menyorot senter di tengah kegelapan malam. Melangkah mendekati halaman belakang rumah Adam yang lumayan besar. Dia menaikkan sarung di pundaknya."Kenapa kalian berdua ribut sekali hah?" keluhnya sembari mengusap pitaknya yang mungkin kedinginan sekarang.Melihat ada kesempatan yang bagus, Adam merebut kotak paket itu dari tangan Ardi. Melesat masuk ke dalam rumah, meninggalkan Ardi yang mendesah sebal karena gagal menjalankan tugas dari Kakak Adam sendiri. Dia mengulas senyum pada Pak Lurah."Tidak apa-apa, Pak. Biasa berantem sesama kawan."Ardi mendengar suara bising kendaraan Adam yang melesat jauh. Dia mengumpat, segera berlari lewat jalan samping rumah. Mengabaikan Pak Lurah yang berteriak-teriak memanggil namanya.Sebelum Ardi sempat mengejar, Adam sudah tak terlihat lagi di belokan jalan. Dia membawa paket tersebut entah ke mana dan sekarang Ardi harus menemukannya. Segera dia masuk ke rumah dan menelepon kakaknya Adam. Memberitahu pria itu kalau adiknya baru saja membawa kabur obat yang ingin dia basmi."Hah, dia memang keras kepala. Tidak usah ambil pusing, Di. Biarkan dia, aku akan memberitahu dokternya untuk berhenti mengirimi Adam obat itu. Tenang saja," ujar Hamzah kalem.Sementara itu, Adam masih terus membawa paketan di dekapannya menuju bantaran sungai yang biasa dijadikan warga sebagai tempat aktivitas mencuci dan memancing. Adam menghentikan motor di sana. Berjalan menuruni bebatuan besar, menuju pinggiran sungai yang dipenuhi batu coral. Dia duduk di sana, memandang hamparan air di tengah kegelapan."Pasti kak Hamzah bakalan menghubungi dokter itu dan menyuruhnya untuk tidak menyuplai lagi obat untukku. Sialan!" gerutu Adam sembari membuka bungkusan paket yang dibalut selotip.Setelah berjuang mati-matian menggigiti plastiknya, botol obat itu kini berada dalam genggamannya. Hanya satu dan artinya dia tak bisa menenggak sesuka hati. Adam mendesah. Dia menarik labelnya, membuang ke bawah bebatuan coral sebelum menyimpan botol obat di saku celana."Mimpi sialan!" umpat Adam seraya melempar satu batu ke tengah sungai.Berharap hal itu bisa membuatnya bosan dan mengantuk. Akan tetapi, rasa kantuk tak kunjung datang. Sekali datang pun malah mimpi buruk yang menemaninya. Adam merebahkan badan di bebatuan. Memandang langit malam, lalu memejamkan mata.***"Jadi kerannya mati?" seru Sarah dengan muka melongo."Iya, Bu Dokter. Maaf, saya lupa bilang. Kalau petugas airnya datang, saya bakalan kasih tahu mereka." Sarah menatap layar ponselnya dengan muka sedih, dia memegang erat kedua sisi handuk yang tersampir di lehernya."Mumpung masih pagi, Bu Dokter bisa ke sungai. Biasanya belum banyak yang mancing jam segini." Pak Lurah berujar lagi dari sambungan telepon mereka."Apa? Sungai?" tanya Sarah makin panik."Gak apa-apa, Bu. Sungainya bersih kok. Gak jauh dari sini," ujar Pak Lurah menyebutkan arah-arah yang mesti ditempuh oleh Sarah untuk bisa ke sungai."Tolong ya, Pak. Segera kasih tahu pihak PDAM-nya buat perbaiki saluran airnya.""Iya, Bu."Sarah menghela napas lalu bergegas pergi dari rumahnya ke sungai. Perjalanan yang dia tempuh memang tidak jauh, tapi seumur-umur dia belum pernah mandi di sungai. Bagaimana kalau ada ular? Buaya? Penguntit? pikirnya cemas.Sewaktu dia sampai di sana. Pikiran buruk itu terhempaskan oleh pemandangan yang ada. Bebatuan nampak jelas di dalam air yang jernih. Tampak bersih dan terawat. Sarah melepaskan kemejanya, menyisakan bralette hitam dan celana pendek sepaha.Dia bergidik ketika air dingin menyentuh kulitnya yang putih. Perlahan Sarah mencelupkan kakinya ke dalam air, berjalan di batu coral besar dengan hati-hati. Tiba-tiba dia terdiam saat mendengar gemerisik batu dari pinggiran sungai."Bidadari lagi mandi nih," seru seseorang membuat Sarah berteriak kaget. Dia menceburkan diri, menyembunyikan tubuhnya dari pandangan orang lain."Siapa di sana?" tegur Sarah sambil menutup dadanya."Calon suami, Bu Dokter."Sarah melangkah perlahan di air yang dangkal, terperangah melihat Adam sedang duduk di bebatuan sambil menyandar dengan muka pucat. Dia tersenyum tipis, sesaat melambaikan tangan pada Sarah."Adam? Ngapain kamu di situ?""Gak ada apa-apa, Dok. Kalau gitu aku balik dulu," kata Adam berusaha berdiri dari sana dengan berpegangan pada batu besar di sampingnya. Namun Adam justru terhuyung dan jatuh bersama dengan obat di sakunya.Sarah keluar dari air, lekas menghampiri Adam. Menyentuh keningnya yang berkeringat dingin, lalu menepuk pipi Adam agar dia sadar. Pria itu mengerjap."Bu Dokter?" ucapnya masih bisa senyum. Cepat Adam menegakkan badannya, menarik botol obat di dekat Sarah dan segera menyembunyikannya. Namun Sarah memergokinya, dia menahan Adam, hendak merebut benda itu."Apa itu hah? Jangan bilang kamu habis ngobat di sini!" tuduh Sarah sembarangan.Adam menggeleng."Terus apa? Tunjukkin ke aku!" paksa Sarah masih merebuti benda di tangan Adam sekuat tenaga. Sedangkan Adam mencari cara agar bisa kabur dari sana, sebelum Sarah melihat apa yang berusaha dia sembunyikan."Dok, dadamu ituloh... kelihatan!""Apa?"Sontak Sarah menunduk, melihat dadanya sendiri. Tak menemukan hal yang ganjil. Sarah mendongak, terkejut saat mendengar Adam berteriak dari arah jalanan. Bersiap pergi dengan motornya."Dokter... maaf. Aku gak sengaja lihat.""Adam!" pekik Sarah sembari berdiri mengamati kepergian pria itu. "Obat apa itu ya?" gumam Sarah lalu bergerak menuju tempat Adam muncul. Dia berjongkok, menarik selembar kertas yang terselip di bebatuan.Sarah mengenali nama obat yang tertera di kertas itu. Obat antidepresan yang biasa digunakan oleh orang gangguan mental. Lalu Adam? Apa dia salah satu dari orang-orang itu? Pikir Sarah."Sebenarnya, apa yang terjadi sama dia?" gumam Sarah, heran.TBCSarah memasang jas dokternya. Masuk ke ruangan perawatan yang sedang sibuk dan agak kacau. Beberapa lansia tengah menunggu di depan bagian administrasi. Tampak lelah dan tak sabaran. Meskipun begitu, Sarah tak bisa langsung menyuruh mereka masuk ke ruang pemeriksaan. Ada beberapa pasien yang memerlukan bantuannya sekarang. Seperti di ruang perawatan, ada dua pasien yang terbaring lemas di bangsal, salah satunya terluka. "Kenapa ini?" tanya Sarah saat melihat kaki si pasien mengeluarkan darah cukup banyak. Membasahi bangsal tempat dia berbaring. "Kena pisau. Lukanya cukup dalam, Dok. Perlu dijahit." Mendengar ucapan sang suster, si pasien pria itu menangis ketakutan. Membuat kekacauan makin menjadi. Sementara pasien satunya juga menangis karena takut disuntik. Sarah memijit pelipisnya. Dia menarik napas panjang, kemudian mendekati pria tadi. Berusaha menenangkan. "Kalau luka Bapak gak dijahit. Takutnya nanti infeksi, Pak. Jika lukanya dibiarkan menganga begitu, sembuhnya juga bakala
"Jangan minum obat penenang. Kamu udah ketergantungan, Dam!" tegur Ardi yang tengah duduk manis di kursi lipat. Kedua kakinya menyilang, menunjukkan parut memanjang di bagian pergelangan, luka akibat kecelakaan motor di dekat persawahan beberapa bulan yang lalu."Kalau aku mau tidur nyenyak, ya mesti minum obat itu." Adam membuka botol obat tersebut, sebelum dirampas paksa oleh Sarah yang datang tiba-tiba.Ardi menatap wanita itu datar, namun dalam hati bersyukur karena setelah itu Adam tak berkutik lagi. Tatapan memohonnya tak membuat Sarah gentar, justru makin menegaskan kalau malam ini dia tak akan tidur ditemani obat tersebut."Aku udah bilang tadi. Lupa?""Enggak lupa. Cuma gak ingat aja," ujar Adam disertai cengiran lebarnya.Sarah dan Ardi mendesah bersama, sebal dengan sikap petakilan Adam. Kedua orang itu berdiri di depan bangsal Adam. Melipat tangan di dada. Lebih dulu Ardi menyentil dahi Adam, membuat pria itu meringis. "Aku balik dulu, mau ambil baju sekalian bawain pakaia
Sarah mencangklong tasnya. Merogoh saku celana seraya mengeluarkan kunci lalu membuka pintu rumahnya yang kosong melompong. Tubuh wanita itu berbalik saat mengenali suara meraung kendaraan Adam yang mendekati halaman depan. Tanpa menunggu, Sarah masuk ke dalam rumah. Melepas jasnya, menyisakan kemeja putih bersih yang nampak indah di tubuhnya. Wanita itu mendengar suara Adam memanggilnya dari depan teras."Bu dokter...." Adam berteriak seperti anak kecil yang mengajak main. Pria itu menaiki tangga dan berdiri di depan pintu, melongokkan kepala, mengintip Sarah yang tengah mengamati atap rumah. "Boleh masuk gak nih?""Masuk aja," kata Sarah tanpa memandang Adam yang sedang menenteng tas kecil berisi peralatan tukangnya. Santai Adam mengeluarkan palu dan gergaji dari sana. Ikut mendongak ke atap. "Atap kamar aku bocor. Kalau hujan, semuanya gak sempet terselamatkan lagi.""Gampang! Udah nyiapin atap barunya gak? Paku sama kayu?" tanya Adam lantas diangguki Sarah.Tidak berbasa basi, Ad
"Rumah Sarah tempias. Atapnya udah rusak, besok rencananya aku mau benerin. Tapi hujan turun, kasian juga kalau dia mesti basah-basahan di rumahnya sendiri."Ardi bersidekap, nampak tak terima dengan keputusan Adam membawa Sarah ke rumah mereka. "Tapi setidaknya ada bagian di rumahnya yang gak kena tempiaskan?" tanya pria itu."Ardi," tegur Adam tak suka dengan sikap posesifnya itu, meskipun Adam tahu reaksi Ardi tersebut bentuk dari perlindungan sebagai pendamping yang diutus kakaknya. Namun Adam tak mau terus dikekang, seolah setiap langkahnya mesti diperhatikan.Maka dari itu, ketika Ardi marah karena kaget mendapati Sarah di rumah mereka. Adam dengan cepat menjelaskan asal muasal masalah yang mereka hadapi, berharap Ardi maklum. Tapi sebaliknya, Ardi malah reaktif. "Dia menguping pembicaraan kita.""Itu gak disengaja, Di.""Bagaimana kalau dia utusan seseorang?" tuduh Ardi makin membuat Adam berang, dia mendekati Ardi, menarik kerah kemeja pria itu dengan satu tangan. Ardi tak me
Adam kembali pagi-pagi sekali setelah tidur beberapa jam di hotel dan mengabaikan kondisi Ardi bersama Sarah di rumah. Jelas Adam tidak khawatir Sarah dan Ardi macam-macam, karena dia tahu Ardi tidak tertarik pada hubungan rumit bersama wanita. Bahkan sejak Adam pergi, keduanya sudah terlibat dalam permusuhan tak tersirat yang lebih dulu dimulai oleh Ardi.Ketika dia sampai di teras, Adam melihat Sarah sudah keluar dari rumah. Tampak cemberut. Saat mendapati Adam pulang, senyumnya merekah tipis. Sambutan yang cukup membuat hati Adam berbunga-bunga."Dokter udah mau balik? Gak sekalian sarapan di sini?""Aku gak mau diintai terus sama temen kamu itu! Ngeri tahu!"Adam tertawa. Ardi menjalankan perintahnya dengan baik, bahkan lebih dari yang Adam harapkan. Sewaktu dia melirik ke pintu depan, Ardi berdiri di sana sambil bersidekap. "Mau ku antar ke rumah?" tawar Adam mengabaikan pelototan Ardi."Kamu baru balik," kata Sarah seraya mengawasi tampilan Adam yang luar biasa lebih rapi dari b
"Udah jadi?"Suara Sarah mengagetkan Adam yang tengah membersihkan kekacauan akibat pecahan genteng yang jatuh ke dalam rumah. Dia mengelus dada, menetralkan detak jantungnya yang bertalu-talu."Kenapa gak salam dulu sih, Dok? Kaget tau. Kalau aku jantungan gimana? Dokter mau aku tinggalin di sini? Nanti gak ada yang gombalin Dokter Sarah lagi... mau?""Pengen banget!" sahut Sarah pendek. Dia terkekeh melihat muka Adam yang merengut."Jahat juga ya," gerutu Adam seraya melanjutkan aktivitasnya. Pria itu mengambil serokan dan mengumpulkan debu tebal tersebut. Selesai membuang sampah-sampah dan merapikan beberapa barang, Adam menengok kedatangan Sarah dengan pakaian casualnya."Mau ke mana?""Nyari makan. Mau ikut? Tapi nebeng," kata Sarah menunjukkan motor Adam yang terparkir di depan teras. Tak mau membuang kesempatan besar, Adam mengangguk antusias. Segera dia meletakkan kembali sapu di sudut ruangan, berlari kecil menuju dapur dan mencuci tangannya yang berdebu.Kembali dari dapur,
"Leila keknya marah banget sama kamu, Dam."Adam mengendikkan bahunya, tak peduli dengan perasaan Leila yang terluka akibat ulahnya. Bagi Adam, Leila bukan siapa-siapa, hanya sebatas langganan ojeknya sebelum kedatangan Sarah. "Masa bodoh. Aku capek ketemu sama dia. Manjanya kebangetan," keluh Adam lalu menghentikan motornya di depan beranda rumah Sarah. Wanita itu turun dari jok. Membuka dompetnya lalu menyerahkan beberapa lembar uang pada Adam. Namun Adam justru mendorong balik uang tersebut seraya berkata lirih pada Sarah, "Gak usah. Makan bareng Dokter Sarah tadi udah jadi imbalan paling berharga.""Cih, gak usah gombal. Kamu udah perbaikin atapnya sendirian. Masa gak aku bayar," kata Sarah menarik tangan Adam, lalu meletakkan uang tersebut di telapak tangannya.Ketika Adam menggenggam uang pemberian Sarah, dia sontak memukul jidatnya sendiri. "Ampun dah! Kita lupa bayar makanan tadi!"Ikut-ikutan, Sarah menepuk jidatnya juga. Tersadar kalau mereka belum bayar sepersen pun makan
Sarah menatap Adam yang berjalan membelah kerumunan para preman tersebut. Menimbang rasio kemungkinan Adam menang dari delapan preman yang sedang menjagalnya. Meski agak tipis, Sarah yakin Adam bisa melawan orang-orang berotot besar itu."Menjauh dari Dokter Sarah," perintah Adam dengan nada menusuk tajam.Pimpinan preman yang berada di depan Sarah akhirnya berbalik badan, menghadap Adam yang sedang menyingsing lengan baju lusuhnya. Seulas senyum tipis terukir, dia melangkah maju ke depan Adam. Mendorong pundak pria itu dengan kencang. "Jadi ini yang bikin neng Leila sakit hati? Cowok dekil ini rupanya?"Tak terima disebut dekil, Adam balas mendorong dada si preman. Namun hasilnya nihil. Tak ada pergerakan apapun, selain Adam yang ditertawakan seluruh kawanan preman tersebut."Kenapa? Heran karena gak bisa ngedorong aku? Jelaslah, orang macam kamu... aku tonjok sekali juga pasti jiun!" ujarnya sombong.Adam mengepalkan tangannya. Mencoba membuktikan ucapan si preman dan hasilnya... me
Sarah memandang mobil di depannya, kemudian pada sosok Adam yang pucat. Dia menggeleng. "Gak, aku aja yang bawa mobilnya.""Loh? Janganlah, aku kan yang ngajak Dok--""Sarah. Panggil aku, Sarah." Wanita itu menatap Adam dengan wajah serius, sementara Adam cuma bisa diam sembari mengangguk paham. Sarah melanjutkan omongannya, "Kamu gak memungkikan banget buat bawa mobil. Aku gak mau kita kecelakaan.""Bisa-bisanya kamu meragukan aku," gerutu Adam."Kata Ardi kamu menggalau beberapa hari ini. Pasti karena aku tolak waktu itukan?""Jujur banget ngomongnya.""Karena kondisi kamu yang gak memungkinkan itu, aku gak bakalan izinin kamu buat nyetir. Mending aku aja," jelas Sarah panjang lebar.Sebal, Adam pun menurut saja. Dia duduk di samping kemudi, mengamati Sarah yang sedang memasang belt. Adam tak percaya, kalau wanita yang beberapa waktu lalu menolaknya malah kini menerima tawaran untuk pergi jalan-jalan bersama. Adam bingung, sumpah!"Kenapa kamu mau terima ajakan aku?""Sebagai permin
Sarah tidak tahu kalau Adam akan jujur dengan perasaannya. Ketika pria itu mengatakan kenyataan tersebut, Sarah cuma tercengang dengan mulut menganga. Telunjuknya menunjuk diri sendiri, tak menyangka."Gak salah kamu, Dam? Jangan bilang kamu memberitahu Leila soal ini? Bisa mampus kita!" kata Sarah cemas.Adam terkekeh. "Meskipun dia bawa para preman itu, aku gak bakalan biarin mereka melukai Dokter Sarah. Aku harus menepati janji'kan?" ujarnya sambil menaik-naikkan kedua alisnya yang tebal.Sebelah tangan Sarah mengusap keningnya. Dia melipat kaki di atas kursi, mendesah sebal dengan keputusan Adam yang terlalu berisiko itu. "Bagaimana kalau kamu yang terluka? Siapa yang repot?""Dokter. Tugas kamu'kan mengobati orang yang terluka?" sahut Adam enteng sekali. "Kamu lihat? Aku juga terluka!" kata Sarah menunjuk sudut bibirnya yang luka, lalu ke keningnya yang benjol. "Aku yang obatin Dokter. Kita saling mengobati," ujar Adam langsung mendapat sahutan berupa suara muntah dari Ardi. Lel
Motor trail Adam meraung di depan rumah Leila yang terbilang mewah. Semua orang di desa itu dan tempat Adam tinggal, tahu kalau Leila bukan anak gadis dari orang sembarangan. Ayah Leila merupakan seorang tuan tanah yang punya banyak anak buah turunan dari preman pasar. Mereka juga tahu, kalau ayah Leila bukanlah pria baik. Ardi pernah bertemu dengan pria paruh baya tersebut, dan menyatakan kalau dia tak menyukai cara kerjanya. Dan sekarang Adam menemukan alasan Ardi tak menyukai ayah Leila itu. "Makanya, hutang itu dibayar dong! Berani-berani ngambil utang, tapi gak sanggup bayar. Lucu juga!" katanya sambil memelintir kumisnya yang tebal. Adam turun dari motor. Menghampiri teras beton yang tampak licin. Sejenak amarah pria itu reda, tatapannya menghunus pada Adam. Hanya dengan endikkan kepala, beberapa preman pasar yang tadi ditemui keluar dari pos mereka. Menyeringai pada Adam, seolah merasa menang. "Akhirnya datang juga. Kamu nerima tawaran kami ya?" tanya pria itu. "Gak. Aku
Sarah menatap Adam yang berjalan membelah kerumunan para preman tersebut. Menimbang rasio kemungkinan Adam menang dari delapan preman yang sedang menjagalnya. Meski agak tipis, Sarah yakin Adam bisa melawan orang-orang berotot besar itu."Menjauh dari Dokter Sarah," perintah Adam dengan nada menusuk tajam.Pimpinan preman yang berada di depan Sarah akhirnya berbalik badan, menghadap Adam yang sedang menyingsing lengan baju lusuhnya. Seulas senyum tipis terukir, dia melangkah maju ke depan Adam. Mendorong pundak pria itu dengan kencang. "Jadi ini yang bikin neng Leila sakit hati? Cowok dekil ini rupanya?"Tak terima disebut dekil, Adam balas mendorong dada si preman. Namun hasilnya nihil. Tak ada pergerakan apapun, selain Adam yang ditertawakan seluruh kawanan preman tersebut."Kenapa? Heran karena gak bisa ngedorong aku? Jelaslah, orang macam kamu... aku tonjok sekali juga pasti jiun!" ujarnya sombong.Adam mengepalkan tangannya. Mencoba membuktikan ucapan si preman dan hasilnya... me
"Leila keknya marah banget sama kamu, Dam."Adam mengendikkan bahunya, tak peduli dengan perasaan Leila yang terluka akibat ulahnya. Bagi Adam, Leila bukan siapa-siapa, hanya sebatas langganan ojeknya sebelum kedatangan Sarah. "Masa bodoh. Aku capek ketemu sama dia. Manjanya kebangetan," keluh Adam lalu menghentikan motornya di depan beranda rumah Sarah. Wanita itu turun dari jok. Membuka dompetnya lalu menyerahkan beberapa lembar uang pada Adam. Namun Adam justru mendorong balik uang tersebut seraya berkata lirih pada Sarah, "Gak usah. Makan bareng Dokter Sarah tadi udah jadi imbalan paling berharga.""Cih, gak usah gombal. Kamu udah perbaikin atapnya sendirian. Masa gak aku bayar," kata Sarah menarik tangan Adam, lalu meletakkan uang tersebut di telapak tangannya.Ketika Adam menggenggam uang pemberian Sarah, dia sontak memukul jidatnya sendiri. "Ampun dah! Kita lupa bayar makanan tadi!"Ikut-ikutan, Sarah menepuk jidatnya juga. Tersadar kalau mereka belum bayar sepersen pun makan
"Udah jadi?"Suara Sarah mengagetkan Adam yang tengah membersihkan kekacauan akibat pecahan genteng yang jatuh ke dalam rumah. Dia mengelus dada, menetralkan detak jantungnya yang bertalu-talu."Kenapa gak salam dulu sih, Dok? Kaget tau. Kalau aku jantungan gimana? Dokter mau aku tinggalin di sini? Nanti gak ada yang gombalin Dokter Sarah lagi... mau?""Pengen banget!" sahut Sarah pendek. Dia terkekeh melihat muka Adam yang merengut."Jahat juga ya," gerutu Adam seraya melanjutkan aktivitasnya. Pria itu mengambil serokan dan mengumpulkan debu tebal tersebut. Selesai membuang sampah-sampah dan merapikan beberapa barang, Adam menengok kedatangan Sarah dengan pakaian casualnya."Mau ke mana?""Nyari makan. Mau ikut? Tapi nebeng," kata Sarah menunjukkan motor Adam yang terparkir di depan teras. Tak mau membuang kesempatan besar, Adam mengangguk antusias. Segera dia meletakkan kembali sapu di sudut ruangan, berlari kecil menuju dapur dan mencuci tangannya yang berdebu.Kembali dari dapur,
Adam kembali pagi-pagi sekali setelah tidur beberapa jam di hotel dan mengabaikan kondisi Ardi bersama Sarah di rumah. Jelas Adam tidak khawatir Sarah dan Ardi macam-macam, karena dia tahu Ardi tidak tertarik pada hubungan rumit bersama wanita. Bahkan sejak Adam pergi, keduanya sudah terlibat dalam permusuhan tak tersirat yang lebih dulu dimulai oleh Ardi.Ketika dia sampai di teras, Adam melihat Sarah sudah keluar dari rumah. Tampak cemberut. Saat mendapati Adam pulang, senyumnya merekah tipis. Sambutan yang cukup membuat hati Adam berbunga-bunga."Dokter udah mau balik? Gak sekalian sarapan di sini?""Aku gak mau diintai terus sama temen kamu itu! Ngeri tahu!"Adam tertawa. Ardi menjalankan perintahnya dengan baik, bahkan lebih dari yang Adam harapkan. Sewaktu dia melirik ke pintu depan, Ardi berdiri di sana sambil bersidekap. "Mau ku antar ke rumah?" tawar Adam mengabaikan pelototan Ardi."Kamu baru balik," kata Sarah seraya mengawasi tampilan Adam yang luar biasa lebih rapi dari b
"Rumah Sarah tempias. Atapnya udah rusak, besok rencananya aku mau benerin. Tapi hujan turun, kasian juga kalau dia mesti basah-basahan di rumahnya sendiri."Ardi bersidekap, nampak tak terima dengan keputusan Adam membawa Sarah ke rumah mereka. "Tapi setidaknya ada bagian di rumahnya yang gak kena tempiaskan?" tanya pria itu."Ardi," tegur Adam tak suka dengan sikap posesifnya itu, meskipun Adam tahu reaksi Ardi tersebut bentuk dari perlindungan sebagai pendamping yang diutus kakaknya. Namun Adam tak mau terus dikekang, seolah setiap langkahnya mesti diperhatikan.Maka dari itu, ketika Ardi marah karena kaget mendapati Sarah di rumah mereka. Adam dengan cepat menjelaskan asal muasal masalah yang mereka hadapi, berharap Ardi maklum. Tapi sebaliknya, Ardi malah reaktif. "Dia menguping pembicaraan kita.""Itu gak disengaja, Di.""Bagaimana kalau dia utusan seseorang?" tuduh Ardi makin membuat Adam berang, dia mendekati Ardi, menarik kerah kemeja pria itu dengan satu tangan. Ardi tak me
Sarah mencangklong tasnya. Merogoh saku celana seraya mengeluarkan kunci lalu membuka pintu rumahnya yang kosong melompong. Tubuh wanita itu berbalik saat mengenali suara meraung kendaraan Adam yang mendekati halaman depan. Tanpa menunggu, Sarah masuk ke dalam rumah. Melepas jasnya, menyisakan kemeja putih bersih yang nampak indah di tubuhnya. Wanita itu mendengar suara Adam memanggilnya dari depan teras."Bu dokter...." Adam berteriak seperti anak kecil yang mengajak main. Pria itu menaiki tangga dan berdiri di depan pintu, melongokkan kepala, mengintip Sarah yang tengah mengamati atap rumah. "Boleh masuk gak nih?""Masuk aja," kata Sarah tanpa memandang Adam yang sedang menenteng tas kecil berisi peralatan tukangnya. Santai Adam mengeluarkan palu dan gergaji dari sana. Ikut mendongak ke atap. "Atap kamar aku bocor. Kalau hujan, semuanya gak sempet terselamatkan lagi.""Gampang! Udah nyiapin atap barunya gak? Paku sama kayu?" tanya Adam lantas diangguki Sarah.Tidak berbasa basi, Ad