PERNIKAHAN
- Malam Suara gedebug mengagetkan Bram. Spontan pria itu meloncat dari tempat tidur. Puspa merintih sambil memegangi lengannya yang sakit. "Puspa, kamu kenapa?" "A-aku nggak apa-apa." Puspa tergagap sambil bangkit. Bram berusaha meraihnya. "Aku bisa sendiri, Mas. Jangan sentuh. Aku kotor untukmu." Puspa menghindari tangan yang hendak membantunya. DEG. Bram terkesiap oleh kalimat itu. Sejenak terpaku menatap Puspa yang terlihat sangat berantakan. Ucapan Puspa terasa nyeri di dadanya. Dalam remang lampu kamar, Bram melihat wajah istrinya yang sembab. Rambutnya masai terurai sebagian menutupi wajah. "Kenapa bisa jatuh?" "Nggak apa-apa," jawab Puspa canggung. Entahlah, kenapa dia bisa jatuh. Dia tadi hendak bangun, perasaan kaki sudah menapak di lantai, ternyata masih jauh dan akhirnya dia tersungkur. "Kamu mau ke mana?" "Aku mau ngambil air minum." Tak ada lagi kata saya, yang ada sebutan aku. Bram mengikuti istrinya yang keluar kamar dan mengambil air minum dari dispenser yang ada di pojok ruang santai lantai dua. Tubuh Puspa lemah oleh perasaannya yang sedang kacau. Berdiri pun tidak bisa tegak. Sempat terhuyung ketika hendak mengembalikan gelas di tempatnya. Bram melangkah cepat untuk menghampiri. Namun Puspa memberikan isyarat tangannya supaya pria itu berhenti. "Aku nggak apa-apa. Jangan mendekat, Mas. Sekarang aku sadar kalau tak layak untukmu. A-aku akan duduk di sini sebentar. Mas, tidurlah." Dalam temaram lampu ruangan yang kekuningan, Puspa melangkah pelan kemudian duduk di sofa. Sedangkan Bram masih berdiri memandangi. Ada nyeri dan iba yang muncul tiba-tiba, ada apa dengan Puspa? Dia ingin bicara dengannya tapi Bram belum menyediakan waktu. Banyak hal dipikirkan di kepalanya, termasuk rasa kecewa pada Puspa. Mungkin waktu yang diminta oleh istrinya, adalah untuk menjelaskan pertanyaannya malam itu. "Mas, tidur saja. Aku ingin di sini." Puspa berkata tanpa mengangkat wajahnya. Bram menghela nafas panjang, lantas duduk di sofa yang berseberangan dengan istrinya. Belum sempat ada yang berbicara, pintu kamar Sony terbuka. Bocah umur sepuluh tahun itu mengucek matanya. Dia pun terkejut melihat papa dan bundanya duduk di sana. "Papa dan Bunda, belum tidur?" tanyanya sambil menguap. "Kenapa Sony terbangun?" tanya Bram. "Sony haus, Pa. Mau ngambil air minum." Anak itu menunjukkan botol yang biasa ditaruh di kamarnya telah kosong. "Biar bunda isikan." Puspa bangkit dari duduknya dan mengambil botol dari tangan Sony lantas mengisinya. Setelah itu mengantarkan Sony masuk kamar. Menyelimuti tubuh itu dan memijit kakinya. Tadi sore Sony mengeluh kalau kakinya terasa pegal. "Bunda, jangan pergi sebelum Sony tidur," pintanya dengan manja. Lengan Puspa diraih kemudian dipeluknya. "Oke." Puspa tersenyum. Namun hatinya sedih. Anak ini sudah bisa menerimanya. Bahkan terlihat mengkhawatirkan dirinya yang sedang sakit. Ya, Sony bisa menemukan sosok ibu dalam diri Puspa yang selama ini ia rindukan. Walaupun Puspa masih muda, tapi dia sangat pengertian dengan anak kecil. Akhirnya Puspa ketiduran di kamar Sony. Wanita itu duduk di kursi dan kepalanya di letakkan di tepi pembaringan. Dia terbangun saat sentuhan mengagetkannya. Spontan Puspa bergeser untuk menghindari tangan Bram. Rasa tak pantas dan tidak percaya diri itu selalu timbul dalam hati disaat suaminya mendekat. Ucapan Bram malam itu begitu membuatnya nelangsa. Juga saat disentuh tangannya di rumah sakit, Bram menghindarinya. Apa dia jijik? Puspa bangkit dari duduknya. Saat itu azan subuh sudah berkumandang. Bram juga bergegas mengambil air wudhu. Saat Puspa ketiduran di kamar Sony, Bram juga ketiduran di sofa. Usai salat subuh, Bram sibuk dengan laptopnya sedangkan Puspa ke dapur seperti biasa untuk menyiapkan sarapan. Dia tidak pandai memasak. Makanya selalu ke dapur untuk belajar pada Mak Sri, tentang apa saja masakan yang disukai suami dan anak-anaknya. "Kak, apa kausmu itu nggak terlalu ketat?" Hati-hati Puspa menegur pelan anak tirinya yang sudah duduk di ruang makan. Setelah sejak tadi ia hanya memperhatikan dan membatin. Kaus warna putih itu membentuk lekuk tubuh Vanya yang mulai berisi sebagai remaja pubertas. Menggantung dan jika bergerak perutnya pasti kelihatan. Vanya memandang tidak suka. Tatapannya sangat tajam pada Puspa. "Bukan urusanmu," hardiknya. "Vanya, yang sopan kalau bicara. Ganti bajumu." Bram yang muncul di ruang makan, berkata tegas pada putrinya. Membuat Vanya kaget lantas berlari kembali ke kamarnya.Puspa jadi serba salah. Setiap kali papa dan anak bersitegang, itu karena dirinya. Apa dia salah jika menegur? Hari ini memang ada acara bebas di sekolahan Vanya. Acara bazar di hari ulang tahun sekolahan itu.Kalau bukan dia yang menegur, pasti di sekolah nanti akan ditegur juga oleh gurunya. Justru orang tua yang malu kalau begini. Dikira tidak mendidik anak dengan baik."Mas, sehabis nganterin Sony ke sekolah. Aku mampir ke rumah ibu." Puspa bicara sambil menyiapkan piring untuk suami dan anak-anak di meja."Iya," jawab Bram singkat."Jangan lupa, aku ingin ngomong serius dengan, Mas."Bram diam memandangi istrinya yang sedang menyiapkan sarapan.Kemudian Sony yang menyeret tas sekolahnya datang dan duduk di kursi. Disusul Vanya yang sudah berganti memakai kaus longgar.Saat Bram menasehati anak-anaknya, Puspa diam. Di matanya, Bram adalah seorang ayah yang baik. Selalu mengajarkan anak-anak untuk sopan dan jujur. Makanya Bram tak terima saat Puspa tidak mau jujur padanya.***L***
PERNIKAHAN - Khawatir Benda-benda tajam, darah, dan penjara. Menjadi sesuatu yang menakutkan bagi Puspa selama ini. Andai semua terungkap, itulah yang akan terjadi.Puspa tahu ayahnya seperti apa. Kalau sampai ia menceritakan semuanya. Habis sudah. Keluarganya hancur berantakan. Rumah tangga kakaknya dipertaruhkan. Lalu apa dia sanggup diam menahan semua luka dan penderitaan ini sendirian?Jika sang ayah masuk penjara, apa tega Puspa melihat lelaki itu menghabiskan masa tuanya di sana. Tidak. Puspa sangat sayang dengan ayahnya. Lalu sampai kapan dia sanggup diam, sedangkan lelaki yang telah menghalalkannya sekarang mempertanyakan kesuciannya, kejujurannya. Puspa tersedu-sedu. Nafasnya sampai serasa tercekik mengingat bayangan peristiwa kelam itu. Lelaki kejam itu tanpa ampun mengambil paksa kesuciannya. Hanya karena tidak terima saat cintanya ditolak.Ditutupnya wajah dengan telapak tangan. Tak sanggup mengingat kembali kejadian itu.***L***"Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam." B
Tentu saja Bram kaget dengan permintaan mamanya Sandra. Sedikit pun dia tidak punya pikiran untuk menikahi kerabat dari Sandra. Entah itu Santi atau keluarga yang lainnya."Maaf, Ma. Saya belum kepikiran hendak menikah lagi. Saya fokus ke pekerjaan sama anak-anak saja dulu," tolak Bram halus."Sandra sudah dua tahun lebih meninggal. Anak-anak pasti butuh sosok ibu. Tapi mama harap, Nak Bram bisa mempertimbangkan hal ini. Supaya hubungan kita nggak terputus."Bram tersenyum dan tidak berkata apapun. Setahun kemudian ia ditanyai lagi, jawaban Bram tetap sama. Dan tahun depannya, ia mengabari kalau hendak menikah dengan Puspa. Mereka semua kecewa. Bahkan mamanya Sandra sempat marah. Namun setelah itu mereda dan minta maaf.Mereka masih tinggal di kota yang sama. Hanya saja beda wilayah.Lamunan Bram terganggu oleh ponsel yang berpendar. Temannya menelepon."Halo.""Hai, Bro. Kamu sudah berangkat?" Pertanyaan teman di seberang membuat Bram spontan berdiri. Kenapa dia sampai lupa kalau ada
PERNIKAHAN - PergiBram mengambil ponsel di saku celana untuk menelepon. Puspa pasti masih di rumah orang tuanya. Ternyata nomernya tidak aktif. Kenapa dia mematikan ponselnya?Tergesa Bram masuk ke kamar. Keringat sudah mengering, dia bisa langsung mandi dan menyusul Puspa. Hanya beberapa menit, Bram sudah selesai. Ketika hendak membuka lemari, ia melihat sebuah buku dan cincin milik Puspa menumpang di atasnya. Di meja rias.Melihat cincin yang tergeletak begitu saja membuat perasaannya sudah tak enak. Ada juga kartu ATM di sana. Dibukanya buku harian bersampul abu-abu. Langsung dibacanya tulisan di halaman paling depan.Assalamu'alaikum, Mas. Maaf, saat membaca tulisan ini. Aku sudah pergi dari kota ini. Maafkan kalau aku hanya mampu pamitan lewat coretan.Aku udah nggak sanggup berhadapan dengan Mas lagi. Rasanya aku sudah tidak memiliki harga diri, di hadapanmu.Mas, juga sangat sibuk sampai nggak punya waktu untuk mendengarkanku. Makanya kuputuskan saja menulis surat ini. Supa
Jantung Bram seolah berhenti berdetak. Ditariknya napas dalam-dalam untuk melonggarkan dada. Perihnya tembus ke mana-mana.Sudah terlalu banyak aku menulis, Mas. Maafkan kalau menyita waktumu. Jangan lupa segera urusi perceraian kita. Aku yakin Mas bisa membereskannya. Supaya jika terjadi apapun denganku, entah aku mati atau berakhir di penjara, kita sudah nggak memiliki hubungan apa-apa lagi. Biar Mas nggak terseret putaran kegelapan dalam kehidupanku. Segera diurus, Mas. Aku nggak bisa menunggu lama. Aku ingin segera menyelesaikan urusanku dengan lelaki yang telah menghancurkan hidupku.Aku nggak punya bukti kejahatannya, karena peristiwa itu sudah setahun yang lalu. Hukum nggak akan mempan bagi mereka. Aku akan menyelesaikan dengan caraku sendiri.Kukembalikan cincin dan ATM darimu. Terima kasih untuk kebersamaan yang singkat ini. Terima kasih untuk sebulan yang indah, sebelum malam di mana Mas mendapatiku tak lagi perawan. Sekali lagi maafkan aku.Wassalamu'alaikum wr.wb.DariPus
PERNIKAHAN - SesalBram masih diam di dalam mobilnya. Mengendalikan perasaan campur aduk yang melanda dada. Sesal, perih, khawatir. Matanya juga terasa memanas dan pedih. Bayangan wajah pucat Puspa begitu jelas di pelupuk mata, yang dikira hanya sakit biasa.Andai waktu itu dia mengantar hingga masuk ruang pemeriksaan, pasti tahu apa yang dialami istrinya. Dan hari ini Puspa tidak akan pergi.Lantas apa yang harus dikatakannya pada mertua tentang putri kesayangan mereka. Bram merasa sungguh picik. Namun sesalnya melebihi rasa kebingungan berhadapan dengan mertua.Dia siap, andai dihajar oleh bapak mertuanya.Pria itu menarik napas panjang, kemudian turun dari mobil. Dia harus jujur menceritakan semuanya.Suasana sepi sore itu. Bram lewat samping ruang pertemuan, terus ke rumah utama. "Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam." Bu Lurah tergopoh menjawab salam dan menerima uluran tangan sang menantu. "Loh, Puspa nggak ikut?""Tidak, Bu. Ayah ada? Saya ingin bicara dengan Ayah dan Ibu.""A
"Ayah atau Ibu, tahu siapa teman dekatnya Puspa? Biar saya mencarinya ke sana," kata Bram."Puspa memiliki banyak teman. Tapi Ibu nggak tahu alamat mereka," jawab Bu Lurah datar. Sebagai ibu, rasanya sangat sakit putrinya sampai diperlakukan seperti itu oleh suaminya. Puspa memang salah, tapi apakah Bram tidak bisa bijaksana terhadapnya. Bahkan keguguran pun tidak berani memberitahu.Meski dengan hati lara, Pak Lurah dan istrinya tetap berbincang bersama Bram untuk mencari solusi mencari Puspa. Lelaki yang biasanya langsung bertindak jika ada yang mengusik putri-putrinya, kini berusaha menjaga emosi karena ingat tulisan Puspa tadi. Puspa memilih diam, demi ayahnya. Karena terlalu sayang dengan ayahnya. Begitu dalam makna cinta di sini. Pak Lurah benar-benar terpukul."Siapa yang tega berbuat keji pada anakku?" rintih lelaki itu sambil menekan kedua matanya yang berair."Saya janji, akan mencari Puspa dan membawanya kembali, Yah," ucap Bram."Kembalikan Puspa pada kami saja, Nak Bram.
PERNIKAHAN- Di Mana Puspa ?[Ayah, terima kasih banyak.] Balas Bram, tapi tidak ada respon apapun dari ayah mertuanya setelah tulisannya dibaca. Ia sangat mengerti bagaimana perasaan lelaki itu padanya.Bram tahu daerah tempat kos Puspa setelah membaca alamatnya. Dulu dia juga kuliah di Surabaya dan pekerjaannya yang sekarang juga sering membuatnya bolak-balik ke kota itu. Jadi tidak asing lagi baginya. Besok usai salat subuh dia akan berangkat. Via tol tidak akan lama. Dia berharap akan menemukan Puspa di sana.Lelaki yang duduk di sofa memandangi ranjang yang masih rapi. Biasa Puspa akan meringkuk di tepi dan menghadap ke dinding. Semalaman dia betah dalam posisi itu, setelah hubungan mereka menjadi dingin. Sebenarnya bukan mereka berdua, tapi hanya Bram saja yang dingin. Sedangkan Puspa masih melayani urusannya, anak-anak, dan rumah dengan baik. Meski sejak malam itu, dia menghindari tatapan matanya.Dia tidak pernah mengeluh tentang sikap Vanya yang sinis. Pun tidak memuji perila
PERNIKAHAN - Nikah, yuk!Dikri memperhatikan seorang perempuan yang memakai setelan kantoran warna abu-abu berdiri di seberang jalan. Segera disusulnya Maya untuk diseberangkan. Karena lalu lintas sangat ramai."Kamu istirahat sampai jam berapa?" tanya Dikri saat mereka berjalan beriringan masuk ke rumah makan."Jam satu lebih tiga puluh lima menit. Tapi aku harus salat zhuhur juga."Mereka duduk dan langsung memesan makanan. "Kamu biasa makan siang di sini?" tanya Dikri."Nggak. Biasanya aku bawa bekal atau makan di kantin. Kebetulan hari ini aku nggak bawa karena tadi aku dan mama bangun kesiangan. Siang ini pas banget dapat traktiran." Maya terkekeh. Dia terlihat ceria daripada saat bertemu Dikri beberapa waktu yang lalu. "Oh ya, tadi kamu bertemu klien di mana?""Di Kertosono.""Setelah ini nanti langsung kembali ke kantor?""Iya. Kamu pulang jam berapa?""Jam empat. Kalau banyak kerjaan, kadang jam tujuh malam baru nyampe rumah.""Makan dulu, May." Dikri mempersilakan saat pra
Mereka berdua terdiam, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Maya memandangi suasana alun-alun yang selalu ramai di Minggu pagi.Meski mereka sudah berbincang-bincang, tapi Dikri tidak memberitahu bahwa ia pernah melihat mantan suami Maya bersama wanita lain di dalam mobil."Oh ya, kamu belum punya anak?""Pernikahanku sebenarnya dibilang baik-baik saja hanya dua bulan, Dik. Selebihnya kami pisah rumah hingga bercerai. Dia sudah membawa wanita lain ke rumah semenjak ketahuan selingkuh. Mungkin ini balasanku karena ninggalin kamu disaat sedang butuh dukungan.""Nggak, May. Jangan punya pikiran seperti itu. Anggap semuanya takdir." Dikri tidak ingin Maya punya pikiran demikian, karena dirinya juga bukan tunangan yang baik. "Nomer teleponmu masih sama?""Aku sudah ganti nomer semenjak menikah.""Boleh minta?""Iya."Keduanya menyimpan nomer masing-masing. Dilanjut berbincang hingga hari beranjak siang. "Sudah siang, aku mau pulang dulu, Dik. Kapan-kapan ketemuan lagi.""Kamu naik apa?"
Maya diam sejenak. Ada jeda yang panjang, Maya tidak tahu harus mulai dari mana. Wajah Maya tertunduk. Sejujurnya, sejak ia bercerai, ia kerap membayangkan jika takdir membawanya bertemu Dikri lagi. Namun itu sungguh tidak tahu diri. Dia yang tega memutuskan pertunangan mereka disaat Dikri sedang terpuruk."Dikri, aku …" Maya menarik napas dalam-dalam. "Aku tidak tahu harus mulai dari mana. Banyak hal yang terjadi dalam hidupku setelah kita ....""Setelah kamu menikah?" potong Dikri seolah tidak ada beban. Dia sudah melupakan dan tidak pernah dendam pada Maya setelah ditinggalkan.Maya mengangguk, menahan air mata yang mulai menggenang di pelupuknya. "Iya. Pernikahan itu nggak seperti yang kubayangkan. Setelah beberapa bulan, suamiku mulai berubah. Dia kasar, dan ternyata dia juga selingkuh. Aku malu cerita seperti ini sama kamu. Aku merasa sangat bersalah telah meninggalkanmu di saat-saat sulit demi menuruti keinginan orang tuaku."Kami memutuskan hubungan pertunangan waktu itu juga
PERNIKAHAN- Teman Lama"Kamu pakai baju seperti itu?" seloroh Bu Ira saat melihat Dikri keluar kamar hanya memakai kaus dan celana pendek."Iya, Ma. Memangnya kenapa?"Bu Ira tampak termangu sejenak. Kalau sang anak memakai baju seperti itu, berarti dia tidak sedang janjian sama cewek. "Oh, nggak apa-apa. Hati-hati di jalan. Kamu mau ketemuan sama temanmu di mana?""Di car free day, Ma.""Jam segini car free day sudah buyar, Dik." Bu Ira memandang jam dinding yang menunjukkan pukul setengah sembilan."Kami cuman mau ngopi sama ngobrol. Siapa tahu ada prospek bisnis yang bisa kujadikan sampingan.""Ya sudah.""Aku pergi dulu, Ma. Motornya kubawa. Assalamu'alaikum.""Iya, hati-hati. Wa'alaikumsalam," jawab Bu Ira seraya membereskan meja makan. Kecewa. Ternyata belum ada tanda-tanda Dikri dekat dengan perempuan.Motor Dikri melaju pelan di jalan desa pinggir sawah. Sinar matahari semakin terang, membuat embun di dedaunan perlahan-lahan menguap dan menghilang. Namun, kesejukan pagi masih
"Semoga kamu selalu sehat sampai lahiran. Mbak ikut bahagia, Pus." Netra Indah berkaca-kaca. "Aamiin." Puspa merangkul sang kakak. Sekali pun sudah ikhlas menerima kondisinya, tapi dalam hati Indah, pasti berharap bisa hamil lagi. Untung ada Denny yang sangat menghiburnya.Dalam kesempatan itu, mereka foto bersama-sama dengan seluruh keluarga. Bram menggendong A'im seraya memeluk pinggang sang istri. Di samping kiri dan kanan berdiri Vanya, Sony, orang tua mereka dan kerabat yang lain. Angin yang semilir dan bulan purnama di angkasa sana, seolah menjadi saksi kebagian Bram dan keluarganya.***L***"Siapa yang ngasih lapis Surabaya ini, Ma?" tanya Dikri yang baru keluar dari kamarnya. Mencomot satu potong kue dan memakannya. Biasa kalau libur kerja, habis salat subuh kembali tidur dan bangun sekitar jam delapan pagi."Jiya yang ngasih. Semalam baru datang. Tadi Rayyan juga mencarimu ke sini. Mama bilang kalau kamu belum bangun.""Dia masih di sini?" Bram melihat ke luar lewat pintu.
Rayyan mengangguk. "Jiya juga asli sini, Mas. Cuman kerjanya di Kediri. Kantornya bersebelahan dengan kantor saya." Rayyan mengulas sedikit kedekatan mereka, juga menyebutkan tempat tinggal Najiya. Bram yang asli kota angin, tahu desa tempat tinggal gadis itu.Pesanan mereka datang dan langsung makan sambil berbincang. Puspa lega, Rayyan sudah menemukan tambatan hatinya. Tidak terbelenggu lagi oleh kisah mereka yang tidak pernah kesampaian.Puspa menghindari bertemu pandang dengan lelaki itu. Karena binarnya masih terlihat ada cinta untuknya. Bram bisa membawa keadaan menjadi sangat nyaman dan hangat. Dia bertanya, juga menceritakan tentang kondisi perekonomian sekarang ini. Berbagi pendapat dengan Rayyan. Bram yang disangkanya kaku oleh Rayyan, bisa seramah itu dan cukup enak diajak berbincang.Tentu saja. Sebab Bram seorang wirausaha yang sering berhadapan dengan banyak orang dari berbagai kalangan. Tentang cemburu, bukan tidak ada lagi rasa itu. Namun dia tahu bagaimana cara menge
PERNIKAHAN- Masih Normal "Kenapa Mbak Santi itu nggak pernah bersikap ramah sedikit saja sama aku ya, Mas?" Puspa penasaran. Saat itu mereka sudah di perjalanan."Kamu kepikiran tentang hal itu?" "Nggak, sih. Heran saja.""Nggak usah heran. Memang ada orang yang seperti itu. Sudah tabiatnya. Jika nasehat manusia tidak bisa menyadarkannya, biar Allah saja yang menegur dengan cara-Nya."Puspa merinding mendengar ucapan suaminya. Pak Maksum, istrinya, dan Dikri saja bisa menyadari kesalahannya dan berusaha untuk berubah menjadi lebih baik. Kenapa Santi yang tidak separah mereka, tidak juga mau berubah.Mungkin dia menganggap sikapnya itu hal yang wajar. Jadi tidak pernah merasa keliru. Kalau terlalu fatal seperti keluarga Pak Maksum, sangat kentara dan akhirnya membuat mereka bisa instrospeksi diri.Bram pun sudah tidak mempermasalahkan keluarga mertuanya hendak seperti apa. Bukan urusannya lagi, selagi mereka tidak menghasut Vanya dan Sony. Anak-anak pun sekarang sudah mengerti, mana
"Nggak apa-apa, Pa. Aku sudah bisa menerima semuanya. Setahun ini, aku merasa hidupku jauh lebih tenang. Aku sekarang lebih fokus ke Dikri, memastikan dia segera menikah. Usianya sudah tiga puluh satu tahun.""Papa juga mengingatkan Dikri untuk segera berumahtangga."Kembali keheningan menerpa. Dikri yang diam-diam menajamkan pendengaran dari balik pintu kamar, cukup geram. Kedua orang tuanya masih juga berbelit-belit seperti anak muda."Kalau Papa ingin menikah lagi, monggo. Di usia tua, perlu juga pendamping hidup supaya ada teman. Tapi selesaikan dulu urusan di antara kita." Bu Ira bicara dengan pembawaan yang kalem. Tidak ada amarah dan emosi seperti dulu.Pak Maksum menghela nafas panjang. "Apa papa sudah nggak diberikan kesempatan lagi untuk kembali bersama kalian, Ma? Papa tahu terlalu sering menyakiti. Namun papa sudah menyadari kesalahan itu."Papa ingin menghabiskan masa tua dengan keluarga kita. Biar Dikri tenang dan bisa memikirkan untuk masa depannya."Bu Ira memandang l
Ponsel Bram di atas meja kecil berdering. Puspa melihat siapa yang menelepon. "Mas, ada telepon dari Bu Harso.""Angkat saja.""Halo, Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam." Bukan suara Bu Harso, tapi suaranya Santi."Ada apa, Mbak?""Aku mau bicara sama Mas Bram.""Mas Bram lagi sibuk, Mbak. Ada pesan apa nanti saya sampaikan.""Sebentar saja. Bisa nggak?" Wanita di seberang memaksa."Nggak bisa diganggu Mas Bram-nya, Mbak. Jangan khawatir, nanti pasti saya sampaikan." Puspa jadi geram. Memangnya mau bicara apa. Bram pun sudah memberitahu Santi atau Bu Harso, kalau ada urusan yang mungkin perlu disampaikan ke Vanya dan Sony, bisa bicara langsung pada Puspa. Tapi wanita itu sepertinya tidak percaya padanya."Besok malam, ada acara arisan keluarga di rumah mama. Vanya dan Sony disuruh datang atau biar aku yang jemput mereka.""Oke. Nanti aku kasih tahu ke Mas Bram."Panggilan langsung ditutup begitu saja tanpa mengucapkan salam. Bram mendekat sambil mengendong A'im. "Ada apa?""Mbak Sant