Klinik Bunda Mulia.
Hati Sara berdegup kencang, ketika melihat tulisan yang terpampang jelas di depan matanya.Selangkah demi selangkah ia berjalan, tujuannya semakin dekat. Ada rasa penasaran yang ingin segera ia temukan kebenarannya. Namum, juga ada perasaan takut akan kenyataan yang nantinya tidak sesuai dengan apa yang diharapkan.
Suasana klinik tersebut benar-benar sepi, bahkan di bangku antrean depan hanya ada dua orang yang menunggu. Mungkin karena hampir seharian hujan turun, jadi banyak yang merasa malas untuk keluar rumah.
“Selamat siang! Ada yang bisa saya bantu?” tanya resepsionis yang duduk di depan pintu pendaftaran. Ia menyapa Sara dengan ramah, lalu tersenyum hingga menonjolkan lesung pipinya yang membuatnya tampak manis.
“Iya, Mbak. Perkenalkan saya Sara. Sebenarnya, saya mau ketemu dengan Bidan Anik Masruroh, apa saya bisa sekarang?” Tanpa basa-basi, Sara langsung mengutarakan tujuannya.
“Maaf, Mbak. Memangnya ada perlu apa, ya? Soalnya setahu saya, di klinik ini tidak ada bidan yang bernama Anik Masruroh,” jawab resepsionis tersebut kepada Sara.
“Ah, benarkah? Coba diingat lagi, Mbak. Sekitar 21 tahun yang lalu, ibu saya melahirkan di klinik ini. Dan, ini buktinya kalau yang menangani kelahirannya dulu adalah Bidan Anik,” tutur Sara sambil menunjukkan tulisan tangan ibunya di buku yang ia temukan.
“Oh, saya baru ingat, Mbak. Dulu, memang ada bidan yang bernama Anik Masruroh. Namun, bidan tersebut sudah lama tidak bekerja di sini.”
“Terus, sekarang kerja di mana Bidan Aniknya, Mbak? Tolong kasih tau saya! Saya benar-benar ada kepentingan,” ucap Sara. Wajahnya penuh harap, ketika sedang memohon pada resepsionis tersebut.
“Maaf, Mbak. Saya tidak tahu jelas mengenai Bidan Anik, tetapi saya pernah dengar kalau Bidan Anik pindah tugas ke salah satu rumah sakit swasta di kota,” kata wanita tersebut memberi informasi yang ia ketahui.
“Bukankah seorang bidan beda sama perawat, Mbak? Setahu saya, di rumah sakit yang ada cuma dokter sama perawat aja.” Lagi-lagi Sara mengajukan pertanyaan pada resepsionis tersebut dengan sifat polosnya. Ia hanya merasa janggal dengan informasi yang ia terima. Bisa dibilang, Sara sangat cerdas sebagai pengamat lawan bicaranya.
“Bidan Anik adalah istri dari salah satu dokter obstetri di rumah sakit itu. Jadi, dia menunjuk istrinya sendiri untuk membantu tugasnya,” tutur resepsionis tersebut. ia menunjukkan perasaan tidak nyaman dari wajahnya, mungkin karena seolah-olah ia didesak Sara untuk memberi jawaban yang pasti.
Sara hanya terdiam membisu. Sekata pun tidak bisa ia ucapkan. Karena memang kelihatannya resepsionis tersebut berbicara jujur, dan apa adanya. Hati dan pikirannya benar-benar kacau. Ia merasa semua usahanya sia-sia.Cahaya langit makin meredup. Di ufuk barat, terlihat pemandangan perjalanan matahari menuju kediamannya. Sisa-sisa tetesan air hujan masih membasahi beberapa dinding bangunan yang berdiri kokoh.
Begitu pun Sara, ia menyusuri lorong demi lorong sambil membanting otak untuk segera memutuskan mau ke mana lagi ia melangkah. Antara pulang atau bertahan.
Hingga pada akhirnya, Sara makin yakin untuk tetap bertahan di kota tersebut demi mencari kebenaran. Pantang pulang sebelum mendapat yang ia inginkan, kurang lebih begitulah prinsipnya saat ini.
Dengan uang yang hanya tersisa 50 ribu, mustahil bisa digunakan untuk bertahan hidup di kota sebesar ini. Hingga pada akhirnya, ia memutuskan mencari pekerjaan yang bisa dikerjakan. Ada perasaan lega di wajahnya, karena ia sempat membawa ijazah.
Selangkah demi selangkah, Sara mengangkat kakinya secara bergantian untuk menyusuri jalanan. Sesekali ia memegang perutnya, lalu duduk di atas gazebo tua berwarna cokelat, rupanya cacing-cacing di perutnya saat ini tidak bisa diajak kompromi lagi. Sara terus mengunci perutnya dengan tegukan air mineral yang ia beli di dalam bus.
DIBUTUHKAN KARYAWATI.
Penglihatan Sara terfokus pada selembar kertas yang ditempelkan pada kaca jendela toko kue yang letaknya tidak jauh dari gazebo yang Sara duduki. Setelah berdebat dengan dirinya sendiri, ia pun memutuskan untuk mengajukan lamaran pekerjaan ke toko kue itu.
“Permisi, Mbak. Benarkah toko kue ini sedang membutuhkan karyawan baru?” tanya Sara pada salah satu karyawan yang bekerja di situ.
“Benar, Mbak. Kebetulan saya kepala toko di sini. Mari, Mbak, duduk di sebelah sini!” kata perempuan tersebut sambil mengacungkan jempolnya ke tempat duduk pelanggan.
“Baik, Mbak. Bisa dikeluarkan surat lamaran serta berkasnya, ya, sekalian interview juga.” Tanpa basa-basi lagi, kepala toko tersebut langsung memberi instruksi pada Sara.
“Maaf, Mbak. Saya sebenarnya cuma membawa salinan ijazah saja,” jawab Sara, wajahnya sedikit tertunduk.
“Berarti kamu tidak niat, ya, melamar di sini?” gertak perempuan tersebut pada Sara. Seolah-olah ingin segera mendengar jawaban Sara.
“Bukan begitu, Mbak. Saya sebenarnya dari Lumajang, Mbak. Tadi, saya turun di terminal dan kecopetan. Yang tersisa ijazah ini saja. Tolong saya, Mbak. Saya butuh kerja untuk makan.” Sebenarnya Sara tidak kecopetan, ia hanya tidak ingin orang lain tahu bahwa sebenarnya ada tujuan lain kenapa ia datang Surabaya. Sekaligus mengharapkan rasa iba dari wanita itu.
Wanita tesebut menghela napas panjang. Sambil memandangi tubuh dan wajah Sara dengan saksama. Sedangkan Sara, ia merasa waswas, ada perasaan khawatir jika ia ditolak di toko
“Baiklah. Kalau begitu saya mau lihat ijazah kamu.”
Mendengar jawaban tersebut, mata Sara langsung berbinar, ada juga rasa lapar yang terus mengetuk dinding perutnya. Seperti ada harapan baru di hatinya. Ia pun langsung menyodorkan selembar salinan ijazah yang berada di tangannya.
“Hm, nama kamu Sara Damayanti,” gumam wanita tersebut, sambil memandangi salinan ijazah yang diberikan Sara.
“Baiklah, aku Zea. Coba perkenalkan diri kamu dengan singkat. Alasan kamu mengapa pingin bekerja di sini dan menurut kamu apa hubungannya kue dengan kehidupan,” tuturnya pada Sara.
“Siap! Perkenalkan, saya Sara Damayanti, usia saya 21 tahun. Alasan saya mengapa pingin bekerja di toko kue ini adalah, karena saya sangat menyukai kue. Bagi saya, kue adalah salah satu lambang cinta bagi pembuatnya, dan kue tidak akan memiliki rasa yang enak jika tidak ada cinta dalam membuatnya. Rasa kue juga dominan manis, tetapi juga ada rasa asin, sedap, dan gurih. Itulah kehidupan, tidak hanya soal bahagia, melainkan juga soal memperjuangkan dan diperjuangkan,” jawab Sara tanpa ada keraguan.
Seketika ia langsung ingat, bahwa sejujurnya dirinya makan kue hanya dua kali seumur hidupnya. Itu pun dikasih salah satu temannya saat ulang tahun. Ia juga mengingat begitu jelas ketika ibunya sendiri, membelikan kue hanya untuk adiknya tanpa memikirkan perasaan Sara.
Sedangkan Sara saat itu, hanya bisa melihat dari lorong pintu seraya menelan ludah dan menahan rasa sakit, lantaran tidak diperlakukan secara adil.
''Wah! Jawaban yang kamu berikan sangat berbeda dari pelamar lainnya. Nilai ijazah kamu, juga tidak buruk. Stabil di angka 8. Yang paling saya suka, kamu begitu percaya diri, dan sangat ramah,'' ucap Zea. Ia seperti sedang memberi sinyal yang positif untuk Sara. “Jadi, keputusannya bagaimana, Mbak?” tanya Sara. Ia benar-benar tidak sabar untuk mendengar jawaban dari Zea. Meskipun Zea terlihat memujinya, Sara masih tidak berani menyimpulkan apa maksud dari pujiannya itu. Zea menepis bibirnya, lalu mengulurkan tangan. “Selamat! Kamu diterima di toko kue ini. Mulai besok, kamu sudah bisa bekerja,” jawab Zea dengan tersenyum ramah. “Alhamdulilah. Terima kasih banyak, Mbak,” ucap syukur Sara karena ia bisa diterima kerja di toko kue tersebut. Sara kembali termenung. Ada perasaan lega karena ia sudah mempunyai pekerjaan. Namun, d
“Kamu di sini anak baru, jadi harus berhati-hati. Kalau tidak tau, tanya. Jangan sampai kamu melakukan kesalahan yang membuat pelanggan saya kecewa. Saya tidak suka kesalahan, apalagi kecerobohan,” kata Amar. Ia menatap tajam wajah Sara. Meskipun ia memiliki bibir yang tebal, ia sangat pandai mengecam orang lain dengan sangat mudah. “Baik, Pak, saya mengerti,” jawab Sara seraya menunduk. ‘Dasar orang songong,’ gerutu Sara dalam hatinya. Sara tidak habis pikir dengan sifat bosnya yang begitu angkuh. Ternyata ekspektasinya terlalu berlebihan, ia pikir bosnya adalah orang yang baik hati dan ramah, kenyataannya adalah orang terangkuh yang pernah ia temui. “Pergilah, saya mau berbicara dengan Zea!” perintah Amar kepada Sara. Rupanya ia tidak ingin pembicaraannya dengan Zea didengar oleh orang lain. Lagi pula, Sara juga tidak berselera m
Rumor mengenai keberadaan Sara membuat para pembeli banyak yang berdatangan, dan menarik simpati banyak orang, sudah sampai di telinga Zea. Raut wajahnya pun menggambarkan kecemasan tanpa sebab, sesekali berusaha menarik napas, lalu membuangnya. Bersikap biasa-biasa saja menjadi jalan ninja agar tidak terlihat cemas. ‘’Bagaimana mungkin hanya karena seorang pelayan … apa dia mempunyai ilmu marketing yang jauh di atasku?’’ Tanya Zea pada dirinya sendiri, setengah tidak percaya dengan kenyataan yang ada di depannya. Keberhasilan Sara dalam menarik minat pembeli, menciptakan teka-teki khusus untuk Zea. ‘’ Apa cuma karena dia cantik? ’’ Lagi-lagi ia bertanya pada diri sendiri. Tidak dapat dipungkiri, bahwa diam-diam dirinya juga mengakui kecantikan Sara. Bahkan sesekali ia membandingkan dirinya sendiri dengan Sara. Namun tetap saja, ia tidak
‘’Mas, are you okay? Hallo!!’’ ‘’Oh ya, ini mbak uangnya!’’ Dengan segera Anda menyulurkan uang berwarna biru tua, yang ia ambil dari dalam dompetnya.Kali ini, matanya masih tidak bisa terpental dari wajah Sara. Meskipun Andra melamun, ia tetap sadar dan mendengar dengan jelas nominal yang Sara ucapkan tadi. ‘’Terimakasih,’’ ucap Sara pada Andra dengan sedikit mengukir senyum di bibirnya.Mempunyai alis tebal berwarna hitam pekat, justru semakin menghiasi wajah Sara. Bagi Andra, setiap kali Sara tersenyum, setiap itu juga ia merasa jatuh hati berulang kali. Sebuah bibir yang memiliki warna merah merekah, membuat senyuman itu terlihat seperti bunga mawar yang baru saja mekar.Sebenarnya ada tanda tanya yang tertanam di benak Sara saat ini, mengenai sikap Andra yang seringka
Sara memberikan handphone itu kepada Andra, ia juga mengetahui kalau handphone yang ia temukan bukanlah barang murah, tentu saja ia sangat berhati-hati untuk menjaganya, sampai pemilik asli handphone tersebut datang untuk mencarinya.Sara bukanlah orang yang cacat teknologi, ia sangat tahu bahwa brand terkenal yang berpusat di California itu, tentunya mempunyai harga belasan juta. Terlebih lagi handphone tersebut menyongsong type terbaru di kelasnya. Di lain sisi, Sara cukup pintar untuk menelitik sesuatu berdasarkan pengamatannya.Dengan lihainya, Andra sengaja mengecek handphone miliknya dengan detail, ia tidak mau Sara sampai curiga kalau sebenarnya dirinya hanya berpura-pura. ‘’Aku akan membalas budi, dengan memberikan handphone yang serupa seperti yang kamu temukan,’’ tutur Andra
‘’Ada apa ini? Suara kalian kedengaran sampai dalam,’’ tanya Zea yang hadir diantara mereka. ‘’Ini nih, Kak, salah satu karyawan di toko ini ada yang jadi pencuri,’’ ucap Ratri sambil melempar lirikan tajam kepada Sara, gadis tersebut seakan-akan memberi kode kakaknya bahwa yang ia maksud sebagai pencuri adalah seseorang yang berada di sampingnya itu. ‘’Omong kosong! Hentikan omong kosongmu itu, apa yang kamu tuduhkan sama sekali tidak benar,’’ ucap Sara sambil mengangkat jari telunjuknya. Zea menatap Sara dengan ketat, sepertinya ia ingin membaca pikiran Sara melalui kedua matanya. Sementara itu, kosentrasi Zea mend
‘’Jika kamu tidak salah, lalu dari mana kamu mendapatkan handphone itu, Nona?’’ Amar rupanya tidak menelan mentah-mentah omongan dari Ratri, untung saja ia masih bisa berusaha adil, dan menjadi penengah mereka. Hebatnya lagi, dalam situasi seperti ini, ia masih bisa mempertahankan kewibawaannya dengan tidak mudah terpancing dengan hasutan orang. Zea masih terdiam membeku, sorot matanya kali ini menggambarkan rasa kagum pada hatinya. Sifat Amar yang tegas, cara bicaranya yang tertata, semakin memperlihatkan bahwa ia adalah orang yang berpendidikan.‘’Saya mendapatkan Hp ini dari seorang pria, Pak! Dia adalah salah satu customer tetap toko ini. Kemarin handphone dia ketinggalan di sofa depan, dan aku tidak sengaja menemukannya. Selang beberapa jam,
‘’Saya yakin, pencuri yang sebenarnya adalah orang yang baru saja bekerja di sini.’’ Semua orang menatap ke arah Ratri, dan Sara. Karena dibandingkan dengan yang lain, mereka berdua adalah keluarga baru di bakery ini. ‘’Apa dia tidak mempercayai penjelasanku?’’ batin Sara dalam hatinya. Yang ia takutkan saat ini adalah kehilangan pekerjaan, sekaligus tempat tinggalnya, karena dituduh mencuri. Jika hanya dituduh oleh Ratri, ia tidak terlalu kepikiran. Yang jadi masalah adalah ketika Amar, sang pemilik toko meragukan kejujurannya.Imajinasinya bekerja dengan bebas, ia membayangkan bagaimana sesuatu yang tidak-tidak bisa menimpa dirinya. Namun ia tetap bersikap tenang, dan yakin kalau Tuhan akan berpihak kepada orang yang benar. Bahkan ia juga bersiap-siap jika nantinya harus menghadi
Di balik dinding bertirai tebal terlihat dua orang laki-laki yang sedang sibuk membicarakan suatu hal. Tentu sudah menjadi kebiasaan Amar dan asistennya itu untuk mengisi waktu senggangnya dengan mengumpulkan beberapa kalimat obrolan.Anton mendekat ke arah Amar, tidak lama kemudian ia mencoba mengatakan sesuatu yang sedari tadi sudah ia pikirkan.‘’Apa kita perlu mengawasi nyonya di sana?’’ tanya Anton. Ia tidak tega melihat Amar yang seringkali hilang fokus karena terlalu memikirkan Sara. Meskipun Amar tidak pernah bercerita tentang hal yang ia pikirkan terus menerus, Anton tentu yakin tidak akan salah mengira.Amar masih terdiam, lalu tertegun beberapa saat tidak menghiraukan perkataan asistennya itu.Hingga kemudian laki-laki bertubuh kekar itu memejamkan kedua matanya, sambil terus mulai mempertimbangkan saran dari asistennya.‘’Tidak perlu. Dia tidak boleh sampai risih karena kita mengawasinya
Sara berjalan di belakang Amnu, ia mengikuti langkah pria berusia 28 tahun itu. Kemudian Amnu berhenti di meja makan tepat di sebelah pojok belakang. Amnu menarik salah satu kursi berlapis kain warna putih, lalu mempersilahkan Sara duduk dengan nyaman. ‘Tidakkah berlebihan?’ tanya Sara dalam hati.Sara memesan segelas air putih dingin, sepiring nasi, dan sepiring cumi saus tiram. Sedangkan Amnu memesan roti panggang, dan jus jeruk. Keduanya hanya saling bertatapan, keadaan terasa begitu hening. Berulang kali Amnu mencuri pandang pada wanita di depannya itu. Dua pelayan wanita berambut pendek datang dengan membawa menu yang sudah mereka pesan. Lalu menaruh makanan tersebut dengan hati-hati. Kemudian memberikan selembar kertas yang berisi total tagihan makanan
Amnu sangat cerdas, banyak sekali prestasi yang sudah ia dapatkan. Untuk menjadi seorang SPV tentu harus memiliki kemampuan yang mumpuni.Sebelumnya pria itu hanya sales biasa, karena penjualannya yang sangat baik setahun belakangan ini, bahkan seringkali menerima banyak penghargaan dari beberapa perusahaan yang pernah ia singgahi, membuat dirinya bisa menduduki karir seperti sekarang ini. Lagipula saat diadakannya promosi jabatan, 80% suara memihak kepadanya.Orang seprofesional Sara, mustahil mau diajak makan berdua selain urusan pekerjaan. Alasan yang ia buat begitu tepat, terlepas benar atau salah, setidaknya Sara sudah menyetujui ajakannya itu. ‘’Kalau sudah tidak ada yang mau dibicarakan, saya mau kembali bekerja, Pak!’’ ucap
‘’I-iya, Tuan!’’ Bu Ira tersentak, lalu segera menuju ke kamar mandi dengan perasaan semburat. Ini pertama kali Amar memakinya dengan sangat kasar. Selama ini Bu ira selalu mencari muka kepada Amar, orang lain yang bekerja, namu namanya yang dipuja. Itulah yang menyebabkan Amar begitu mempercayai Bu Ira.Waktu terasa berhenti. Tidak ada satu pun orang yang berani mengajak Amar berbicara. Sedangkan Anton masih setia berdiri tepat di belakang Amar.Kemudian dalam hitungan detik, Sara dan Vilda telah sampai di hadapan Amar.‘Kenapa dia ada di sini?’Hati Sara berdecak, ia terkejut ketika melihat seseorang yang berada di depannya. Dia suaminya, sungguh nyata berada di hadapannya saat ini.Vilda tentu tau sedang berhadapan dengan siapa, sedangkan Sara hanya mengenal bahwa itu adalah suaminya. &l
’Mbak, Vilda?’ Kata Sara dalam hati. Mama muda yang ia temui sewaktu berangkat ke Surabaya, sekarang bisa bertemu kembali dengan keadaan yang berbeda. Wanita itu terlihat lebih terawat dari sebelumnya, apalagi kulit wajahnya begitu bersih, dan bersinar. Tidak! Mungkinkah dia operasi wajah? Bu Ira mengarahkan mata tajamnya ke sumber suara. Dengan bengis mengernyitkan bibirnya. ‘’Oh, jadi kau teman BA baru ini, ya? Baiklah kau bisa membantunya kalau merasa kasihan dengannya!’’ ketus Bu Ira. Lalu pergi meninggalkan mereka berdua. Perlahan Sara mulai mendekat ke arah Vilda. Dipandanginya wanita itu dengan saksama, hanya untuk memastikan dia wanita di dalam bus itu, atau bukan. ‘’Kamu … Mbak Vilda, bukan?’’ tanya Sara dengan merapikan lengan bajunya. &n
Ada dua orang yang sedang memperhatikan mereka dari jarak jauh, mereka bersembunyi di semak-semak. ‘’Kak Zea? dan … Ratri?’’ ucap Sara terkejut. Bagaimana bisa kedua orang itu bisa berada di sini. Tiga tahun tidak bertemu mereka, rasanya ada rindu di dalam hati. Meskipun Ratri pernah memperlakukan Sara dengan cara tidak baik, bagaimana pun juga ia adalah temannya. PROKK … PROKK Amar menepuk kedua tangannya, ia sedang mengkode dua wanita itu. ‘’Kemarilah!’’Kedua wanita itu sedang menghampiri Amar, dan Sara. Rupanya mereka berdua yang telah membantu Amar untuk mempersiapkan kejutan untuk Sara. Tidak
‘’Lalu?’’ Sara terlihat begitu tertarik mendengar cerita Amar.Amar menyeka keringat yang menetes dari dahinya, bahkan untuk mengingat masa lalunya itu, ia harus mempersiapkan mentalnya terlebih dahulu.Amar melihat ke arah Sara. Bagaimana pun juga gadis itu adalah istrinya, dia berhak tahu cerita hidup suaminya sendiri. Ia juga tidak tega ketika memandang wajah Sara yang sangat antusias mendengarkan ceritanya. ‘’Semua sudah hancur! Wanita jalang itu telah merebut ayahku, suami dari mamaku.’’ Amar mencengkeram tangannya sendiri dengan kasar, ia terlihat begitu murka ketika mengingat kembali cerita hidupnya.Sara tidak berani berkata apa-apa, ia tidak ingin membuka luka lama dalam hati Amar. Lagipula in
Guyuran air segar dari atas membasahi tubuh mereka berdua. Dua pasang tangan mengambil posisi untuk meratakan sampo di kepala mereka masing-masing. Kedua tangan Sara memijat dengan lembut baluran sampo di atas kepala Amar. Begitu pula sebaliknya. Sambil memainkan busa yang tertumpuk di badan mereka masing-masing.Selama tiga tahun menikah, ini adalah pertama kalinya mereka mandi berdua. Terlihat begitu intim di bawah guyuran air. Sebuah tawa lepas yang melandas di bibir mereka, membuat suasana semakin terasa milik mereka berdua. Tidak tahu kenapa, Sara merasa bersalah karena telah berburuk sangka kepada suaminya saat itu. Terlebih lagi ia sudah memutuskan untuk bekerja. Bagaimana pun juga Sara harus tetap melanjutkan pekerjaannya itu.Sara segera berkemas, memakai pakaian yang sudah ada di dalam koper.
Sara terus memejamkan mata untuk merasakan kejantanan suaminya. Rasanya Sara tidak dapat lagi menahan tangannya sendiri untuk tidak bergerak. Dengan bantuan sepasang bola matanya, ia mulai meraba leher Amar yang ditumbuhi bulu-bulu halus. ‘’Cepat Sayang …,’’ ucap Sara sambil mencengkeram erat punggung Amar dengan sepuluh jemarinya. Sara semakin mengerang, lidahnya bertingkah liar, mengecup, dan saling bertukar saliva dengan suaminya itu. Suara kecup dan hentakan saling beradu di dalam ruangan bertirai putih itu.Amar semakin mempercepat gerakannya. Memaju mundurkan pinggulnya agar segera sampai dengan tujuan akhir. Dirinya juga bisa merasakan bahwa senjatanya itu akan segera meledakkan cairan kental yang ma