PERNIKAHAN
- Tidak Percaya Diri "Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Bram yang mendapati Puspa duduk sambil menulis sesuatu di buku. Namun setelah menyadari kehadirannya, Puspa buru-buru menutup bukunya. Tentu Puspa sangat terkejut. Apalagi dia hanya menyalakan lampu belajar yang menyinari meja saja. Kehadiran Bram yang berdiri menjulang di belakangnya membuat kaget. "Nggak apa-apa," jawab Puspa gugup. "Sudah malam. Tidurlah. Kamu sedang sakit, kan? Jangan tidur di luar. Aku tidak ingin anak-anak terganggu dengan permasalahan antara aku dan kamu." Bram kembali melangkah ke kamarnya setelah selesai bicara. Untuk beberapa saat, Puspa diam menatap dinding yang gelap di depannya. Lantas berdiri dan masuk kamar yang sama. Berbaring miring seperti biasa. Bram memikirkan perasaan anak-anaknya, bukan perasaannya. Wajar bukan, dirinya hanya orang baru yang saat ini dianggap sebagai penipu. ***L*** "Kita tahu kan Pak Bos gimana orangnya. Dia paling nggak suka dicurangi seperti semalam. Bisa-bisanya mereka ngirim beras yang sudah kutuan padahal sudah dibeli dengan harga tinggi. Lihat saja, orang itu nggak bakalan bisa memasukkan barang ke gudang kita lagi. Bos kalau sudah dibohongi nggak bakalan ngasih kesempatan." "Sebenarnya bos kita itu orangnya sangat fleksibel dan baik. Barang belum ada sudah di kasih uang muka. Nggak menetapkan batas waktu yang penting barang dikirim sesuai quota meski secara bertahap. Kalau sudah gini ya susah. Kemarin saja bos sudah bilang kalau memutuskan kontrak kerja dengan mereka." "Bodohlah mereka ini. Jangan harap dikasih kesempatan lagi. Yang penting kita profesional, si bos paling royal orangnya." "Paling royal dan loyal meskipun nggak banyak bicara. Tapi jangan harap diberikan peluang lagi setelah berani macam-macam sama si bos." Sambil menyiapkan bekal di lunch box untuk Sony, Puspa mendengarkan percakapan dua kuli yang sedang minum kopi di teras dapur. Mereka duduk di dekat jendela, makanya Puspa mendengar apa yang mereka bicarakan. Dua orang itu kebetulan habis jaga malam di gudang. Dari gambaran sekilas, ia bisa menyimpulkan kalau Bram tidak akan memaafkannya. Dia tidak jujur pada suaminya dan itu yang tidak disukai Bram. Mungkin setelah permasalahan pekerjaan selesai, Bram baru mengajaknya bicara. Masih ada waktu untuk bernafas lega. Setidaknya kekacauan yang bakalan terjadi di dua keluarga bisa tertunda. Ia juga bisa mengulur waktu dan berpikir bagaimana untuk menghadapi kemarahan kedua orang tuanya. Apa nanti Bram akan berterus terang pada mama serta kedua orang tuanya. Tentang kondisi Puspa, tentang kebohongan yang disembunyikan. Kemudian ayahnya akan tahu, terus bertanya pada putrinya. Jika Puspa jujur, ia takut ayahnya akan bertindak di luar batas. Semuanya akan hancur. Akan gempar seluruh desa. Bahkan sampai ke mana-mana. Puspa tidak bisa membayangkan itu. Pak Fathir akan melakukan apapun demi membela keluarganya. Lelaki yang siap menerjang apa saja jika keluarganya disakiti sedangkan pihaknya tidak bersalah. "Selamat pagi, Bunda." Sony menyapanya dengan ceria. Membuyarkan ketakutan Puspa. "Selamat pagi juga, Dek." Puspa tersenyum lantas mengambilkan piring dan menuangkan nasi. "Mau lauk apa?" "Ayam goreng sama bawang goreng saja, Bun. Kasih sambal kecap dikit." "Oke." Puspa menuruti permintaan Sony. Vanya muncul dan meletakkan tas di kursi. Gadis itu mengambil piring lain meskipun sudah disediakan oleh Puspa di atas meja. Puspa memilih diam daripada menyapa Vanya. Dia tidak ingin menambah beban dalam dada. Ini saja rasanya sudah tidak kuat. Semalaman dia tidak tidur. Noktah hitam dalam hidupnya kembali terbayang begitu jelas dan menyakitkan. "Bunda, kenapa?" Sony yang peka beranjak menghampiri Puspa. Tatapannya tampak sangat khawatir. "Nggak apa-apa. Yuk, dilanjut sarapannya. Biar bunda potongkan buah untuk dibawa ke sekolah." Puspa menarik napas dalam-dalam. Kemudian membuka kulkas untuk mengambil buah pir dan semangka. "Bunda, istirahat saja kalau masih sakit." Sony masih juga khawatir. Sementara Vanya menatap sinis pada ibu tirinya. "Bunda udah baikan." Puspa tersenyum pada Sony. Setelah anak-anak selesai makan dan berangkat ke sekolah, Bram baru turun. Dia ketiduran lagi sehabis salat subuh. Terlihat sangat lelah. Tergesa Puspa membuatkan jahe hangat tanpa gula dan mengambilkan nasi. "Mas, mau lauk apa?" "Nanti aku ambil sendiri."Puspa meletakkan piring di depan suaminya. Dia juga duduk untuk sarapan. Kalau tidak ingat harus minum obat, rasanya malas untuk makan."Mas, aku minta waktu untuk bicara. Nggak harus sekarang, selonggarnya mas saja." Puspa bicara pelan dan hati-hati. Sekarang atau nanti, ia harus memberikan penjelasan. Entah diterima atau tidak. Namun Puspa sangat pesimis melihat sikap Bram yang dingin. Bram hanya mengangguk tanpa bersuara apapun. Makan belum selesai, seorang karyawan kantor muncul dari pintu dapur dengan wajah tegang. Tampaknya ada yang urgent.Pria kepercayaan Bram masuk setelah dipanggil. Ternyata truk yang mengirimkan barang ke pelabuhan mengalami kerusakan di jalan tol. Bram langsung meninggalkan meja makan tanpa menghabiskan nasinya.Puspa menghela nafas panjang. Nasi serasa enggan untuk ditelan. Apakah Bram akan mendengarkannya nanti? Apa dia akan ditinggalkan atau dirinya yang harus pergi dengan kerelaan hati. Masih terbayang kemegahan pernikahan mereka dua bulan yang lalu.
PERNIKAHAN - Patah Hati Pria itu merokok dengan tatapan menerawang. Mungkin tengah memperhatikan foto keluarga yang berada tepat di dinding depannya. Atau memperhatikan foto mendiang sang istri.Puspa mundur kembali ke kamar dan duduk di tepi pembaringan. Nyalinya menciut. Dia benci dengan situasi seperti ini. Pergi ke mana keberaniannya tadi. Rasa kepercayaan diri benar-benar memudar di hadapan lelaki yang bergelar suami.Ditariknya napas dalam-dalam. Jutaan kata yang terangkai buyar sudah. Yang tersisa hanya embun di kelopak matanya.Beberapa lama hanyut dalam rasa pedih dan sakit, akhirnya ia beranjak meraih ponsel yang berpendar di meja rias. Netranya sedikit berbinar melihat siapa yang mengirim pesan. Dita, teman kuliahnya dari Surabaya.[Apa kabar, Puspa? Waduh yang pengantin baru jarang banget mau nongol di grup sekarang. Lagi nikmatin bulan madu ya, Neng? Cie cie cie.][Hmmm, ganteng banget suamimu. Dewasa dan pasti pengertian kan? Tajir pula tuh. Bisa ngemong kamu. Pantesan
[Ada apa sih, Pus? Kita kenal sudah lama. Aku tahu bagaimana kamu. Dari gadis ceria, tiba-tiba menjadi menutup diri. Kamu bukan korban perjodohan dari orang tua, kan? Ayah ibumu bukan orang seperti itu, deh. Mereka sangat terbuka orangnya. Beberapa kali kau ajak aku pulang ke desa dan nginap di sana, Pak Lurah sangat baik.][Puspa, apa ada yang kamu rahasiakan dari pertemanan kita?][Nggak ada, Say. Aku baik-baik saja. Mungkin aku dan Rayyan nggak berjodoh. Itu saja. Btw, kamu kerja di mana sekarang?][Aku masih nunggu panggilan. Entah diterima apa nggak. Doain diterima ya, Say.][Iya. Aku doain. Udah ya, Dit. Besok kita sambung lagi.] Buru-buru Puspa menelungkupkan ponsel di nakas tanpa menunggu balasan Dita. Sebab ia mendengar langkah suaminya ke arah kamar. Puspa segera menarik selimut dan meringkuk seperti bayi. Bram tidak boleh curiga lagi. Dan ia juga tidak bisa bicara dengan perasaan kacau begini. Kacau karena mengetahui betapa Rayyan patah hati karenanya.Pintu kamar terbuka.
PERNIKAHAN - MalamSuara gedebug mengagetkan Bram. Spontan pria itu meloncat dari tempat tidur. Puspa merintih sambil memegangi lengannya yang sakit."Puspa, kamu kenapa?""A-aku nggak apa-apa." Puspa tergagap sambil bangkit. Bram berusaha meraihnya. "Aku bisa sendiri, Mas. Jangan sentuh. Aku kotor untukmu." Puspa menghindari tangan yang hendak membantunya.DEG. Bram terkesiap oleh kalimat itu. Sejenak terpaku menatap Puspa yang terlihat sangat berantakan. Ucapan Puspa terasa nyeri di dadanya. Dalam remang lampu kamar, Bram melihat wajah istrinya yang sembab. Rambutnya masai terurai sebagian menutupi wajah."Kenapa bisa jatuh?""Nggak apa-apa," jawab Puspa canggung. Entahlah, kenapa dia bisa jatuh. Dia tadi hendak bangun, perasaan kaki sudah menapak di lantai, ternyata masih jauh dan akhirnya dia tersungkur."Kamu mau ke mana?""Aku mau ngambil air minum." Tak ada lagi kata saya, yang ada sebutan aku.Bram mengikuti istrinya yang keluar kamar dan mengambil air minum dari dispenser ya
Puspa jadi serba salah. Setiap kali papa dan anak bersitegang, itu karena dirinya. Apa dia salah jika menegur? Hari ini memang ada acara bebas di sekolahan Vanya. Acara bazar di hari ulang tahun sekolahan itu.Kalau bukan dia yang menegur, pasti di sekolah nanti akan ditegur juga oleh gurunya. Justru orang tua yang malu kalau begini. Dikira tidak mendidik anak dengan baik."Mas, sehabis nganterin Sony ke sekolah. Aku mampir ke rumah ibu." Puspa bicara sambil menyiapkan piring untuk suami dan anak-anak di meja."Iya," jawab Bram singkat."Jangan lupa, aku ingin ngomong serius dengan, Mas."Bram diam memandangi istrinya yang sedang menyiapkan sarapan.Kemudian Sony yang menyeret tas sekolahnya datang dan duduk di kursi. Disusul Vanya yang sudah berganti memakai kaus longgar.Saat Bram menasehati anak-anaknya, Puspa diam. Di matanya, Bram adalah seorang ayah yang baik. Selalu mengajarkan anak-anak untuk sopan dan jujur. Makanya Bram tak terima saat Puspa tidak mau jujur padanya.***L***
PERNIKAHAN - Khawatir Benda-benda tajam, darah, dan penjara. Menjadi sesuatu yang menakutkan bagi Puspa selama ini. Andai semua terungkap, itulah yang akan terjadi.Puspa tahu ayahnya seperti apa. Kalau sampai ia menceritakan semuanya. Habis sudah. Keluarganya hancur berantakan. Rumah tangga kakaknya dipertaruhkan. Lalu apa dia sanggup diam menahan semua luka dan penderitaan ini sendirian?Jika sang ayah masuk penjara, apa tega Puspa melihat lelaki itu menghabiskan masa tuanya di sana. Tidak. Puspa sangat sayang dengan ayahnya. Lalu sampai kapan dia sanggup diam, sedangkan lelaki yang telah menghalalkannya sekarang mempertanyakan kesuciannya, kejujurannya. Puspa tersedu-sedu. Nafasnya sampai serasa tercekik mengingat bayangan peristiwa kelam itu. Lelaki kejam itu tanpa ampun mengambil paksa kesuciannya. Hanya karena tidak terima saat cintanya ditolak.Ditutupnya wajah dengan telapak tangan. Tak sanggup mengingat kembali kejadian itu.***L***"Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam." B
Tentu saja Bram kaget dengan permintaan mamanya Sandra. Sedikit pun dia tidak punya pikiran untuk menikahi kerabat dari Sandra. Entah itu Santi atau keluarga yang lainnya."Maaf, Ma. Saya belum kepikiran hendak menikah lagi. Saya fokus ke pekerjaan sama anak-anak saja dulu," tolak Bram halus."Sandra sudah dua tahun lebih meninggal. Anak-anak pasti butuh sosok ibu. Tapi mama harap, Nak Bram bisa mempertimbangkan hal ini. Supaya hubungan kita nggak terputus."Bram tersenyum dan tidak berkata apapun. Setahun kemudian ia ditanyai lagi, jawaban Bram tetap sama. Dan tahun depannya, ia mengabari kalau hendak menikah dengan Puspa. Mereka semua kecewa. Bahkan mamanya Sandra sempat marah. Namun setelah itu mereda dan minta maaf.Mereka masih tinggal di kota yang sama. Hanya saja beda wilayah.Lamunan Bram terganggu oleh ponsel yang berpendar. Temannya menelepon."Halo.""Hai, Bro. Kamu sudah berangkat?" Pertanyaan teman di seberang membuat Bram spontan berdiri. Kenapa dia sampai lupa kalau ada
PERNIKAHAN - PergiBram mengambil ponsel di saku celana untuk menelepon. Puspa pasti masih di rumah orang tuanya. Ternyata nomernya tidak aktif. Kenapa dia mematikan ponselnya?Tergesa Bram masuk ke kamar. Keringat sudah mengering, dia bisa langsung mandi dan menyusul Puspa. Hanya beberapa menit, Bram sudah selesai. Ketika hendak membuka lemari, ia melihat sebuah buku dan cincin milik Puspa menumpang di atasnya. Di meja rias.Melihat cincin yang tergeletak begitu saja membuat perasaannya sudah tak enak. Ada juga kartu ATM di sana. Dibukanya buku harian bersampul abu-abu. Langsung dibacanya tulisan di halaman paling depan.Assalamu'alaikum, Mas. Maaf, saat membaca tulisan ini. Aku sudah pergi dari kota ini. Maafkan kalau aku hanya mampu pamitan lewat coretan.Aku udah nggak sanggup berhadapan dengan Mas lagi. Rasanya aku sudah tidak memiliki harga diri, di hadapanmu.Mas, juga sangat sibuk sampai nggak punya waktu untuk mendengarkanku. Makanya kuputuskan saja menulis surat ini. Supa
PERNIKAHAN - Mendadak NikahMaya spontan membeku dan bertambah pucat. Apa dia tidak salah dengar. Namun lelaki di hadapannya ini tampak sangat serius. Maya menghela nafas panjang untuk menghilangkan debaran dalam dada."Dik, kemarin dokter bilang aku hanya kecapekan, sekarang kamu ingin membuatku jantungan? Jangan bercanda, deh!""Aku nggak bercanda, May. Sumpah!"Suhu tubuh Maya yang mulai normal, kini rasanya kembali panas dingin. Sama sekali dia tidak kepikiran lagi bisa kembali bersama Dikri, meski hubungan mereka membaik belakangan ini."Aku serius, May."Maya serasa menggigil. Dia memang mencintai Dikri, tapi sejak putusnya pertunangan mereka dan Maya menikah dengan laki-laki lain, ia berusaha melupakan perasaan itu. Mengubur harapannya. Ada hal-hal yang tidak dipahami oleh Maya tentang Dikri. Di mana lelaki itu tidak begitu peduli dengan hubungan mereka disaat masih terikat pertunangan. Maya pun sebenarnya merasakan hal itu, meski tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Mengun
Bu Ira menarik napas sejenak. Dia mengerti perasaan Dikri. Memiliki keluarga yang sempat hancur, punya masa lalu yang kelam, juga memiliki papa yang pernah menjadi narapidana, tentu membuatnya tidak percaya diri berhadapan dengan orang baru. "Mama pernah bilang. Mama akan merestui siapapun pilihanmu. Meski kamu memutuskan kembali pada Maya." Bu Ira berkata lembut dan tulus.Dikri lega. Memang restu mamanya yang paling utama. Tapi dia tidak mengenyampingkan papanya. "Kalau Papa bagaimana?""Papa sependapat dengan mamamu."Dikri manggut-manggut. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan lagi tentang kedua orang tuanya. Sekarang tinggal bagaimana mendekati Maya.Wanita itu sekarang terlihat menjaga jarak dan batasan. Tidak seperti dulu, yang tak segan mendekat pada Dikri.Kalau dulu Dikri terkesan mengabaikan, kali ini akan berusaha memperjuangkannya. Dengan restu kedua orang tua, membuatnya tambah bersemangat.***L***Satu bulan kemudian ....[May, bisa ketemuan sepulang kerja?] Pesan yang s
"Balikan saja kamu sama Maya, Dik. Toh dia pun sekarang single. Dia juga wanita yang baik."Dikri tersenyum samar. "Aku dukung kalau kamu balikan sama dia. Kurasa Om dan Tante pasti setuju.""Belum tentu Maya mau, Mas.""Jangan ambil kesimpulan dulu kalau belum dicoba. Kamu nggak harus bilang sekarang. Coba deketin dengan cara sering ngajak dia ketemuan. Ngobrol dan sempatkan mengirim pesan. "Kamu nggak perlu khawatir dengan rahasia kelammu. Yang tahu hanya Om, Tante, aku, Indah, kedua mertuaku, dan Bram saja. Bahkan papa dan mamaku sampai sekarang nggak tahu. Kami nggak mungkin akan bocor ke orang lain. Selama ini kami pun diam saja. Kalau pun pada akhirnya Maya tahu, aku yakin dia nggak akan mempermasalahkan. Apalagi kamu sudah berubah. Ayolah, deketin dia lagi." Irwan antusias mendukung.***L***"Aku ketemu Maya, Ma." Dikri bicara saat ia, papa, dan mamanya bersantai di teras depan rumah malam itu. Sambil menikmati ubi rebus dan teh panas."Di mana?" "Sudah dua kali aku bertemu
PERNIKAHAN - Nikah, yuk!Dikri memperhatikan seorang perempuan yang memakai setelan kantoran warna abu-abu berdiri di seberang jalan. Segera disusulnya Maya untuk diseberangkan. Karena lalu lintas sangat ramai."Kamu istirahat sampai jam berapa?" tanya Dikri saat mereka berjalan beriringan masuk ke rumah makan."Jam satu lebih tiga puluh lima menit. Tapi aku harus salat zhuhur juga."Mereka duduk dan langsung memesan makanan. "Kamu biasa makan siang di sini?" tanya Dikri."Nggak. Biasanya aku bawa bekal atau makan di kantin. Kebetulan hari ini aku nggak bawa karena tadi aku dan mama bangun kesiangan. Siang ini pas banget dapat traktiran." Maya terkekeh. Dia terlihat ceria daripada saat bertemu Dikri beberapa waktu yang lalu. "Oh ya, tadi kamu bertemu klien di mana?""Di Kertosono.""Setelah ini nanti langsung kembali ke kantor?""Iya. Kamu pulang jam berapa?""Jam empat. Kalau banyak kerjaan, kadang jam tujuh malam baru nyampe rumah.""Makan dulu, May." Dikri mempersilakan saat pra
Mereka berdua terdiam, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Maya memandangi suasana alun-alun yang selalu ramai di Minggu pagi.Meski mereka sudah berbincang-bincang, tapi Dikri tidak memberitahu bahwa ia pernah melihat mantan suami Maya bersama wanita lain di dalam mobil."Oh ya, kamu belum punya anak?""Pernikahanku sebenarnya dibilang baik-baik saja hanya dua bulan, Dik. Selebihnya kami pisah rumah hingga bercerai. Dia sudah membawa wanita lain ke rumah semenjak ketahuan selingkuh. Mungkin ini balasanku karena ninggalin kamu disaat sedang butuh dukungan.""Nggak, May. Jangan punya pikiran seperti itu. Anggap semuanya takdir." Dikri tidak ingin Maya punya pikiran demikian, karena dirinya juga bukan tunangan yang baik. "Nomer teleponmu masih sama?""Aku sudah ganti nomer semenjak menikah.""Boleh minta?""Iya."Keduanya menyimpan nomer masing-masing. Dilanjut berbincang hingga hari beranjak siang. "Sudah siang, aku mau pulang dulu, Dik. Kapan-kapan ketemuan lagi.""Kamu naik apa?"
Maya diam sejenak. Ada jeda yang panjang, Maya tidak tahu harus mulai dari mana. Wajah Maya tertunduk. Sejujurnya, sejak ia bercerai, ia kerap membayangkan jika takdir membawanya bertemu Dikri lagi. Namun itu sungguh tidak tahu diri. Dia yang tega memutuskan pertunangan mereka disaat Dikri sedang terpuruk."Dikri, aku …" Maya menarik napas dalam-dalam. "Aku tidak tahu harus mulai dari mana. Banyak hal yang terjadi dalam hidupku setelah kita ....""Setelah kamu menikah?" potong Dikri seolah tidak ada beban. Dia sudah melupakan dan tidak pernah dendam pada Maya setelah ditinggalkan.Maya mengangguk, menahan air mata yang mulai menggenang di pelupuknya. "Iya. Pernikahan itu nggak seperti yang kubayangkan. Setelah beberapa bulan, suamiku mulai berubah. Dia kasar, dan ternyata dia juga selingkuh. Aku malu cerita seperti ini sama kamu. Aku merasa sangat bersalah telah meninggalkanmu di saat-saat sulit demi menuruti keinginan orang tuaku."Kami memutuskan hubungan pertunangan waktu itu juga
PERNIKAHAN- Teman Lama"Kamu pakai baju seperti itu?" seloroh Bu Ira saat melihat Dikri keluar kamar hanya memakai kaus dan celana pendek."Iya, Ma. Memangnya kenapa?"Bu Ira tampak termangu sejenak. Kalau sang anak memakai baju seperti itu, berarti dia tidak sedang janjian sama cewek. "Oh, nggak apa-apa. Hati-hati di jalan. Kamu mau ketemuan sama temanmu di mana?""Di car free day, Ma.""Jam segini car free day sudah buyar, Dik." Bu Ira memandang jam dinding yang menunjukkan pukul setengah sembilan."Kami cuman mau ngopi sama ngobrol. Siapa tahu ada prospek bisnis yang bisa kujadikan sampingan.""Ya sudah.""Aku pergi dulu, Ma. Motornya kubawa. Assalamu'alaikum.""Iya, hati-hati. Wa'alaikumsalam," jawab Bu Ira seraya membereskan meja makan. Kecewa. Ternyata belum ada tanda-tanda Dikri dekat dengan perempuan.Motor Dikri melaju pelan di jalan desa pinggir sawah. Sinar matahari semakin terang, membuat embun di dedaunan perlahan-lahan menguap dan menghilang. Namun, kesejukan pagi masih
"Semoga kamu selalu sehat sampai lahiran. Mbak ikut bahagia, Pus." Netra Indah berkaca-kaca. "Aamiin." Puspa merangkul sang kakak. Sekali pun sudah ikhlas menerima kondisinya, tapi dalam hati Indah, pasti berharap bisa hamil lagi. Untung ada Denny yang sangat menghiburnya.Dalam kesempatan itu, mereka foto bersama-sama dengan seluruh keluarga. Bram menggendong A'im seraya memeluk pinggang sang istri. Di samping kiri dan kanan berdiri Vanya, Sony, orang tua mereka dan kerabat yang lain. Angin yang semilir dan bulan purnama di angkasa sana, seolah menjadi saksi kebagian Bram dan keluarganya.***L***"Siapa yang ngasih lapis Surabaya ini, Ma?" tanya Dikri yang baru keluar dari kamarnya. Mencomot satu potong kue dan memakannya. Biasa kalau libur kerja, habis salat subuh kembali tidur dan bangun sekitar jam delapan pagi."Jiya yang ngasih. Semalam baru datang. Tadi Rayyan juga mencarimu ke sini. Mama bilang kalau kamu belum bangun.""Dia masih di sini?" Bram melihat ke luar lewat pintu.
Rayyan mengangguk. "Jiya juga asli sini, Mas. Cuman kerjanya di Kediri. Kantornya bersebelahan dengan kantor saya." Rayyan mengulas sedikit kedekatan mereka, juga menyebutkan tempat tinggal Najiya. Bram yang asli kota angin, tahu desa tempat tinggal gadis itu.Pesanan mereka datang dan langsung makan sambil berbincang. Puspa lega, Rayyan sudah menemukan tambatan hatinya. Tidak terbelenggu lagi oleh kisah mereka yang tidak pernah kesampaian.Puspa menghindari bertemu pandang dengan lelaki itu. Karena binarnya masih terlihat ada cinta untuknya. Bram bisa membawa keadaan menjadi sangat nyaman dan hangat. Dia bertanya, juga menceritakan tentang kondisi perekonomian sekarang ini. Berbagi pendapat dengan Rayyan. Bram yang disangkanya kaku oleh Rayyan, bisa seramah itu dan cukup enak diajak berbincang.Tentu saja. Sebab Bram seorang wirausaha yang sering berhadapan dengan banyak orang dari berbagai kalangan. Tentang cemburu, bukan tidak ada lagi rasa itu. Namun dia tahu bagaimana cara menge