''Wah! Jawaban yang kamu berikan sangat berbeda dari pelamar lainnya. Nilai ijazah kamu, juga tidak buruk. Stabil di angka 8. Yang paling saya suka, kamu begitu percaya diri, dan sangat ramah,'' ucap Zea. Ia seperti sedang memberi sinyal yang positif untuk Sara.
“Jadi, keputusannya bagaimana, Mbak?” tanya Sara. Ia benar-benar tidak sabar untuk mendengar jawaban dari Zea.
Meskipun Zea terlihat memujinya, Sara masih tidak berani menyimpulkan apa maksud dari pujiannya itu.
Zea menepis bibirnya, lalu mengulurkan tangan. “Selamat! Kamu diterima di toko kue ini. Mulai besok, kamu sudah bisa bekerja,” jawab Zea dengan tersenyum ramah.
“Alhamdulilah. Terima kasih banyak, Mbak,” ucap syukur Sara karena ia bisa diterima kerja di toko kue tersebut.
Sara kembali termenung. Ada perasaan lega karena ia sudah mempunyai pekerjaan. Namun, di sisi lain, ia juga bingung mau tinggal di mana untuk sementara waktu.
“Kamu mikirin apa? Belum punya tempat tinggal?” tanya Zea pada Sara. Tampaknya sedari tadi Zea sudah memperhatikan gerak-gerik, dan raut wajah Sara yang sudah bisa dibaca isi pikirannya.
“Iya, Mbak. Saya belum punya tempat tinggal,” kata Sara dengan nada merendah. Kemudian, kembali menatap wajah Zea.
“Tenang saja, di sini ada messnya, kok. Kalau kamu mau, bisa tidur di kamar belakang.'' Zea menunjuk letak kamar menggunakan jari telunjuknya.
“Benarkah, Mbak?” tanya Sara setengah tidak percaya.
Zea mengangguk pelan. ''Iya, mana mungkin aku berbohong.''
“Terima kasih banyak, Mbak, “ ucap Sara melanjutkan perkataannya yang belum sempat selesai. Wajah Sara pun terlihat kembali normal.
“Kamu bisa tempati sekarang. Oh ya, kamu pasti belum makan, kan? Ini ada beberapa kue yang sudah melebihi kadar penyimpanan, bisa kamu makan kalau memang mau. Jangan khawatir, masih layak untuk dimakan, kok.” Zea menyodorkan beberapa kue yang tidak bisa dijual kembali keesokan harinya.
Sara melihat satu per satu dari kue tersebut, ada brownis, kue isi cokelat dengan toping chococips, kue gulung, kue keju parut, serta dua biji donat dengan toping meses dan keju. Sebelum mengambil, ia membayangkan terlebih dahulu bagaimana kelezatan kue-kue itu. Karena sebelumnya, ia tidak pernah mencicipi salah satu dari mereka.
Kemudian, Sara mengambil kue isi cokelat sebagai makanan pembuka. Lalu menggigitnya secara perlahan sambil menikmati rasa manis isian cokelat yang lumer di dalamnya. Selanjutnya, ia memakan kue parut keju. Jujur saja, ini pertama kalinya ia merasakan yang namanya keju. Sara terlihat begitu lahap hingga tanpa disadari, semua kue tersebut berhasil ia habiskan dalam sekejap.“Uhmm, lezatnya,” gumam Sara sambil mengelus perutnya yang semakin buncit.
Tidak lama kemudian, ia segera menuju ke kamarnya yang berada di bagian paling belakang dengan diantar Zea. Kamar tersebut berada di bagian belakang, tepatnya di sebelah kamar mandi karyawan. Kamar yang hanya memiliki luas 2,5x2,5 meter persegi itu cukup bersih, dan rapi. Kamar tersebut memiliki dinding berwarna biru muda, dengan sebuah lukisan angsa putih yang menempel di dinding atas ranjang tidur.
“Ini beneran kamar saya, Mbak?” Sara sedikit heran kenapa kamar yang disediakan untuk seorang karyawan begitu bagus, dan rapi, bahkan sangat bersih.
“Beneranlah, Mbak. Ada yang salah?” tanya Zea kepada Sara.
“Enggak, kok, cuma saya heran saja, kenapa kamarnya bisa sebersih ini, bahkan meskipun sederhana, detail kamar ini bisa dibilang cukup tertata,” ucap Sara sambil menunjukkan raut muka keraguan.
“Sebenarnya pemilik toko ini orangnya masih muda, tampan dan baik. Meskipun sikap dia itu agak kaku, tetapi sangat memperhatikan nilai kemanusiaan. Ia sengaja memberikan fasilitas lebih di kamar ini karena ia pikir kenyamanan saat tidur adalah hal yang sangat penting,” tutur Zea menjawab pertanyaan yang sempat mengganggu pikiran Sara.‘Ehm, baik sekali, ya, bosnya,' ucap Sara dalam hati. Ia juga berusaha membayangkan sosok seperti apa bosnya itu.
Di lain sisi, ia begitu tertarik dengan prinsip yang dimiliki bosnya. Terlebih lagi ia masih muda, dan tampan. Tidak hanya ketampanannya saja yang ingin ia ketahui, tetapi juga sosok manusia yang bisa memanusiakan manusia.
Zea pergi meninggalkan Sara sendiri, ia menyerahkan tanggung jawab penuh untuk mengelolah kamar itu, kepada Sara.
Sara mengeluarkan semua isi tasnya, lalu menata semua bajunya di dalam lemari. Lemari tersebut sangatlah kecil, untung saja pakaian yang ia bawa tidaklah banyak, jadi tidak memakan banyak tempat.
Tangan Sara tiba-tiba terhenti ketika memegang boneka panda miliknya. Ia begitu mengingat masa-masa bersama boneka tersebut di rumahnya. Sebenarnya sampai sekarang, ia tidak tahu siapa yang memberikan boneka tersebut untuknya. Yang ia tahu, boneka tersebut sudah bersamanya semenjak ia kecil.
Dibilang rindu, tetapi merindukan siapa. Kenangan apa yang harus dirindukan? Begitulah yang ada di benaknya saat ini. Air mata dari kedua sudut matanya jatuh seketika secara bersamaan. Jika tidak ada kenangan yang harus dirindukan, barangkali ia merindukan seseorang yang ingin dipeluknya.
‘Ah, sudahlah,’ katanya dalam hati sambil menguatkan dirinya sendiri.
Ada hal yang harus ia sadari bahwa ada atau tidaknya ia di rumah, tidak akan membuatnya menjadi berharga di mata orang tuanya sendiri. Kedua matanya terpejam secara perlahan bersama bekas cucuran air mata yang masih menempel di kedua pipinya. Mungkin, kini pikiran alam bawah sadarnya sudah melayang entah sampai mana.
**
Keesokan harinya.
Ini menjadi hari baru untuk Sara. Sara si gadis muda yang lemah, kini tidak akan ada lagi. Karena ia akan bertempur dengan dunia yang sesungguhnya. Ia segera mengenakan pakaian putih dengan sentuhan batik berwarna cokelat di bagian ujung lengan, serta model kancing baju yang terpasang menyamping.Kemudian, ia juga mengenakan celana leggings hitam, ditambah kain warna cokelat yang diselempangkan di bagian pinggulnya. Sungguh ini dress code toko yang sangat detail, dan terlihat begitu cantik bagi siapa saja yang memakainya.
“Permisi, mau beli kue yang mana, Mas?”
Seorang laki-laki berahang tegas sedang berdiri di depan etalase kue. Melihat hari yang masih sangat pagi, Sara pikir kalau laki-laki itu adalah salah satu pelanggan di toko ini.
“Kamu karyawan baru?” tanya laki-laki tersebut pada Sara. Ia menatap Sara dengan tajam.
Sara menjadi salah tingkah, dan bingung.
“Panggil kepala toko kamu sekarang!” perintah laki-laki tersebut dengan menganggat jari telunjuknya.
Mendengar hal itu, Sara sontak terkejut, lalu segera memanggil Zea untuk menemuinya. Langkah Sara begitu cepat, napasnya tersengal-sengal karena ia sedikit berlari. Sedangkan Zea, ia pun segera mengikuti Sara dari belakang.
Zea menatap orang itu dari belakang, ia merasa tidak asing lagi dengan fisik laki-laki itu. Setelah membalikkan badan, alangkah terkejutnya Zea kalau orang yang Sara maksud adalah Amar, yaitu bosnya sendiri.
“Maaf, Pak. Saya tidak tau kalau Bapak datang ke sini, jadi tidak ada persiapan.” ucap Zea, terlihat begitu sungkan.
“Sara, ini Pak Amar, bos kita,” tutur Zea sambil melihat ke arah Sara.
“Maaf, Pak, tadi saya ….”
“Lupakan,” ketus Amar sambil memalingkan wajahnya.
“Kamu di sini anak baru, jadi harus berhati-hati. Kalau tidak tau, tanya. Jangan sampai kamu melakukan kesalahan yang membuat pelanggan saya kecewa. Saya tidak suka kesalahan, apalagi kecerobohan,” kata Amar. Ia menatap tajam wajah Sara. Meskipun ia memiliki bibir yang tebal, ia sangat pandai mengecam orang lain dengan sangat mudah. “Baik, Pak, saya mengerti,” jawab Sara seraya menunduk. ‘Dasar orang songong,’ gerutu Sara dalam hatinya. Sara tidak habis pikir dengan sifat bosnya yang begitu angkuh. Ternyata ekspektasinya terlalu berlebihan, ia pikir bosnya adalah orang yang baik hati dan ramah, kenyataannya adalah orang terangkuh yang pernah ia temui. “Pergilah, saya mau berbicara dengan Zea!” perintah Amar kepada Sara. Rupanya ia tidak ingin pembicaraannya dengan Zea didengar oleh orang lain. Lagi pula, Sara juga tidak berselera m
Rumor mengenai keberadaan Sara membuat para pembeli banyak yang berdatangan, dan menarik simpati banyak orang, sudah sampai di telinga Zea. Raut wajahnya pun menggambarkan kecemasan tanpa sebab, sesekali berusaha menarik napas, lalu membuangnya. Bersikap biasa-biasa saja menjadi jalan ninja agar tidak terlihat cemas. ‘’Bagaimana mungkin hanya karena seorang pelayan … apa dia mempunyai ilmu marketing yang jauh di atasku?’’ Tanya Zea pada dirinya sendiri, setengah tidak percaya dengan kenyataan yang ada di depannya. Keberhasilan Sara dalam menarik minat pembeli, menciptakan teka-teki khusus untuk Zea. ‘’ Apa cuma karena dia cantik? ’’ Lagi-lagi ia bertanya pada diri sendiri. Tidak dapat dipungkiri, bahwa diam-diam dirinya juga mengakui kecantikan Sara. Bahkan sesekali ia membandingkan dirinya sendiri dengan Sara. Namun tetap saja, ia tidak
‘’Mas, are you okay? Hallo!!’’ ‘’Oh ya, ini mbak uangnya!’’ Dengan segera Anda menyulurkan uang berwarna biru tua, yang ia ambil dari dalam dompetnya.Kali ini, matanya masih tidak bisa terpental dari wajah Sara. Meskipun Andra melamun, ia tetap sadar dan mendengar dengan jelas nominal yang Sara ucapkan tadi. ‘’Terimakasih,’’ ucap Sara pada Andra dengan sedikit mengukir senyum di bibirnya.Mempunyai alis tebal berwarna hitam pekat, justru semakin menghiasi wajah Sara. Bagi Andra, setiap kali Sara tersenyum, setiap itu juga ia merasa jatuh hati berulang kali. Sebuah bibir yang memiliki warna merah merekah, membuat senyuman itu terlihat seperti bunga mawar yang baru saja mekar.Sebenarnya ada tanda tanya yang tertanam di benak Sara saat ini, mengenai sikap Andra yang seringka
Sara memberikan handphone itu kepada Andra, ia juga mengetahui kalau handphone yang ia temukan bukanlah barang murah, tentu saja ia sangat berhati-hati untuk menjaganya, sampai pemilik asli handphone tersebut datang untuk mencarinya.Sara bukanlah orang yang cacat teknologi, ia sangat tahu bahwa brand terkenal yang berpusat di California itu, tentunya mempunyai harga belasan juta. Terlebih lagi handphone tersebut menyongsong type terbaru di kelasnya. Di lain sisi, Sara cukup pintar untuk menelitik sesuatu berdasarkan pengamatannya.Dengan lihainya, Andra sengaja mengecek handphone miliknya dengan detail, ia tidak mau Sara sampai curiga kalau sebenarnya dirinya hanya berpura-pura. ‘’Aku akan membalas budi, dengan memberikan handphone yang serupa seperti yang kamu temukan,’’ tutur Andra
‘’Ada apa ini? Suara kalian kedengaran sampai dalam,’’ tanya Zea yang hadir diantara mereka. ‘’Ini nih, Kak, salah satu karyawan di toko ini ada yang jadi pencuri,’’ ucap Ratri sambil melempar lirikan tajam kepada Sara, gadis tersebut seakan-akan memberi kode kakaknya bahwa yang ia maksud sebagai pencuri adalah seseorang yang berada di sampingnya itu. ‘’Omong kosong! Hentikan omong kosongmu itu, apa yang kamu tuduhkan sama sekali tidak benar,’’ ucap Sara sambil mengangkat jari telunjuknya. Zea menatap Sara dengan ketat, sepertinya ia ingin membaca pikiran Sara melalui kedua matanya. Sementara itu, kosentrasi Zea mend
‘’Jika kamu tidak salah, lalu dari mana kamu mendapatkan handphone itu, Nona?’’ Amar rupanya tidak menelan mentah-mentah omongan dari Ratri, untung saja ia masih bisa berusaha adil, dan menjadi penengah mereka. Hebatnya lagi, dalam situasi seperti ini, ia masih bisa mempertahankan kewibawaannya dengan tidak mudah terpancing dengan hasutan orang. Zea masih terdiam membeku, sorot matanya kali ini menggambarkan rasa kagum pada hatinya. Sifat Amar yang tegas, cara bicaranya yang tertata, semakin memperlihatkan bahwa ia adalah orang yang berpendidikan.‘’Saya mendapatkan Hp ini dari seorang pria, Pak! Dia adalah salah satu customer tetap toko ini. Kemarin handphone dia ketinggalan di sofa depan, dan aku tidak sengaja menemukannya. Selang beberapa jam,
‘’Saya yakin, pencuri yang sebenarnya adalah orang yang baru saja bekerja di sini.’’ Semua orang menatap ke arah Ratri, dan Sara. Karena dibandingkan dengan yang lain, mereka berdua adalah keluarga baru di bakery ini. ‘’Apa dia tidak mempercayai penjelasanku?’’ batin Sara dalam hatinya. Yang ia takutkan saat ini adalah kehilangan pekerjaan, sekaligus tempat tinggalnya, karena dituduh mencuri. Jika hanya dituduh oleh Ratri, ia tidak terlalu kepikiran. Yang jadi masalah adalah ketika Amar, sang pemilik toko meragukan kejujurannya.Imajinasinya bekerja dengan bebas, ia membayangkan bagaimana sesuatu yang tidak-tidak bisa menimpa dirinya. Namun ia tetap bersikap tenang, dan yakin kalau Tuhan akan berpihak kepada orang yang benar. Bahkan ia juga bersiap-siap jika nantinya harus menghadi
‘’Tidak perduli apa alasanmu, karena tidak ada pembenaran untuk suatu kejahatan,’’ Amar sangat geram dengan sikap Zea yang seolah-olah membenarkan perbuatannya itu.Dipandanginya wanita berkulit sawo matang itu, ada perasaan iba di hati Sara. Meskipun perbuatannya salah, bagaimana pun juga dia adalah orang yang pertama kali menerima kedatangan Sara. Namun dirinya tidak bisa apa-apa, membela pun percuma, karena memang Zea sudah terbukti salah. Seandainya Sara tahu kalau sebenarnya Zea juga tidak menyukainya, dan mempunyai niat buruk kepadanya, belum tentu perasaan ibanya masih ada. Bisa jadi alasan tersebut bisa mengubah perasaan Sara menjadi rasa benci. &n
Di balik dinding bertirai tebal terlihat dua orang laki-laki yang sedang sibuk membicarakan suatu hal. Tentu sudah menjadi kebiasaan Amar dan asistennya itu untuk mengisi waktu senggangnya dengan mengumpulkan beberapa kalimat obrolan.Anton mendekat ke arah Amar, tidak lama kemudian ia mencoba mengatakan sesuatu yang sedari tadi sudah ia pikirkan.‘’Apa kita perlu mengawasi nyonya di sana?’’ tanya Anton. Ia tidak tega melihat Amar yang seringkali hilang fokus karena terlalu memikirkan Sara. Meskipun Amar tidak pernah bercerita tentang hal yang ia pikirkan terus menerus, Anton tentu yakin tidak akan salah mengira.Amar masih terdiam, lalu tertegun beberapa saat tidak menghiraukan perkataan asistennya itu.Hingga kemudian laki-laki bertubuh kekar itu memejamkan kedua matanya, sambil terus mulai mempertimbangkan saran dari asistennya.‘’Tidak perlu. Dia tidak boleh sampai risih karena kita mengawasinya
Sara berjalan di belakang Amnu, ia mengikuti langkah pria berusia 28 tahun itu. Kemudian Amnu berhenti di meja makan tepat di sebelah pojok belakang. Amnu menarik salah satu kursi berlapis kain warna putih, lalu mempersilahkan Sara duduk dengan nyaman. ‘Tidakkah berlebihan?’ tanya Sara dalam hati.Sara memesan segelas air putih dingin, sepiring nasi, dan sepiring cumi saus tiram. Sedangkan Amnu memesan roti panggang, dan jus jeruk. Keduanya hanya saling bertatapan, keadaan terasa begitu hening. Berulang kali Amnu mencuri pandang pada wanita di depannya itu. Dua pelayan wanita berambut pendek datang dengan membawa menu yang sudah mereka pesan. Lalu menaruh makanan tersebut dengan hati-hati. Kemudian memberikan selembar kertas yang berisi total tagihan makanan
Amnu sangat cerdas, banyak sekali prestasi yang sudah ia dapatkan. Untuk menjadi seorang SPV tentu harus memiliki kemampuan yang mumpuni.Sebelumnya pria itu hanya sales biasa, karena penjualannya yang sangat baik setahun belakangan ini, bahkan seringkali menerima banyak penghargaan dari beberapa perusahaan yang pernah ia singgahi, membuat dirinya bisa menduduki karir seperti sekarang ini. Lagipula saat diadakannya promosi jabatan, 80% suara memihak kepadanya.Orang seprofesional Sara, mustahil mau diajak makan berdua selain urusan pekerjaan. Alasan yang ia buat begitu tepat, terlepas benar atau salah, setidaknya Sara sudah menyetujui ajakannya itu. ‘’Kalau sudah tidak ada yang mau dibicarakan, saya mau kembali bekerja, Pak!’’ ucap
‘’I-iya, Tuan!’’ Bu Ira tersentak, lalu segera menuju ke kamar mandi dengan perasaan semburat. Ini pertama kali Amar memakinya dengan sangat kasar. Selama ini Bu ira selalu mencari muka kepada Amar, orang lain yang bekerja, namu namanya yang dipuja. Itulah yang menyebabkan Amar begitu mempercayai Bu Ira.Waktu terasa berhenti. Tidak ada satu pun orang yang berani mengajak Amar berbicara. Sedangkan Anton masih setia berdiri tepat di belakang Amar.Kemudian dalam hitungan detik, Sara dan Vilda telah sampai di hadapan Amar.‘Kenapa dia ada di sini?’Hati Sara berdecak, ia terkejut ketika melihat seseorang yang berada di depannya. Dia suaminya, sungguh nyata berada di hadapannya saat ini.Vilda tentu tau sedang berhadapan dengan siapa, sedangkan Sara hanya mengenal bahwa itu adalah suaminya. &l
’Mbak, Vilda?’ Kata Sara dalam hati. Mama muda yang ia temui sewaktu berangkat ke Surabaya, sekarang bisa bertemu kembali dengan keadaan yang berbeda. Wanita itu terlihat lebih terawat dari sebelumnya, apalagi kulit wajahnya begitu bersih, dan bersinar. Tidak! Mungkinkah dia operasi wajah? Bu Ira mengarahkan mata tajamnya ke sumber suara. Dengan bengis mengernyitkan bibirnya. ‘’Oh, jadi kau teman BA baru ini, ya? Baiklah kau bisa membantunya kalau merasa kasihan dengannya!’’ ketus Bu Ira. Lalu pergi meninggalkan mereka berdua. Perlahan Sara mulai mendekat ke arah Vilda. Dipandanginya wanita itu dengan saksama, hanya untuk memastikan dia wanita di dalam bus itu, atau bukan. ‘’Kamu … Mbak Vilda, bukan?’’ tanya Sara dengan merapikan lengan bajunya. &n
Ada dua orang yang sedang memperhatikan mereka dari jarak jauh, mereka bersembunyi di semak-semak. ‘’Kak Zea? dan … Ratri?’’ ucap Sara terkejut. Bagaimana bisa kedua orang itu bisa berada di sini. Tiga tahun tidak bertemu mereka, rasanya ada rindu di dalam hati. Meskipun Ratri pernah memperlakukan Sara dengan cara tidak baik, bagaimana pun juga ia adalah temannya. PROKK … PROKK Amar menepuk kedua tangannya, ia sedang mengkode dua wanita itu. ‘’Kemarilah!’’Kedua wanita itu sedang menghampiri Amar, dan Sara. Rupanya mereka berdua yang telah membantu Amar untuk mempersiapkan kejutan untuk Sara. Tidak
‘’Lalu?’’ Sara terlihat begitu tertarik mendengar cerita Amar.Amar menyeka keringat yang menetes dari dahinya, bahkan untuk mengingat masa lalunya itu, ia harus mempersiapkan mentalnya terlebih dahulu.Amar melihat ke arah Sara. Bagaimana pun juga gadis itu adalah istrinya, dia berhak tahu cerita hidup suaminya sendiri. Ia juga tidak tega ketika memandang wajah Sara yang sangat antusias mendengarkan ceritanya. ‘’Semua sudah hancur! Wanita jalang itu telah merebut ayahku, suami dari mamaku.’’ Amar mencengkeram tangannya sendiri dengan kasar, ia terlihat begitu murka ketika mengingat kembali cerita hidupnya.Sara tidak berani berkata apa-apa, ia tidak ingin membuka luka lama dalam hati Amar. Lagipula in
Guyuran air segar dari atas membasahi tubuh mereka berdua. Dua pasang tangan mengambil posisi untuk meratakan sampo di kepala mereka masing-masing. Kedua tangan Sara memijat dengan lembut baluran sampo di atas kepala Amar. Begitu pula sebaliknya. Sambil memainkan busa yang tertumpuk di badan mereka masing-masing.Selama tiga tahun menikah, ini adalah pertama kalinya mereka mandi berdua. Terlihat begitu intim di bawah guyuran air. Sebuah tawa lepas yang melandas di bibir mereka, membuat suasana semakin terasa milik mereka berdua. Tidak tahu kenapa, Sara merasa bersalah karena telah berburuk sangka kepada suaminya saat itu. Terlebih lagi ia sudah memutuskan untuk bekerja. Bagaimana pun juga Sara harus tetap melanjutkan pekerjaannya itu.Sara segera berkemas, memakai pakaian yang sudah ada di dalam koper.
Sara terus memejamkan mata untuk merasakan kejantanan suaminya. Rasanya Sara tidak dapat lagi menahan tangannya sendiri untuk tidak bergerak. Dengan bantuan sepasang bola matanya, ia mulai meraba leher Amar yang ditumbuhi bulu-bulu halus. ‘’Cepat Sayang …,’’ ucap Sara sambil mencengkeram erat punggung Amar dengan sepuluh jemarinya. Sara semakin mengerang, lidahnya bertingkah liar, mengecup, dan saling bertukar saliva dengan suaminya itu. Suara kecup dan hentakan saling beradu di dalam ruangan bertirai putih itu.Amar semakin mempercepat gerakannya. Memaju mundurkan pinggulnya agar segera sampai dengan tujuan akhir. Dirinya juga bisa merasakan bahwa senjatanya itu akan segera meledakkan cairan kental yang ma