"Papa, nggak pulang bareng Bunda?" tanya Sony menemui papanya di kamar.Bram yang baru selesai mandi, mengajak duduk putranya di sofa. "Bunda belum pulang.""Tapi tadi Papa nemui bunda, kan?""Iya," jawab Bram tidak memandang wajah Sony. Dia yang benci kebohongan, terpaksa harus berbohong agar Sony tidak banyak bertanya dan tidak tahu tentang permasalahannya."Kapan Bunda pulang?""Papa belum tahu, Sayang. Oh ya, Sony sudah makan?""Belum. Sony nungguin Papa pulang.""Ya sudah, yuk kita makan. Panggil Kak Vanya."Sony berlari keluar untuk memanggil kakaknya. Sedangkan Bram turun ke bawah. Sebenarnya dia tidak berselera makan, tapi dihadapan anak-anak harus terlihat baik-baik saja. Mereka bertiga bercanda, mendengarkan cerita Vanya. Gadis itu sesekali memandang kursi yang biasa di duduki oleh Puspa. Dia tidak bertanya pada sang papa di mana ibu tirinya, tapi bertanya pada Sony.Guru les privat anak-anak datang tepat setelah mereka selesai makan malam. Bram pergi ke gudang untuk menemu
Bram mengajak Bu Dewi langsung ke rumah sakit setelah dikabari ART Pak Lurah kalau Bu Lurah opname sejak siang tadi."Ibu shock karena membaca berita tentang perempuan yang b*nuh diri setelah ditinggalkan calon suaminya. Ibu takut Puspa melakukan hal itu." Irwan memberitahu Bram saat mereka duduk di bangku depan ruang perawatan. Sedangkan Bu Dewi berbincang di dalam. "Mas Irwan, nggak tahu sama sekali tentang teman dekatnya Puspa?""Seingat saya, Puspa beberapa kali mengajak pulang temannya yang bernama Dita. Waktu liburan dulu, dia beberapa hari nginap di sini.""Rumahnya di mana?""Surabaya Utara kalau nggak salah. Alamat pastinya di mana saya nggak tahu."Bram mendapatkan gambaran di mana harus mencari Puspa selanjutnya. Meski wilayah itu sangat luas. Sejak awal, Bram memang condong ke perempuan yang bernama Dita. Dia pasti tahu tentang Puspa."Maaf, aku mau pulang dulu. Sudah janji ketemuan sama Dikri." Irwan masuk untuk pamitan. Sedangkan Bram duduk di sofa bersebelahan dengan s
PERNIKAHAN- Stalking"Hai, Dit. Ngapain kamu di sini?" teriak Rayyan dari dalam mobil. Dita terkejut, lantas memandang ke arah taksi yang bergerak menjauh. Hampir saja Puspa kepergok Rayyan. "Aku nganterin Mas Ilyas naik taksi," jawab Dita gugup."Cowokmu pulang?""Hu um," jawab Dita berbohong. Padahal kekasihnya baru berangkat kembali ke Bandung tiga hari yang lalu setelah cuti empat hari di Surabaya."Kamu lihatin apa?" Rayyan penasaran dan ikut memandang pada hiruk pikuknya kendaraan di depan sana."Liatin taksi yang membawa Mas Ilyas.""Kalau masih kangen, ngapain dibiarkan pulang."Dita mencebik. "Kamu baru pulang kerja?""Iya.""Biasanya naik motor.""Mobil papa pas nganggur. Nih, buat kamu." Rayyan mengulurkan sekotak lapis Surabaya lewat jendela mobil."Nggak kamu bawa pulang saja?""Masih ada satu kotak lagi. Dikasih sama klien tadi.""Makasih ya, Ray."Rayyan mengangguk. Kemudian membunyikan klakson dan melaju pergi. Dita memperhatikan mobil temannya yang menjauh. Bagaima
Dahi Puspa mengernyit karena kaget. "Jangan bikin gara-gara. Aku nggak mau. Tolong, aku mau pulang.""Kamu punya pacar?""Ya," sahut Puspa cepat meski itu berbohong."Kamu menolakku.""Iya." Jawaban yang sama entah untuk yang ke berapa kali.Hening. Tubuh lelaki itu tidak bergeming meski Puspa sudah berusaha mendorongnya. Wajah Dikri sudah merah padam dengan gigi mengatup rapat.Puspa terkejut saat lelaki itu menariknya masuk ke sebuah kamar di lantai satu rumah megah mereka. "Mau ngapain kamu, Mas." Puspa panik."Memilikimu.""Jangan gila. Biarkan aku keluar." Puspa benar-benar ketakutan. Dia hendak ke pintu, tapi sayang sudah dikunci oleh Dikri. "Kamu nggak akan bisa pergi, Cantik. Teriak saja, nggak akan ada orang yang mendengarnya. Kamar ini kedap suara." Dikri menyeringai.Puspa menarik kasar handle pintu, tapi sia-sia. Teriakannya pun tak berguna. Sekalipun dia memohon-mohon, tapi Dikri makin kalap."Lihatlah, bagaimana aku akan memilikimu dengan caraku. Dan kamu akan menyesali
Bu Dewi menghela nafas panjang. Kalau tidak ada petunjuk sama sekali, bagaimana Puspa bisa ditemukan."Setelah Puspa ketemu, apa kamu akan mengembalikan kepada orang tuanya?""Tidak, Ma.""Pak Lurah kecewa padamu, Bram.""Iya, saya tahu.""Apa kamu yakin, Puspa masih ingin bertahan setelah apa yang terjadi?"Perasaan Bram tercubit. Puspa sekecewa itu terhadapnya."Kenapa kamu sampai nggak tahu dia hamil?""Puspa tidak memberitahu. Janin itu baru empat minggu, mana saya menyadarinya, Ma.""Dia diam karena kamu bersikap nggak peduli. Bram, kalau kamu mencintainya. Perjuangkan dia. Yakinkan pada orang tuanya kalau kamu serius ingin memperbaiki hubungan. Puspa hanya korban. Dalam kasus seperti ini, korban memiliki alasan untuk diam. Karena malu, merasa itu aib yang hina, takut, dan ia memilih menanggung beban psikologis seorang diri."Kamu punya anak perempuan. Tentu kamu bisa merasakan bagaimana sakitnya seorang ayah jika putrinya mengalami peristiwa dan diperlakukan suaminya seperti kam
PERNIKAHAN - Dilema"Halo, Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam." Suara Bram di seberang. "Maaf, kalau mengganggu. Ibu sudah pulang?""Ini baru keluar dari kamar perawatan. Kami mengucapkan terima kasih banyak, Mas Bram sudah membayar biaya rumah sakit.""Tidak apa-apa, Mbak. Saya sekarang sudah di Surabaya. Saya di depan gerbang masuk Perumahan Wijaya Kusuma Regency, di Surabaya Utara. Mungkin Mbak Indah bisa mengingat tentang alamat rumah Dita?""Saya nggak tahu. Cuman yang saya ingat, Dita memang tinggal di Surabaya Utara.""Mbak, tahu siapa nama ayahnya. Biar saya tanya pada satpam di blok mana rumahnya.""Saya nggak tahu sama sekali, Mas.""Oh, ya sudah. Makasih. Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam."Indah mengantongi ponselnya. Kemudian menggandeng sang ibu, sedangkan Pak Lurah membawa tas pakaian."Nak Bram sudah bertemu Puspa, In?" tanya wanita itu dengan suara serak. Ada harapan besar di dalam tatapannya. Semarah apapun hatinya pada sang menantu, dia berharap semoga Puspa seg
"Sebenarnya Puspa sudah mewanti-wanti pada saya supaya nggak memberitahu siapapun. Mungkin dia butuh waktu untuk menyendiri, Mas.""Apa Puspa menceritakan permasalahannya pada, Mbak?"Dita mengangguk samar. Dia tidak bisa bersandiwara dihadapan lelaki ini. Terlihat jelas dia pria yang baik. Soal permasalahan dengan Puspa, karena memang tidak ada komunikasi yang terbangun. Bisa dianggap merupakan salah pengertian saja. "Saya tidak tahu apa yang menimpa Puspa. Andai saya tahu sebelumnya, mungkin saya tidak akan bersikap yang menyakitinya." Tatapan Bram menerawang. Dia berusaha tidak menceritakan pada Dita, tapi ternyata Puspa sudah memberitahu sahabatnya."Saya ingin bertemu dan membawa Puspa pulang," lanjutnya."Tapi saya nggak tahu di mana tempat kosnya, Mas? Puspa nggak mau ngasih tahu. Waktu dia datang ke rumah, saya terkejut karena Puspa terlihat pucat dan lebih kurus dari sebelumnya. Harusnya dia butuh istirahat. Jiwa dan raganya sedang sakit dan memerlukan support." Mata Dita be
Ternyata nomernya memang tidak sama dengan nomer yang diberikan teman Puspa hari itu."Tolong kabari saya ya, Mbak!" ujar Bram melihat Dita terdiam."Insyaallah, Mas. Oh ya, saya mau pulang ya. Mama pasti nungguin saya." Dita menyimpan kartu nama Bram ke dalam tas, lantas menyalami lelaki itu. "Maaf, boleh saya tahu rumahnya, Mbak Dita."Setelah termangu sejenak, Dita mengangguk. Ketika berjalan menuju motornya, ponsel di saku celana berdering. Saat dilihat, Dita terkesiap. Itu nomer barunya Puspa. Dita mengembalikan ponsel ke saku celananya. Semoga Bram yang berjalan di sebelahnya tidak curiga.Akhirnya Bram mengikuti Dita hingga sampai depan rumah. Setelah memarkir motornya di garasi, Dita kembali ke depan. "Ini rumah saya, Mas.""Iya. Makasih banyak, Mbak. Tolong kalau Puspa datang ke sini lagi atau menghubungi, Mbak Dita, kabari saya ya. Saya benar-benar menunggu."Dita mengangguk. Bram pergi dan dia masuk ke rumah.Ponsel kembali berpendar. Puspa menelepon lagi. Dita termangu d