PERNIKAHAN - SesalBram masih diam di dalam mobilnya. Mengendalikan perasaan campur aduk yang melanda dada. Sesal, perih, khawatir. Matanya juga terasa memanas dan pedih. Bayangan wajah pucat Puspa begitu jelas di pelupuk mata, yang dikira hanya sakit biasa.Andai waktu itu dia mengantar hingga masuk ruang pemeriksaan, pasti tahu apa yang dialami istrinya. Dan hari ini Puspa tidak akan pergi.Lantas apa yang harus dikatakannya pada mertua tentang putri kesayangan mereka. Bram merasa sungguh picik. Namun sesalnya melebihi rasa kebingungan berhadapan dengan mertua.Dia siap, andai dihajar oleh bapak mertuanya.Pria itu menarik napas panjang, kemudian turun dari mobil. Dia harus jujur menceritakan semuanya.Suasana sepi sore itu. Bram lewat samping ruang pertemuan, terus ke rumah utama. "Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam." Bu Lurah tergopoh menjawab salam dan menerima uluran tangan sang menantu. "Loh, Puspa nggak ikut?""Tidak, Bu. Ayah ada? Saya ingin bicara dengan Ayah dan Ibu.""A
"Ayah atau Ibu, tahu siapa teman dekatnya Puspa? Biar saya mencarinya ke sana," kata Bram."Puspa memiliki banyak teman. Tapi Ibu nggak tahu alamat mereka," jawab Bu Lurah datar. Sebagai ibu, rasanya sangat sakit putrinya sampai diperlakukan seperti itu oleh suaminya. Puspa memang salah, tapi apakah Bram tidak bisa bijaksana terhadapnya. Bahkan keguguran pun tidak berani memberitahu.Meski dengan hati lara, Pak Lurah dan istrinya tetap berbincang bersama Bram untuk mencari solusi mencari Puspa. Lelaki yang biasanya langsung bertindak jika ada yang mengusik putri-putrinya, kini berusaha menjaga emosi karena ingat tulisan Puspa tadi. Puspa memilih diam, demi ayahnya. Karena terlalu sayang dengan ayahnya. Begitu dalam makna cinta di sini. Pak Lurah benar-benar terpukul."Siapa yang tega berbuat keji pada anakku?" rintih lelaki itu sambil menekan kedua matanya yang berair."Saya janji, akan mencari Puspa dan membawanya kembali, Yah," ucap Bram."Kembalikan Puspa pada kami saja, Nak Bram.
PERNIKAHAN- Di Mana Puspa ?[Ayah, terima kasih banyak.] Balas Bram, tapi tidak ada respon apapun dari ayah mertuanya setelah tulisannya dibaca. Ia sangat mengerti bagaimana perasaan lelaki itu padanya.Bram tahu daerah tempat kos Puspa setelah membaca alamatnya. Dulu dia juga kuliah di Surabaya dan pekerjaannya yang sekarang juga sering membuatnya bolak-balik ke kota itu. Jadi tidak asing lagi baginya. Besok usai salat subuh dia akan berangkat. Via tol tidak akan lama. Dia berharap akan menemukan Puspa di sana.Lelaki yang duduk di sofa memandangi ranjang yang masih rapi. Biasa Puspa akan meringkuk di tepi dan menghadap ke dinding. Semalaman dia betah dalam posisi itu, setelah hubungan mereka menjadi dingin. Sebenarnya bukan mereka berdua, tapi hanya Bram saja yang dingin. Sedangkan Puspa masih melayani urusannya, anak-anak, dan rumah dengan baik. Meski sejak malam itu, dia menghindari tatapan matanya.Dia tidak pernah mengeluh tentang sikap Vanya yang sinis. Pun tidak memuji perila
"Waktu aku mencari-cari di rak buku dan lemari kamarnya, nggak ada satu pun benda atau tulisan yang memberikan petunjuk," lanjut Indah."Ke mana adikmu pergi, In. Ibu khawatir dia akan bertindak nekat." Bu Lurah menyeka air mata dengan ujung jilbabnya. Sementara Pak Lurah diam, menatap jauh ke luar pintu. Irwan juga diam."Kamu nggak punya nomer temannya?""Dulu punya, Bu. Tapi ada di hapeku yang rusak.""Gimana, Yah? Kita cari Puspa ke mana?" tanya Bu Lurah memandang sang suami. "Apa Ayah ikut Bram saja besok pagi ke kosan Puspa?" saran wanita itu."Kalau mau ke sana kita pergi sendiri saja, Bu. Nggak usah nebeng," jawab Pak Lurah datar. Tatap kecewa itu masih tampak di sorot matanya."Kapan rencana mau pergi? Saya bisa nganterin Ayah." Irwan yang sejak tadi diam saja, menawarkan diri."Boleh. Tapi besok ayah belum bisa. Ada rapat jam sembilan pagi di balai desa. Itu tanggungjawab ayah, Nak Irwan. Apa kata warga kalau ayah nggak datang dan diwakili oleh perangkat lain. Rapat ini sud
Bram turun dari mobil dan melangkah menuju pintu pagar yang tertutup rapat. Tempat kos ini kelas menengah ke atas. Tentu peraturannya sangat ketat. Pak Lurah pasti memberikan pengamanan yang terbaik buat putrinya. Namun tetap saja kecolongan.Dia harus menemui siapa? Rumah pemiliknya yang mana?"Mas, nyari siapa?" Teguran itu membuat Bram membalikkan badan. Seorang laki-laki tua memegang gagang sapu telah berdiri di belakangnya."Maaf, saya ingin bertemu pemilik kosan ini. Rumahnya yang mana ya, Pak?""Bu Badriyah tinggal di rumah tingkat itu, Mas. Yang bercat biru," tunjuk lelaki itu pada bangunan dengan cat dinding warna berbeda dari dinding kosan, berada di pojok pekarangan. "Saya bisa lewat sini, Pak?" Bram menunjuk pintu pagar."Bisa. Mari saya antar."Betapa leganya Bram, saat lelaki itu bersedia mempertemukannya dengan pemilik kosan. Diikutinya langkah si bapak yang membuka pintu pagar dan langsung melangkah ke arah bangunan yang dimaksud tadi.Ternyata kosan ini lumayan luas.
PERNIKAHAN - Ceritakan Saja"Tidak bisa dihubungi." Bram berdecak lirih. Disesapnya kopi hitam yang dipesan. Bram memang berhenti di sebuah rumah makan sederhana pinggir jalan. Memesan sarapan dan kopi sambil menunggu balasan pesan dari teman-teman Puspa yang dihubungi.Dari sekian temannya yang dikirimi pesan, hanya satu orang yang sudi memberikan nomer ponselnya Dita. Tapi nomer itu pun tidak aktif. Apakah yang dikasih tadi nomer salah?Mustahil mereka tidak mempunyai nomer gadis itu. Di grup alumni pasti ada, apalagi baru wisuda enam bulan yang lalu.Dahlan juga belum mengabarinya. Pasti orang-orang yang disuruh belum sampai tujuan.Dita. Bram mencoba mengingat-ingat wajah teman-teman Puspa yang datang ke pernikahannya waktu itu. Mana satu yang bernama Dita. Oh, dia ingat seorang cowok yang terlihat sangat sedih, tanpa mengalihkan pandangan dari Puspa. Siapa namanya, Bram tidak ingat.Namun jelas dia tidak lupa dengan hal itu. Apa dia pelakunya? Tidak mungkin. Terlihat dia pria
"Papa, nggak pulang bareng Bunda?" tanya Sony menemui papanya di kamar.Bram yang baru selesai mandi, mengajak duduk putranya di sofa. "Bunda belum pulang.""Tapi tadi Papa nemui bunda, kan?""Iya," jawab Bram tidak memandang wajah Sony. Dia yang benci kebohongan, terpaksa harus berbohong agar Sony tidak banyak bertanya dan tidak tahu tentang permasalahannya."Kapan Bunda pulang?""Papa belum tahu, Sayang. Oh ya, Sony sudah makan?""Belum. Sony nungguin Papa pulang.""Ya sudah, yuk kita makan. Panggil Kak Vanya."Sony berlari keluar untuk memanggil kakaknya. Sedangkan Bram turun ke bawah. Sebenarnya dia tidak berselera makan, tapi dihadapan anak-anak harus terlihat baik-baik saja. Mereka bertiga bercanda, mendengarkan cerita Vanya. Gadis itu sesekali memandang kursi yang biasa di duduki oleh Puspa. Dia tidak bertanya pada sang papa di mana ibu tirinya, tapi bertanya pada Sony.Guru les privat anak-anak datang tepat setelah mereka selesai makan malam. Bram pergi ke gudang untuk menemu
Bram mengajak Bu Dewi langsung ke rumah sakit setelah dikabari ART Pak Lurah kalau Bu Lurah opname sejak siang tadi."Ibu shock karena membaca berita tentang perempuan yang b*nuh diri setelah ditinggalkan calon suaminya. Ibu takut Puspa melakukan hal itu." Irwan memberitahu Bram saat mereka duduk di bangku depan ruang perawatan. Sedangkan Bu Dewi berbincang di dalam. "Mas Irwan, nggak tahu sama sekali tentang teman dekatnya Puspa?""Seingat saya, Puspa beberapa kali mengajak pulang temannya yang bernama Dita. Waktu liburan dulu, dia beberapa hari nginap di sini.""Rumahnya di mana?""Surabaya Utara kalau nggak salah. Alamat pastinya di mana saya nggak tahu."Bram mendapatkan gambaran di mana harus mencari Puspa selanjutnya. Meski wilayah itu sangat luas. Sejak awal, Bram memang condong ke perempuan yang bernama Dita. Dia pasti tahu tentang Puspa."Maaf, aku mau pulang dulu. Sudah janji ketemuan sama Dikri." Irwan masuk untuk pamitan. Sedangkan Bram duduk di sofa bersebelahan dengan s