PERNIKAHAN
- Patah Hati Pria itu merokok dengan tatapan menerawang. Mungkin tengah memperhatikan foto keluarga yang berada tepat di dinding depannya. Atau memperhatikan foto mendiang sang istri. Puspa mundur kembali ke kamar dan duduk di tepi pembaringan. Nyalinya menciut. Dia benci dengan situasi seperti ini. Pergi ke mana keberaniannya tadi. Rasa kepercayaan diri benar-benar memudar di hadapan lelaki yang bergelar suami. Ditariknya napas dalam-dalam. Jutaan kata yang terangkai buyar sudah. Yang tersisa hanya embun di kelopak matanya. Beberapa lama hanyut dalam rasa pedih dan sakit, akhirnya ia beranjak meraih ponsel yang berpendar di meja rias. Netranya sedikit berbinar melihat siapa yang mengirim pesan. Dita, teman kuliahnya dari Surabaya. [Apa kabar, Puspa? Waduh yang pengantin baru jarang banget mau nongol di grup sekarang. Lagi nikmatin bulan madu ya, Neng? Cie cie cie.] [Hmmm, ganteng banget suamimu. Dewasa dan pasti pengertian kan? Tajir pula tuh. Bisa ngemong kamu. Pantesan nggak noleh kiri kanan langsung tancap gas ke pelaminan. Aku juga pengen dapet yang kayak gitu, no basa-basi langsung nikah he he he .... Ada lagi nggak, satu untukku. Sorry, canda.] [Aku kangen ngobrol sama kamu. Tapi nggak berani nelepon. Takut ganggu. Makanya kukirimkan pesan panjang kali lebar ini. Biar bisa kamu baca diam-diam. Btw, kamu tahu nggak? Yang kemarin patah hati kamu tinggal nikah, sampai sekarang masih merana. Segitunya kamu matahin hatinya Rayyan.] [Padahal dia masih berharap sama kamu. Saat kamu menjauhinya ketika kita sedang skripsi, dia pikir setelah semua selesai dan wisuda, kamu akan kembali. Ternyata kamu malah nikah sama pria lain, Pus.] [Kemarin dia ngajak ketemuan sama aku. Dia nangis kamu tahu nggak. Patah banget tampaknya. Aku iba, Pus. Makanya aku ceritain ini ke kamu. Dia cinta banget sama kamu. Apa sebenarnya kamu dah lama diam-diam kencan sama suamimu sebelum nikah. Makanya kamu tinggalin Rayyan? Kenapa sih kamu nggak ngomong saja waktu itu, biar Rayyan nggak berharap lebih padamu.] [Rayyan sangat baik, Pus. Aku tahu mungkin kalian memang nggak berjodoh, tapi aku kasihan banget, tau. Coba di mana kita mendapatkan lelaki sholeh seperti dia di zaman sekarang? Tapi mungkin suamimu juga termasuk pria yang baik dan sholeh, makanya kamu memilih dia.] Puspa berhenti membaca. Air matanya kembali mengalir deras. Ingat bagaimana ia menjauhi Rayyan. Mereka sempat pendekatan, laki-laki itu telah mengungkapkan perasaannya. Namun sebelum Puspa menjawab, peristiwa hitam itu terjadi. Puspa mengurung diri di kamar kosnya hampir dua minggu. Setelah siap kembali ke kampus, justru dia menjauhi Rayyan. Padahal mereka sudah berteman lama semenjak awal perkuliahan. Lelaki baik seperti dia tidak pantas mendapatkan barang bekas. Begitu juga dengan Bram. Tapi kenapa pada Bram, Puspa berani masuk ke dalam kehidupannya? Sebab Puspa berharap, Bram yang lebih dewasa bisa menerima apa adanya, tanpa bertanya tentang masa lalunya. Kembali dipandanginya layar bening dalam genggaman. Melanjutkan membaca pesan. [Baru kali ini aku lihat lelaki yang benar-benar patah hati. Nggak malu dia nangis di hadapanku. Nangisin kamu.] [Rayyan sudah bekerja sekarang. Dia dapat pekerjaan bagus di Surabaya. Rencana sambil melanjutkan S2. Tapi nanti setelah pikirannya tenang. Sekarang benar-benar broken heart.] [Puspa, apa yang terjadi denganmu, Say. Hubungan kalian sangat baik waktu itu. Setelah kamu menghilang berhari-hari, begitu muncul lantas menjauhinya. Tahu nggak, ibaratnya perasaan Rayyan sekarat sekarang. Dia nggak berani menghubungimu karena kamu sudah menjadi istri orang. Meski hanya untuk memberitahu kalau dia sangat terluka.] Puspa kian tersedu-sedu. Andai Rayyan tahu apa yang terjadi pada dirinya, apakah dia masih mau menerima? Rayyan pria yang baik. Dia pantas mendapatkan gadis suci. Puspa merasa sangat kotor dan menjijikan. [Maafkan aku, Say. Kalau isi pesanku ngelantur. Aku hanya ingin kamu tahu, ada hati yang hancur berkeping-keping karena pernikahanmu. Jangan jadikan ini beban. Tetaplah berbahagia dengan keluarga kecilmu. Kita akan tetap jadi sahabat. Sesekali bisa kan kita ketemuan?] Dengan tangan gemetar, Puspa mengetik balasan. [Bisa, Dit. Makasih banyak udah chat aku. Kabarku baik. Kabar kamu gimana? Udah dapat kerjaan apa belum? Aku juga kangen sama kamu.] [Sampaikan permintaan maafku pada Rayyan. Aku nggak bermaksud menyakitinya, Dit. Pria baik seperti dia, layak mendapatkan gadis baik-baik lebih dariku.] Mata Puspa masih berair. Sesekali ia memandang pintu, khawatir suaminya tiba-tiba masuk. Di layar ponsel, kata 'mengetik' terus berkedip-kedip.[Ada apa sih, Pus? Kita kenal sudah lama. Aku tahu bagaimana kamu. Dari gadis ceria, tiba-tiba menjadi menutup diri. Kamu bukan korban perjodohan dari orang tua, kan? Ayah ibumu bukan orang seperti itu, deh. Mereka sangat terbuka orangnya. Beberapa kali kau ajak aku pulang ke desa dan nginap di sana, Pak Lurah sangat baik.][Puspa, apa ada yang kamu rahasiakan dari pertemanan kita?][Nggak ada, Say. Aku baik-baik saja. Mungkin aku dan Rayyan nggak berjodoh. Itu saja. Btw, kamu kerja di mana sekarang?][Aku masih nunggu panggilan. Entah diterima apa nggak. Doain diterima ya, Say.][Iya. Aku doain. Udah ya, Dit. Besok kita sambung lagi.] Buru-buru Puspa menelungkupkan ponsel di nakas tanpa menunggu balasan Dita. Sebab ia mendengar langkah suaminya ke arah kamar. Puspa segera menarik selimut dan meringkuk seperti bayi. Bram tidak boleh curiga lagi. Dan ia juga tidak bisa bicara dengan perasaan kacau begini. Kacau karena mengetahui betapa Rayyan patah hati karenanya.Pintu kamar terbuka.
PERNIKAHAN - MalamSuara gedebug mengagetkan Bram. Spontan pria itu meloncat dari tempat tidur. Puspa merintih sambil memegangi lengannya yang sakit."Puspa, kamu kenapa?""A-aku nggak apa-apa." Puspa tergagap sambil bangkit. Bram berusaha meraihnya. "Aku bisa sendiri, Mas. Jangan sentuh. Aku kotor untukmu." Puspa menghindari tangan yang hendak membantunya.DEG. Bram terkesiap oleh kalimat itu. Sejenak terpaku menatap Puspa yang terlihat sangat berantakan. Ucapan Puspa terasa nyeri di dadanya. Dalam remang lampu kamar, Bram melihat wajah istrinya yang sembab. Rambutnya masai terurai sebagian menutupi wajah."Kenapa bisa jatuh?""Nggak apa-apa," jawab Puspa canggung. Entahlah, kenapa dia bisa jatuh. Dia tadi hendak bangun, perasaan kaki sudah menapak di lantai, ternyata masih jauh dan akhirnya dia tersungkur."Kamu mau ke mana?""Aku mau ngambil air minum." Tak ada lagi kata saya, yang ada sebutan aku.Bram mengikuti istrinya yang keluar kamar dan mengambil air minum dari dispenser ya
Puspa jadi serba salah. Setiap kali papa dan anak bersitegang, itu karena dirinya. Apa dia salah jika menegur? Hari ini memang ada acara bebas di sekolahan Vanya. Acara bazar di hari ulang tahun sekolahan itu.Kalau bukan dia yang menegur, pasti di sekolah nanti akan ditegur juga oleh gurunya. Justru orang tua yang malu kalau begini. Dikira tidak mendidik anak dengan baik."Mas, sehabis nganterin Sony ke sekolah. Aku mampir ke rumah ibu." Puspa bicara sambil menyiapkan piring untuk suami dan anak-anak di meja."Iya," jawab Bram singkat."Jangan lupa, aku ingin ngomong serius dengan, Mas."Bram diam memandangi istrinya yang sedang menyiapkan sarapan.Kemudian Sony yang menyeret tas sekolahnya datang dan duduk di kursi. Disusul Vanya yang sudah berganti memakai kaus longgar.Saat Bram menasehati anak-anaknya, Puspa diam. Di matanya, Bram adalah seorang ayah yang baik. Selalu mengajarkan anak-anak untuk sopan dan jujur. Makanya Bram tak terima saat Puspa tidak mau jujur padanya.***L***
PERNIKAHAN - Khawatir Benda-benda tajam, darah, dan penjara. Menjadi sesuatu yang menakutkan bagi Puspa selama ini. Andai semua terungkap, itulah yang akan terjadi.Puspa tahu ayahnya seperti apa. Kalau sampai ia menceritakan semuanya. Habis sudah. Keluarganya hancur berantakan. Rumah tangga kakaknya dipertaruhkan. Lalu apa dia sanggup diam menahan semua luka dan penderitaan ini sendirian?Jika sang ayah masuk penjara, apa tega Puspa melihat lelaki itu menghabiskan masa tuanya di sana. Tidak. Puspa sangat sayang dengan ayahnya. Lalu sampai kapan dia sanggup diam, sedangkan lelaki yang telah menghalalkannya sekarang mempertanyakan kesuciannya, kejujurannya. Puspa tersedu-sedu. Nafasnya sampai serasa tercekik mengingat bayangan peristiwa kelam itu. Lelaki kejam itu tanpa ampun mengambil paksa kesuciannya. Hanya karena tidak terima saat cintanya ditolak.Ditutupnya wajah dengan telapak tangan. Tak sanggup mengingat kembali kejadian itu.***L***"Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam." B
Tentu saja Bram kaget dengan permintaan mamanya Sandra. Sedikit pun dia tidak punya pikiran untuk menikahi kerabat dari Sandra. Entah itu Santi atau keluarga yang lainnya."Maaf, Ma. Saya belum kepikiran hendak menikah lagi. Saya fokus ke pekerjaan sama anak-anak saja dulu," tolak Bram halus."Sandra sudah dua tahun lebih meninggal. Anak-anak pasti butuh sosok ibu. Tapi mama harap, Nak Bram bisa mempertimbangkan hal ini. Supaya hubungan kita nggak terputus."Bram tersenyum dan tidak berkata apapun. Setahun kemudian ia ditanyai lagi, jawaban Bram tetap sama. Dan tahun depannya, ia mengabari kalau hendak menikah dengan Puspa. Mereka semua kecewa. Bahkan mamanya Sandra sempat marah. Namun setelah itu mereda dan minta maaf.Mereka masih tinggal di kota yang sama. Hanya saja beda wilayah.Lamunan Bram terganggu oleh ponsel yang berpendar. Temannya menelepon."Halo.""Hai, Bro. Kamu sudah berangkat?" Pertanyaan teman di seberang membuat Bram spontan berdiri. Kenapa dia sampai lupa kalau ada
PERNIKAHAN - PergiBram mengambil ponsel di saku celana untuk menelepon. Puspa pasti masih di rumah orang tuanya. Ternyata nomernya tidak aktif. Kenapa dia mematikan ponselnya?Tergesa Bram masuk ke kamar. Keringat sudah mengering, dia bisa langsung mandi dan menyusul Puspa. Hanya beberapa menit, Bram sudah selesai. Ketika hendak membuka lemari, ia melihat sebuah buku dan cincin milik Puspa menumpang di atasnya. Di meja rias.Melihat cincin yang tergeletak begitu saja membuat perasaannya sudah tak enak. Ada juga kartu ATM di sana. Dibukanya buku harian bersampul abu-abu. Langsung dibacanya tulisan di halaman paling depan.Assalamu'alaikum, Mas. Maaf, saat membaca tulisan ini. Aku sudah pergi dari kota ini. Maafkan kalau aku hanya mampu pamitan lewat coretan.Aku udah nggak sanggup berhadapan dengan Mas lagi. Rasanya aku sudah tidak memiliki harga diri, di hadapanmu.Mas, juga sangat sibuk sampai nggak punya waktu untuk mendengarkanku. Makanya kuputuskan saja menulis surat ini. Supa
Jantung Bram seolah berhenti berdetak. Ditariknya napas dalam-dalam untuk melonggarkan dada. Perihnya tembus ke mana-mana.Sudah terlalu banyak aku menulis, Mas. Maafkan kalau menyita waktumu. Jangan lupa segera urusi perceraian kita. Aku yakin Mas bisa membereskannya. Supaya jika terjadi apapun denganku, entah aku mati atau berakhir di penjara, kita sudah nggak memiliki hubungan apa-apa lagi. Biar Mas nggak terseret putaran kegelapan dalam kehidupanku. Segera diurus, Mas. Aku nggak bisa menunggu lama. Aku ingin segera menyelesaikan urusanku dengan lelaki yang telah menghancurkan hidupku.Aku nggak punya bukti kejahatannya, karena peristiwa itu sudah setahun yang lalu. Hukum nggak akan mempan bagi mereka. Aku akan menyelesaikan dengan caraku sendiri.Kukembalikan cincin dan ATM darimu. Terima kasih untuk kebersamaan yang singkat ini. Terima kasih untuk sebulan yang indah, sebelum malam di mana Mas mendapatiku tak lagi perawan. Sekali lagi maafkan aku.Wassalamu'alaikum wr.wb.DariPus
PERNIKAHAN - SesalBram masih diam di dalam mobilnya. Mengendalikan perasaan campur aduk yang melanda dada. Sesal, perih, khawatir. Matanya juga terasa memanas dan pedih. Bayangan wajah pucat Puspa begitu jelas di pelupuk mata, yang dikira hanya sakit biasa.Andai waktu itu dia mengantar hingga masuk ruang pemeriksaan, pasti tahu apa yang dialami istrinya. Dan hari ini Puspa tidak akan pergi.Lantas apa yang harus dikatakannya pada mertua tentang putri kesayangan mereka. Bram merasa sungguh picik. Namun sesalnya melebihi rasa kebingungan berhadapan dengan mertua.Dia siap, andai dihajar oleh bapak mertuanya.Pria itu menarik napas panjang, kemudian turun dari mobil. Dia harus jujur menceritakan semuanya.Suasana sepi sore itu. Bram lewat samping ruang pertemuan, terus ke rumah utama. "Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam." Bu Lurah tergopoh menjawab salam dan menerima uluran tangan sang menantu. "Loh, Puspa nggak ikut?""Tidak, Bu. Ayah ada? Saya ingin bicara dengan Ayah dan Ibu.""A